BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Konseling Pastoral
8. Aspek-aspek Konseling Pastoral
Menurut Susabda (1983:4-38), setiap konselor dalam memberi layanan konseling pastoral hendaknya mengenal empat aspek penting di bawah ini:
a. Hubungan timbal-balik (interpersonal relation-ship) antara konselor dengan konselinya.
Konseling Pastoral adalah suatu interpersonal relation-ship, suatu dialog dan bukan monolog yang terjadi antara konselor dan konselinya, yang bisa melibatkan seluruh aspek kehidupan mereka masing-masing. Konselor tidak hadir sebagai pengkotbah di atas mimbar yang memberikan
firman Tuhan, nasihat, teguran, dan ajaran pada konselenya; karena sekarang ia berhadapan muka dengan konselinya sebagai dua pribadi yang utuh, yang masing-masing punya hak dan kebebasan untuk mengekspresikan dirinya.
Mengapa hubungan timbal balik ini harus merupakan suatu dialog? Karena konselor dalam hal ini Pastor/pendeta, role/perannya tidak lagi sebagai pengkotbah yang secara praktis memediator umatnya. Maka sangatlah penting bagi seorang konselor untuk: 1) belajar dari Yesus yaitu terpanggil untuk mengorbankan dan merendahkan dirinya sendiri menjadi sama (equal) dengan konselinya (Filipi 2:5-8) konselor harus membawa suasana percakapan yang ideal (conducive atmosphere), yaitu jika konsele betul-betul merasa diperlakukan sebagai satu subyek, pribadi yang utuh persoalannya, perasaannya, cara berpikirnya, bahkan segala sesuatu yang ada padanya mempunyai nilai untuk dihargai.
Jadi dalam hubungan timbal balik antara konselor dan konseli dibutuhkan suasana yang dialogis. Keterampilan komunikasi interpersonal dan rasa empati, serta kerendahan hati seorang pelayan pastoral sangatlah penting agar konseli (pasien) merasa diterima dan dihargai sebagai pribadi/subyek yang memiliki hak dan kebebasan, serta kemampuan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan konselor dalam hubungan timbal-balik:
1) Sikap merugikan dari pihak konseli.
Yaitu dalam hubungannya dengan konseli, seorang konselor mesti menyadari adanya berbagai kemungkinan yang merugikan yang
ditimbulkan oleh konselinya. Hal itu meliputi dua hal, yaitu: a) dalam hubungan dengan “simbol Allah” (symbol of God) yang melekat pada
hamba Tuhan, adalah adanya sikap konseli yang menganggap hamba Tuhan sebagai symbol Tuhan dan kecenderungan mereka untuk menghidupkan sikap penyerahan diri secara total (total depenency) pada konselornya (hamba Tuhan). Akibat dari kurang dapatnya mereka dalam mengembangkan konsepsi tentang Allah yang abstrak. Jika konseli selalu melihat bahwa konselor sebagai pembawa symbol Tuhan, maka proses konseling menuju kearah yang tidak sehat. b) adanya gejala “transference” pemindahan perasaan, adalah pemindahan perasaan perasaan dari yang seharusnya ditujukan kepada objek lain pada masa lampau kepada objek yang baru pada masa kini. Hal ini bisa terjadi karena adanya banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi dan harus ditekan untuk dilupakan. Dari gejala ketidaksadaran (unconsciousness), mereka akan selalu mencari kesempatan untuk dipenuhi. Hal itu pasti bisa terjadi dan konselor perlu untuk selalu menyadarinya, agar proses konseling dapat berjalan dengan baik.
2) Dorongan yang merugikan dari dalam konselor.
Dalam interpersonal relationship, konselor mesti waspada dan menyadari dorongan dan rangsangan yang timbul dari dalam dirinya sendiri, yang bisa menimbulkan kegagalan dalam proses konseling. Pertama yaitu adanya kebutuhan untuk melakukan
counter-transference. Counter-transference adalah sikap menyambut dan
menanggapi gejala transference dari konseli yang ditujukan padanya. Pattison (Susabda, 1983:8) mengatakan:
“counter transference distortions occur when a pastor attempts to solve his own problems through the prolems of the parishioner, or vicariously enjoys behavior in his perishioners which he feels he must deny in himself”.
Kegagalan proses konseling dialami oleh banyak hamba Tuhan oleh karena ia tidak menyadari akan gejala counter-transference dari dirinya sendiri. Sebagai konselor seharusnya hamba Tuhan bersikap betul-betul netral, mampu mengontrol emosinya dan tidak membiarkan sikapnya dipengaruhi oleh sikap dari konselinya. Konselor hendaknya selalu waspada terhadap kebutuhannya sendiri untuk melakukan
counter-transference. Akibatnya bisa menimbulkan sikap tidak sehat
seperti dibawah ini:
(a) Carelessness in appointment schedules (tidak menepati janji dan
semaunya sendiri dalam memakai waktu yang tersedia).
(b) Repeated erotic or hostile feelings (munculnya perasaan berahi
atau sebaliknya, yaitu benci kepada konselinya).
(c) Boredom or inattention during counseling (munculnya perasaan
bosan selama proses konseling).
(d) Permitting or encouraging misbehavior (membiarkan sikap dan
tingkah laku yang tidak seharusnya terjadi).
(e) Trying to impress the parishioner (selalu ada keinginan untuk
(f) Arguing (berdebat).
(g) Taking sides in a personal conflict (memihak dalam konflik yang
dihadapi konseli).
(h) Premature reassurance to lessen anxiety (memberikan janji-janji
dan jaminan-jaminan pada konseli yang terlalu dini untuk mensukseskan kelanjutan pembimbingan).
(i) Dreaming about parishioner (terbayang-bayang wajah konseli).
(j) Feeling that the parishioner’s welfare or solution to a problem lies
solely with you (merasa bahwa hidup dan penyelesaian persoalan
seluruhnya tergantung pada kita).
(k) Behavior to ward one parishioner in a group differently from other group members (sikap membedakan dari anggota yang satu dengan
yang lain dalam gereja yang kita gembalakan).
(l) Making unusual appointments or behaving in a manner ususual for you (membuat janji-janji pertemuan yang tidak biasa dengan
konseli dan bersikap tidak wajar).
Kebutuhan untuk melakukan counter-transference adalah kebutuhan yang sangat berbahaya, karena akan mengagalkan pelayanan konselingnya.
b. Hamba Tuhan sebagai Konselor.
Wayne Oates (Susabda, 1983:11) mengatakan bahwa:
“The pastor, regardless of his training, does not enjoy the privilege of ecleting whether or not he will counsel his people ….His choice is not between counseling or not counseling, but between counseling in a
disciplined and skilled way and counseling in an undisciplined and unskilled way”.
Pelayanan konseling adalah bagian integral dari pelayanan hamba Tuhan. Tugas pelayanan ini menjadi identitas seorang hamba Tuhan, sehingga ketika ia menolak tugas pelayanan ini ia telah kehilangan identitasnya. Hal itu bukan berarti bahwa dalam pelayanannya secara otomatis dilakukan berdasarkan bakat-bakat alaminya ataupun pendidikannya dibidang teologi.
Sebagaimana diungkapkan Oates di atas bahwa banyak hamba Tuhan yang melaksanakan tugasnya asal saja dan dengan cara
undisciplined dan unskilled, tetapi sebagai tanggung jawab kepada Tuhan
yang telah memanggil dalam pelayanan ini, seorang konselor pastoral seharusnya mengembangkan disciplin dan skill. Selain itu mereka perlu waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan yang merugikan dalam tugas pelayanannya.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut, antara lain:
1) Kecenderungan ke arah profesionalisme.
Yaitu kecenderungan konselor (hamba Tuhan) yang lebih menfokuskan diri pada peran profesinya berdasar pendidikannya (spesialisasi dalam konseling), ia telah kehilangan identitasnya sebagai hamba Tuhan. Hal itu terjadi bila dalam pelayanan dilakukan hanya atas dan untuk mendapatkan nama sebagai konselor profesional. Seorang konselor pastoral, sebagai orang terpanggil memiliki peran membimbing. Demikian dalam relasinya dengan konselinya (umat
Allah) lebih pada hubungan fungsional, bukan hubungan profesional. Alasan utama seorang hamba Tuhan perlu mengembangkan skill dan disiplin dalam konseling bukanlah untuk menjadikan dia
professional counselor, tetapi professional pastor yang terampil dalam
pelayanan konselingnya. Hal itu ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut (Susabda, 1983:12): (1) adanya pengetahuan yang cukup
tentang teori-teori personality dan psikologi pada umumnya; (2) adanya kemampuan untuk menghubungkan teori dan praktik,
khususnya teori-teori tentang metode-metode observasi dan diagnosa; (3) adanya training yang cukup di bawah bimbingan dan supervisi seorang profesional; (4) adanya kemampuan untuk memelihara identitasnya sebagai hamba Tuhan dalam peranannya sebagai konselor dalam interpersonal relationship-nya dengan konseli; (5) adanya kemampuan untuk mengolah dan memakai sumber-sumber yang tersedia untuk mensukseskan pelayanan konselingnya; (6) adanya pengertian yang benar tentang skop pertanggungjawabannya sebagai konselor; (7) adanya disiplin dalam menggunakan perlengkapan-perlengkapan konseling dalam batasan profesinya sebagai hamba Tuhan, yang meliputi: penyusunan dan penyimpanan data dalam sistem file yang rapi dan aman, sistem kerja yang jelas (short-term dan
long-term konseling, konseling formal maupun informal), tersedia
ruang konseling/kantor, tersedianya referals yang dapat dihubungi, tidak melakukan diagnosa medis, psicho-test, eksperimen-eksperimen,
pemberian resep obat-obatan dan hal-hal yang menjadi wewenang profesional- profesional lain.
Seorang hamba Tuhan meskipun bukan konselor profesional, sangat penting mengembangkan kemampuannya secara terus menerus demi pelayanan yang bertanggung jawab. Ia harus menguasai teori kepribadian dan psikologi pada umumnya, disiplin, memiliki relasi yang luas terkait adanya referal, serta tahu batasan-batasan dalam melakukan pendapingan maupun konseling.
2) Kecenderungan untuk melakukan pelayanan konseling tanpa tanggung jawab
Adanya kemungkinan seorang konselor bersikap munafik (tidak jujur terhadap dirinya) dan ketidak sediaannya memikul tanggung jawab. Keputusan untuk menjadi hamba Tuhan adalah keputusan untuk mengikuti teladan hamba Tuhan yang agung, yaitu Yesus Kristus. Dia disebut hamba Tuhan bukan saja karena kotbahnya saja, tetapi lebih karena penyerahan diri dalam kepatuhan yang total pada Allah BapaNya dalam pelayananNya. Yaitu kerelaan untuk mengorbankan diri demi keselamatan manusia (Rm. 5:7-8).
Sebagai konselor pastoral sekaligus hamba, ia juga dituntut untuk bertanggung jawab atas pelayanan ini. Tanggung jawab tidak hanya mengajar (kebenaran firman), lebih dari itu ia juga dituntut untuk mampu mendemonstrasikan imannya, pengetahuanya, kematangan pribadinya, keterampilannya, kesabarannya, dan sebagainya.
Adanya tuntutan yang sedemikian, sehingga membuat banyak hamba Tuhan berusaha menghindar dari tanggung jawab ini. Yaitu adanya sikap tidak jujur terhadap diri sendiri. Alasan yang membuat mereka berbuat demikian adalah:
(1) Adanya ketidaksediaan hamba Tuhan untuk memikul beban pelayanan yang melebihi dari apa yang ia sukai. Banyaknya role/peran yang dijalaninya membuat seorang hamba memiliki sikap-sikap: menikmati rutinitas, merasa sudah berfungsi, dan menikmati ketergantungan.
(2) Adanya ketakutan pada keakraban. Sebagai hamba Tuhan/gembala, ia perlu mengenal dan dikenal oleh domba-dombanya. Dalam relasi dengan umat/konseli, ia juga menjadi model dan contoh yang nyata bagaimana menjadi seorang yang percaya, bergumul dan mengalami jalan keluar dalam persoalan-persoalan hidupnya. Pengalaman iman secara pribadi merupakan unsur terpenting dalam keberhasilan konseling pastoral. Untuk itu keakraban dalam relasi antara konselor dan konseli tidak boleh diabaikan.
Kebutuhan untuk membina keakraban (will to relate) adalah kebutuhan yang sangat fundamental dari setiap orang. Seperti diungkapkan oleh Karl Meninger (Susabda, 1983:16):
“The establishment or re-establishment of relationship with follow human beings is the basic architecture of normal life….to live, we say is to love and vice versa”.
Bahkan C. Wyne seorang psychoanalyst (Susabda, 1983:16), juga menekankan bahwa:
“movement into relationship with other human beings is a fundamental principle or „need‟ of human existence…..man is inherently object-related”.
Kebutuhan untuk membina keakraban dengan sesama merupakan hukum dan perintah utama dari Tuhan sendiri (Mat.22:39). Hal itu merupakan ciri utama yang menandai suatu kehidupan sebagai seorang yang sudah diselamatkan. Tetapi sangat disayangkan bahwa ada banyak orang kristen bahkan hamba Tuhan yang mencoba menghindar dari interpersonal relationship demi terjadinya keakraban diantara sesama. Gejala tersebut biasanya muncul akibat dari kegagalan perkembangan diri dimasa lampaunya, mereka tidak menemukan identitas pribadi dirinya. Tidak terpenuhinya kebutuhan dimasa remajanya mengakibatkan kurang berani menghadapi keakraban karena mereka belum mengenal dirinya sendiri. Ketakutan keakraban juga mengakibatkan perasaan keterasingan.
Gejala-gejala dari ketakutan keakraban dan keterasingan antara lain: ketidakmatangan emosi, miskin dalam kasih, takut dirugikan atau dikecewakan, perasaan rendah diri, perasaan bersalah yang berlebih-lebihan (guilt feeling), keramah tamahan dan basa basi, dan ringan tangan ringan kaki.
Selain bersikap tidak jujur terhadap diri sendiri, sikap negatif lain sebagai bentuk ekspresi pelayanan tanpa bertanggung jawab adalah
sikap menolak tanggung jawab. Hamba Tuhan biasanya menyadari bahwa konseling adalah pelayanan yang harus dilakukan. Sehingga mereka yang tidak mau melakukan tugas ini biasanya memberi alasan-alasan sebagai berikut ”saya tidak suka psikologi”, “konseling tidak perlu dipelajari, pokoknya kan bisa kotbah, pelayanan lain tidak baik juga tidak apa-apa”.
Jika mereka terpaksa melakukan pelayanan konseling, maka yang terjadi adalah mereka melakukannya secara informality (informalitas). Yaitu model pelayanan yang tanpa rencana, tanpa jam kantor, tanpa formalitas, dan tanpa prosedur organisasi. Hal itu sebagai bentuk sikap penyamaran akan hidup santai dan semaunya sendiri dalam pelayanan. Gejala yang nampak dari pelayanan ini adalah mau cepat selesai, diagnosa dan analisa yang berdasarkan intuisi semata-mata, menjadi ilah/simbol Allah bagi konselinya.
Availability (membuat dirinya selalu mau dipakai). Sikap ini
sebenarnya positip dan menunjukkan sikap yang penuh tanggung jawab seorang hamba Tuhan. Namun yang terjadi justru ada unsur-unsur kepentingan untuk pemenuhan kebutuhan diri pribadi, yaitu sebenarnya mau menolak tanggung jawab, kunjungan dan percakapan yang tidak bermakna (mencari simpati, teman ngobrol, dan untuk mendapatkan feeling of importance), serta ada kesengajaan menciptakan suasana mutual manipulation (saling memanipulasi) dalam hubungan dengan konselinya.
c. Suasana percakapan konseling yang ideal (conducive atmosphere). Suasana percakapan yang ideal yang dimaksudkan bukanlah sekedar suasana yang menimbulkan perasaan senang, nyaman, dan enak, tetapi lebih dari itu. Karena suasana yang demikian memang yang seharusnya diciptakan oleh seorang konselor dalam pelayanan konselingnya. Unsur-unsur penting yang membantu terciptanya suasana percakapan konseling yang ideal mencakup dua hal yaitu: sikap penuh pengertian (understanding) dan memberi tanggapan yang membangun (responding).
Sikap penuh pengertian (understanding) adalah sikap positip dan terencana dari konselor yang diekspresikan melalui pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada konseli untuk mengekspresikan dirinya secara tepat. Dalam proses understanding, seorang konselor/hamba Tuhan harus “empties himself”, yaitu sebuah sikap menahan diri, mengontrol diri, mengosongkan diri, dan menunggu saat yang tepat untuk mengekspresikan kebenaran-kebenaran yang harus diketahui oleh konselinya. Sikap positip yang terencana akan memberikan kesan yang positip dalam diri konseli. Suasana yang menyenangkan, rasa bebas dari ketakutan (ketakutan untuk dipersalahkan) dan rasa diterima sebagai satu individu yang berharga, akan mendorong konseli untuk mengekspresikan dirinya “internal frame of reference” (konsep-konsep pemikiran dan dunianya yang selama ini tersembunyi).
Understanding yang sejati terjadi jika konselor memiliki sikap
positip yang mencakup antara lain: empathy (empatic understanding),
acceptance, dan listening (effective listening). Empathy (empatic
understanding) adalah sikap positip konselor terhadap konseli, yang
diekspresikan melalui kesediaannya untuk menempatkan diri pada tempat konseli, merasakan apa yang dirasakan konseli, dan mengerti dengan pengertian konseli. Hal ini tidak secara otomatis dimiliki oleh konselor sekalipun ia pernah mendapat pelatihan, maka unsur yang utama yang harus dimilikinya adalah kasih agape, yaitu sikap hati
compassion (yang penuh belas kasihan) yang diekspresikan dalam
kerinduan untuk betul-betul mau menyelami dan mengerti konselinya.
Acceptance adalah kesediaan konselor untuk menerima keberadaan
konseli sebagaimana adanya.Yaitu sikap tanpa mengadili, tidak melihat konseli berdasarkan pada kesalahan-kesalahan, kelemahan, dan kegagalan, melainkan mampu memandang kehidupan konseli secara utuh sebagai pribadi yang unik, yang persoalannya pantas digumuli, dan kata-katanya pantas dipertimbangkan.
Acceptance dikembangkan oleh konselor karena ia sadar bahwa
dengan cara ini diharapkan menemukan inti persoalan yang sebenarnya dan pada akhirnya memperoleh jalan untuk memecahkan persoalan yang mengganggu hidupnya. Maka ia sadar bahwa konseli adalah pribadi yang benar-benar terganggu dan mengalami persoalan; ada pengalaman-pengalaman yang tidak disadari dan muncul defense
mechanism repression; memiliki subjektivitas; butuh orang yang
mengerti dan bisa dipercaya. Acceptance yang sejati akan memberi peluang bagi konseli untuk melakukan tindakan dan langkah-langkah konkrit tanpa menunggu sampai inti persoalannya ditemukan.
Listening (effective listening) adalah unsur yang utama dari
understanding. Yaitu kesediaan untuk mendengarkan secara professional. Eugene Kennedy (Susabda, 1983:30), mengatakan bahwa
the best rapport (hubungan baik yang diharapkan muncul melalui
acceptance).
“….arises, not out of some direct effort to get along well with the client but out or a simple and sincere effort to listen and hear accurately what he or she has to say. Rapport automatically exist when we are concerned enough about others not to worry about whether they like us or not….”.
Konselor perlu memiliki sensivitas yang tinggi secara disiplin, agar ia mampu menangkap apa yang dikatakan oleh konseli maupun
perasaan dibalik kata-kata, ekspresi wajah, dan tingkah lakunya.
Responding (Effective Responding)/memberi tanggapan secara
efektif adalah sikap yang sangat penting dari konselor yang seharusnya tidak merusak bahkan ikut menciptakan suasana percakapan yang condusive. Di dalamnya mengandung kehangatan, dukungan, kemurnian sikap konselor, dan mampu memberi stimulus dengan ide-idenya agar konseli mampu berpartisipasi secara aktif dalam pelayanan konseling.
d. Melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan padanya.
Pelayanan konseling hamba Tuhan tidak berhenti pada pemecahan masalah konseli, tetapi lebih dari itu seorang konselor perlu membantu konseli untuk mengalami kepenuhan dalam hidupnya ”wholeness” sebagai citra Allah.
Pelayan pastoral mengajak konseli melihat lebih dalam lagi tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Hal itu meliputi: melihat tujuan hidupnya secara Kristen yaitu bahwa kebahagiaan tidak hanya untuk diri sendiri, ia diajak untuk melihat tujuan yang lebih mulia yaitu memperkenankan hati Tuhan (Gal. 1:10); melihat alkitab sebagai standart kebenaran yang mutlak untuk menilai tingkah laku dan kebutuhannya; memakai sarana dan jalan yang sesuai dengan iman Kristen dalam mencapai tujuan yang benar itu, melihat tujuan hidupnya secara realistis, dan mencapai tujuan hidup yang dicita-citakan dengan takaran dan kekuatannya sendiri. Jadi konseli diajak untuk semakin memiliki arah dalam hidupnya, bertanggung jawab dan mampu mengembangkan dirinya sesuai potensi yang dimilikinya.