ABSTRAK
PROGRAM KONSELING PASTORAL DI RUMAH SAKIT
(Studi Evaluasi Program Konseling Pastoral Di RSKBudi Rahayu Blitar-Jawa Timur, Tahun 2015) Rukini
Universitas Sanata Dharma 2016
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui perencanaan pelayanan Konseling Pastoral di Rumah Sakit Katolik/RSK Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur; 2) Mengetahui proses pelayanan Konseling Pastoral di RSK Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur; 3) Mengetahui hasil pelayanan Konseling Pastoral di RSK Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur?
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Subyek penelitian adalah RSK Budi Rahayu Blitar, dengan responden penelitian adalah Suster pemilik RSK Budi Rahayu, Romo paroki, dokter, staff Pastoral Care (PC), perawat dan majelis. Sumber data dalam penelitian ini adalah para responden yang terlibat dalam layanan Konseling Pastoral, dokumen, seorang ibu dan seorang bapak pasien rawat inap RSK Budi Rahayu Blitar, dan suami pasien rawat inap di RSK Budi Rahayu Blitar. Metode pengumpulan data adalah wawancara, observasi, dan studi dokumen. Instrumen penelitian adalah pedoman wawancara dan observasi. Analisis data dilakukan melalui analisis trianggulasi sumber dan trianggulasi teknik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa layanan Konseling Pastoral di RSK Budi Rahayu berjalan sesuai dengan program PC. Perencanaan program ditetapkan setiap tiga tahun sekali, melalui prosedur tetap pelayanan hidup rohani bagi pasien. Perencanaan yang dilakukan sesuai dengan Pesan KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia) kepada Karya-Karya Kesehatan Katolik 1978, butir: 52, yaitu memberi perhatian dan pendampingan kepada pribadi pasien secara utuh agar mereka yang sakit dapat merasakan adanya dukungan, perhatian, dan pada akhirnya dapat menemukan makna dalam hidupnya, serta dapat berelasi dengan baik terhadap sang Pencipta. Pelaksanaan layanan konseling di RSK Budi Rahayu, sudah berjalan sesui prosedur yang ditetapkan yaitu kunjungan pasien setiap hari dan penerimaan sakramen bagi pasien rawat inap yang beragama katolik. Hal yang kurang yaitu tenaga konseling pastoral (PC) di RSK Budi Rahayu memiliki latar belakang pendidikan di luar ilmu psikologi maupun teologi, dan tidak tersedia ruang konseling. Hasil dari layanan konseling pastoral adalah pasien dan keluarga pasien merasakan perhatian, dukungan dan penghargaan dari pihak rumah sakit, sehingga memunculkan harapan untuk sembuh. Dampak positipnya adalah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan RSK Budi Rahayu Blitar.
Abstract
THE PROGRAM OF THE PASTORAL COUNSELING AT THE HOSPITAL
(Study on Evaluation on Pastoral Counseling Ministry at the Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar-East Java, Year 2015)
Rukini
University of Sanata Dharma 2016
The puspose of this research is to: 1) determine the planning of the pastoral counseling ministry at the Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar, East Java; 2) know the process of the pastoral counseling ministry at the Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar, East Java; 3) apprehend the result of the pastoral counseling ministry at the Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar, East Java.
This type of research was qualitative. The subject was the Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar, with respondents comprising of SSpS Sister as the owner of the hospital, parish priest, physician, staff of Pastoral Care, nurses and assemblies. The source of data was gathered from the respondents, two patients (a man and a woman), a husband of patient's family, and documents. The Methods for collecting data was through interview, observation, and study document. Meanwhile, the instrument was the guidance interview and observation. The data analysis was performed through the analysis of the source triangulation and the triangulation technique.
PROGRAM KONSELING PASTORAL DI RUMAH SAKIT
(Studi Evaluasi Program Konseling Pastoral Di RSK Budi Rahayu Blitar- Jawa Timur, Tahun 2015)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan Dan Konseling
Disusun Oleh: Rukini NIM: 111114053
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
(Studi Evaluasi Program
Konseling Pastoral Di RSK Budi Rahayu
Blitar-Jawa Timur, Tahun 2015)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan Dan Konseling
Disusun Oleh: Rukini NIM: 111114053
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
Janganlah takut, sebab AKU menyertai engkau. Janganlah bimbang, sebab AKU ini Allahmu; AKU akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau (Yesaya 41: 10).
Pikullah kuk yang kupasang dan belajarlah dari pada-KU, sebab AKU ini lemah lembut dan rendah hati (Matius 11: 29).
Jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-KU bagimu,
sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-KU menjadi sempurna”. Jika aku lemah, maka aku kuat (2 Korintus 12:9-10).
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
1. Allah Tritunggal Mahakudus yang setia membimbing dan menyertai saya.
2. Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) dan
Provinsi SSpS “Maria Bunda Allah”-Jawa.
3. Para suster SSpS yang selalu mendukung dan mendoakan selama perjalanan hidup dan study saya. 4. Bapak, Ibu, dan saudara, sahabat, serta teman-teman yang mendukung studi dan terselesainya skripsi ini. 5. Program studi bimbingan dan konseling, Bapak/Ibu dosen, dan teman-teman angkatan 2011, serta semua yang turut mendukung studi saya.
vi
PERNYATAAN HASIL KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini, tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 12 Januari 2016 Penulis
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Rukini NIM : 111114053
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PROGRAM KONSELING PASTORAL DI RUMAH SAKIT
(Studi Evaluasi Program Konseling Pastoral Di RSK Budi Rahayu Blitar- Jawa Timur, Tahun 2015)
beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 12 Januari 2016 Yang menyatakan
viii ABSTRAK
PROGRAM KONSELING PASTORAL DI RUMAH SAKIT
(Studi Evaluasi Program Konseling Pastoral Di RSKBudi Rahayu Blitar-Jawa Timur, Tahun 2015) Rukini
Universitas Sanata Dharma 2016
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui perencanaan pelayanan
Konseling Pastoral di Rumah Sakit Katolik/RSK Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur; 2) Mengetahui proses pelayanan Konseling Pastoral di RSK Budi Rahayu
Blitar-Jawa Timur; 3) Mengetahui hasil pelayanan Konseling Pastoral di RSK Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur?
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Subyek penelitian adalah RSK Budi Rahayu Blitar, dengan responden penelitian adalah Suster pemilik RSK Budi Rahayu, Romo paroki, dokter, staff Pastoral Care (PC), perawat dan majelis. Sumber data dalam penelitian ini adalah para responden yang terlibat dalam layanan Konseling Pastoral, dokumen, seorang ibu dan seorang bapak pasien rawat inap RSK Budi Rahayu Blitar, dan suami pasien rawat inap di RSK Budi Rahayu Blitar. Metode pengumpulan data adalah wawancara, observasi, dan studi dokumen. Instrumen penelitian adalah pedoman wawancara dan observasi. Analisis data dilakukan melalui analisis trianggulasi sumber dan trianggulasi teknik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa layanan Konseling Pastoral di RSK Budi Rahayu berjalan sesuai dengan program PC. Perencanaan program ditetapkan setiap tiga tahun sekali, melalui prosedur tetap pelayanan hidup rohani bagi pasien. Perencanaan yang dilakukan sesuai dengan Pesan KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia) kepada Karya-Karya Kesehatan Katolik 1978, butir: 52, yaitu memberi perhatian dan pendampingan kepada pribadi pasien secara utuh agar mereka yang sakit dapat merasakan adanya dukungan, perhatian, dan pada akhirnya dapat menemukan makna dalam hidupnya, serta dapat berelasi dengan baik terhadap sang Pencipta. Pelaksanaan layanan konseling di RSK Budi Rahayu, sudah berjalan sesui prosedur yang ditetapkan yaitu kunjungan pasien setiap hari dan penerimaan sakramen bagi pasien rawat inap yang beragama katolik. Hal yang kurang yaitu tenaga konseling pastoral (PC) di RSK Budi Rahayu memiliki latar belakang pendidikan di luar ilmu psikologi maupun teologi, dan tidak tersedia ruang konseling. Hasil dari layanan konseling pastoral adalah pasien dan keluarga pasien merasakan perhatian, dukungan dan penghargaan dari pihak rumah sakit, sehingga memunculkan harapan untuk sembuh. Dampak positipnya adalah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan RSK Budi Rahayu Blitar.
ix Abstract
THE PROGRAM OF THE PASTORAL COUNSELING AT THE HOSPITAL (Study on Evaluation on Pastoral Counseling Ministry
at the Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar-East Java, Year 2015)
Rukini
University of Sanata Dharma 2015
The puspose of this research is to: 1) determine the planning of the pastoral counseling ministry at the Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar, East Java; 2) know the process of the pastoral counseling ministry at the Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar, East Java; 3) apprehend the result of the pastoral counseling ministry at the Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar, East Java.
This type of research was qualitative. The subject was the Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar, with respondents comprising of SSpS Sister as the owner of the hospital, parish priest, physician, staff of Pastoral Care, nurses and assemblies. The source of data was gathered from the respondents, two patients (a man and a woman), a husband of patient's family, and documents. The Methods for collecting data was through interview, observation, and study document. Meanwhile, the instrument was the guidance interview and observation. The data analysis was performed through the analysis of the source triangulation and the triangulation technique.
The result of the research shows that the pastoral counseling ministry at the
Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar East Java is performed in accordance with
x
areas to the health care and services at the Catholic Hospital “Budi Rahayu” Blitar, East Java.
xi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Tritunggal Maha Kudus atas kasih, bimbingan, penyertaan, dan rahmatNya dalam seluruh proses penulisan skripsi ini dari awal perencanaan, selama proses penulisan hingga terselesainya skripsi ini.
Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling, Jurusan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa terselesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Rohandi, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 2. Bapak Dr. Gendon Barus, M.Si., sebagai Ketua Program Studi Bimbingan dan
Konseling Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Juster Donal Sinaga, M.Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma, sekaligus dosen pembimbing skripsi. Terima kasih untuk kesabaran, bimbingan, motivasi, ide dan pencerahannya selama proses penulisan skripsi hingga terselesainya skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma atas bimbingan dan pendampingan selama penulis menempuh studi.
xii
6. Mas Moko sebagai petugas sekretariat yang selalu membantu selama penulis menempuh pendidikan.
7. Sr. Rosa Indrawikan, SSpS dan para Suster komunitas Roh Suci, serta para suster SSpS Provinsi Jawa yang senantiasa mendukung dan mendoakan penulis hingga terselesainya skripsi.
8. Bapak dan Ibu Thomas Soepomo selaku orang tua penulis, serta semua saudara yang selalu mendukung dengan doa.
9. Para suster, dokter, para perawat, dan semua pihak RSK Budi Rahayu Blitar yang membantu selama penelitian hingga terjadinya skripsi ini.
10.Sr. Redemta, SSpS, Pak Edi, dan staff Pastoral Care RSK St. Vincentius A Paulo Surabaya yang turut membantu peneliti dalam meminjamkan beberapa referensi buku tentang Konseling Pastoral bagi peneliti.
11.Sahabat-sahabat dan teman-teman angkatan 2011 atas motivasi yang diberikan kepada penulis dalam proses penulisan skripsi.
12.Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam proses penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penting adanya masukan, saran, dan kritik terhadap karya ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 12 Januari 2016
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN HASIL KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... xi
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR BAGAN ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 10
C. Pembatasan Masalah ... 11
D. Pertanyaan Penelitian ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 12
F. Manfaat Penelitian ... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 14
A. Hakikat Konseling Pastoral ... 14
1. Sejarah Konseling Pastoral ... 14
xiv
3. Ciri Khas Konseling Pastoral ... 17
4. Tujuan Layanan Konseling Pastoral ... 18
5. Ciri-ciri Konselor Efektif ... 19
6. Hal yang Merugikan dan perlu dihindari dalam Konseling Pastoral ... 27
7. Ketepatan Waktu Pelayanan Konseling Pastoral ... 29
8. Aspek-aspek Konseling Pastoral ... 30
9. Teknik-teknik Konseling ... 45
10.Tahap-tahap Layanan Konseling Pastoral ... 51
11.Fungsi Konseling Pastoral... 54
12.Etika Pastoral dengan Kode Etiknya. ... 56
B. Hakikat Pasien/orang-orang Sakit ... 67
1. Definisi Pasien ... 67
2. Peranan Perawat dalam Perawatan Spiritual Pasien ... 72
3. Model Kesehatan Spiritual ... 73
C. Hakikat Evaluasi Program ... 76
1. Definisi Evaluasi Program ... 76
2. Ciri-ciri dan Persyaratan Evaluasi Program ... 76
3. Tujuan Evaluasi Program ... 77
4. Manfaat Evaluasi Program ... 78
5. Langkah-langkah Evaluasi Program ... 78
D. Kajian Penelitian yang Relevan ... 79
E. Profil Rumah Sakit ... 81
F. Kerangka Pikir ... 83
BAB III METODE PENELITIAN... 84
A. Jenis Penelitian ... 84
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 92
1. Tempat Penelitian... 92
xv
C. Responden Penelitian ... 82
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 93
E. Keabsahan Data ... 101
F. Teknik Analisis Data ... 102
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 104
A. Hasil Penelitian ... 104
B. Pembahasan ... 131
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 137
A. Kesimpulan ... 137
B. Saran ... 140
C. Keterbatasan Penelitian ... 142
DAFTAR PUSTAKA ... 143
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kriteria Evaluasi Konseling Pastoral ... 80
Tabel 2. Perencanaan Evaluasi ... 90
Tabel 3. Daftar Jumlah Responden ... 92
Tabel 4. Pedoman Wawancara Responden ... 97
Tabel 5. Pedoman Wawancara kepada Pasien ... 99
Tabel 6. Pedoman Observasi ... 100
Tabel 7. Hasil Evaluasi Konteks ... 105
Tabel 8. Hasil Evaluasi Inputs ... 106
Tabel 9. Hasil Evaluasi Proses ... 108
xvii
DAFTAR BAGAN
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lembar Permohonan Ijin Penelitian... 145
Lembar Telah Melakukan Penelitian ... 146
Rekapitulasi Hasil Wawancara Responden ... 147
Hasil Wawancara Dengan Pasien... 185 Hasil Wawancara Dengan Suami Pasien
Hasil Observasi
1 BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah/fokus penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Rumah sakit pada dewasa ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal itu nampak dari semakin menjamurnya rumah sakit di Indonesia pada dewasa ini. Hal itu tentu menjadi tantangan bagi setiap rumah sakit dalam usaha untuk meningkatkan profesionalisme. Profesionalisme tidak hanya dalam bidang medis, tetapi juga sarana-sarana dan media yang mendukung demi pelayanan yang memuaskan bagi pasien yang dilayani. Misalnya: laboratorium, ruang operasi, farmasi, bangsal, ruang rekam medis, administrasi keuangan, dan juga sarana spiritual yang disediakan melalui layanan konseling melalui unit pastoral care.
Menanggapi kebutuhan tersebut, maka rumah sakit ini mendirikan sebuah unit pelayanan pastoral atau biasa disebut unit Pastoral Care (PC). Unit PC didirikan pada tahun 1994, landasan diadakan pelayanan pastoral di RSK Budi Rahayu adalah untuk melaksanakan tugas sebagai sakramen keselamatan, meneruskan misi Yesus berdasarkan Visi dan Misi Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus, serta penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Kegiatan pastoral berawal dari sebuah kunjungan kepada pasien yang dilakukan oleh para Suster SSpS (kebangsaan Eropa). Kunjungan dan sapaan tersebut diberikan kepada seluruh pasien rawat inap dan keluarganya, tanpa membedakan agama, suku, maupun latar belakangnya. Kepedulian yang tinggi kepada pasien dan anggota keluarganya diberikan setiap hari di sela-sela kekosongan waktu mereka. Kehadiran yang dilandasi nilai kasih Kristus, dengan menyapa semua pasien dan keluarganya membuat pasien dan keluarganya merasa gembira dan dikuatkan. Kunjungan yang kadang hanya menyapa dan memberi senyum tersebut, ternyata menjadi kenangan tersendiri bagi para pasien dimasa itu. Kegiatan tersebut selalu dirindukan pasien dan keluarganya pada zaman ini.
ditangani, bahkan ketika ternyata pembayarannya kurang mereka boleh pulang dengan syarat meninggalkan KTP tanpa jaminan apapun. Demikian dalam pelayanan doa yang diberikan oleh Romo umat yang beragama lain juga minta didoakan.
Dalam kunjungan dan observasi dapat dilihat bahwa kegiatan konseling pastoral di RSK Budi Rahayu sangat dibutuhkan. Hal itu nampak ketika pasien mendapat kunjungan dari unit PC maupun Suster SSpS dengan sendirinya mereka menceritakan perasaan dan pergulatan, baik dengan anak, menantu, dan dengan orang lainnya. Mereka membutuhkan kehadiran seseorang yang bisa mendengarkannya. Ada seorang pasien muslim (32/L) yang dua kali dalam hitungan bulan menjalani rawat inap di RSK Budi Rahayu karena psikosomatis dengan sakit magnya, bahkan ketika sudah diijinkan untuk pulang dia masih takut karena takut kambuh penyakitnya. Setelah memperoleh pendampingan ia menjadi lebih siap dan mampu berpikir positip terhadap sakitnya, serta ada harapan bahwa bisa sembuh dengan niat pola hidup yang sehat. Pasien ini menyatakan bahwa sebelumnya tidak pernah mendapatkan kunjungan dari PC dan baru tahu bahwa ada layanan semacam ini.
mampu menjangkau seluruh pasien dan keluarganya. Pasien yang mayoritas muslim banyak yang belum mengerti tentang unit PC fungsi dan manfaatnya bagi mereka.
Semakin kompleknya masalah dan kebutuhan pasien, membuat pasien dan keluarganya terutama yang beragama katolik merindukan adanya kehadiran Romo atau suster di RSK Budi Rahayu Blitar. Hal itu terjadi karena jumlah suster biarawati yang berkarya di tempat ini berkurang, dan semakin banyaknya tuntutan tugas yang diembannya terkait peraturan-peraturan pemerintah saat ini.
Pada awal berdirinya unit ini ada suster dan tim yang khusus dibidang ini, tetapi karena suster tersebut harus pergi misi ke luar negeri, maka tugas tersebut digantikan oleh awam. Kenyataan bahwa jumlah tenaga yang bergerak dalam bidang pelayanan ini kurang, maka tim medis (dokter dan perawat) juga terlibat melakukan layanan ini. Hal itu dilakukan sebagai bagian yang terintegrasi antara layanan medis dan spiritual, demi kesembuhan pasien secara utuh (holistik). Meski demikian pelayanan tersebut belum dirasakan oleh semua pasien dan anggota keluarganya.
hidupnya, serta dapat berelasi dengan baik terhadap sang Pencipta (Pedoman Etis dan Pastoral Rumah Sakit Katolik 1987 dan Pesan-Pesan MAWI Kepada Karya-Karya Kesehatan Katolik 1978, butir: 52 ).
Pada fajar abad baru, spiritualitas diliput secara luas oleh media dan didiskusikan oleh banyak kalangan, baik pekerja, politisi, dan pendidik (Messikomer De Craemer, 2002). Spiritualitas juga menarik perhatian para professional penyelenggara perawatan kesehatan, karena terbukti bahwa faktor spiritual merupakan unsur penting dari kesehatan dan kesejahteraan (Dossey, 2001). Para penyelenggara kesehatan semakin sadar untuk memusatkan perhatian pada hubungan spiritualitas dan kesehatan. Zaman informasi juga mengakui zaman intuisi, para profesional perawatan kesehatan harus lebih memusatkan perhatian pada pola pikir kreatif, lateral, dan emosional daripada pola pikir logis, linier, dan mekanistik (Reynolds, 2001). Pergeseran pusat perhatian menuntut tersedianya perawatan yang meliputi perspektif yang mencakup seluruh aspek jiwa, tubuh, dan spirit. Burkhardt dan Nagai-Jacobson (Spirituality: Living Our Contentedness 2002:1), mengungkapkan bahwa spiritualitas merupakan pusat perawatan seluruh pribadi manusia.
Pastoral care adalah sebuah kegiatan pendampingan dan bimbingan
informasi, sebuah kehadiran dan motivasi, bagi yang mengalami masalah ataupun tekanan batin.
Menurut Willis (2014:3), pasien adalah manusia dengan segenap aspeknya (fisik, psikis, sosial, dan sebagainya). Dia mempunyai kebutuhan yang amat mendalam yakni ingin sembuh dengan biaya terjangkau. Pelayanan yang baik terhadap kesehatannya menjadi kebutuhan kejiwaan yang mendalam. Yang dibutuhkan mereka bukan semata-mata kebutuhan fisik saja, lebih dari itu keramahan dan kesabaran para dokter dan perawat juga turut membantu kesembuhan pasien, serta sebaliknya.
Relasi dokter dan pasien merupakan hubungan yang membantu (helping
relationship). Artinya sebagai tenaga profesional dibidang kesehatan, dokter
membantu pasien dengan hati nurani yang ikhlas dan rela demi ibadah kepada Tuhan melalui hubungan yang baik dengan sesama manusia. Dokter adalah profesional yang ahli dalam penyembuhan. Dokter yang menghargai, ramah, penuh perhatian dan memotivasi pasien supaya cepat sembuh, maka pasien dapat segera sembuh sebab kejiwaannya menjadi senang, tenang, dan punya harapan yang tinggi untuk hidup (Willis. 2014:3).
mengurangi ataupun mengatasi rasa sakitnya, namun hal itu juga masih membuat seorang pasien belum mengalami sebuah kesembuhan karena masih ada hal-hal lain di luar sakit fisiknya. Model keperawatan terbaru mengakui peran penting suatu pendekatan holistik pada perawatan pasien. Pandangan spiritual tentang hidup, termasuk cinta, kegembiraan, kelemahlembutan, kebaikan hati, kesetiaan, ugahari, harapan, kelembutan, dan kesabaran, tak pernah pudar hanya karena seorang menjadi pasien. Seperti diungkapkan Kleindienst (Young dan Koopsen. 2007: 45), bahwa pasien yang tidak berpengharapan biasanya lebih membutuhkan pendampingan untuk menemukan makna hidup daripada pengobatan.
Sapaan dokter dan para perawat mungkin bisa memberi motivasi bagi pasien, namun hal itu kurang didapatkan mengingat kesibukan para dokter dan perawat, terkait administrasi yang harus diselesaikan dan karena banyaknya pasien. Selain itu Willis (2014:3) mengatakan bahwa, masalah yang dihadapi oleh dokter dan perawat bukan soal profesinya, melainkan cara (teknik) komunikasi yang mempercepat kesembuhan dan perkembangan pasien. Yaitu komunikasi dua arah (dialog) yang membuat pasien menyatakan semua keinginan, keluhan, kecemasan, dan sebagainya. Bila hal itu ditanggapi secara positip maka terjadilah konseling. Hal itu menjadi masalah karena mereka kurang waktu untuk melakukan pelayanan itu.
disalahpahami, kekurangpahaman akan spiritual dan akibatnya bagi kesehatannya, ketidakmampuan mereka untuk berkomunikasi karena penyakit atau mati rasa, atau prasangka buruk mereka pada penyelenggara perawatan.
Adanya situasi seperti itu sangatlah penting bagi sebuah rumah sakit memiliki sebuah unit yang secara khusus memberi pelayanan pendampingan bagi para pasien. Sebuah unit yang menyediakan tenaga konseling, yang mampu hadir, mendengarkan setiap keluhan dan kebutuhan pasien dan keluarganya, serta mampu memberi dukungan dan perhatian. Sebuah integrasi antara obat yang diberikan dan pendampingan secara rohani/spiritual akan turut menyembuhkan secara utuh. Ini yang menjadi harapan dibeberapa rumah sakit yaitu mencapai rumah sakit yang sehat secara holistik. Pelayanan rohani melalui unit pastoral
care diharapkan memberi kesembuhan bagi pasien secara holistik, demikian juga
memberi dukungan bagi keluarganya.
Menurut Wiryasaputra (2006) , pendampingan pastoral care memberi dampak positif bagi yang didampingi (pasien dan keluarga). Pendampingan
Pastoral Care membantu orang yang didampingi mampu menggunakan sumber
melatih diri untuk bertingkah laku yang lebih positip, dapat mengungkapkan diri secara utuh dan penuh, dapat bertahan dengan keadaannya, dapat menghilangkan gejala disfungsional, dan mengalami pertumbuhan iman.
Berdasarkan pengamatan peneliti, belum banyak rumah sakit yang menyediakan layanan konseling ataupun Pastoral Care bagi para pasiennya, maka peneliti tertarik untuk meneliti aktivitas layanan konseling yang terjadi di rumah sakit. Hal itu untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan dan manfaat layanan konseling bagi pasien, rumah sakit, ataupun keluarga pasien.
Pada zaman ini sering didengungkan tentang kesembuhan secara holistik, yaitu sebuah kesembuhan secara menyeluruh dari aspek fisik, mental, maupun spiritual. Aspek spiritual menjadi fondasi utama dalam kesehatan setiap pribadi. Maka peran seorang pastor/rohaniwan/hamba Tuhan yang mampu memberi pelayanan ini sangat dibutuhkan. Kenyataan mengungkapkan bahwa tim medis (dokter dan para perawat) juga turut berperan aktif dalam proses kesembuhan secara menyeluruh.
Bagi rumah sakit yang besar dengan pasien yang sangat banyak, mungkin tim medis tidak bisa secara penuh memberi pelayanan bimbingan dan konseling bagi pasien yang membutuhkan. Kondisi demikian membuat rumah sakit mendirikan sebuah unit yang bisa memberi pelayanan secara kontinyu, yaitu unit
pastoral care yang menjadi kekhasan rumah sakit katolik/Kristen. Kesembuhan
Setelah melihat semua hal di atas, maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul “Program Konseling Pastoral di Rumah Sakit (Studi Evaluasi Program Konseling Pastoral Di RSK Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur, Tahun 2015)”.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, terkait keterlaksaaan dan hambatan layanan konseling pastoral bagi pasien di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur, maka dapat diidentifikasikan berbagai masalah sebagai berikut:
1. Ada indikasi bahwa layanan konseling pastoral melalui unit pastoral care di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar, belum dirasakan secara menyeluruh manfaatnya oleh para pasien ataupun anggota keluarganya. 2. Pasien belum mengetahui adanya layanan konseling pastoral di Rumah
Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar dan kurang memahami fungsi layanan tersebut.
3. Kurangnya tenaga/konselor di unit pastoral care Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar, sehingga pelayanannya kurang optimal.
C. PEMBATASAN MASALAH
Dalam penelitian ini, fokus kajian diarahkan pada evaluasi pelaksanaan pelayanan konseling pastoral di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur, yang meliputi perencanaan, proses dan hasil.
D. PERTANYAAN PENELITIAN
Rumusan masalah dalam penelitian ini disajikan melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana perencanaan pelayanan konseling pastoral di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur?
a. Apa saja program pelayanan konseling pastoral yang direncanakan? b. Siapa saja yang menjadi sasaran utama pelayanan konseling pastoral? c. Siapa saja yang memberi dan terlibat dalam pelayanan konseling
pastoral?
2. Bagaimana proses pelayanan konseling pastoral di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur?
a. Sejauh mana program pelayanan konseling pastoral yang direncanakan terlaksana?
b. Sudahkah sasaran utama pelayanan konseling pastoral tercapai?
c. Bagaimanakah cara konselor ataupun pihak yang terlibat dalam konseling pastoral melakukan pelayanan pastoral?
a. Apa sajakah manfaat dari perencanaan program pelayanan konseling pastoral?
b. Manfaat apa sajakah yang diperoleh oleh sasaran pelayanan konseling pastoral (pasien, keluarga pasien, dokter dan tim medis, dan sebagainya)
E. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perencanaan, proses dan hasil dari pelayanan konseling pastoral di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur. Adapun tujuannya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui perencanaan pelayanan konseling pastoral di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur.
2. Mengetahui proses pelayanan konseling pastoral di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur.
3. Mengetahui hasil pelayanan konseling pastoral di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu Blitar-Jawa Timur.
F. MANFAAT PENELITIAN
Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap bahwa penelitian ini memberi beberapa manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
mengenai cara, teknik konseling yang dapat digunakan oleh Program Studi Bimbingan dan Konseling dalam meningkatkan peran dan manfaat konseling bagi pasien di rumah sakit.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi para pasien agar mereka merasa ditemani dalam masa sakit karena memperoleh bimbingan dan konseling, sehingga memunculkan harapan berkat dukungan pada akhirnya mereka mengalami kesembuhan secara holistik yaitu sembuh secara fisik, psikologis, dan juga batin.
b. Bagi anggota keluarganya, mereka mendapatkan dukungan dan juga informasi-informasi yang dibutuhkan, mampu keluar dari kebingungannya dari segala aspek (ekonomi, social, adat-istiadat/budaya), sehingga dalam mendampingi pasien juga tetap sehat dan mampu melayani dengan penuh kasih dan pengharapan.
c. Manfaat pelayanan konseling bagi rumah sakit, membantu tim medis bila ada pasien yang menurun perkembangan kesehatannya karena mengalami kemunduran kesehatan mental maupun spiritualnya dan membantu proses sembuhnya pasien karena adanya dukungan secara spiritual, sehingga para pasien dapat mengalami kesembuhan secara holistik.
14 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini merupakan bab kajian teori. Dalam bab ini dijelaskan sejarah konseling pastoral, hakikat konseling pastoral, pasien, kajian penelitian yang relevan, profil Rumah Sakit, dan kerangka pikir.
A. Hakikat Konseling Pastoral
1. Sejarah Konseling Pastoral
Konseling pastoral merupakan gagasan yang relatif baru. Konseling pastoral sebagai sub-disiplin ilmu dan praktek pelayanan klinis mula-mula dikembangkan di Amerika Serikat pada awal abad ke 20. Dalam waktu bersamaan di Inggris juga dikembangkan hal yang sama, tetapi di Inggris konseling pastoral lebih dikenal sebagai “teologi klinis”
(clinicsl theology).
Perintis gerakan konseling pastoral antara lain: Anton Th. Boisen, pada tahun 1920-an. Beliau mendapat inspirasi untuk mengembangkan konseling pastoral pada waktu ia dirawat disebuah rumah sakit jiwa, karena sedang mengalami “psychotic break”. Pada masa sekarang Boisen
sering dianggap sebagai “Grand Father” gerakan konseling pastoral.
Tokoh yang lain adalah Russel L. Dicks, dia tertarik untuk mengembangkan konseling pastoral pada waktu ia mengalami operasi besar di sebuah rumah sakit. Dia diperhitungkan pada angkatan pertama yang mengembangkan sejenis konseling yang menunjang pada tugas para psikiater dan direktur rumah sakit jiwa (Wiryasaputra, 1999:8).
Sejak perkembangannya yang pertama, konseling pastoral mempunyai kontribusi yang penting dalam bidang pendidikan klinis (atau profesional) konseling pada umumnya. Sebab, sistem pendidikan professional konseling pastoral adalah sangat ekstensif dan intensif. Di Amerika Serikat membuktikan bahwa pendidikan professional atau klinis konseling pastoral adalah lebih luas dan mendalam dibanding dengan pekerjaan social, konseling klinis, psikologi klinis dalam jenjang pendidikan yang sama. Seorang konselor pastoral biasanya memiliki gelar
Bachelor of Art (B.A.), kemudian dia harus mengikuti pendidikan teologi,
Pada tahap awal perkembangan, konseling pastoral disebut juga sebagai “psikoterapi pastoral”, karena tokoh-tokoh pertama seperti :
Anton Th. Boisen dan Russell L. Dick mengembangkan model pendidikan klinisnya mengacu pada apa yang dikembangkan oleh psikoterapi khususnya model psikoanalisis. Konseling pastoral disebut juga “psikologi pastoral” atau “teologi terapan”. Jadi konseling pastoral
dalam sejarahnya bertumbuh dari suatu integrasi antara ilmu teologi dan ilmu psikologi-psikoterapi (Wiryasaputra. 1999:8-10).
2. Definisi Konseling Pastoral.
Menurut Susabda (Tu‟u, 2007: 24), Konseling Pastoral adalah
hubungan timbal-balik antara hamba Tuhan sebagai konselor dengan konselinya. Konselor membimbing konseli dalam satu suasana percakapan konseling yang ideal, yang memungkinkan konseli betul-betul mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dan mampu mencapai tujuan itu dengan kekuatan dan kemampuan Tuhan.
Widjojo dkk (2005:1) menyatakan bahwa, Konseling Pastoral adalah usaha pelayanan/bimbingan yang dilakukan oleh seorang konselor kepada konseli agar memahami persoalan yang dihadapinya, sehingga dapat melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawab kepada Tuhan sesuai dengan kemampuan yang Tuhan berikan.
Menurut Wijayatsih (2011: 5) , konseling pastoral adalah sebuah layanan percakapan terarah menolong orang yang tengah dalam krisis agar mampu melihat dengan krisis yang dihadapinya. Dan diharapkan pada akhirnya orang tersebut mampu menemukan kemungkinan solusi atas krisis yang dihadapinya.
Jadi konseling pastoral adalah proses pemberian bantuan seorang konselor (Pastor/pendeta/suster/pelayan pastoral) kepada konseli (orang sakit), yang didasari oleh hubungan timbal-balik/dialog dalam suasana komunikasi yang ideal atau nyaman dan aman, sehingga konseli merasa diterima dan mau terbuka. Dengan layanan ini, mereka juga terbantu untuk memahami dan menerima situasi dirinya, serta dapat menemukan tujuan hidupnya dengan tetap mengandalkan Tuhan sebagai penolongnya yang sejati.
3. Ciri Khas Konseling Pastoral
pada konselor yang melayaninya. Adapun keunikan proses konseling pastoral meliputi:
a. Merupakan pelayanan yang Tuhan percayakan b. Bersandar pada kebenaran Alkitab dan ajaran gereja c. Bergantung pada kuasa Roh Kudus
d. Mempunyai tujuan untuk mengenalkan Yesus sebagai Juru Selamat Pribadi dan penebus dosa
e. Pelayanan yang mendasarkan pada ilmu Teologi dengan integrasi ilmu psikologi
f. Membantu menolong pertumbuhan rohani konselinya 4. Tujuan Layanan Konseling Pastoral
Menurut Tu‟u (2007:29-40), banyak hal yang dapat dicapai jika
konseling pastoral diprogram secara baik dan terencana, terlebih jika melibatkan jemaat yang memang potensial. Berikut ini adalah beberapa tujuan kegiatan konseling pastoral:
a. Mencari jemaat yang bergumul, gereja wajib mengunjunginya. b. Menolong yang membutuhkan uluran tangan.
i. Terlibat persekutuan jemaat
j. Mampu menghadapi persoalan selanjutnya
Penulis yang lain mengatakan bahwa, tujuan pelayanan konseling pastoral adalah memberikan bimbingan agar konseli mampu menemukan persoalan yang sesungguhnya yang menjadi akar untuk penyebab hambatan yang selama ini terjadi (Widjojo dkk, 2005:6).
Jadi tujuan layanan konseling pastoral adalah membantu konseli untuk menemukan akar permasalahannya, sehingga mereka dapat memperoleh pemecahan masalah/solusi terhadap apa yang menjadi pergumulannya. Pada akhirnya mereka mengalami kesembuhan, perubahan sikap dan perilaku, pertumbuhan iman dan kedewasaan pribadi, sehingga siap terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan selanjutnya.
5. Ciri-Ciri Konselor yang Efektif
Garry R. Collins (Tu‟u, 2007:41) mengatakan bahwa, konselor yang efektif harus mampu mengasihi Tuhan dan sesama. Kalau ada kasih yang sungguh pada Tuhan, pasti akan terjadi konseling yang efektif. Adapun ciri-ciri konselor efektif sebagai berikut:
a. Ciri-ciri konselor secara umum meliputi: 1) Memiliki pengetahuan konseling
serta mau belajar secara mandiri dari berbagai sumber, agar dapat memberi pelayanan yang sebenarnya.
2) Pengetahuannya aplikatif
Konselor mampu menerapkan ilmu pengetahuannya dalam praktik pelayanan sehari-hari.
3) Memiliki kepekaan
Konselor mampu menangkap pesan konseli baik secara verbal maupun nonverbal, mampu merasakan apa yang dialami oleh konseli. Sehingga ia mampu memberi respon secara tepat kepada kebutuhan konseli.
4) Memiliki keyakinan
Konselor memiliki kepercayaan/iman bahwa Tuhan berkuasa untuk membantu menyelesaikan masalah konseli, meskipun berat ia tidak putus asa.
5) Memiliki kematangan
Konselor sudah mencapai taraf perkembangan yang terbaik. Ia memiliki kemampuan berpikir, kestabilan emosi, jiwa dan kepribadian yang matang. Sehingga ia tetap tabah bila menghadapi masalah yang rumit, tetap kokoh dan tidak mudah terpengaruh dalam pelayanannya.
6) Menghargai konseli sebagai makluk unik
7) Memiliki rasa tanggung jawab menolong
Konselor tanggap terhadap kebutuhan konseli, sehingga bila melihat atapun mendengar bahwa konseli butuh pertolongan, maka ia tanggap dan melakukan langkah-langkah tertentu untuk menolong klien.
8) Tidak mengambil alih masalah konseli
Konselor membimbing konseli untuk berpikir dan menemukan jalan pemecahan masalahnya secara pribadi.
b. Ciri-ciri konselor Kristen antara lain:
1) Percaya pada Kristus, sang Konselor Agung 2) Menerima Kristus secara pribadi.
3) Kristus berkuasa dalam hidupnya
4) Menerima autoritas Alkitab sebagai pedoman hidup 5) Melibatkan karya Roh Kudus
6) Menghayati tugas sebagai panggilan
c. Sikap Konselor Pastoral
Selain memiliki ciri-ciri yang disebutkan di atas, seorang konselor pastoral juga sangat penting mengembangkan sikap-sikap yang menjadikanya sebagai konselor yang efektif. Sikap-sikap itu antara lain:
1) Kasih dan Penghargaan
Seorang konselor diharapkan memiliki sikap mengasihi yang sejati sebagaimana ia juga telah mengalami bahwa Yesus lebih dahulu mengasihinya (1 Yoh. 4:19), maka ia juga diundang untuk membagikan kasih itu. Hal itu terwujud dalam sikap mengasihi dan menghargai, serta melayani konseli secara baik.
2) Bersikap lemah lembut
Seorang konselor perlu menciptakan suasana yang nyaman,bersahabat, hangat, dan terbuka. Kelemah lembutan sangat penting agar konseli merasa diterima dan dihargai, sehingga membuatnya berani untuk terbuka (Gal. 6:1).
3) Bersikap rendah hati
4) Bersikap sabar dan tabah
Bersikap sabar dan tabah dalam membimbing klien, memampukan konselor untuk tetap bertahan dalam kesulitan. Konselor perlu menyadari bahwa ia tidak mampu mengandalkan dirinya, maka penting baginya datang kepada Sang Konselor Sejati yaitu Yesus Kristus. “kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami” (2 Kor. 4:7)
5) Bersahabat dan hangat
Konselor perlu menciptakan suasana penuh persahabatan dan kehangatan,agar konseli tidak merasa asing dan pada akhirnya mampu terbuka karena ia merasa nyaman dan aman.
6) Suka menolong
Sikap peka dan tanggap terhadap keadaan konseli. Hatinya tergerak untuk berbuat sesuatu. Hal itu juga disadarinya bahwa ia terlebih dahulu menerima pertolongan secara cuma-cuma dari Yesus (Mat.10:8)
7) Bersikap rela dan tulus
Konselor dengan sukacita dan tanpa terpaksa membimbing mereka yang membutuhkan.
8) Bersikap terbuka
terbuka dalam mengikuti perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
9) Pengorbanan
Terinspirasi dari semangat pengorbanan Sang Konselor Sejati, maka seorang konselor pastoral harus berani meluangkan waktu,tenaga, perasaan dan pikirannya. Hal itu terkait konseli yang sulit.
10)Perhatian
Konselor perlu peka terhadap kebutuhan klien, sebuah perhatian (sapaan, senyum, dukungan) tentunya akan memberikan perubahan ke arah positip bagi mereka yang membutuhkan bimbingan.
d. Kualitas Pribadi Konselor
Konselor efektif adalah konselor yang bekerja dalam pelayanan konseling pastoral yang dapat mencapai dan memberi hasil yang baik. Selain memiliki ciri-ciri dan sikap-sikap yang disebutkan di atas, maka konselor juga sangat penting memiliki kualitas pribadi dan keterampilan tertentu, antara lain :
1) Memandang manusia sebagai makluk unik
2) Memandang manusia sebagai pribadi yang dapat bermitra Konselor
Konselor memiliki iman dan percaya bahwa konseli mampu untuk berubah. Konselor sadar bahwa konseli mampu bermitra dengannya. Sikap optimis yang dimiliki inilah yang mendorongnya untuk mencari jalan agar konseli mampu berjumpa dengan Kristus. 3) Memandang manusia sebagai pribadi yang dapat berubah
Konselor efektif adalah konselor yang mampu memandang bahwa konseli adalah pribadi yang dapat bermitra dengannya untuk mencapai pembaharuan diri. Konselor tetap melibatkan karya Tuhan, Sang Konselor Agung.
4) Kristus ada dalam hidupnya
Konselor yang efektif adalah ia yang mampu terbuka hati dan sadar bahwa bukan lagi dirinya yang hidup, melainkan Kristus yang hidup dalam dirinya. Hidupnya bukan lagi atas keinginan diri semata, melainkan hidupnya dikendalikan oleh Kristus.
5) Terampil menerapkan ilmu konseling
Konselor efektif senantiasa belajar secara terus-menerus, selalu menambah wawasan, mencari jalan untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan, dan terbuka untuk bertanya pada yang lebih berpengalaman.
Konselor efektif adalah pribadi yang mampu mengarahkan, membimbing, menuntun, dan membawa arah percakapan dalam konseling. Konselor efektif sangat penting menguasai keterampilan memberi respons.
7) Terampil mengembangkan relasi antar pribadi
Konselor efektif adalah pribadi yang memiliki kecerdasan relasi antar pribadi, ia terampil dalam mengelola hubungan. Yaitu hubungan yang hangat, bersahabat, dipercaya, terbuka, dan penuh perhatian terhadap konseli.
8) Pribadi berkualitas
Konselor yang memiliki kepribadian berkualitas adalah mereka yang memiliki kesadaran akan diri dan nilai-nilai, percaya/optimis, bersikap hangat dan penuh perhatian, memiliki sikap menerima, empati, memiliki pengetahuan, sabar, tekun, gembira, serta mampu berjejaring pada yang lebih ahli.
9) Menghindari hal-hal yang dapat membawa kerugian Konselor efektif selalu waspada dan berhati-hati. 10)Mengembangkan sikap positif.
6. Hal yang Merugikan dan Perlu Dihindari dalam Konseling Pastoral Menurut Tu‟u (2007:58-63), ada beberapa hal yang perlu dihindari
oleh seorang konselor dalam proses hubungan/proses konseling antara lain:
a. Menerima info sepihak
Dalam hal ini konselor tidak boleh hanya menerima informasi sepihak ataupun memihak salah satu. Konselor perlu mengadakan percakapan yang adil, supaya dia mampu membantu menyelesaikan masalah konseli secara tuntas. Hal itu bisa dilakukan dengan cara menjumpai konseli yang pertama, selanjutnya konseli yang kedua. Hal itu menjadi lebih baik, jika konselor mampu mempertemukan keduanya agar masalahnya selesai dengan tuntas.
b. Kesimpulan tergesa-gesa
Kesimpulan sementara yang dilakukan oleh konselor sangatlah baik, tetapi kesimpulan yang tergesa-gesa menghasilkan solusi yang semu. Maka mendengarkan secara cermat dan teliti sangatlah penting. Konselor perlu menggali permasalahan, sehingga dapat menemukan masalah secara jelas. Setelah masalahnya jelas barulah percakapan diarahkan untuk mencari solusi.
c. Terburu-buru
sehingga membuat konseli gelisah. Konselor perlu mengatur waktu sedemikian agar proses konseling berjalan efektif.
d. Campur tangan terlalu jauh
Konselor perlu menghindari sikap keterlibatan dalam banyak hal. Yang dibutuhkan adalah mampu memperhatikan hal yang menjadi inti persoalan konseli, sehingga ia tidak akan kehilangan objektifitas dirinya.
e. Tidak dapat menyimpan rahasia
Konselor harus mampu menyimpan rahasia konselinya. Karena sekali konselor tidak dapat dipercaya, maka kredibitasnya akan merosot dengan sendirinya.
f. Layanan tidak seimbang
Konselor yang perhatiannya hanya berfokus pada konselinya akan mengganggu keseimbangan hidupnya, baik keluarga maupun hidup rohaninya. Maka sangat penting bagi konselor untuk menjaga keseimbangan antara hidup rohani/spiritual dan keluarganya.
g. Mudah menghakimi
h. Memaksa konseli
Konselor tidak berhak memaksakan keinginannya pada konseli. Konselor berkewajiban membimbing konseli agar ia semakin mampu melihat masalahnya dengan jernih, dan pada akhirnya mampu menemukan solusi yang terbaik.
i. Meminta konseli melakukan banyak hal
Konselor perlu memahami bahwa tidak mungkin konseli secara langsung dapat melakukan banyak hal setelah memperoleh bimbingan, maka beberapa hal sebagai aksi sudah cukup.
j. Menangani seluruh masalah klien
Konselor perlu sadar akan kemampuan dan keterbatasan dirinya, menjadi keliru apabila ia menanggani semua masalah konselinya. Maka ia perlu bekerja sama dengan pihak lain, misalnya: psikolog, psikiater (dokter jiwa), dokter, ahli hukum, dan lain-lain.
7. Ketepatan Waktu Pelayanan Konseling Pastoral
Ketepatan waktu pelayanan secara konsep merupakan konsistensi waktu pelaksanaan konseling pastoral dengan schedule/jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya atau dalam periode waktu tertentu. Hal ini didukung dengan tersedianya prosedur tetap/SOP pelayanan konseling pastoral dan dukungan sistem administrasi yang baik agar dapat efektif dan efisien.
untuk menumbuhkan kepercayaan klien sehingga klien akan dapat bercertia dengan leluasa tentang keadaan yang dialaminya tanpa ditutuptutupi. Jika rapport dapat terbangun dengan baik maka klien akan menghiraukan mekanisme pertahanan dirinya sehingga tidak ada lagi rasa malu atau ragu-ragu untuk mentrasfer segala keluhan kepada terapis.
Proses konseling umumnya bertahap atau di bagi dalam beberapa fase proses. Untuk satu proses konseling secara keseluruhan bisa diselesaikan dalam 2 sampai 5 kali pertemuan. Untuk itu penjadwalan konseling sangat diperlukan sehingga kedua belah pihak baik konselor atau klien sama-sama mengetahui. Jika terjadi miskomunikasi umumnya akan rentan menimbulkan kekecewaan terlebih di sisi klien yang dalam keadaan neorosis atau psikosis dan ini akan menghambat keefektifan proses konseling terapeutik.
8. Aspek-aspek Konseling Pastoral
Menurut Susabda (1983:4-38), setiap konselor dalam memberi layanan konseling pastoral hendaknya mengenal empat aspek penting di bawah ini:
a. Hubungan timbal-balik (interpersonal relation-ship) antara konselor dengan konselinya.
firman Tuhan, nasihat, teguran, dan ajaran pada konselenya; karena sekarang ia berhadapan muka dengan konselinya sebagai dua pribadi yang utuh, yang masing-masing punya hak dan kebebasan untuk mengekspresikan dirinya.
Mengapa hubungan timbal balik ini harus merupakan suatu dialog? Karena konselor dalam hal ini Pastor/pendeta, role/perannya tidak lagi sebagai pengkotbah yang secara praktis memediator umatnya. Maka sangatlah penting bagi seorang konselor untuk: 1) belajar dari Yesus yaitu terpanggil untuk mengorbankan dan merendahkan dirinya sendiri menjadi sama (equal) dengan konselinya (Filipi 2:5-8) konselor harus membawa suasana percakapan yang ideal (conducive atmosphere), yaitu jika konsele betul-betul merasa diperlakukan sebagai satu subyek, pribadi yang utuh persoalannya, perasaannya, cara berpikirnya, bahkan segala sesuatu yang ada padanya mempunyai nilai untuk dihargai.
Jadi dalam hubungan timbal balik antara konselor dan konseli dibutuhkan suasana yang dialogis. Keterampilan komunikasi interpersonal dan rasa empati, serta kerendahan hati seorang pelayan pastoral sangatlah penting agar konseli (pasien) merasa diterima dan dihargai sebagai pribadi/subyek yang memiliki hak dan kebebasan, serta kemampuan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan konselor dalam hubungan timbal-balik:
1) Sikap merugikan dari pihak konseli.
ditimbulkan oleh konselinya. Hal itu meliputi dua hal, yaitu: a) dalam hubungan dengan “simbol Allah” (symbol of God) yang melekat pada
hamba Tuhan, adalah adanya sikap konseli yang menganggap hamba Tuhan sebagai symbol Tuhan dan kecenderungan mereka untuk menghidupkan sikap penyerahan diri secara total (total depenency) pada konselornya (hamba Tuhan). Akibat dari kurang dapatnya mereka dalam mengembangkan konsepsi tentang Allah yang abstrak. Jika konseli selalu melihat bahwa konselor sebagai pembawa symbol Tuhan, maka proses konseling menuju kearah yang tidak sehat. b) adanya gejala “transference” pemindahan perasaan, adalah pemindahan perasaan perasaan dari yang seharusnya ditujukan kepada objek lain pada masa lampau kepada objek yang baru pada masa kini. Hal ini bisa terjadi karena adanya banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi dan harus ditekan untuk dilupakan. Dari gejala ketidaksadaran (unconsciousness), mereka akan selalu mencari kesempatan untuk dipenuhi. Hal itu pasti bisa terjadi dan konselor perlu untuk selalu menyadarinya, agar proses konseling dapat berjalan dengan baik.
2) Dorongan yang merugikan dari dalam konselor.
counter-transference. Counter-transference adalah sikap menyambut dan
menanggapi gejala transference dari konseli yang ditujukan padanya. Pattison (Susabda, 1983:8) mengatakan:
“counter transference distortions occur when a pastor attempts to solve his own problems through the prolems of the parishioner, or vicariously enjoys behavior in his perishioners which he feels he must deny in himself”.
Kegagalan proses konseling dialami oleh banyak hamba Tuhan oleh karena ia tidak menyadari akan gejala counter-transference dari dirinya sendiri. Sebagai konselor seharusnya hamba Tuhan bersikap betul-betul netral, mampu mengontrol emosinya dan tidak membiarkan sikapnya dipengaruhi oleh sikap dari konselinya. Konselor hendaknya selalu waspada terhadap kebutuhannya sendiri untuk melakukan
counter-transference. Akibatnya bisa menimbulkan sikap tidak sehat
seperti dibawah ini:
(a) Carelessness in appointment schedules (tidak menepati janji dan
semaunya sendiri dalam memakai waktu yang tersedia).
(b) Repeated erotic or hostile feelings (munculnya perasaan berahi
atau sebaliknya, yaitu benci kepada konselinya).
(c) Boredom or inattention during counseling (munculnya perasaan
bosan selama proses konseling).
(d) Permitting or encouraging misbehavior (membiarkan sikap dan
tingkah laku yang tidak seharusnya terjadi).
(e) Trying to impress the parishioner (selalu ada keinginan untuk
(f) Arguing (berdebat).
(g) Taking sides in a personal conflict (memihak dalam konflik yang
dihadapi konseli).
(h) Premature reassurance to lessen anxiety (memberikan janji-janji
dan jaminan-jaminan pada konseli yang terlalu dini untuk mensukseskan kelanjutan pembimbingan).
(i) Dreaming about parishioner (terbayang-bayang wajah konseli).
(j) Feeling that the parishioner’s welfare or solution to a problem lies
solely with you (merasa bahwa hidup dan penyelesaian persoalan
seluruhnya tergantung pada kita).
(k) Behavior to ward one parishioner in a group differently from other group members (sikap membedakan dari anggota yang satu dengan
yang lain dalam gereja yang kita gembalakan).
(l) Making unusual appointments or behaving in a manner ususual for you (membuat janji-janji pertemuan yang tidak biasa dengan
konseli dan bersikap tidak wajar).
Kebutuhan untuk melakukan counter-transference adalah kebutuhan yang sangat berbahaya, karena akan mengagalkan pelayanan konselingnya.
b. Hamba Tuhan sebagai Konselor.
Wayne Oates (Susabda, 1983:11) mengatakan bahwa:
disciplined and skilled way and counseling in an undisciplined and unskilled way”.
Pelayanan konseling adalah bagian integral dari pelayanan hamba Tuhan. Tugas pelayanan ini menjadi identitas seorang hamba Tuhan, sehingga ketika ia menolak tugas pelayanan ini ia telah kehilangan identitasnya. Hal itu bukan berarti bahwa dalam pelayanannya secara otomatis dilakukan berdasarkan bakat-bakat alaminya ataupun pendidikannya dibidang teologi.
Sebagaimana diungkapkan Oates di atas bahwa banyak hamba Tuhan yang melaksanakan tugasnya asal saja dan dengan cara
undisciplined dan unskilled, tetapi sebagai tanggung jawab kepada Tuhan
yang telah memanggil dalam pelayanan ini, seorang konselor pastoral seharusnya mengembangkan disciplin dan skill. Selain itu mereka perlu waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan yang merugikan dalam tugas pelayanannya.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut, antara lain:
1) Kecenderungan ke arah profesionalisme.
Allah) lebih pada hubungan fungsional, bukan hubungan profesional. Alasan utama seorang hamba Tuhan perlu mengembangkan skill dan disiplin dalam konseling bukanlah untuk menjadikan dia
professional counselor, tetapi professional pastor yang terampil dalam
pelayanan konselingnya. Hal itu ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut (Susabda, 1983:12): (1) adanya pengetahuan yang cukup
tentang teori-teori personality dan psikologi pada umumnya; (2) adanya kemampuan untuk menghubungkan teori dan praktik,
khususnya teori-teori tentang metode-metode observasi dan diagnosa; (3) adanya training yang cukup di bawah bimbingan dan supervisi seorang profesional; (4) adanya kemampuan untuk memelihara identitasnya sebagai hamba Tuhan dalam peranannya sebagai konselor dalam interpersonal relationship-nya dengan konseli; (5) adanya kemampuan untuk mengolah dan memakai sumber-sumber yang tersedia untuk mensukseskan pelayanan konselingnya; (6) adanya pengertian yang benar tentang skop pertanggungjawabannya sebagai konselor; (7) adanya disiplin dalam menggunakan perlengkapan-perlengkapan konseling dalam batasan profesinya sebagai hamba Tuhan, yang meliputi: penyusunan dan penyimpanan data dalam sistem file yang rapi dan aman, sistem kerja yang jelas (short-term dan
long-term konseling, konseling formal maupun informal), tersedia
pemberian resep obat-obatan dan hal-hal yang menjadi wewenang profesional- profesional lain.
Seorang hamba Tuhan meskipun bukan konselor profesional, sangat penting mengembangkan kemampuannya secara terus menerus demi pelayanan yang bertanggung jawab. Ia harus menguasai teori kepribadian dan psikologi pada umumnya, disiplin, memiliki relasi yang luas terkait adanya referal, serta tahu batasan-batasan dalam melakukan pendapingan maupun konseling.
2) Kecenderungan untuk melakukan pelayanan konseling tanpa tanggung jawab
Adanya kemungkinan seorang konselor bersikap munafik (tidak jujur terhadap dirinya) dan ketidak sediaannya memikul tanggung jawab. Keputusan untuk menjadi hamba Tuhan adalah keputusan untuk mengikuti teladan hamba Tuhan yang agung, yaitu Yesus Kristus. Dia disebut hamba Tuhan bukan saja karena kotbahnya saja, tetapi lebih karena penyerahan diri dalam kepatuhan yang total pada Allah BapaNya dalam pelayananNya. Yaitu kerelaan untuk mengorbankan diri demi keselamatan manusia (Rm. 5:7-8).
Adanya tuntutan yang sedemikian, sehingga membuat banyak hamba Tuhan berusaha menghindar dari tanggung jawab ini. Yaitu adanya sikap tidak jujur terhadap diri sendiri. Alasan yang membuat mereka berbuat demikian adalah:
(1) Adanya ketidaksediaan hamba Tuhan untuk memikul beban pelayanan yang melebihi dari apa yang ia sukai. Banyaknya role/peran yang dijalaninya membuat seorang hamba memiliki sikap-sikap: menikmati rutinitas, merasa sudah berfungsi, dan menikmati ketergantungan.
(2) Adanya ketakutan pada keakraban. Sebagai hamba Tuhan/gembala, ia perlu mengenal dan dikenal oleh domba-dombanya. Dalam relasi dengan umat/konseli, ia juga menjadi model dan contoh yang nyata bagaimana menjadi seorang yang percaya, bergumul dan mengalami jalan keluar dalam persoalan-persoalan hidupnya. Pengalaman iman secara pribadi merupakan unsur terpenting dalam keberhasilan konseling pastoral. Untuk itu keakraban dalam relasi antara konselor dan konseli tidak boleh diabaikan.
Kebutuhan untuk membina keakraban (will to relate) adalah kebutuhan yang sangat fundamental dari setiap orang. Seperti diungkapkan oleh Karl Meninger (Susabda, 1983:16):
Bahkan C. Wyne seorang psychoanalyst (Susabda, 1983:16), juga menekankan bahwa:
“movement into relationship with other human beings is a fundamental principle or „need‟ of human existence…..man is inherently object-related”.
Kebutuhan untuk membina keakraban dengan sesama merupakan hukum dan perintah utama dari Tuhan sendiri (Mat.22:39). Hal itu merupakan ciri utama yang menandai suatu kehidupan sebagai seorang yang sudah diselamatkan. Tetapi sangat disayangkan bahwa ada banyak orang kristen bahkan hamba Tuhan yang mencoba menghindar dari interpersonal relationship demi terjadinya keakraban diantara sesama. Gejala tersebut biasanya muncul akibat dari kegagalan perkembangan diri dimasa lampaunya, mereka tidak menemukan identitas pribadi dirinya. Tidak terpenuhinya kebutuhan dimasa remajanya mengakibatkan kurang berani menghadapi keakraban karena mereka belum mengenal dirinya sendiri. Ketakutan keakraban juga mengakibatkan perasaan keterasingan.
Gejala-gejala dari ketakutan keakraban dan keterasingan antara lain: ketidakmatangan emosi, miskin dalam kasih, takut dirugikan atau dikecewakan, perasaan rendah diri, perasaan bersalah yang berlebih-lebihan (guilt feeling), keramah tamahan dan basa basi, dan ringan tangan ringan kaki.
sikap menolak tanggung jawab. Hamba Tuhan biasanya menyadari bahwa konseling adalah pelayanan yang harus dilakukan. Sehingga mereka yang tidak mau melakukan tugas ini biasanya memberi alasan-alasan sebagai berikut ”saya tidak suka psikologi”, “konseling tidak
perlu dipelajari, pokoknya kan bisa kotbah, pelayanan lain tidak baik juga tidak apa-apa”.
Jika mereka terpaksa melakukan pelayanan konseling, maka yang terjadi adalah mereka melakukannya secara informality (informalitas). Yaitu model pelayanan yang tanpa rencana, tanpa jam kantor, tanpa formalitas, dan tanpa prosedur organisasi. Hal itu sebagai bentuk sikap penyamaran akan hidup santai dan semaunya sendiri dalam pelayanan. Gejala yang nampak dari pelayanan ini adalah mau cepat selesai, diagnosa dan analisa yang berdasarkan intuisi semata-mata, menjadi ilah/simbol Allah bagi konselinya.
Availability (membuat dirinya selalu mau dipakai). Sikap ini
c. Suasana percakapan konseling yang ideal (conducive atmosphere). Suasana percakapan yang ideal yang dimaksudkan bukanlah sekedar suasana yang menimbulkan perasaan senang, nyaman, dan enak, tetapi lebih dari itu. Karena suasana yang demikian memang yang seharusnya diciptakan oleh seorang konselor dalam pelayanan konselingnya. Unsur-unsur penting yang membantu terciptanya suasana percakapan konseling yang ideal mencakup dua hal yaitu: sikap penuh pengertian (understanding) dan memberi tanggapan yang membangun (responding).
Sikap penuh pengertian (understanding) adalah sikap positip dan terencana dari konselor yang diekspresikan melalui pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada konseli untuk mengekspresikan dirinya secara tepat. Dalam proses understanding, seorang konselor/hamba Tuhan harus “empties himself”, yaitu sebuah sikap menahan diri, mengontrol diri, mengosongkan diri, dan menunggu saat yang tepat untuk mengekspresikan kebenaran-kebenaran yang harus diketahui oleh konselinya. Sikap positip yang terencana akan memberikan kesan yang positip dalam diri konseli. Suasana yang menyenangkan, rasa bebas dari ketakutan (ketakutan untuk dipersalahkan) dan rasa diterima sebagai satu individu yang berharga, akan mendorong konseli untuk mengekspresikan dirinya “internal frame of reference” (konsep-konsep pemikiran dan dunianya
Understanding yang sejati terjadi jika konselor memiliki sikap
positip yang mencakup antara lain: empathy (empatic understanding),
acceptance, dan listening (effective listening). Empathy (empatic
understanding) adalah sikap positip konselor terhadap konseli, yang
diekspresikan melalui kesediaannya untuk menempatkan diri pada tempat konseli, merasakan apa yang dirasakan konseli, dan mengerti dengan pengertian konseli. Hal ini tidak secara otomatis dimiliki oleh konselor sekalipun ia pernah mendapat pelatihan, maka unsur yang utama yang harus dimilikinya adalah kasih agape, yaitu sikap hati
compassion (yang penuh belas kasihan) yang diekspresikan dalam
kerinduan untuk betul-betul mau menyelami dan mengerti konselinya.
Acceptance adalah kesediaan konselor untuk menerima keberadaan
konseli sebagaimana adanya.Yaitu sikap tanpa mengadili, tidak melihat konseli berdasarkan pada kesalahan-kesalahan, kelemahan, dan kegagalan, melainkan mampu memandang kehidupan konseli secara utuh sebagai pribadi yang unik, yang persoalannya pantas digumuli, dan kata-katanya pantas dipertimbangkan.
Acceptance dikembangkan oleh konselor karena ia sadar bahwa
mechanism repression; memiliki subjektivitas; butuh orang yang
mengerti dan bisa dipercaya. Acceptance yang sejati akan memberi peluang bagi konseli untuk melakukan tindakan dan langkah-langkah konkrit tanpa menunggu sampai inti persoalannya ditemukan.
Listening (effective listening) adalah unsur yang utama dari
understanding. Yaitu kesediaan untuk mendengarkan secara professional. Eugene Kennedy (Susabda, 1983:30), mengatakan bahwa
the best rapport (hubungan baik yang diharapkan muncul melalui
acceptance).
“….arises, not out of some direct effort to get along well with the client but out or a simple and sincere effort to listen and hear accurately what he or she has to say. Rapport automatically exist when we are concerned enough about others not to worry about whether they like us or not….”.
Konselor perlu memiliki sensivitas yang tinggi secara disiplin, agar ia mampu menangkap apa yang dikatakan oleh konseli maupun
perasaan dibalik kata-kata, ekspresi wajah, dan tingkah lakunya.
Responding (Effective Responding)/memberi tanggapan secara
d. Melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan padanya.
Pelayanan konseling hamba Tuhan tidak berhenti pada pemecahan masalah konseli, tetapi lebih dari itu seorang konselor perlu membantu konseli untuk mengalami kepenuhan dalam hidupnya ”wholeness”
sebagai citra Allah.