• Tidak ada hasil yang ditemukan

GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-MÂWARDÎ

1) Aspek Dedikasi

Dalam perspektif al-Mâwardî, profesi guru adalah sebuah bentuk pengabdian atau ibadah. Ia menegaskan bahwa seorang guru tidak boleh bertujuan untuk mencari upah (imbalan, gaji, hadiah dan sebagainya), tetapi tujuan dan niat guru mengajar hanya mencari ridha Allah (li wajh Allâh) dan mengharapkan pahala.104 Atas dasar ini, sebagai bentuk implementasi keikhlasannya, seorang guru (terutama mereka yang memiliki hubungan dengan penguasa) tidak boleh mendemontrasikan ilmunya untuk kepentingan lain seperti untuk meningkatkan popularitas, mendapatkan jabatan dan fasilitas kemudahan hidup lainnya dari pihak-pihak yang memiliki wewenang dan kekuasaaan.105

Idealnya guru tidak memiliki motif ekonomi, tidak mengejar kekayaan dan lebih memilih hidup sederhana. Menurut al-Mâwardî, guru harus membersihkan dirinya dari pekerjaan atau penghasilan yang tidak jelas (samar dan meragukan). Seharusnya guru sudah merasa cukup dengan pekerjaan yang ringan (tidak bekerja keras mengejar harta). Pekerjaan dengan penghasilan yang tidak jelas merupakan dosa dan bekerja keras mengejar

104 Al-Mâwardî, Adab, h. 89-90. 105 Al-Mâwardî, Adab, h. 88.

rezeki (untuk mendapat banyak harta) merupakan perbuatan rendah yang tidak pantas bagi guru. Sebab, pahala itu lebih pantas bagi guru daripada dosa dan kemuliaan lebih pantas baginya daripada kehinaan.106

Di sini al-Mâwardî menegaskan bahwa sebagai orang yang mengutamakan ilmu di atas harta, guru tidak layak memfokuskan perhatiannya terlalu besar untuk mencari keuntungan ekonomi apalagi jika pekerjaan dan penghasilan itu diragukan kehalalannya. Idealnya, guru sudah cukup dengan kehidupan yang sederhana.

Dalam perspektif al-Mâwardî, kekayaan paling berharga bagi seorang guru adalah ilmu yang melimpah. Ilmu merupakan pengganti setiap kelezatan dan mampu memenuhi setiap keinginan seseorang. Karena itu, menurut al-Mâwardî, siapa saja yang benar niatnya tidak akan memiliki keinginan untuk mengganti apa yang telah ia dapat dari ilmu yang dimilikinya.107 Atas dasar ini dapat dimaklumi mengapa al-Mâwardî menganggap rendah para guru yang terlalu keras memburu harta. Karena dalam perspektifnya, guru yang terlalu berorientasi ekonomi adalah guru yang tidak mampu menyelami dan merasakan nikmat ilmu. Jika seorang guru betul-betul memahami hakikat ilmu, ia tidak akan memiliki keinginan yang lain selain ilmu dan menganggap ilmu merupakan harta yang paling berharga dalam hidupnya.

Al-Mâwardî menegaskan bahwa tujuan guru dalam mengajar dan membimbing manusia adalah untuk mencari ridha dan pahala Allah tanpa meminta ganti (‘iwadh) ataupun materi (rizq). Nabi menyatakan bahwa upah seorang guru (al-mu’allim) adalah seperti upah

106 Al-Mâwardî, Adab, h. 89. 107 Al-Mâwardî, Adab, h. 89.

(pahala) orang yang berpuasa.108 Ini menurut al-Mâwardî sudah cukup sebagai upah guru.109 Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam perspektif al-Mâwardî mengajar adalah salah satu bentuk ibadah ilmu. Profesi guru merupakan profesi yang dijalankan untuk kepentingan agama bukan untuk kepentingan ekonomi. Ini berarti pula bahwa profesi guru adalah sebuah bentuk dedikasi kepada Allah dan hanya kepada Allah pula balasan mengajar itu diharapkan. Artinya, upah sejati yang paling pantas untuk diharap oleh seorang guru adalah upah yang langsung diberikan oleh Allah kepadanya bukan upah yang diharap apalagi diminta dari manusia.

Perdebatan yang sering muncul pada problem upah atau gaji guru adalah persoalan boleh atau tidaknya guru mendapatkan gaji dari profesinya. Al-Mâwardî walaupun secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa tujuan guru mengajar adalah mencari ridha Al-lah dan mengharapkan pahala bukan untuk kepentingan duniawi, namun dalam Adab al-Dunyâ wa al-Dîn tidak satupun terdapat pernyataannya yang secara tegas menyebutkan bahwa mengambil upah mengajar itu haram. Fokus pembicaraan al-Mâwardî sebenarnya adalah tujuan (al-qashd) dan niat (al-niyyah) yang benar dalam mengajar bukan halal atau haramnya upah guru. Dalam diskursus tentang gaji guru pada masa klasik, ada dua pendapat yang dominan disebut yaitu kelompok yang mengharamkan gaji guru dan kelompok yang membolehkan guru mengambil bayaran atau gaji.

Kelompok pertama memiliki tiga argumen. Pertama,

108 (pahala guru seperti pahala orang yang melaksanakan puasa dan menghidupkan maam hari dengan ibadah [salat malam]). Al-Mâwardî, Adab, h. 90. 109Al-Mâwardî, Adab, h. 90.

Alquran diajarkan karena Allah, jadi tidak wajar digaji

orang yang mengajarkannya. Kedua, pengajaran

Alquran pada tradisi awal Islam (tradisi salaf al-shâlih) tidak digaji. Ketiga, hadis Nabi tentang anak panah, yakni ketika Ubadah ibn al-Samit mengajar orang membaca Alquran kemudian ia diberi hadiah anak panah. Ketika ia menemui Nabi, Nabi menjawab, “jika kau mau anak panah itu menjadi kalung api neraka,

terimalah!”.110 Sementara, kelompok kedua yang

membolehkan gaji guru mengemukakan sebuah hadis sebagai landasan sikap mereka yaitu,”yang paling patut kamu terima ialah gaji karena Alquran”. Gaji yang dicela adalah jika Alquran dijadikan alat untuk mencari harta seperti dalam hadis: “bacalah Alquran, jangan kamu mencari makan dengan itu, jangan kamu mendengar-dengarkannya.111

Salah satu dalil yang digunakan oleh kelompok yang membolehkan guru menerima bayaran atau gaji adalah hadis yang berisi tentang bolehnya seseorang menikahi perempuan dengan mengajarkan Alquran sebagai maharnya. Jika ini yang menjadi dasar, dapat dipastikan

bahwa al-Mâwardî membolehkan gaji guru. Dalam

al-Hâwî al-Kabîr, al-Mâwardî memberikan komentar tentang kasus perkawinan dengan cara mengajar Alquran sebagai mahar sebagai berikut:

(…Boleh menikahinya [perempuan] dengan mengajarkan Alquran, karena mengajarkan Alquran itu menjadi mahar baginya …) 110Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, h. 104; Lihat pula: Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan

Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), h. 173-174.

111Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, h. 105; Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, h. 175-176.

112Lihat pembahasan al-Mâwardî secara lebar tentang hal ini pada bab al-Ju’lu wa al-ijârat min al-Jâmi’ min Kitâb al-Shadâq dalam kitab al-Hâwî. Al-Mâwardî, al-Hâwî Juz 12, h. 17-30

Selain itu, pernyataannya berikut ini dapat dijadikan sebagai penguat bahwa ia membolehkan guru mendapat bayaran dari mengajar:

(Boleh mengambil upah dari berbagai pekerjaan yang tergolong fardh kifâyah…).

Pernyataan di atas dengan tegas menginformasikan bahwa al-Mâwardî membolehkan menikah dengan mengajarkan Alquran sebagai maharnya dan membolehkan mengambil upah pada perbuatan yang termasuk fardh kifâyah (mengajar adalah fardh kifâyah),114

maka dapat ditegaskan bahwa ia tidak mengharamkan guru menerima bayaran. Jika dikaitkan dengan penekanannya bahwa guru tidak boleh mengajar dengan tujuan memperoleh ganti dan balasan material, dapat ditegaskan bahwa itu berkaitan dengan tujuan dan niat yang benar dalam mengajar, bukan persoalan boleh tidaknya guru menerima upah. Selama tujuan dan niat mengajarnya benar, bukan bertujuan untuk memperoleh bayaran (gaji) atau meminta upah, seorang guru boleh menerima gaji dari manfaat yang ia berikan pada orang lain jika masyarakat atau negara memberinya.

Hasil riset Stanton tentang institusi pendidikan Is-lam masa klasik menunjukkan bahwa para guru memperoleh penghasilan yang memadai dari lembaga wakaf agar para guru dapat memusatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan mengajar dan akademis saja. Dilema tentang boleh tidaknya seorang guru menerima

113 Al-Mâwardî, al-Hâwî Juz 12, h. 20.

114Al-Nawawî dalam al-Tibyân, menjelaskan bahwa mengajar para murid itu adalah fardh kifâyah. Namun jika tidak ada satupun yang pantas untuk mengajar kecuali satu orang, hukumnya menjadi fardh ‘ayn bagi satu orang itu. Kalau ada sekelompok orang yang dapat mengajar tetapi mereka enggan mengajar semuanya menjadi berdosa. Jika ada sebagian orang yang melaksanakan pengajaran gugurlah kewajiban itu bagi yang lainnya. Al-Nawawî, al-Tibyân fî Âdâb Hamalat al-Qur`ân , (Beirut: Dâr al-Nafâ`is, 1984), h. 34.

bayaran dari muridnya terus bertahan sepanjang periode klasik. Namun lepas dari dilema ini, para guru dapat menggantungkan diri secara finansial pada lembaga wakaf untuk memenuhi kebutuhannya. Catatan sejarah menyatakan bahwa secara umum para guru termasuk kelompok berpenghasilan menengah dan beberapa di antaranya benar-benar kaya. Namun sangat sedikit bukti bahwa orang memutuskan untuk menjadi guru dengan tujuan ekonomi. Pendidikan dianggap sebagai bagian dari Islam, dan mereka yang berkecimpung di dalamnya melakukan hal tersebut karena dedikasi dan ketertarikan murni terhadap kehidupan intelektual. Uang bukan pertimbangan utama bagi mereka yang mengabdikan dirinya pada pengetahuan. Status dan kehormatan yang diberikan kepada para ilmuwan adalah penjelasan yang lebih masuk akal atas usaha keras para ilmuwan sepanjang masa klasik Islam.115

Stanton telah membuktikan bahwa uang bukanlah tujuan guru mengajar. Hampir tidak ada bukti bahwa para ilmuwan klasik Islam mengajar untuk tujuan ekonomi. Walaupun begitu, sebagian mereka memperoleh penghasilan dari profesi mereka baik berasal dari lembaga wakaf atau mendapat bayaran dari murid-muridnya. Fakta historis ini merupakan bukti bahwa guru yang memiliki tujuan mengajar untuk mendedikasikan dirinya pada agama dan ilmu pengetahuan tidak terhalang menerima gaji atau bayaran. Fakta ini membenarkan

115Stanton mencatat bahwa guru mendapat gaji dari lembaga wakaf atau patronase. Ada juga guru-guru yang diperbolehkan menerima bayaran dari mahasiswa, biasanya besar biaya ditentukan antara guru dan murid kemudian dibayar pada awal belajar. Satu dirham per hari dianggap sebagai sebagai biaya pendidikan yang pantas dan para ilmuwan dapat menjadi kaya karena penghasilan ini. Di samping itu, sejumlah guru walaupun mendapat bayaran yang kecil dari mengajar, namun mereka banyak yang memiliki rangkap jabatan di beberapa lembaga sehingga ia dapat meningkatkan penghasilannya. Lihat Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi, h. 39-40.

pandangan al-Mâwardî tentang kebolehan guru menerima gaji tanpa menodai keikhlasan mereka dalam mengajar.

Menurut Ahmad Tafsir, keikhlasan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan uang. Ikhlas adalah suasana hati sedang uang adalah suasana lahiriah. Jika uang membuat orang menjadi tidak ikhlas, itu bukan karena uang, itu terjadi karena kesalahan menata hati. Bisa saja terjadi orang yang tidak digaji menjadi tidak ikhlas dan bisa juga terjadi orang yang digaji besar malah sangat ikhlas.116 Atas dasar ini, dapat dinyatakan bahwa, al-Mâwardî sebenarnya lebih menitikberatkan pada penataan niat yang benar dalam mengajar dan ia tidak melarang guru menerima gaji.