GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-MÂWARDÎ
2) Aspek Keahlian
Profesionalisme memerlukan keahlian khusus yang harus dipelajari secara khusus pula. Keahlian profesional bukan keahlian yang diperoleh dari warisan atau diketahui sekadarnya saja.117 Demikian pula dengan profesi guru, profesi ini juga memiliki aspek keahlian (skill) yang harus dipelajari secara spesifik. Tentu saja, ilmu-ilmu keguruan kontemporer yang harus dipelajari dan dikuasai jauh berbeda dengan kondisi masa al-Mâwardî. Pada masa al-Mâwardî, aspek-aspek keguruan yang harus dipelajari dan dilakukan oleh orang yang berkeinginan menjadi guru terhimpun dalam adab guru (‘âdâb al-mu’allim).
Aspek keahlian guru dalam perspektif al-Mâwardî jika dikontruksi dari kumpulan adab guru yang dikemukakannya dalam Adab al-dunyâ wa al-Dîn dapat
116Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, h. 106. 117Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, h. 107-108.
dikelompokkan menjadi tiga aspek keahlian, yaitu: (1) penguasaan ilmu (kompetensi kognitif), termasuk di dalamnya adalah komitmen keilmuan dan kejujuran ilmiah, (2) penguasaan metode, (3) kemampuan mengidentifikasi differensiasi individual murid (kecakapan diagnostik) dan mengadaptasikan teknik pembelajaran dengan differensiasi individual murid itu. Pada aspek keahlian pertama, guru yang profesional dalam perspektif al-Mâwardî adalah guru yang menguasai ilmu yang akan diajarkannya. Dalam bahasa yang lebih operasional, guru profesional adalah guru yang menguasai materi pelajaran atau guru yang memiliki kompetensi kognitif. Sebagaimana telah diulas pada pembicaraan tentang hakikat guru, bahwa seorang guru sesuai dengan kualitasnya sebagai al-‘âlim adalah orang yang memiliki pengetahuan yang dalam dan memiliki kesadaran tentang kadar keilmuannya. Kesadaran keilmuan ini membuat guru selalu menjunjung kejujuran ilmiah dan selalu belajar untuk mengembangkan diri.
Penguasaan ilmu dalam perspektif al-Mâwardî tidak sebatas teoretis (kognitif). Dalam posisi seseorang sebagai guru, penguasaan ilmu teoretis harus dibarengi dengan implementasi ilmu (afeksi dan psikomotorik). Salah satu pernyataan bulaghâ‘ (pakar sastra) yang dikutip al-Mâwardî menyatakan bahwa, di antara tanda kesempurnaan ilmu adalah dengan mengimplemetasikannya.118 Ini mengindi-kasikan bahwa penguasaan ilmu tidak akan pernah utuh jika guru tidak pernah mengimplementasikan ilmunya. Implikasi dari perspektif ini dalam konteks penguasaan ilmu sebagai salah satu keahlian profesional guru adalah
118Lihat pernyataan-pernyataan lainnya tentang implementasi ilmu pada: Al-Mâwardî,
bahwa guru yang profesional adalah guru yang menguasai ilmu baik aspek teoretisnya maupun aspek implementasinya.
Aspek keahlian kedua setelah penguasaan ilmu adalah penguasaan metode mengajar. Penguasaan metode dalam perspektif al-Mâwardî, terkait erat dengan kondisi individu murid yang dihadapi ketika mengajar. Pada tingkat level tertentu metode ta’lîm (metode
mengajar) dan metode ifâdah (memberi pemahaman)
dapat diberikan pada para pemula sedangkan metode
mudzâkarah (diskusi) dan muhâdharah (ceramah/kuliah) diberikan pada level murid yang bukan pemula lagi bahkan mungkin juga memiliki pengetahuan yang luas dan memiliki kedudukan tertentu seperti murid pada tingkat level shâhibah (murid utama) dan penguasa.119
Kalau pada aspek transfer ilmu, al-Mâwardî
menganjurkan penguasaan metode ta’lîm, ifâdah,
muzhâkarah, dan muhâdharah, pada aspek pendidikan moral (akhlak) ia menganjurkan penggunaan metode
ta‘dîb (metode menanamkan adab yang terpuji), tahdzîb
(metode memperbaiki moral), tajribah (metode pemberian pengalaman, praktik), al-mu’ânâh (latihan moral dengan pemberian beban), durbah (metode latihan) dan al-mu’âthâh.(pemberian tugas).120 Dengan demikian, metode yang harus dikuasai oleh guru adalah metode pembelajaran yang berkaitan dengan transfer ilmu dan metode pembelajaran yang berkaitan dengan pendidikan moral.
Pada aspek penguasaan metode, al-Mâwardî kurang menyinggung hubungan metode dengan tingkat kesulitan materi tetapi konteks pembicaraannya lebih
119Al-Mâwardî, Adab, h. 88. 120Al-Mâwardî, Adab, h. 237.
banyak pada keselarasan antara metode dengan tingkat perkembangan individu yang menjadi sasaran pembelajaran dan keselarasan antara metode dengan aspek ranah pembelajaran yaitu (1) aspek kognitif (trans-fer ilmu) dan (2) aspek afeksi dan psikomotorik dalam konteks pendidikan jiwa (al-ta‘dîb al-nafs).
Selanjutnya, aspek keahlian yang ketiga berkaitan dengan kecakapan diagnostik yaitu kemampuan mengidentifikasi latar belakang personal dan differensiasi individual murid serta mengaplikasikan hasil identifikasi itu pada pembelajaran. Kemampuan mengidentifikasi differensiasi individual murid dalam perspektif al-Mâwardî merupakan satu kemampuan yang penting. Sebab kemampuan itu berkaitan erat dengan ketepatan seseorang mengajarkan ilmu kepada orang yang tepat. Untuk itu guru harus mengidentifikasi kemampuan (thâqah) muridnya, kecerdasannya (dzakâ‘) dan ketidakcerdasannya (bilâdah).121 Setelah mengetahui latar belakang personal muridnya, guru harus menentukan tingkat kesulitan materi ilmu yang dapat diterima oleh murid sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Kemampuan seperti ini menurut al-Mâwardî akan lebih memudahkan guru dalam mengajar dan lebih menyukseskan murid dalam belajar. Sebaliknya, jika tidak menguasainya, guru akan menghadapi kesulitan
dan beban berat.122 Guru yang tidak memiliki
kemampuan mengidentifikasi perbedaan individual murid akan membawa efek negatif seperti munculnya suasana psikologis yang tidak baik antara guru dan murid. Salah satu efek negatifnya, menurut al-Mâwardî, adalah munculnya perasaan frustasi dan jenuh pada diri
121Al-Mâwardî, Adab, h. 87 122Al-Mâwardî, Adab, h. 87-88
guru maupun murid. Al-Mâwardî menegaskan bahwa ketidakmampuan guru menyesuaikan pembelajarannya dengan kemampuan murid akan membuat murid berada di antara rasa lemah dan gelisah hingga mengakibatkan murid jenuh dengan gurunya dan sang guru pun bosan dengan muridnya.123 Keduanya, baik guru maupun mu-rid, sama-sama merasa tidak memiliki kecocokan satu sama lain. Efek psikologis seperti ini merupakan dampak dari ketidakmampuan guru mengidentifikasi latar belakang personal dan differensiasi individual murid-muridnya.
Menurut al-Mâwardî, untuk bisa mengenal latar belakang dan perbedaan individual murid, guru harus memiliki firâsah (kemampuan mengidentifikasi aspek batin dengan melihat aspek lahirnya), yaitu kemampuan mengidentifikasi sejumlah indikator untuk mengenal tingkat kemampuan murid dan tingkat kesulitan materi yang sesuai dengan kecerdasan murid.124 Jika guru mampu melakukan identifikasi ini, al-Mâwardî menjamin bahwa tidak seorangpun murid yang akan kecewa atau gagal ditangan guru.125 Sebaliknya, jika guru tidak mampu mengenal muridnya, tidak mengetahui latar belakang personalnya dan tidak bisa mengidentifikasi tingkat pengetahuan yang tepat yang harus diberikan pada muridnya, guru akan mendapat kesulitan yang menyusahkan dan melelahkan. Ketidaktahuan terhadap kondisi murid selain berdampak pada kondisi psikologis guru dan murid juga berdampak pada ketidaktepatan guru dalam menentukan tingkat kesulitan materi yang diberikan. Menurut al-Mâwardî, pada prinsipnya, orang yang cerdas (dzakî) memerlukan ilmu yang lebih banyak
123Al-Mâwardî, Adab, h. 88 124Al-Mâwardî, Adab, h. 87. 125Al-Mâwardî, Adab, h. 87.
sedang yang tidak cerdas (balîd) cukup dengan informasi yang sedikit. Jika tingkat pengetahuan ini tidak diberikan secara tepat, murid yang cerdas akan menjadi jenuh (tidak puas) sementara murid yang tidak cerdas menjadi lemah.126
Latar belakang murid lainnya yang juga sangat penting diidentifikasi oleh guru menurut al-Mâwardî adalah motivasi murid dalam menuntut ilmu. Motivasi belajar yang tepat menurut al-Mâwardî adalah belajar yang dilandasi oleh motivasi agama. Sementara motivasi yang tidak dilandasi agama seperti belajar dengan motif kecintaan pada popularitas dan kekuasaan merupakan motif yang keliru. Namun motif seperti ini masih bisa ditoleransi karena menurut al-Mâwardî termasuk motif yang mubah dan tidak berbahaya. Motif seperti ini dapat dibiarkan karena pada perkembangan selanjutnya ilmu yang dimiliki murid akan mengubah motif itu ke motif agama dengan sendirinya. Tetapi jika motifnya termasuk motif yang berbahaya, seperti motif belajar yang bertujuan untuk melakukan kejahatan dan tindakan makar yang tersembunyi terhadap agama, niat semacam ini tidak bisa ditoleransi dan harus dicegah.127 Sebab, jika dibiarkan, sang murid kelak menjadi ‘âlim fâjir (ilmuwan durhaka) dan al-nâs asyarr (manusia paling terjahat).128
Sebagaimana telah disebutkan pada hakikat murid, al-Mâwardî mengkategorikan murid menjadi dua yaitu
mustadi’ (diajak) dan thâlib (pencari). Murid yang masuk kategori al-mustadi’ adalah murid yang tidak memiliki motivasi belajar pada hal ia memiliki potensi kecerdasan dan ketajaman pikiran karena itu guru yang melihat
126 Al-Mâwardî, Adab, h. 88. 127Al-Mâwardî, Adab, h. 86-87.
128Istilah ‘alim fâjir dan al-nâs asyarr keduanya berasal dari sabda nabi yang dikutip oleh al-Mâwardî. Lihat: Al-Mâwardî, Adab, h. 86-87.
kemampuannya mengajaknya untuk belajar. Murid yang menerima dan berminat dengan ajakan guru diprediksikan dapat mencapai tingkat yang mulia dan menjadi orang yang bahagia. Berbeda dengan mustadi’, murid yang masuk kategori thâlib al-‘ilm adalah murid yang memiliki motivasi sendiri yang mendorongnya untuk menuntut ilmu. Murid (thâlib) yang cerdas dan memiliki motivasi keagamaan harus dibimbing secara komprehensif oleh guru tanpa menyembunyikan ilmu
apapun. Sementara murid (thâlib) yang bermotif
keagamaan namun tidak cerdas, guru harus mengajarkan ilmu-ilmu yang ringan dan tidak membebaninya dengan ilmu yang banyak.129
Identifikasi latar belakang personal murid dan differensiasinya berimplikasi pada pola pengajaran yang diberikan. Misalnya, murid yang diajari adalah seorang
penguasa (sulthân j. salâthîn) maka guru harus
memperlakukannya sesuai dengan posisinya sebagai mu-rid sekaligus penguasa yang tidak bisa diperlakukan seperti murid lainnya. Guru yang mendapat kesempatan menjadi guru seorang penguasa sebaiknya tidak membentangkan ilmu secara panjang lebar melebihi kadar yang dibutuhkan dan tidak memulai pengajaran kecuali kalau diminta, karena penguasa memiliki pikiran yang terbagi-bagi dan tidak memiliki waktu khusus untuk itu. Karena itu, ilmu yang disampaikan harus disesuaikan dengan kondisi penguasa dan memperhatikan posisinya sebagai orang yang memiliki kekuasaan tinggi. Di sisi lain, guru juga harus selalu menjaga posisinya sebagai pengajar, ia tidak menggunakan kesempatan ini untuk kepentingan lain
129Al-Mâwardî, Adab, h. 86. Lihat sejumlah pernyataan yang dikutip oleh al-Mâwardî untuk memperkuat argumentasinya yang pada intinya menekankan agar guru memberikan ilmu kepada orang yang tepat pada Adab halaman 87.
selain kepentingan ilmu. Menurut al-Mâwardî, penguasa memiliki hak untuk ditaati dan diagungkan sementara hak guru adalah diterima dan dimuliakan.130
Metode yang tepat digunakan ketika mengajar penguasa adalah metode mudzâkarah (dialog atau diskusi) dan muhâdharah (kuliah) bukan metode pengajaran ( al-ta’lîm) dan pemberian pemahaman (al-ifâdah). Jika dalam proses bimbingan guru menemukan kesalahan dan kekeliruan pada perkataan dan tindakan penguasa ia harus memperbaikinya. Penolakan dan perbaikan guru terhadap kekeliruan penguasa tidak dilakukan dengan cara terang-terangan.131 Guru harus waspada jangan sampai menyetujui dan mengikuti pendapat dan keinginan penguasa terhadap hal-hal yang melanggar agama dan bertentangan dengan kebenaran. Sebab, ketergelinciran jejak guru (aqdâm al-‘ulamâ`) pada hal itu baik karena senang atau takut akan membuat guru menjadi sesat dan menyesatkan yang akan menimbulkan pengaruh yang buruk.132
Contoh kasus yang diberikan al-Mâwardî di atas menunjukkan bahwa pengidentifikasian latar belakang personal dan differensiasi individual sangat penting bagi guru dalam menentukan pola dan metode pembelajaran yang tepat. Pola pendidikan dan metode pembelajaran harus disesuaikan dan diadaptasikan dengan latar belakang dan perkembangan individu yang berbeda-beda.