• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rendah hati ( tawâdhu’ ) dan menjauhi rasa bangga dan kagum terhadap diri sendiri (mujânabat ‘ujub)

GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-MÂWARDÎ

1) Rendah hati ( tawâdhu’ ) dan menjauhi rasa bangga dan kagum terhadap diri sendiri (mujânabat ‘ujub)

Dalam perspektif al-Mâwardî, sifat tawâdhu’ (rendah hati) dan tidak membanggakan diri (‘ujub) merupakan

Attas oleh Hamid Fahmy et. al., (Bandung: Mizan, 2003), h. 181-182. Selanjutnya disingkat:

Filsafat dan Praktik Pendidikan IslamAl-Attas.

186 Lihat penjelasan argumentatif al-Attas pada: Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, h. 52-60; Lihat pula: Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, diterjemahkan dari Islam and Secularism oleh Karsidjo Djojosuwarno, (Bandung: Penerbit Pustaka Salman, 1981), h. 219-222; lihat pula ulasan Wan Mohd Nor Wan Daud yang cukup luas tentang sikap al-Attas pada term-term pendidikan Islam. Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Al-Attas, h. 174-188.

dua sifat yang harus dimiliki oleh guru. Sifat rendah hati merupakan sifat yang lahir dari kelembutan hati sebaliknya sifat bangga diri akan membuat orang menjauh. Sifat ‘ujub merupakan sifat yang jelek bagi semua orang dan lebih jelek lagi bagi guru (‘alim) karena guru adalah teladan bagi orang lain. Pada umumnya faktor yang menyebabkan guru menjadi bangga pada dirinya adalah karena mereka merasa berada pada posisi sebagai orang yang memiliki kelebihan ilmu dibanding orang lain. Padahal, menurut al-Mâwardî, jika guru betul-betul berpikir dan melaksanakan kewajiban ilmu, pastilah ia sadar bahwa sikap rendah hati itu lebih utama baginya.188

Guru harus menjauhi sifat ujub karena sifat ini merupakan sifat negatif yang dapat menghilangkan keutamaan atau kebaikan. Keutamaan ilmu yang diraih guru tidak akan sempurna jika sifat bangga diri itu masih ada pada diri guru seperti rasa bangga dengan pendapatnya sendiri. Seseorang menurut al-Mâwardî, sudah pantas disebut bodoh jika ia kagum dengan pendapatnya sendiri.189 Faktor yang menyebabkan guru menjadi ‘ujub dan sombong adalah karena mereka hanya melihat “ke bawah” (orang-orang bodoh) dan tidak mau melihat ke atas kepada para ilmuwan (ulama) yang berada di atas mereka. Jika mau melihat ke atas, guru akan sadar bahwa ia bukanlah orang yang paling unggul pengetahuannya karena masih banyak lagi guru yang lebih berpengetahuan daripada dirinya. Di atas setiap orang yang berilmu ada lagi yang lebih berilmu begitu seterusnya hingga berujung kepada Allah. Atas dasar

188Al-Mâwardî, Adab, h. 78.

189Lihat sejumlah pernyataan baik hadis, perkataan sahabat dan orang salih yang pada intinya menegaskan perlunya seseorang guru bersikap tawâdhu’ kepada murid dan menjauhi sifat sombong pada: Al-Mâwardî, Adab, h. 78.

ini, setiap orang yang berilmu harus melakukan introspeksi diri untuk mencari kekurangan dirinya agar ia tidak membanggakan apa yang telah ia capai.190

Al-Mâwardî menegaskan bahwa adanya rasa bangga diri (‘ujub) merupakan indikator rendahnya ilmu. Pada umumnya, sifat ‘ujub dan sombong hanya ditemukan pada orang yang ilmunya rendah. Rendahnya ilmu akan menjadikan seseorang tidak mengetahui posisi hakiki dirinya dan merasa memiliki banyak ilmu padahal tidak. Sebaliknya, orang yang terkemuka dan banyak ilmunya mengetahui tingginya puncak ilmu dan mengetahui kelemahan dirinya

dalam menggapai puncak (nihâyah) ilmu itu.

Kesadaran inilah yang mencegah orang-orang yang

berilmu (al-‘âlim) untuk membanggakan ilmu yang

dimilikinya.191

Kerendahhatian guru dalam perspektif al-Mâwardî merupakan indikator adanya kesadaran ilmiah pada diri guru. Kesadaran ilmiah itu adalah kesadaran akan luasnya ilmu dan banyaknya orang yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dari dirinya. Kerendahhatian guru juga merupakan indikator tingginya ilmu guru karena kerendahhatian itu tidak muncul dari rasa rendah diri atau rasa tidak percaya diri melainkan muncul dari kedalaman pengetahuannya tentang hakikat ilmu dan hakikat dirinya.

190Al-Mâwardî, Adab, h. 78-79.

191Al-Mâwardî, Adab, h. 79. Al-Mâwardî menceritakan betapa ia juga pernah terjebak pada sifat ‘ujub ini. Ia menulis tentang masalah jual beli (buyû`) yang ia himpun dari sejumlah buku. Dengan kerja kerasnya ia berhasil meneyelesaikan kitab itu dan hampir timbul dalam dirinya rasa bangga (‘ujub) dan terbersit dalam dirinya bahwa ia adalah manusia yang paling tahu tentang hal itu. Namun ketika muncul dua orang Baduwi yang mempertanyakan persoalan jual beli, ia tidak mampu menjawab satupun pertanyaan itu. Ketika persoalan itu ditanyakan kepada salah seorang sahabatnya justru sahabat al-Mawardî itu dapat menjawabnya dengan cepat dan memuaskan. Peristiwa ini menyadarkan al-Mâwardî agar tidak bersikap sombong dan takjub dengan diri sendiri.

Adanya sifat rendah hati dan tidak bangga diri pada diri guru akan berdampak positif pada relasi-etis guru-murid. Kerendahhatian akan melahirkan sikap dan perilaku guru yang positif terhadap murid karena sifat rendah hati bersumber dari kelembutan hati. Guru yang rendah hati akan menghargai pendapat murid, menerima argumen muridnya yang benar, tidak anti kritik, tidak meremehkan muridnya walaupun seorang pemula, tidak kasar dan seterusnya. Sikap dan perilaku positif yang muncul dari sifat rendah hati sangat potensial menciptakan pola hubungan yang demokratis dan humanis dalam relasi-etis guru-murid.

Menurut Abuddin Nata, sifat rendah hati guru yang dikemukakan al-Mâwardî akan melahirkan sikap dan perilaku positif guru terhadap murid terutama munculnya sikap demokratis guru dalam interaksi guru-murid. Dalam interaksi ini guru lebih banyak memberi motivasi sehingga murid menjadi bersemangat dan bergairah serta merasa mempunyai harga diri, karena potensi, kemauan, prakarsa dan kreativitasnya dihargai. Dengan demikian, sikap demokratis guru akan mendorong terciptanya cara belajar siswa aktif.192

2) Mengutamakan etika ilmiah: memiliki kejujuran