• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar secara gradual dan sistematis dari bagian pengantar hingga ke esensi ilmu

GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-MÂWARDÎ

4) Belajar secara gradual dan sistematis dari bagian pengantar hingga ke esensi ilmu

Menurut al-Mâwardî, setiap ilmu memiliki bagian awal sebagai pengantar ke bagian akhir atau bagian pengantar yang menyampaikannya pada esensi pengetahuan (hakikatnya). Karena itu, menurut al-Mâwardî, murid jangan belajar secara terbalik, seperti mengkaji bagian akhirnya dulu baru bagian awalnya atau belajar esensinya dulu (al-haqîqah) baru kemudian pengantar awalnya (al-madkhal). Menurut al-Mâwardî, belajar secara terbalik akan berdampak tidak baik. Mu-rid yang hanya mengejar bagian akhirnya saja atau esensinya saja (tanpa menguasai pengantar atau dasar-dasarnya) seperti orang yang mendirikan sebuah bangunan yang tidak memiliki fondasi.160 Cara belajar

(Janganlah engkau mempelajari ilmu dengan tujuan untuk berbantahan dengan orang-orang bodoh, jangan pula belajar ilmu untuk berdebat dengan para ulama, barangsiapa di antara kamu yang melakukan hal seperti itu maka neraka menjadi tempat tinggalnya). Al-Mâwardî, Adab, h. 53.

159Al-Mâwardî, Adab, h. 53. 160Al-Mâwardî, Adab, h. 54.

seperti ini menurut al-Mâwardî merupakan salah satu faktor destruktif (asbâb fâsidah) dalam belajar.161

Perspektif al-Mâwardî di atas menggagas cara belajar secara sistematis dan gradual-prosedural. Belajar harus dimulai dari bagian awal, bagian dasar atau bagian pengantarnya lebih dahulu baru kemudian secara bertahap dan sistematis berlanjut kepada bagian berikutnya hingga sampai pada bagian akhir ilmu yang dipelajari. Atas dasar ini, belajar dengan materi terbalik, belajar dengan materi melompat dan belajar dengan materi terpotong (bagian akhirnya saja tanpa bagian awal) merupakan cara belajar yang keliru. Cara Belajar yang benar menurut al-Mâwardî adalah harus runut dan

bertahap dari awal sampai akhir, dari madkhal

(pengantar) sampai al-haqîqah (esensi) ilmu.

Untuk menghindari cara belajar yang tidak sistematis atau tidak runut, murid harus menghilangkan beberapa faktor-faktor destruktif (asbâb fâsidah) dan dorongan-dorongan yang melemahkan (dawâ’ wâhiyah) dalam belajar.162 Menurut al-Mâwardî, ada sejumlah faktor perusak dan dorongan yang melemahkan seseorang dalam belajar yang membuatnya tidak sistematis mempelajari ilmu.

Pertama, dalam diri murid terdapat tujuan untuk menguasai satu jenis ilmu tertentu secara parsial sehingga tujuannya itu mendorongnya untuk menuntut bagian parsial dari ilmu itu saja dan meninggalkan bagian-bagian pendahuluannya (dasar-dasarnya).163 Contohnya seperti seseorang yang berminat pada ilmu tentang peradilan (al-qadhâ‘) kemudian ia memfokuskan diri

161Al-Mâwardî, Adab, h. 54. 162Al-Mâwardî, Adab, h. 54 163Al-Mâwardî, Adab, h. 54.

untuk belajar ilmu fiqih hanya tentang kode etik hakim (adab al-qâdhî) dan hal-hal yang berkaitan dengan dakwaan (al-da’wâ) dan barang bukti (al-bayyinât) saja, atau seseorang yang berminat mengenai persaksian ( al-syahâdah) lalu ia hanya mempelajari kitâb syahâdât saja. Orang seperti ini menurut al-Mâwardî, jika telah mencapai ilmu yang dikehendakinya itu akan beranggapan bahwa dirinya telah menguasai ilmu itu seluruhnya, padahal aspek-aspek lainnya masih samar dan tidak mampu ia dalami. Cara belajar seperti ini muncul dari sikap seseorang yang membatasi keinginannya hanya pada bagian tertentu (bab-bab tertentu) dari sebuah disiplin ilmu dan meninggalkan bagian lainnya yang tidak ia inginkan. Padahal, menurut al-Mâwardî, jika orang itu mau menasihati dirinya pasti ia akan tahu bahwa apa yang ia tinggalkan lebih penting dari apa yang telah ia ketahui karena bagian-bagian ilmu itu saling berkaitan satu sama lain. Setiap bab ilmu (pokok bahasan) berkaitan dengan bagian sebelumnya; bagian akhir tidak berdiri sendiri tanpa di dahului bagian awalnya. Menurut al-Mâwardî, selama murid belajar secara sistematis, murid yang belajar bagian awal ilmu namun tidak sampai pada bagian akhir (tidak tuntas) lebih baik daripada murid yang belajar bagian akhir tetapi tidak mau belajar bagian awalnya.164

Kedua, menginginkan popularitas dengan ilmunya baik untuk memperoleh keuntungan (takassub) maupun untuk mempermegah diri (tajammul). Untuk mencapai popularitas itu, murid mengarahkan perhatiannya pada persoalan-persoalan polemis dan mempelajari metode diskusi. Ia sibuk menguasai ilmu yang mengandung persoalan polemis yang tidak terdapat konsensus di

dalamnya. Dengan ilmu seperti itu ia ingin berdiskusi mengenai masalah kontroversial (khilâf) walaupun ia tidak mengetahui konsensus tentang hal itu atau ia ingin mendebat lawannya walaupun ia tidak mengenal madzhab tertentu. Padahal menurut al-Mâwardî, ilmu yang mereka capai masih sebatas capaian ilmu para al-mutakallif (masih pemula) tetapi mereka telah berani mempopularkan diri mereka sebagai orang yang dalam pengetahuannya (al-mutabahhirûn). Dalam berdiskusi, mereka berani mengekspos statemen walaupun mereka tidak memiliki pemahaman tentang madzhab tertentu, tidak mengetahui kebenaran dan tidak memiliki jawaban yang kokoh. Celakanya, mereka tidak melihat ini sebagai suatu kekurangan walaupun pengetahuan mereka mengenai berbagai madzhab masih kalah dibanding dengan para pemula dan orang muda.165

Ketiga, tidak memulai studi dari kecil dan baru sibuk belajar ketika dewasa. Secara psikologis, orang yang baru belajar ketika dewasa akan merasa malu untuk mempelajari pengetahuan yang dipelajari anak kecil dan tidak mau disamakan dengan orang yang belum berpengalaman. Akibatnya, ketika orang itu mulai belajar, ia lebih mementingkan bagian akhir atau bagian klimaks suatu ilmu agar dapat mendahului anak kecil yang masih pemula untuk menyamai orang dewasa yang tinggi pengetahuannya (al-kabîr al-muntahî). Orang seperti ini, menurut al-Mâwardî, adalah orang yang suka memperdayai dirinya sendiri dan senang menipu perasaannya. Padahal, bodoh terhadap pengetahuan yang merupakan ilmu dasar bagi murid pemula lebih jelek daripada bodoh terhadap ilmu tingkat tinggi bagi

ilmuwan (al-‘âlim).166 Karena itu, al-Mâwardî memandang penting belajar sejak dini. Ia mengutip sejumlah pernyataan yang menunjukkan betapa pentingnya belajar di waktu kecil seperti: (1) Sabda nabi : perumpamaan orang yang belajar diwaktu kecil seperti mengukir di atas karang sedang orang yang belajar di waktu dewasa seperti orang yang menulis di atas air, (2) Ali ibn Abî Thâlib: hati pemula seperti tanah yang kosong, apa saja yang dilemparkan padanya diterimanya sesungguhnya itu terjadi karena anak kecil memiliki hati yang lebih lapang dan kesibukannya sedikit, rasa malunya lebih ringan (mencurahkan tenaganya lebih mudah), dan sikap tawadhu-nya lebih banyak. (3) dalam Mantsûr al-Hikam disebutkan bahwa orang yang

tawâdhu’ di antara para pelajar (thullâb al-‘ilm) adalah yang terbanyak ilmunya sebagaimana tempat yang rendah merupakan tempat terbanyak memperoleh limpahan air. (4) al-Ahnaf: orang dewasa itu banyak akalnya tetapi hatinya lebih sibuk.167 Selanjutnya al-Mâwardî mengutip al-Ahnaf mengenai sejumlah hambatan yang dihadapi orang dewasa dalam belajar, yaitu (1) perasaan malu, (2) banyak keinginannya, (3) terbagi pikirannya, (4) keluarga yang mencemaskannya, (5) duka cita yang mengacaukan pikirannya, (6) banyak kesibukannya, (7) berubah-ubah kondisinya sampai keadaannya itu menghabiskan waktu dan hari-harinya.168

Di atas al-Mâwardî menyebutkan beberapa sebab orang belajar secara tidak sistematis berdasarkan urutan pokok bahasan dalam sebuah bidang ilmu. Faktor itu

166Al-Mâwardî, Adab, h. 56.

167Untuk kepentingan efisiensi teks aslinya tidak dikutip. Teks-teks hadis, pernyataan ‘Alî, Mantsûr al-Hikam, dan al-Ahnâf itu dapat dilihat pada: Al-Mâwardî, Adab, h. 56-57. 168Al-Mâwardî, Adab, h. 57.

secara sederhana dapat diringkas menjadi tiga yaitu (1) belajar secara parsial terhadap satu bidang ilmu kemudian mengabaikan bagian atau pokok bahasan lainnya yang saling memiliki korelasi, (2) belajar dengan motif kepentingan pragmatis sehingga seseorang mempelajari ilmu tertentu yang sesuai dengan kepentingan pragmatisnya, (3) mulai studi tidak sejak usia dini. Orang yang baru belajar ketika dewasa sudah banyak sekali ketinggalan pengetahuan sementara ia memiliki banyak masalah dan kesibukan, sehingga sulit baginya untuk memulai dari awal. Akhirnya ia belajar tidak mulai dari dasar atau pengantarnya tetapi mulai dari bagian tengah atau akhirnya.