• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengelola studi secara mandiri dan menjaga keseimbangan dalam belajar

GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-MÂWARDÎ

8) Mengelola studi secara mandiri dan menjaga keseimbangan dalam belajar

Salah satu aspek penting dalam pemikiran al-Mâwardî tentang strategi belajar adalah perlunya menjaga keseimbangan dalam belajar. Menurut al-Mâwardî, murid harus mampu menjadi pemimpin (sâ‘is) diri dan pengelola (mudabbir) belajarnya.176 Perlunya murid untuk memimpin dan mengelola dirinya sendiri disebabkan oleh adanya dua kecenderungan dalam jiwa manusia untuk bertindak minimal bahkan minus (taqshîr) dan kecenderungan untuk bertindak berlebihan (sarf). Untuk mengendalikan dua kecenderungan ini tidak mudah. Karena itu, diperlukan kemampuan murid untuk mengendalikan dua kecenderungan ekstrem itu. Menurut al-Mâwardî, dua kecenderungan ini menghasilkan tiga kondisi jiwa, yaitu (1) kondisi seimbang (‘adl) dan pertengahan (inshâf), (2) kondisi berlebihan (ghuluww) dan pemborosan (isrâf), dan (3) kondisi di bawah minimal (taqshîr).177

Dari ketiga kondisi di atas, kondisi yang paling ideal adalah kondisi moderasi (seimbang dan pertengahan). Kondisi moderasi merupakan pertemuan dua kekuatan jiwa yang berbeda namun saling mengimbangi yaitu daya disiplin yang membantu (thâ’at mus’idah) dan daya belas kasih yang menyeluruh (syafaqat kâffah). Daya

thâ’ah (disiplin) menahan orang untuk cenderung

176Al-Mâwardî, Adab, h. 71. 177Al-Mâwardî, Adab, h. 71.

berbuat minus-minimalis (taqshîr) sedang daya syafaqah

(daya belas kasih atau daya khawatir) menahan orang untuk berbuat berlebihan (overdosis). Pertemuan kedua kekuatan jiwa ini secara seimbang akan menciptakan perkembangan. Daya thâ’ah (disiplin) akan membuat diri seseorang tumbuh berkembang karena ia mampu menghilangkan kecenderungan bertindak minimalis sedang daya syafaqah akan menciptakan kontinuitas karena ia mampu mencegah sikap berlebihan. Asumsinya, jika pertumbuhan dapat dipelihara dan berlangsung terus menerus, pertumbuhan itu akan mencapai kesempurnaannya.178

Menurut al-Mâwardî, kecenderungan untuk berlebihan dan perilaku pemborosan pada diri seseorang disebabkan oleh sikap ekstrem orang untuk

menggunakan daya thâ’ah tanpa mengimbanginya

dengan daya syafaqah. Terlalu mengandalkan

kedisiplinan akan menguras dan menghabiskan energi yang berdampak psikologis berupa perasaan lemah dan lesu. Keletihan itu akan mendorong seseorang untuk mengabaikan bahkan meninggalkan pekerjaannya. Akibatnya, kontinuitas aktivitas seseorang jadi berhenti. Salah seorang hukamâ‘ (orang bijak) yang dikutip al-Mâwardî menyatakan bahwa orang yang menuntut ilmu dan mengamalkan kebaikan seperti orang yang makan hidangan. Jika ia mengambilnya untuk keperluan menguatkan dirinya, berarti ia telah memelihara dirinya, namun jika berlebihan, berarti ia telah mengganggu pencernaannya.179

Sebaliknya, kecenderungan orang untuk bertindak minus-minimalis disebabkan oleh penggunaan secara

178Al-Mâwardî, Adab, h. 71. 179Al-Mâwardî, Adab, h. 71

ekstrem daya syafaqah tanpa diimbangi dengan daya

thâ’ah (disiplin). Penggunaan daya syafaqah secara dominan akan menimbulkan ketidakdisiplinan. Ketidakdisiplinan akan mencegah seseorang melaksanakan kewajibannya secara bertanggung jawab. Orang yang tidak disiplin dan mengabaikan kewajibannya oleh al-Mâwardî diumpamakan seperti orang yang tidak mau mencari orang yang lari; menolak orang yang kembali; dan tidak menjaga sesuatu yang dititipkan. Orang yang tidak mencari orang yang lari; menolak orang yang kembali; dan tidak memelihara or-ang yor-ang tinggal akan berakibat pada hilor-angnya sesuatu yang sudah ada (al-mawjûd) sementara sesuatu yang telah hilang (mafqud) tidak ditemukan lagi. Orang yang menghilangkan apa yang telah ada pada dirinya adalah orang yang tertimpa musibah yang menyedihkan sedang orang yang tidak dapat menemukan kembali sesuatu yang hilang dari dirinya adalah orang gagal yang dibodohi.180 Dengan demikian, menurut al-Mâwardî, orang yang tidak memiliki kedisiplinan tidak akan mendapatkan apa-apa bahkan bisa kehilangan semuanya. Sebab, apa yang hilang dari dirinya tidak ia cari; apa yang sedang ada pada dirinya ia abaikan; dan apa yang disodorkan padanya ia tolak.

Menjaga kondisi moderasi dengan cara menjaga keseimbangan antara daya thâ’ah dan daya syafaqah

merupakan salah satu aspek penting bagi murid dalam mengelola diri. Sebab, keseimbangan itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kontinuitas belajar. Jika kedisiplinan murid lebih dominan, ia akan cenderung belajar secara berlebihan. Sebaliknya, jika daya syafaqah murid lebih dominan, ia akan cenderung

belajar di bawah standar dan cenderung jadi pemalas. Karena itu, menurut al-Mâwardî, murid harus dapat mengukur kadar daya thâ’ah-nya dan daya syafaqah-nya agar tetap berada pada kondisi yang terbaik (kondisi moderasi).181

Perspektif al-Mâwardî tentang keseimbangan dalam belajar di atas memperlihatkan bahwa keseimbangan yang ia maksud adalah tidak mengeksploitasi atau memporsir tenaga secara berlebihan untuk belajar dengan keras dan sebaliknya tidak membiarkan potensi diri dan energi tidak dipergunakan secara maksimal. Belajar dengan mengeksploitasi tenaga secara berlebihan akan berdampak pada kontinuitas belajar. Murid yang belajar terlalu keras justru akan menimbulkan kelelahan dan kejenuhan yang membuatnya malah berhenti dan mengabaikan kewajiban belajarnya. Sebaliknya, orang yang enggan memaksimalkan usaha belajarnya akan kehilangan kedisiplinan dan tanggung yang berakibat pada rendahnya hasil belajarnya, bahkan mungkin tidak mendapat apa-apa. Kalau mengikuti analogi al-Mâwardî di atas, murid yang tidak disiplin adalah murid yang tidak mau menemukan (menelaah) kembali ilmu yang ia lupakan (seperti orang yang tidak mencari orang yang yang hilang), tidak mau belajar ilmu yang sedang disodorkan kepadanya (menolak orang yang datang) dan mengabaikan ilmu yang sedang ia miliki (tidak memelihara barang yang dititipkan).

Menurut al-Mâwardî, murid yang tidak berusaha menciptakan kondisi moderasi dalam belajar, tidak mau melatih diri, atau sebaliknya memaksa dirinya belajar dengan keras adalah murid yang “terbakar dalam kondisi berlari” (memacu diri secara paksa yang akan

membahayakan diri sendiri), dampaknya secara psikologis adalah munculnya sikap menentang dalam diri, tidak mau disiplin dan tidak segan untuk berontak. Karena itu, al-Mâwardî menganjurkan kepada murid yang mengalami kesulitan mengelola diri ketika belajar atau menuntut ilmu agar beristirahat untuk sementara waktu. Setelah beristirahat, murid dapat mengulangi usahanya lagi, karena dalam kondisi rileks penerimaannya jadi cepat dan kedisiplinannya akan kembali.182

Dalam perspektif al-Mâwardî, murid yang tidak menjaga kondisi moderasi dan tidak membiasakan diri dengan kondisi moderasi itu akan mengalami sejumlah konsekuensi. Konsekuensi itu adalah ketidakdisiplinan dan gangguan psikologis dalam belajar. Menurut al-Mâwardî, sebagaimana disebutkan di atas, memaksa diri secara berlebihan untuk belajar akan menimbulkan gangguan psikologis seperti berontak dengan dirinya sendiri dan tidak bisa diatur dengan baik. Jika ini terjadi, murid tidak dapat belajar secara maksimal dan banyak kehilangan ilmu yang seharusnya ia kuasai. Murid yang mengalami kondisi seperti ini sebaiknya beristirahat dan rileks untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Setelah itu, ia harus mencoba lagi untuk mengelola dan melatih dirinya untuk mencapai keseimbangan belajar yang ideal, tidak overdosis dan juga tidak minus-minimalis.