GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-MÂWARDÎ
4) Memiliki sikap moderasi
Setelah al-Mâwardî menekankan pentingnya mu-rid meneladani, menghormati, dan tidak menggurui guru dalam relasi guru-murid, al-Mâwardî mengimbanginya dengan sikap moderasi murid terhadap guru. Sikap
225Al-Mâwardî, Adab, h. 75.
226Shuhbah merupakan bentuk persahabatan edukatif yang terdiri dari murid-murid khusus atau murid-murid utama yang memiliki hubungan dekat dengan guru. Menurut Stanton, murid yang masuk kelompok shâhib dalam kelompok shuhbah adalah mahasiswa yang terpilih untuk duduk di dekat Syaykh dalam halaqah (lingkar studi). Sang syaykh akan mengajarkan ta’liqah-nya kepada mereka secara lebih hati-hati dengan harapan bahwa sebagian mahasiswa pilihan mereka akan menyebarkan karya dan reputasinya ke daerah-daerah lain untuk menggantikannya kelak sebagai syaykh halaqah. Seorang syaykh hanya memberikan status ini kepada mahasiswa terbaiknya. Tindakan ini berarti ia telah menerima mahasiswanya sebagai pengikutnya. Istilah yang dipakai untuk ini adalah
shuhbah (persahabatan) dan status ini memungkinkah seorang mahasiswa untuk berhubungan lebih akrab dengan syaykh-nya. Sejak menerima status ini ia akan memperoleh perhatian khusus dari syaykh-nya yang membimbing dan mendorong perkembangan intelektualnya. Sebaliknya, mahasiswa ini akan menunjukkan loyalitasnya kepada sang
syaykh dengan membela pandangan-pandangannya. Dengan menerima mahasiswa menjadi shuhbah, seorang syaykh bisa memperhitungkan kelanjutan dan penyebaran pandangan-pandangannya. Beberapa orang shuhbah, mungkin akan diangkat menjadi
moderasi ini berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan sikap yang proporsional kepada guru sehingga murid tidak terjebak dalam sikap fanatisme ekstrem pada pemikiran gurunya.
Dalam praktik pendidikan Islam, tradisi penghormatan kepada guru merupakan suatu yang lumrah dalam etika belajar. Namun hal ini bukan berarti bahwa murid mutlak bertaklid dan tidak kritis terhadap gurunya sendiri. Sikap inilah yang ditanamkan oleh Mâwardî kepada para penuntut ilmu. Menurut al-Mâwardî, murid yang memiliki pengetahuan tentang kebenaran tidak seharusnya menerima begitu saja hal-hal yang samar dari gurunya. Murid jangan sampai bersikap tidak hati-hati akibat adanya sikap taklid terhadap apa yang dipelajari dari gurunya. Munculnya sikap taklid pada murid salah satunya disebabkan oleh sikap berlebihan murid terhadap gurunya. Misalnya, murid menganggap perkataan gurunya adalah dalil walaupun itu bukan merupakan dalil dan beranggapan
bahwa i’tiqâd (keyakinan) gurunya merupakan
argumentasi walaupun itu bukan argumen. Fanatisme murid pada gurunya membuat mereka menyelesaikan suatu masalah berdasarkan apa yang telah mereka terima dari gurunya.227
Al-Mâwardî menceritakan bahwa ia melihat seseorang berdiskusi dalam sebuah majelis. Ketika lawan debatnya memberikan argumentasi yang benar (dalâlat shahîhah), orang itu menjawab bahwa dalil lawan debatnya itu adalah yang salah (dalâlat fâsidah), letak atau bukti kesalahannya adalah bahwa gurunya tidak pernah menyebutkannya. Ia beranggapan bahwa apa saja yang tidak disebutkan oleh gurunya pasti tidak ada kebaikan
di dalamnya. Orang seperti ini menurut al-Mâwardî bukan orang berpengetahuan tetapi orang yang keterlaluan bodohnya dan termasuk orang yang mengemukakan alasan (dalil) dengan sedikit berpikir.228
Menurut al-Mâwardî jika saja murid memiliki
pandangan yang moderat (mu’tadil al-ra‘y) dan
keyakinan yang seimbang (mutawassith al-i’tiqâd)
terhadap orang yang menjadi tempatnya belajar, sikap dan pandangannya itu tidak akan membuatnya berat untuk bersikap menolak hal yang salah dan tidak akan membuatnya secara berlebihan tunduk menjadi orang yang bertaklid.229 Karena itu, al-Mâwardî menekankan kepada murid untuk banyak bertanya dan memastikan kebenaran ilmu yang didapatnya. Ia menegaskan bahwa banyak bertanya terhadap sesuatu yang samar bukanlah suatu tindakan yang salah. Jika ilmu yang disampaikan oleh guru setelah diteliti dinilai valid dan diterima oleh murid, sikap ini tidak termasuk sikap taklid.230 Al-Mâwardî menyebutkan bahwa memang terdapat hadis yang melarang banyak bertanya.231 Namun, menurut al-Mâwardî, anjuran untuk bertanya tidak bertentangan dengan hadis yang melarang untuk banyak bertanya karena maksud perintah bertanya adalah bertanya dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu yang belum dipahami, sedang banyak bertanya yang dilarang adalah bertanya dengan maksud mencari kesalahan sesuatu yang didengar. Menurut al-Mâwardî, jika pertanyaan
228Al-Mâwardî, Adab, h. 75. 229Al-Mâwardî, Adab, h. 76. 230Al-Mâwardî, Adab, h. 76.
231hadis-hadis yang menyuruh bertanya yang dikutip al-Mâwardî misalnya adalah: (Ilmu itu merupakan perbendaharaan dan kuncinya adalah bertanya) sedang hadis yang melarang banyak bertanya adalah: (Hati-hatilah dengan banyak bertanya, sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya). Lihat: Al-Mâwardî, Adab, h. 76.
itu berada pada posisi yang semestinya, banyak bertanya justru akan menghilangkan keraguan dan mencegah hal yang samar dalam pikiran murid.232
Di sini terlihat bahwa walaupun seorang murid diharuskan untuk menghormati gurunya, namun seorang murid tidak harus kehilangan sikap kritisnya, tidak taklid dan tidak fanatik terhadap guru. Menurut al-Mâwardî, sikap yang benar terhadap guru adalah sikap yang seimbang dalam memandang dan mempercayai gurunya. Apa yang dinyatakan seorang guru tidak mesti selalu benar, belum tentu dalil yang kuat dan belum tentu merupakan argumentasi yang valid. Karena itu, al-Mâwardî mencela murid yang secara membabi buta menjadikan pernyataan gurunya sebagai standar kebenaran dalam menilai kebenaran argumentasi orang lain. Bahkan ia mendorong agar murid bersikap kritis dengan cara banyak bertanya terhadap aspek-aspek yang samar dan tidak dipahami. Jika murid akhirnya menerima pernyataan seorang guru karena menganggapnya benar setelah menelitinya secara seksama, penerimaan seperti ini tidak termasuk dalam kategori taklid karena sang murid telah mengkaji dengan seksama terhadap pernyataan itu.
Jika dihubungkan dengan etika murid sebelumnya, sikap kritis terhadap pernyataan guru tidak harus disertai sikap meremehkan atau merendahkan guru, atau menganggap dirinya lebih tahu, lebih ahli atau lebih pintar dari gurunya. Sikap kritis dan tidak fanatik di sini dimaksudkan untuk memerangi sikap berlebihan dalam bertaklid kepada guru. Sebab, guru bukanlah manusia tanpa cela, pada satu sisi dan pada satu saat ia bisa lupa dan keliru.
Di sini al-Mâwardî menekankan urgensi dan signifikansi sikap moderasi murid dalam relasi-etis antara guru dan murid. Dalam perspektifnya, secara etis, mu-rid harus sangat respek terhadap gurunya tetapi respektivitas itu tidak boleh mengarah pada bentuk fanatisme esktrem atau taklid buta terhadap guru. Sebaliknya, sikap kritis terhadap guru tidak boleh mengarah pada bentuk pelecehan terhadap hak-hak guru atau memunculkan asumsi bahwa dirinya lebih pakar dari gurunya.