• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profesionalisme Guru dan Strategi Belajar Murid a. Profesionalisme guru

GURU DAN MURID DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZÂLÎ

B. Guru dan Murid Menurut al-Ghazâlî 1. Hakikat Guru dan Murid

2. Profesionalisme Guru dan Strategi Belajar Murid a. Profesionalisme guru

Profesi guru menurut al-Ghazâlî merupakan profesi yang agung dan mulia sebagaimana ia sebutkan dalam

Ihyâ‘ sebagai berikut:

(manakala seseorang sibuk memberikan pengajaran, sesungguhnya ia telah menanggung urusan agung dan perkara yang besar, karena itu hendaknya ia menjaga adab-adabnya dan tugas-tugasnya).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa profesi guru dalam perspektif al-Ghazâlî adalah sebuah profesi mulia. Sebagai pekerjaan mulia profesi guru harus memenuhi tuntutan-tuntutan profesionalismenya yaitu menjaga adab-adabnya dan tugas-tugasnya. Sejumlah adab dan tugas guru telah dikemukakan al-Ghazâlî baik pada Ihyâ‘,

Fâtihat al-‘Ulûm, Mîzân al-‘Amal maupun pada Bidâyat al-Hidâyah dan Adab fî al-Dîn. Kumpulan adab itu jika dianalisis dengan menggunakan tiga aspek profesionalisme guru sebagaimana yang dikemukakan pada bab II yaitu (1) dedikasi, (2) keahlian dan (3) kepribadian, akan dapat dikontruksi konsep profesionalisme guru dalam perspektif al-Ghazâlî sebagaimana akan diuraikan di di bawah ini.

1) Dedikasi

Dalam perspektif al-Ghazâlî, profesi guru merupakan profesi yang harus dilaksanakan dengan niat dan tujuan yang benar. Ada dua konsep mendasar dalam pemikiran al-Ghazâlî yang berkaitan

erat dengan aspek dedikasi sebagai unsur penting profesionalisme guru, yaitu (1) tujuan mengajar dan (2) status gaji guru.

Pada aspek tujuan mengajar, al-Ghazâlî dalam Fâtihat al-‘Ulum dengan tegas menyatakan bahwa belajar dan mengajar itu adalah ibadah, dan ibadah menjadi sah jika dilandasi dengan niat yang tulus hanya karena Allah semata.101 Karena itu, guru wajib menata niatnya untuk tetap konsisten pada komitmen ibadahnya.102 Kesalahan guru menata niat tidak hanya berdampak pada hilangnya nilai ibadahnya tetapi juga membawa efek negatif pada muridnya. Niat guru yang salah bisa menjalar kepada murid yang meniru perilakunya.103 Niat yang benar dalam mengajar menurut al-Ghazâlî adalah:

(Hendaklah niatnya (mengajar) itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menghidupkan agama-Nya, menyebarkan syariat-Nya, mendakwahi mereka yang menjauh dari ibadah kepada Allah (agar kembali beribadah), melaksanakan kekhalifahan rasulullah saw, memperbaiki kondisi umat, dan menggiring mereka ke hadapan Allah swt).

Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa profesi guru harus didedikasikan untuk kepentingan agama, penyebaran syariah, dakwah dan penegakan

101Al-Ghazâlî, Fatihah, h. 26. 102Al-Ghazâlî, Fâtihah, h. 31-32 103Al-Ghazâlî, Fâtihah, h. 31-32. 104Al-Ghazâlî, Fâtihah, h. 32.

khilâfah Rasulullah dan perbaikan umat. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Inilah niat yang benar dalam mengajar menurut al-Ghazâlî.

Setelah menyebutkan niat yang benar, selanjutnya al-Ghazâlî menyebutkan niat yang salah dalam mengajar yaitu:

(Tidak seharusnya ia (guru) bermaksud mencari populeritas dan menanamkan pengaruhnya di hati para penguasa dan or-ang awam. Jor-angan pula tujuannya mengajar itu karena ingin dilayani, diikuti dan untuk memperlihatkan banyaknya pendukung dan pengikut serta membanggakan diri kepada rekan-rekan (sesama guru) dengan banyaknya sahabat (murid utama). Tidak sepatutnya pula ia merasa berjasa kepada para muridnya dengan pengajarannya, sehingga ia menanti balasan, pengabdian, bantuan dan dukungan dari murid-muridnya).

Statemen di atas mengindikasikan bahwa tujuan mengajar tidak didedikasikan untuk mencari popularitas dan pengaruh, tidak untuk dilayani dan diikuti, tidak untuk prestise dengan banyaknya pengikut, tidak untuk berkompetisi dengan sesama profesi, dan tidak juga dimaksudkan untuk mengharap balasan apapun dari orang lain.

Salah satu cara untuk menjaga komitmen dan konsistensi niat ikhlas guru, menurut al-Ghazâlî,

adalah dengan merenungi dan meneladani keikhlasan para nabi dalam melaksanakan misinya secara total106

karena mengikuti dan meneladani praktik mengajar Nabi merupakan salah satu tugas penting guru.107

Implikasinya, guru harus menjadikan Nabi sebagai figur sentral, idola dan pembimbing yang harus diteladani dalam praktik mengajar. Itulah sebabnya al-Ghazâlî menyebut Rasul sebagai mursyid kull al-mu’allim (pembimbing para guru)108 dan al-mu’allim al-basyar kâffat wa mursyiduhum (guru dan pembimbing semua manusia).109

Salah satu aspek penting dari praktik mengajar Nabi yang mendapat stressing dari al-Ghazâlî untuk diteladani guru adalah mengajar tanpa mengharap upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dari manusia. Para Nabi mengajar hanya mengharap upah yang didapat secara langsung dari Allah, sebagaimana firman Allah yang dikutip oleh al-Ghazâlî berikut ini:

Artinya: Dan Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. (Q.S. al-Syu’arâ‘/26: 109)

Atas dasar ini, al-Ghazâlî, menilai bahwa guru tidak pantas mengharap balasan apapun dari muridnya karena keuntungan yang ia peroleh di sisi Allah jauh lebih besar dari keuntungan yang diperoleh murid (pahala mengajar lebih besar dari pahala

106Al-Ghazâlî, Fâtihah, h. 32.

107Al-Ghazâlî, Ihyâ‘ Juz I, h. 56; Mîzân, h. 146; Fâtihah, h. 133. 108Al-Ghazâlî, Ihyâ‘ Juz I, h. 57.

belajar). Guru tidak boleh merasa memiliki jasa pada muridnya, malah sebaliknya gurulah yang harus berterima kasih kepada murid karena mau belajar kepadanya sehingga ia memperoleh pahala yang besar.110 Al-Ghazâlî mengkritik para guru yang memperlakukan muridnya seperti “pelayan” atas nama balas jasa. Menurut al-Ghazâlî ini terbalik, or-ang yor-ang seharusnya dilayani (al-makhdûm) malah dijadikan sebagai pelayan (al-khâdim) dan orang yang seharusnya melayani (al-Khâdim) malah menjadi or-ang yor-ang dilayani (al-mkahdûm).111 Atas dasar ini, al-Ghazâlî mengecam para guru yang mengeksloitasi muridnya secara berlebihan seperti menuntut muridnya untuk membantunya bila ia menemui bahaya, meminta muridnya ikut memusuhi lawan-lawannya, memerintahkan murid untuk membela orang-orang yang disukainya, menuntut murid untuk melayani semua kebutuhannya dan mewajibkan murid untuk memenuhi segala keinginannya. Sedikit saja muridnya lalai, ia akan memarahinya atau bahkan memusuhinya.112 Guru seperti ini menurut al-Ghazâlî adalah guru yang tercela, bahkan dikatakannya sebagai guru yang tidak tahu malu jika mengklaim bahwa niatnya mengajar adalah demi menyebarkan ilmu sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dan membela agama.113

Walaupun keikhlasan dan niat yang benar termasuk tidak mengharap upah, balas jasa dan ucapan terima kasih merupakan salah satu stressing

al-Ghazâlî, namun ternyata ia tidak member-lakukannya untuk semua guru. Aturan itu hanya

110Al-Ghazâlî, Ihyâ‘ Juz I, h. 56; Fâtihah, h. 133-134.

111Al-Ghazâlî, Ihyâ‘ Juz I, h. 56; Mîzân, h. 146; Fâtihah, h. 134. 112Al-Ghazâlî, Ihyâ‘ Juz I, h. 56.

ditujukan kepada guru-guru yang mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti guru yang mengajar tafsir Alquran, hadis, fiqh, ushûl fiqh dan kalâm. Guru yang mengajar ilmu-ilmu seperti ini tidak boleh memiliki tujuan mengajar selain Allah (li ghayr Allâh). Sedang guru– guru yang mengajar ilmu kedokteran, matematika, termasuk juga guru yang mengajar ilmu bahasa (lughah) seperti nahw dan berbagai ilmu lainnya yang tidak termasuk kelompok ilmu-ilmu agama tidak dilarang memiliki tujuan mengajar untuk mendapatkan harta dan kemegahan (pangkat, jabatan, dan popularitas).114 Namun bila kelompok guru yang mengajar ilmu-ilmu non-agama ini memiliki tujuan ukhrawi mereka juga mendapatkan ganjaran pahala atas niat ikhlas mereka itu dari Allah.115

Setelah menganalisis perspektif al-Ghazâlî mengenai tujuan dan niat yang benar dalam mengajar, selanjutnya problem status gaji guru akan didiskusikan secara lebih detil. Problemnya adalah jika guru yang mengajar ilmu-ilmu non-agama boleh mendapatkan imbalan duniawi baik berupa harta maupun kemegahan, bolehkah guru yang mengajar ilmu-ilmu agama mendapatkan gaji atau harta dari profesinya? Jawaban dari pertanyaan ini akan berimplikasi pada pemosisian al-Ghazâlî dalam perdebatan boleh tidaknya guru (ilmu agama) memperoleh gaji profesi atau mendapat bayaran dari muridnya.

Dalam kitab Fatihat al-‘Ulûm, al-Ghazâlî

memberikan jawaban terhadap problem gaji ini. Di

114Al-Ghazâlî, Fâtihah, h. 37.

115Ini menurut logika al-Ghazâlî didasarkan hadis nabi bahwa setiap perbuatan (amal) dinilai berdasarkan niatnya. Hal ini dapat pula ditelusuri pada pembahasan tentang tugas guru yang pertama, bahwa guru yang mengajar ilmu non-agama yang memiliki tujuan akhirat termasuk guru yang dapat memberikan keselamatan di akhirat. Lihat: Al-Ghazâlî, Ihyâ‘Juz I., h. 55.

sini al-Ghazâlî memberikan jawaban mengenai persoalan boleh tidaknya guru yang mengajar pada lembaga pendidikan (madrasah) menerima gaji (rizq al-mudarris) dan memperoleh tunjangan makan yang dikhususkan untuknya dan boleh tidaknya murid (muta’allim) menerima beasiswa atau jatah makan yang telah ditentukan.116 Menurut al-Ghazâlî, murid yang mengambil beasiswa (bantuan makan) dengan tujuan agar ia dapat belajar hukumnya mubah (boleh), tapi bila tujuan belajar murid supaya mendapat beasiswa itu hukumnya adalah haram, karena jika bantuan itu terputus ia akan berhenti belajar. Yang dilihat di sini adalah maksud atau tujuan yang mendasarinya. Demikian pula para guru juga boleh mengambil tunjangan hidup sesuai dengan kebutuhannya untuk melapangkan hatinya dari prob-lem ekonomi sehingga ia dapat berkonsentrasi melaksanakan tugas akademiknya. Guru tetap dinilai ikhlas yakni bertujuan menyebarkan ilmu dan mendapat pahala akhirat karena gaji yang diambil dimaksudkan sebagai sarana untuk menunjang tugasnya mentransfer ilmu. Sebaliknya, jika kesibukan guru mengajar atau mentransfer ilmu bertujuan untuk mendapatkan harta, berarti guru telah menjadikan profesinya dalam mentransfer ilmu sebagai sarana untuk memperoleh harta.117

Jawaban Al-Ghazâlî terhadap problem boleh tidaknya guru mendapat gaji dan tunjangan hidup lainnya menunjukkan bahwa yang menjadi fokus

116Al-Ghazâlî, Fatihah, h. 37

117Al-Ghazâlî, Fatihah, h. 37-38. Atas dasar ini, Hasan Asari beranggapan bahwa al-Ghazâlî membedakan dua jenis upah atau bayaran yaitu bayaran dari murid dan bayaran dari wakaf madrasah. Yang dilarang al-Ghazâlî adalah mengambil bayaran dari murid sedang bayaran dari wakaf madrasah diperbolehkan. Menurut Hasan Asari, al-Ghazâlî sendiri memperoleh bayaran yang besar ketika ia mengajar di Madrasah Nizhâmiyyah Baghdad Hasan Asari, The Educational Thought of al-Ghazâlî, h. 107.

utama al-Ghazâlî sebenarnya adalah pada motivasi awal guru bukan pada status boleh atau haramnya gaji atau tunjangan hidup yang diterima guru. Penilaian seperti ini juga dikemukakan oleh Barîkân Barkî Qarsyî ketika menganalisis gagasan al-Ghazâlî tentang gaji guru. Menurut Barîkân, urgensi pendidikan dalam kehidupan menuntut adanya or-ang-orang yang bekerja secara khusus pada bidang ini. Persoalannya bukan mengambil upah atau tidak, tetapi persoalannya sebenarnya adalah pada tujuan dan niat. Siapapun yang niatnya ikhlas karena Al-lah, ia dapat disifati sebagai guru yang bertujuan mencari ridha Allah walaupun ia mendapat upah dari profesinya. Sebaliknya, siapapun yang tidak ikhlas karena Allah, amal mengajar seorang guru menjadi sia-sia walaupun ia tidak mengambil upahnya mengajar.118

Dalam perspektif al-Ghazâlî, tujuan dan niat mengajar menjadi faktor penentu boleh tidaknya guru menerima semua fasilitas hidup dari profesinya. Jika semua fasilitas hidup itu dijadikan sebagai sarana untuk memperlancar dan meningkatkan profesi dan tugas akademik, guru berhak mendapatkannya. Guru tetap dinilai ikhlas dan mendapat pahala akhirat. Sebaliknya, jika semua fasilitas hidup itu dijadikan sebagai tujuan profesi, berarti guru telah meng-gunakan profesinya sebagai alat mencari uang (gaji) semata. Guru seperti ini tidak mendapat pahala akhirat dan tidak termasuk guru yang ikhlas

Posisi al-Ghazâlî tentang gaji guru semakin jelas ketika ia mengomentari pendapat Imâm Syâfi’î yang membolehkan seseorang mengambil upah mengajar Alquran dan membolehkan pernikahan dengan cara

mengajarkan Alquran sebagai mahar.119 Dalam hal ini, al-Ghazâlî sepakat dengan pendapat Imâm Syâfi’î. Al-Ghazâlî berpendapat bahwa mengambil upah dari mengajar Alquran adalah boleh. Termasuk dalam hal ini, kata al-Ghazâlî, mengambil upah adzan dan

iqâmat serta mengambil upah mengimami salat tarawih.120

Al-Ghazâlî membolehkan asisten guru (al-mu’îd) mengambil gaji dari mengajarkan berbagai masalah tertentu yang diulang-ulang, begitu pula seorang guru (al-mudarris) boleh mengambil gaji karena mengajarkan berbagai masalah yang melelahkan dirinya. Al-Ghazâlî menganalogikan hal ini dengan seorang imam salat tarawih yang mengambil upah dari mengimami salat tarawih itu. Menurutnya, salat dengan niat selain Allah adalah haram, tetapi kelelahan diri imam akibat harus mendatangi tempat tertentu dan harus melaksanakan salat pada waktu tertentu bukan kewajiban si imam dan bukan pula merupakan rangkaian dari ibadah salat itu sendiri. Dengan demikian, menurut al-Ghazâlî, imam bukan mengambil upah dari ibadah yang dilakukannya, tetapi mengambil upah sebagai ganti dari kelelahan dirinya dan keterikatannya. Pada aspek ibadah, ia tetap dinilai ikhlas melaksanakan ibadah salat tarawih sedang pada aspek kelelahan dan keterikatannya, ia

berhak mendapat ganti (‘iwadh) karena harus

menghadiri tempat ibadah tertentu dan pada waktu yang telah ditentukan oleh orang yang menyewanya (al-musta’jir).121

Contoh kasus lain yang dikemukakan al-Ghazâlî adalah orang yang mengajarkan Alquran

119Al-Ghazâlî, Fatihah, h. 38. 120Al-Ghazâlî, Fatihah, h. 38. 121Al-Ghazâlî, Fatihah, h. 39.

pada orang tertentu. Kelelahan guru dalam mengajarkan surat-surat Alquran kepada orang tertentu bukanlah sesuatu yang wajib atasnya. Karena itu, ia tetap dinilai memiliki tujuan yang benar (mendekatkan diri kepada Allah) meskipun ia mendapat imbalan (‘iwadh) dari mengajarkan surah Alquran. Mengajarkan Alquran termasuk kategori

fardh kifâyah yang pelakunya diperbolehkan mengambil upah darinya sedang mempelajari Alquran (seperti memperlajari surah Al-Fâtihah) merupakan kewajiban agama bagi seorang murid yang harus diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Walaupun seorang murid wajib mempelajari surah al-Fâtihah, akan tetapi tidak seharusnya ia memanfaatkan kelelahan atau jerih payah orang lain secara gratis.122

Komentar-komentar al-Ghazâlî di atas merupakan bukti konkret dan eksplisit tentang kebolehan guru mendapat imbalan (‘iwadh) dan upah (ujrah) dari profesinya. Al-Ghazâlî membolehkan guru pada lembaga pendidikan (al-mudarris dan al-mu’îd) untuk menerima fasilitas hidup, ia juga sepakat dengan Imâm Syâfi’î mengenai kebolehan guru mengambil imbalan mengajarkan Alquran dan pernikahan dengan mahar mengajarkan Alquran. Ini berarti ia satu kelompok dengan Imam Syâfi’î—al-Ghazâlî sendiri bermazhab Syâfi’î—,123 yang berada

122Al-Ghazâlî, Fatihah, h. 39.

123Al-Ghazâlî menulis dalam madzhab Syâfi’î empat karya fiqih masyhur yaitu: al-Basîth, al-Wasîth, al-Wajîz dan al-Khulâshah. Namun Yûsuf al-Qardhâwî menyatakan bahwa al-Ghazâlî sebenarnya sering tidak terikat dengan madzhab Syâfi’î dalam banyak masalah. Ia mencontohkan perbedaan al-Ghazâlî dengan Syâfi’î dalam masalah air, al-Ghazâlî lebih condong kepada madzhab Mâlikî. Dalam masalah jual beli al-Ghazâlî mendukung madzhab Abû Hanîfah yang membolehkan jual beli tanpa ijâb dan qabul. Walaupun begitu al-Ghazâlî memiliki pengaruh besar dalam kalangan pengikut madzhab Syâfi’î. Salah seorang murid al-Ghazâlî yang bernama Muhammad ibn Yahyâ menyebut al-Ghazâlî sebagai Imam Syâfi’î kedua. Yûsuf al-Qardhâwî, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazâlî, diterjemahkan oleh Achmad Satori Ismail, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 10, 12 dan 62.

pada kelompok yang membolehkan gaji guru. Apalagi dalil mengenai kebolehan mengajarkan Alquran dengan mengambil upah dan pernikahan dengan mahar mengajar Alquran yang disepakati al-Ghazâlî adalah dalil-dalil yang menjadi dasar utama sejumlah ulama membolehkan gaji sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.124 Berdasar fakta ini, secara tegas dapat disimpulkan bahwa al-Ghazâlî termasuk ulama yang membolehkan gaji guru. Dengan demikian, beberapa pakar pendidikan telah melakukan kekeliruan dengan menempatkan al-Ghazâlî pada kelompok yang mengharamkan gaji guru,125 dan lebih keliru lagi yang menempatkan al-Ghazâlî sebagai tokoh utamanya.

Jika dianalisis lebih jauh, terlepas dari dalil-dalil

naqlî, ada dua pertimbangan argumentatif yang menjadi dasar al-Ghazâlî untuk membolehkan guru menerima fasilitas hidup (gaji, tunjangan makan dan lainnya) dari profesinya. Pertama, pertimbangan tujuan. Jika tujuan guru mendapatkan semua fasilitas

124Al-Bukhârî menyebutkan hadis tersebut yaitu: (Sesungguhnya yang paling berhak engkau ambil upahnya adalah mengajarkan Kitab Allah).lihat: Abû Abdillâh Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Bandung: Maktabat Dahlan, tt), Juz II, h. 857. Sedang kebolehan menikahi wanita dengan mengajarkan Alquran sebagai mahar berdasarkan hadis berikut: (aku nikahkan engkau berdua dengan [ayat atau surah] Alquran yang ada padamu [untuk diajarkan kepadanya]. Lihat: Shahih al-Bukhârî, h. 2084.

125Hasan Langgulung misalnya menempatkan al-Ghazâlî pada kelompok ulama yang mengharamkan gaji guru karena, menurutnya, al-Ghazâlî mengharamkan gaji guru berdasarkan alasan kedua dari kelompok yang mengaramkan gaji guru, yaitu bahwa semua pemimpin kaum muslimin pada awal kebangkitan Islam sangat memperhatikan kepentingan umat Islam, tidak terdengar mereka mengambil harta Allah untuk menggaji guru-guru. Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), h. 173-174. Zainuddin dkk. dalam pembahasannya mengenai seluk beluk pemikiran pendidikan al-Ghazâlî juga beranggapan bahwa al-Ghazali mengharamkan gaji guru. Lihat: Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 54-55; Sementara Asma Hasan Fahmi dan Abuddin Nata beranggapan bahwa al-Ghazali hanya membolehkan gaji guru kepada guru-guru pengajar ilmu non-agama. Lihat: Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat PendidikanIslam, terjemah Ibrahim Husein (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 169; Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos, 1999), h. 72.

hidup itu untuk memperlancar tugas akademiknya yang bernilai ibadah dan mendukung konsentrasinya untuk fokus pada aktivitas edukatif, guru berhak menerima semua fasilitas hidup itu. Di sini semua fasilitas hidup itu dijadikan guru sebagai alat untuk memperlancar tugas profesinya. Dengan motif seperti ini, guru tetap dinilai ikhlas dan mendapat pahala dari

aktivitas edukatifnya. Kedua, pertimbangan

keterikatan dan kelelahan. Guru yang mengajar pada lembaga pendidikan adalah orang yang dibatasi ruang dan waktunya. Di sini guru terikat dengan waktu dan tempat mengajar tertentu serta terikat pula untuk mengajar ilmu tertentu, dan orang atau kelompok tertentu. Dengan adanya kelelahan dan keterikatan itu, guru berhak mendapat imbalan dari jerih payahnya dan “ketidakbebasannya”. Kelelahan dan keterikatan inilah yang sebenarnya yang dibiayai oleh pengguna pendidikan bukan ibadah mengajarnya.

Bila al-Ghazâlî secara meyakinkan terbukti membolehkan gaji guru, persoalan selanjutnya yang adalah apakah al-Ghazâlî bisa mengakomodasi pandangan yang mengidealkan guru memiliki gaji yang besar sebagaimana yang ditawarkan oleh Ahmad Tafsir berikut ini:

Gaji yang besar perlu bagi guru, juga bagi karyawan sekolah. Ini adalah tuntutan yang uni-versal. Bagi guru yang menjalani pekerjaannya secara profesional, uang amat diperlukan dalam meningkatkan profesinya... Pemegang profesi harus belajar terus, harus meneliti, harus berlangganan media profesi, harus bekerja full time. Itu semua tidak dapat dilakukan dengan baik bila gajinya kecil. Kesimpulannya ialah, gaji guru harus

besar agar ia ikhlas, agar ia rajin mengajar, agar profesinya meningkat terus.126

Pada dasarnya motif duniawi yang dilarang oleh al-Ghazâlî pada guru adalah memperalat ilmu untuk memperoleh dunia dengan tujuan untuk bersenang-senang (al-tana’’um), menjadikan ilmu sebagai media memperoleh kemegahan dan jabatan tertentu.127 Guru yang memiliki motif seperti ini adalah termasuk dalam kelompok ulama jahat (‘ulamâ` al-sû`).128 Jika guru tidak menggunakan ilmu dan ibadah mengajarnya sebagai alat untuk memperoleh kesenangan hidup, kemegahan dan jabatan, guru boleh menerima berapapun banyaknya fasilitas hidup atau besarnya gaji yang diberikan kepadanya. Apalagi kalau fasilitas hidup atau gaji besar itu dijadikan sebagai sarana meningkatkan dan mengembangkan profesi. Dalam perspektif al-Ghazâlî, dunia ini adalah alat untuk mencapai tujuan ibadah dan kepentingan akhirat. Apa saja yang diperoleh seseorang dari dunia untuk kepentingan ibadah dan akhirat itu maka seseorang berhak untuk memperolehnya sebagai bagian dari kebutuhannya. Dalam hal ini al-Ghazâlî menyatakan:

126Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaj Rosdakarya, 2000), h. 106.

127Lihat: al-Ghazâlî, Ihyâ‘ Juz 1, h. 58. 128al-Ghazâlî, Ihyâ‘ Juz 1, h. 58.

(Dunia itu diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hamba dalam beribadah dan menjalani jalan akhirat. Karena itu, apa saja yang diperoleh seorang hamba dari dunia yang dapat membantunya untuk kepentingan agama dan ibadah maka itu merupakan bagian dari kebutuhannya).

Prinsip ini, bila diaplikasikan dan dikaitkan dengan masalah gaji yang besar, sebagaimana yang digagas oleh Ahmad Tafsir, dapat ditegaskan bahwa gaji yang besar yang diperlukan untuk memudahkan guru melaksanakan tugas profesinya dan mening-katkan kualitas profesinya sebagai guru dengan tujuan ibadah dan melaksanakan perintah agama

adalah termasuk “kebutuhan” (hâjatuh) dalam

perspektif al-Ghazâlî di atas. Sebab, gaji guru yang besar itu digunakan untuk memperlancar tugasnya mengajar yang merupakan bagian dari kewajiban agama dan sekaligus merupakan ibadah. Karena itu, bila kesejahteraan guru merupakan syarat mutlak bagi kelancaran tugas mengajar serta sangat menentukan kualitas kompetensi profesional guru, gaji yang besar merupakan bagian dari kebutuhan itu sendiri, yakni kebutuhan untuk menjalankan tugas agama dan ibadah. Prinsip ini sejalan dengan penjelasan al-Ghazâlî sebelumnya mengenai alasannya membo-lehkan guru mendapat gaji. Yang tidak diinginkan al-Ghazâlî dalam hal ini adalah menjadikan gaji yang besar itu untuk bersenang-senang (al-tana’’um) dan hidup bermegah-megah (al-jâh), sebab tujuan seperti