• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK LEGAL DAN KONSEP PENGAWASAN DISTRIBUSI OBAT

Dalam dokumen MODUL MATERI UJIAN ALIH JENJANG PFM (Halaman 60-66)

PEMERIKSAAN SARANA DISTRIBUS

A. PEMERIKSAAN SARANA DISTRIBUSI OBAT

1. ASPEK LEGAL DAN KONSEP PENGAWASAN DISTRIBUSI OBAT

Agar suatu produk dapat sampai ke tangan konsumen diperlukan suatu jalur distribusi yang sesuai, karena produsen tidak mampu menjangkau produknya hingga sampai ke tangan konsumen. Hal ini berlaku pula untuk produk obat, diperlukan jalur distribusi sehingga produk obat dapat sampai ke tangan konsumen, terlebih lagi obat merupakan komoditi yang punya kekhususan tersendiri dibandingkan dengan komoditi lain yang dalam peredarannya diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait peredaran obat.

Badan POM selaku pihak regulator mempunyai sistem dalam pengawasan terhadap obat dan makanan yang disebut “Sistem Pengawasan Obat dan Makanan” atau yang sering disebut dengan “SISPOM”. Dalam SISPOM tersebut, terdapat 3 (tiga) bagian atau pihak yang terlibat dalam Pengawasan Obat dan Makanan yang terdiri dari pihak Produsen, pihak Pemerintah dan pihak Masyarakat. Tujuan dari SISPOM tersebut adalah perlindungan terhadap kesehatan masyarakat. Sebagai bentuk dari SISPOM, maka dilakukan pengawasan mulai dari pre-market (sebelum beredar) sampai dengan post-market (pada saat beredar).

Pengawasan post-market dilakukan ketika suatu produk obat telah teregistrasi di Badan POM mulai dari produksi sampai dengan distribusi dari produk obat. Setiap produsen produk obat harus menerapkan Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB) untuk memastikan bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi produk. Diperlukan upaya-upaya untuk memastikan

keamanan, manfaat dan mutu produk obat di sepanjang jalur distribusi tetap dipertahankan sesuai dengan karakteristik pada saat obat dimaksud disetujui untuk beredar. Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) merupakan pedoman dalam upaya mempertahankan mutu produk selama jalur distribusi obat.

a. Peredaran Obat

Kegiatan peredaran obat harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Peredaran obat terdiri dari penyaluran atau pendistribusian dan penyerahan. Pendistribusian obat dilakukan oleh fasilitas distribusi obat, yang terdiri dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan Instalasi Sediaan Farmasi Pemerintah. Sedangkan penyerahan ke konsumen dilakukan oleh fasilitas pelayanan kefarmasian yang meliputi apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat dan Praktik bersama.

Ada beberapa mekanisme pendistribusian dan penyerahan produk obat dari produsen/pemilik izin edar hingga sampai ke tangan konsumen, antara lain:

1. Industri Farmasi – Fasilitas Pelayanan Kefarmasian – Konsumen 2. Industri Farmasi – PBF – Fasilitas Pelayanan Kefarmasian – Konsumen

3. Industri Farmasi – PBF – PBF lain – Fasilitas Pelayanan Kefarmasian – Konsumen.

4. Industri Farmasi – PBF – Instalasi Sediaan Farmasi Pemerintah – Fasilitas Pelayanan Kefarmasian Pemerintah – Konsumen.

Peredaran bahan obat mempunyai mekanisme yang berbeda dengan produk obat, karena sebagai konsumen dari bahan obat adalah industri farmasi dan fasilitas pelayanan kefarmasian yang melakukan peracikan bahan obat melalui resep. Adapun mekanisme distribusi bahan obat antara lain sebagai berikut:

5. Produsen/eksportir bahan obat – Industri Farmasi

6. Produsen/eksportir bahan obat – PBF – Industri Farmasi

7. Produsen/eksportir bahan obat – PBF – Fasilitas Pelayanan Kefarmasian kecuali toko obat dan apotek rakyat

b. Regulasi

Setiap proses pada pendistribusian dan penyerahan obat dan/atau bahan obat harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun peraturan perundang-undangan terkait peredaran obat meliputi:

1. Ordonansi Obat Keras (Sterkwerkende Geneesmiddelen Ordonnantie, Staatsblad 1949: 419);

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

6. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

7. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian 8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor

10. Peraturan Menteri Kesehatan No 785/MENKES/PER/VII/1997 tentang Ekspor dan Impor Psikotropika;

11. Peraturan Menteri Kesehatan No 16 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi;

12. Peraturan Menteri Kesehatan No 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi;

13. Peraturan Menteri Kesehatan No 9 Tahun 2014 tentang Klinik

14. Peraturan Menteri Kesehatan No 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 30Tahun 2017;

15. Peraturan Menteri Kesehatan No 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit;

16. Peraturan Menteri Kesehatan No 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Apotek;

17. Peraturan Menteri Kesehatan No 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskemas;

18. Keputusan Menteri Kesehatan No 704/Ph/63/b Tanggal 14 Februari 1963 Tentang Penyimpanan Resep;

19. Keputusan Menteri Kesehatan No 193/Kab/B.VII/71 tentang Pembungkusan dan Penandaan Obat;

20. Keputusan Menteri Kesehatan No 1331/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 167/Kab/B.VIII/1972 tentang Pedagang Eceran Obat

21. Keputusan Menteri Kesehatan No1426/MENKES/SK/XI/2002 tentang Pedoman Penolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan;

22. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.34.11.12.7542 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik;

c. Fasilitas–fasilitas yang Terlibat Dalam Jalur Distribusi Obat 1. Pedagang Besar Farmasi

Berdasarkan Permenkes No. 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi yang telah diubah 2(dua) kali dengan Permenkes No. 34 Tahun 2014 dan Permenkes No 30 tahun 2017, yang dimaksud Pedagang Besar Farmasi atau yang biasa disingkat dengan PBF didefinisikan sebagai perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Izin PBF diterbitkan oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan di Kementerian Kesehatan dan berlaku selama 5 (lima) tahun. Dalam proses untuk memperoleh izin, PBF harus mendapatkan rekomendasi pemenuhan kelengkapan administratif dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan rekomendasi pemenuhan CDOB dari Kepala Badan POM RI.

Persyaratan umum sebagai PBF adalah sebagai berikut:

a. Berbadan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi; b. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

c. Memiliki secara tetap apoteker Warga Negara Indonesia sebagai penanggung jawab;

d. Komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi;

e. Menguasai bangunan dan sarana yang memadai untuk dapat melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat serta dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi PBF;

f. Menguasai gudang sebagai tempat penyimpanan dengan perlengkapan yang dapat menjamin mutu serta keamanan obat yang disimpan;

g. Memiliki ruang penyimpanan obat yang terpisah dari ruangan lain sesuai CDOB;

h. Memiliki laboratorium yang mempunyai kemampuan untuk pengujian bahan obat yang disalurkan sesuai dengan ketentuan (khusus PBF Penyalur Bahan Obat);

i. Memiliki gudang khusus tempat penyimpanan bahan obat yang terpisah dari ruangan lain (khusus PBF Penyalur Bahan Obat).

Pada pelaksanaan operasionalnya, PBF dapat mendirikan PBF Cabang dengan memperoleh pengakuan cabang dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi di wilayah PBF cabang berada. Masa berlaku pengakuan cabang mengikuti jangka waktu izin PBF (pusat). Pengadaan obat dan/atau oleh PBF cabang hanya dilakukan dari PBF pusat. Izin PBF dan Pengakuan cabang tidak berlaku jika masa berlaku Izin PBF habis dan tidak diperpanjang, dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan, izin PBF atau pengakuan cabang dicabut. PBF dan PBF Cabang dalam menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat dan/atau bahan obat wajib menerapkan Pedoman Teknis CDOB yang ditetapkan oleh Kepala Badan POM RI. Pengawasan PBF dan PBF Cabang dilakukan oleh Badan POM. Kepala Badan POM RI berwenang memberi sanksi administratif dalam rangka pengawasan berupa Peringatan dan Penghentian Sementara Kegiatan PBF dan/atau PBF Cabang. Direktur Jenderal Binfar dan Alkes berwenang mencabut Izin PBF berdasarkan rekomendasi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau hasil analisis pengawasan dari Kepala Badan, sedangkan untuk pencabutan pengakuan cabang PBF merupakan kewenangan dari Dinas Kesehatan Provinsi.

2. Apotek

Berdasarkan peraturan perundang-undangan, definisi dari Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan Praktik kefarmasian oleh Apoteker (PP No. 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian). Surat Izin Apotek (SIA) diterbitkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di tempat Apotek

berada kepada Apoteker Penola Apotek (APA). Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di Apotek, Apoteker Penola Apotek dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2017 tentang Apotek, pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan Badan POM.

3. Toko Obat

Definisi Toko Obat atau Pedagang Eceran Obat Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1331/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 167/Kab/B.VIII/1972 tentang Pedagang Eceran Obat yaitu orang atau badan hukum Indonesia yang memiliki izin untuk menyimpan Obat-Obat Bebas dan Obat-Obat Bebas Terbatas (daftar W) untuk dijual secara eceran di tempat tertentu sebagaimana tercantum dalam surat izin. Izin Toko Obat diberikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Sebagai penanggung jawab teknis farmasi pada toko obat adalah seorang Asisten Apoteker.

Beberapa batasan dalam penolaan toko obat adalah:

a. Hanya menjual golongan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam bungkusan dari pabrik yang membuatnya secara eceran;

b. Dilarang menerima atau melayani resep dokter;

c. Dilarang meracik, membungkus atau melakukan pengemasan kembali obat. Pembinaan dan pengawasan terhadap apotek rakyat dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, Badan POM RI, Dinas Kesehatan Kabupateb/Kota setempat dengan mengikut sertakan organisasi profesi sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.

4. Instalasi Farmasi Pemerintah

Instalasi Farmasi Pemerintah atau yang biasa disebut Gudang Farmasi adalah Sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan sediaan farmasi milik pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Dengan adanya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, maka penolaan gudang farmasi dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Penolaan obat di gudang farmasi mengacu pada Kepmenkes No. 1426/Menkes/SK/XI2002 tentang Penolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.

Salah satu fungsi dari gudang farmasi adalah mendistribusikan obat dan perbekalan kesehatan ke Unit Pelaksana Teknis yang berada di bawahnya, misalnya gudang farmasi pusat mendistribusikan obat dan perbekalan farmasi ke gudang farmasi provinsi; gudang farmasi provinsi mendistribusikan obat dan perbekalan farmasi ke gudang farmasi kabupaten/kota dan; gudang farmasi

kabupaten/kota mendistribusikan obat dan perbekalan farmasi ke unit pelayanan dasar (puskesmas). Pengadaan Gudang Farmasi Provinsi selain dari gudang farmasi pusat, juga dapat melakukan pengadaan sendiri (dari PBF) untuk kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan. Mekanisme pengadaan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut juga berlaku pada pengadaan di gudang farmasi kabupaten/kota.

Sebagai kepala atau penanggung jawab unit penola obat publik adalah dan perbekalan kesehatan adalah seorang Apoteker yang dapat dibantu oleh Apoteker atau Tenaga Teknis Kefarmasian dan tenaga administrasi dalam pelaksanaan pendistribusian, penyimpanan, evaluasi, dokumentasi penolaan obat dan perbekalan kesehatan.

Sesuai dengan Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.34.11.12.7542 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik, Instalasi Sediaan Farmasi yang menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat dan/atau bahan obat wajib menerapkan Pedoman Teknis CDOB.

5. Pusat Kesehatan Masyarakat

Pusat Kesehatan Masyarakat atau yang disebut Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah. Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan dilakukan dari Gudang Farmasi Kabupaten/Kota dimana puskemas berada.

Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, disebutkan bahwa pelayanan kefarmasian di apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker dan dapat dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

6. Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, definisi dari rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Instalasi Farmasi Rumah Sakit merupakan bagian dari Rumah Sakit yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di Rumah Sakit. Sebagaimana tercantum dalam Kepmenkes No. 1197/MENKES/SK/X/2009 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dipimpin oleh seorang Apoteker dan dalam operasionalnya dapat dibantu oleh Tenaga Madya Farmasi (Diploma) dan Tenaga Menengah Farmasi (Asisten Apoteker).

7. Klinik

Klinik atau yang bisa disebut juga Balai Pengobatan menurut Permenkes No. 9 Tahun 2014 adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik.

Penolaan dan pelayanan kefarmasian di klinik melalui ruang farmasi yang dilaksanakan oleh apoteker yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk itu. Apabila klinik berada di daerah yang tidak terdapat apoteker, maka pelayanan kefarmasian dapat dilaksanakan oleh tenaga teknis kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ruang farmasi yang terdapat di klinik hanya dapat melayani resep dari tenaga medis yang bekerja di klinik tersebut.

Dalam dokumen MODUL MATERI UJIAN ALIH JENJANG PFM (Halaman 60-66)