• Tidak ada hasil yang ditemukan

Atraksi Wisata di Watukamba

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PA (Halaman 88-99)

SAIL INDONESIA

5.1.4 Desa Watukamba

5.1.4.2 Atraksi Wisata di Watukamba

Atraksi wisata yang menjadi daya tarik utama di Desa Watukamba adalah pembuatan gula aren khususnya di kampung adat Nuabela. Dari 16 kepala keluarga (KK) yang menghuni kampung Nuabela, terdapat 14 KK yang merupakan pembuat gula aren. Tempat pembuatan gula aren umumnya terdiri dari tungku api tempat memasak, kuali dari bahan aluminium sebagai wadah untuk memasak air nira, dan peralatan untuk mencetak gula aren yang terbuat dari bambu.

Proses pembuatan (memasak) gula aren di masing-masing rumah pada prinsipnya sama. Satu-satunya bahan yang dicampurkan ke dalam air nira yang dimasak adalah bubuk kemiri. Hal ini dijelaskan oleh Hironimus Nira salah seorang pemuat gula aren dan kini menjabat sebagai kaur Desa Watukamba:

“Air nira dimasak sampai kental lalu diaduk dan ditambahkan bubuk kemiri yang sudah diparut halus. Fungsi bubuk kemiri ini adalah untuk memadatkan adonan agar tidak mudah hancur ketika sudah jadi gula dan tahan lama” (Wawancara 13 Juni 2013).

Dalam kegiatan Sail Indonesia, pembuatan gula aren juga menjadi atraksi yang disaksikan oleh wisatawan yang berkunjung ke kampung Nuabela dan produk gula aren juga dibeli oleh wisatawan. Sama seperti beberapa aktivitas masyarakat di desa – desa lainnya, aktivitas pembuatan gula aren juga berpotensi menjadi atraksi wisata yang dapat dikembangkan. Penjualan produk gula aren tentu saja memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat. Kondisi

ini sejalan dengan pendapat Jennings (2007: 36) bahwa salah satu dampak ekonomi dari wisata layar adalah “increased income generaion in host communities”, atau meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.

Atraksi lainnya yang ada di Desa Watukamba adalah keberadaan kampung adat Nuabela dengan rumah-rumah adat dan seremoni adatnya. Pada tahun 2007, sebagai penghargaan, komunitas adat di Nuabela menobatkan sepasang peserta

Sail Indonesia yang datang ke kampung ini sebagai tetua adat (mosalaki) dengan sebutan mosalaki ulu beu eko bewa (tamu yang dinobatkan sebagai bagian dari

mosalaki di suatu komunitas adat). Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Jennings (2007: 36) bahwa salah satu dampak sosial dari wisata layar adalah meningkatkan pemahaman di antara wisatawan dan masyarakat.

Gambar 5.4 Penobatan Peserta Sail Indonesia sebagai Mosalaki

Desa Watukamba juga mempunyai kelompok sanggar seni yang biasa berperan saat penyambutan tamu dan berbagai acara seni budaya lainnya. Sanggar seni budaya dari desa ini menjadi entertainer dalam kegiatan Sail Indonesia dengan atraksi seni feko genda (suling dan perkusi yang mengiringi tarian) (Disbudpar, 2007).

Desa Watukamba terletak sekitar 6 km dari kota Kecamatan Maurole atau sekitar 88 km di utara kota Ende. Perjalanan menuju desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria – Maurole – Watukamba. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot (Nagekeo) – Maukaro – Ropa – Maurole Watukamba, sedangkan jalur dari Maumere di bagian timur adalah Maumere – Kotabaru – Nanganio – Maurole – Watukamba. Jalur dari kota kecamatan ke Desa Watukamba sebagian berupa jalan beraspal, sebagian berbatu dan sebagiannya lagi berupa rabat beton.

Gambar 5.5 Titik Labuh Pantai Nanganio, Desa Watukamba Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2010

Fakta atraksi wisata di empat desa di Kecamatan Maurole membentuk kekhasan lokal Maurole sebagai sebuah destinasi. Tourism Insights (2008) mengatakan kekhasan lokal (local distinctiveness) adalah kombinasi berbagai hal yang menyebabkan suatu tempat memiliki karakter yang unik. Dijelaskannya, pengunjung menginginkan “pengalaman” dari kunjungan mereka. Kekhasan suatu destinasi adalah alat untuk membentuk “pengalaman” itu sehingga pengunjung merasakan perbedaan satu destinasi wisata dengan destinasi wisata lainnya.

Tourism insight juga menegaskan kekhasan lokal merupakan stimulan bagi keinginan pengunjung untuk berwisata, merekomendasikan sebuah destinasi pada teman dan keluarga, serta melakukan kunjungan ulang. Konsep kekhasan yang dari Tourism insight ini membuka ruang bagi pemahaman yang beragam. Salah satunya adalah, kekhasan selalu ada di setiap destinasi. Ukuran kekhasannya relatif bagi setiap orang atau wisatawan yang berkunjung, dengan kalimat lain “pengalaman” yang didapat di sebuah destinasi merupakan sesuatu yang “khas” bagi pemilik pengalaman itu. Dalam konteks kehadiran wisatawan dari kapal wisata, mereka memerlukan interaksi dengan masyarakat lokal (understanding between people). Mason (dalam Hermantoro, 2011: 80) menegaskan masyarakat lokal dapat menjadi atraksi utama untuk wisatawan. Dengan demikian, perpaduan (amalgam) dari berbagai komponen atraksi wisata di Maurole merupakan kekhasan tersendiri.

Beberapa segi dari kekhasan Kecamatan Maurole menyangkut beberapa komponen sebagai berikut:

1) alam (natural features): bentangan (landscape) alamnya yaitu mulai dari laut yang memiliki kekhasan sebagai titik labuh bagi kapal layar (Pantai Mausambi dan Nanganio), pantai dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya sebagai ranah interkasi dengan komunitas setempat, dataran sedang sampai daratan tinggi yang berpotensi sebagai panorama alam dan areal trekking; tumbuh-tumbuhan (hortikultura dan tanaman perkebunan) yang merupakan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan aktivitas wisata dan bahan baku yang mendukung aktivitas masyarakat yang juga berfungsi sebagai atraksi wisata (pembutan tuak dan gula aren);

2) buatan manusia (man made feautures): gaya arsitek rumah-rumah adat dan bangunan adat lainnya yang khas dari etnik lio yang berbasis pada nilai-nilai arsitektur masyarakat agraris; atraksi-atraksi wisata yang dikemas menjadi paket wisata (khususnya yang terlihat dalam kegiatan Sail

Indonesia);

3) kebudayaan (culture and traditions) yang mewujud dalam cara hidup masyarakat setempat, upacara adat, tarian, dan musik.

5.2 Aksesibilitas

Aksesibilitas ke Kecamatan Maurole dapat digambarkan berdasarkan akses ke empat Desa yang dikunjungi oleh wisatawan asing peserta reli wisata layar internasional Sail Indonesia sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Observasi di lapangan mendapatkan data perjalanan darat menuju Kecamatan Maurole dapat ditempuh melalui beberapa jalur, yaitu:

2) Marapokot (Kabupaten Nagekeo) – Maukaro – Wewaria – Ropa – Mausambi – Maurole.

3) Maumere (Kabupaten Sikka) – Kotabaru – Aewora – Watukamba – Maurole.

Bertolak dari jalur aksesibilitas ke Kecamatan Maurole itu, diperoleh data moda transportasi yang digunakan untuk mencapai destinasi ini. Tabel 5.2. memperlihatkan angkutan umum yang melayani penumpang di Kecamatan Maurole.

Tabel 5.2

Rute, Jadwal, Jenis dan Jumlah Moda Transportasi Antarkota dari dan ke Kecamatan Maurole

No Rute Moda

Transportasi

Jumlah (unit)

Jadwal

1 Maurole – Ende PP Mini Bus 2 Tiap hari

Bus Kayu*) 3 Tiap hari 2 Maurole – Maumere PP Bus Kayu*) 2 Tiap hari 3 Ende – Kota Baru via Maurole Bus 2 Tiap hari 4 Maumere – Mbay via Maurole Bus 3 Tiap hari 5 Mbay – Maumere via Maurole Bus 3 Tiap hari 6 Travel Maumere – Ende PP via

Maurole

Mobil Travel 1 Tiap hari *)Bus Kayu adalah sebutan untuk jenis angkutan umum berupa kendaraan roda empat jenis truk yang didesain untuk mengangkut penumpang.

Sumber: Penelitian, 2013.

Dalam kegiatan Sail Indonesia, beberapa dari moda transportasi itu dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam kunjungan wisata ke berbagai atraksi wisata. Pemanfaatannya disesuaikan dengan kebutuhan paket perjalanan wisata yang dibeli oleh wisatawan.

Salah satu jalur perjalanan wisata menuju ke Maurole adalah melalui jalur laut. Akses ini menjadi semakin nyata ditandai dengan adanya kapal wisata (yacht) peserta reli perahu layar internasional Sa il Indonesia yang menyinggahi Maurole sejak Tahun 2007. Jalur laut menuju ke Maurole adalah sesuai dengan rute perjalanan sail Indonesia (Lesmana, 2012) yaitu: Darwin (Australia) – Kupang (entry port) – Alor – Lembata – Larantuka – Maumere – Maurole. Setelah singgah di Maurole, kapal wisata meneruskan perjalanan ke arah barat menuju Marapokot (Kabupaten Nagekeo) – Riung (Kabupaten Ngada) – Labuan Bajo (Kabupaten Manggarai Barat) – Lombok (NTB) – Lovina (Bali) – Karimun Jawa (Jawa Tengah), Kumai River (Kalimantan Selatan) – Belitung (Kabupaten Bangka-Belitung) – Bintan – Batam (Kepulauan Riau) sebagai pelabuhan keluar (exit port).

Sebelum memasuki perairan Indonesia dan berangkat dari Darwin, kapal-kapal wisata umumnya mengarungi rute pelayaran baik di Australia, maupun di negara-negara di Samudera Pasifik, seperti: Fiji, Tonga, Vanuatu, Samoa, Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, Selandia Baru, dan Tasmania. Setelah meninggalkan perairan Indonesia, kapal-kapal wisata itu melanjutkan pelayarannya menuju ke berbagai destinasi di Asia, seperti: Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina, Kepulauan Andaman, Myanmar, Bangladesh, India, Pakistan, dan ke negara-negara di timur tengah.

Masuknya wisatawan asing melalui jalur laut di Kecamatan Maurole menunjukkan bahwa destinasi singgah Maurole telah menjadi salah satu pintu

masuk wisatawan ke Kabupaten Ende. Hal ini diungkapkan oleh Nyo Cosmas, SH., Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende:

“Sebelum Kecamatan Maurole menjadi destinasi singgah Sail

Indonesia, kami hanya mengandalkan wisatawan asing masuk melalui jalur darat dari barat dan dari timur Kabupaten Ende, melalui Bandar Udara H. Hasan Aroeboesman, dan melalui pelabuhan laut (Ende, Ipi, dan Nangakeo). Sejak Tahun 2007, kami mempunyai alternatif pintu masuk baru melalui laut yaitu di Kecamatan Maurole” (Wawancara 17 Juni 2013).

Kenyataan itu dapat menjadi pemicu pengembangan destinasi wisata lebih lanjut. “Destinasi menjadi alasan bagi adanya perjalanan dan atraksi di destinasi membangkitkan kunjungan” (Cooper et al., 1996: 77). Dalam upaya pengembangan destinasi wisata yang secara nyata telah dikunjungi oleh wisatawan dan menjadi pintu masuk bagi wisatawan, diperlukan campur tangan berbagai pemangku kepentingan, sehingga diharapkan, aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan di destinasi wisata dapat berkembang secara harmonis.

5.3 Amenitas

Konsep amenitas yang menjadi landasan kajian ini adalah segala fasilitas pendukung yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berada di destinasi. Amenitas berkaitan dengan ketersediaan sarana akomodasi untuk menginap serta restoran untuk makan dan minum. Amenitas juga berhubungan dengan ritel dan jasa-jasa lain seperti jasa keamanan, jasa penukaran uang dan asuransi (Cooper et al., 1996: 84-85).

Dalam kaitan dengan destinasi Maurole, fasilitas bagi wisatawan asing diadakan untuk memenuhi kebutuhan peserta Sail Indonesia. Fasilitas –fasilitas itu ada yang bersifat permanen dan ada yang tidak permanen (Disbudpar, 2007).

Fasilitas permanen misalnya toilet yang dibangun di beberapa lokasi kunjungan seperti di Pantai Mausambi, Desa Otogedu, dan Dusun Detuara. Fasilitas yang tidak permanen adalah dermaga apung (jetty), tempat relax, berbagai jenis tenda dan panggung hiburan di lokasi pantai titik labuh yang dibangun menggunakan bahan-bahan lokal dari bambu, kayu, dan daun kelapa. Hal ini ditegaskan oleh Martinus Lagho SST. Par., Kasubag Program, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende:

“Sesuai karakteristik acara Sail Indonesia yang kunjungannya terjadi pada bulan Juli – September setiap tahun dan singgah beberapa hari di Maurole di bulan Agustus, maka diadakan juga beberapa acara penyambutan dan paket wisata ke beberapa atraksi wisata yang ada di Kabupaten Ende. Sehingga dibangunlah beberapa fasilitas non permanen untuk memberikan kenyamanan bagi wisatawan selama mereka berada di Maurole” (Wawancara 15 Juni 2013).

Melalui berbagai acara penyambutan dan acara pendukung lainnya, diharapkan dapat menciptakan kesan yang baik bagi wisatawan sehingga merupakan alat promosi yang baik bagi destinasi singgah Maurole. Menurut Cooper et al., (1996: 80) sangat penting bagi sebuah destinasi untuk memberikan pengalaman yang berkualitas bagi wisatawan.

Hingga saat ini, Kecamatan Maurole memiliki beberapa sarana akomodasi penginapan dan rumah makan yang melayani kebutuhan masyarakat setempat dan tamu lokal yang berkunjungan ke Maurole terutama karena pekerjaan, kepentingan bisnis dan kepentingan lainnya, bukan untuk keperluan khusus wisata. Secara umum, sarana akomodasi penginapan yang dimiliki masyarakat lokal itu memiliki fasilitas yang minim. Demikian juga fasilitas dan jenis hidangan yang disajikan di rumah makan. Seiring dengan pertumbuhan

permintaan dan pemahaman akan aspek hospitaliti, keberadaannya diharapkan akan lebih berkualitas.

Dalam kegiatan Sail Indonesia, wisatawan yang berkunjung ke Maurole tidak menginap di penginapan yang ada di Maurole, namun memanfaatkan kapal layar mereka sebagai tempat untuk menginap. Hal ini sesuai dengan karakteristik wisatawan yang menggunakan kapal layar. Jenings (2007: 33), dalam uraiannya mengenai profil pasar para yachties (wisatawan dengan yacht), menjelaskan bahwa mereka yang berlayar dalam jangka waktu panjang ke luar negeri atau ke tempat yang jauh dari pelabuhan keberangkatannya, tinggal di kapal mereka (live aboard in their own yachts). Berdasarkan uraian Jennings, maka dapat dikatakan akomodasi atau penginapan bukanlah kebutuhan utama para wisatawan kapal layar seperti yang terjadi di Maurole.

Tabel. 5.3

Penginapan dan Rumah Makan di Kecamatan Maurole

No Lokasi Penginapan Rumah Makan

Jumlah Kamar Jumlah Kursi

1 Desa Maurole 2 16 4 85

2 Desa Watukamba 1 7 - -

3 Desa Mausambi - - 2 40

J u m l a h 3 23 6 125

Sumber: Penelitian, 2013.

Sarana penunjang lainnya adalah sarana perdagangan seperti pasar desa, kios, dan warung. Sarana perdagangan yang biasanya dikunjungi oleh wisatawan di Maurole adalah pasar desa yang beraktivitas seminggu sekali. Di samping untuk melihat aktivitas pasar, sebagian wisatawan juga menggunakan kesempatan ini untuk membeli barang-barang kebutuhan mereka. Keberadaaan pasar tradisional memang menarik perhatian para wisatawan, karena mereka dapat melihat secara

langsung aktivitas para penjual dan pembeli, dan melihat berbagai jenis barang dagangan yang dijual. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan Vinsen Atabala, seorang pramuwisata lokal:

“Pasar desa yang dikunjungi dalam aktivitas Sail Indonesia adalah pasar di Desa Maurole, Uludala (Pasar Ropa), dan Aewora. Barang yang dibeli antara lain: sayur-sayuran, buah-buahan, dan baju” (Wawancara 9 Juni 2013).

Fasilitas pendukung lainnya yang terdapat di Kecamatan Maurole adalah fasilitas kesehatan, fasilitas penerangan listrik, fasilitas telpon seluler (termasuk untuk akses internet), jaringan air minum, agen penjualan BBM, bank, jasa pos, dan toilet. Secara rinci disajikan pada Tabel 5.4.

Tabel. 5.4

Fasilitas Pendukung (Amenitas) di Kecamatan Maurole No Fasilitas Jumlah Keterangan

1 Bank 2 Bank NTT dan BRI

2 Jasa Pos 1 PT. Pos Indonesia

3 Telepon Seluler 1 PT. Telekomunikasi Seluler

4 Air minum 1 PDAM

5 Agen Penjualan BBM (bahan bakar minyak)

2 Minyak tanah, bensin, dan solar. 6 Fasilitas Kesehatan 6 1 Pusat Kesehatan Masyarakat

(Puskesmas), 3 Puskesmas Pembantu (Pustu), dan 2 Pos Kesehatan Desa (Poskesdes).

7 Toilet yang dibangun dalam rangka Sail

Indonesia

4 Di Pantai Mausambi, Dusun Detuara, Desa Otogedu, dan Pantai Nanganio.

8 Listrik 1 PT. PLN

Sumber: Hasil Penelitian, 2013.

Fasilitas pendukung ini sangat nyata perannya dalam melayani wisatawan

Sail Indonesia. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan Gregorius Gadi, Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende, yang dalam tahun 2007 dan 2008 menjadi Camat Maurole:

“Wisatawan yang membutuhkan air bersih dilayani oleh masyarakat dengan memanfaatkan jaringan air PDAM yang dialirkan ke lokasi titik labuh. Demikian juga dengan kebutuhan bensin dan solar dilayani oleh agen penjualan BBM setempat. Sebagian juga menggunakan jasa pos untuk mengirimkan kartu pos. Dan lagi ada wisatawan yang mendapat pertolongan pertama di Puskesmas Maurole” (Wawancara 29 Juni 2013).

Tersedianya fasilitas-fasilitas tersebut dan pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, menggambarkan bahwa destinasi singgah seperti Maurole sangat mungkin dikembangkan lebih lanjut. Oleh karenanya, aspek-aspek pelayanan dasar semacam ini perlu mendapat pertimbangan dalam perencanaan pengembangan pariwisata kawasan.

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PA (Halaman 88-99)