• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Areal Titik Labuh

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PA (Halaman 102-109)

PENGELOLAAN MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH

6.1 Pengelolaan Areal Titik Labuh

Dalam kajian ini, istilah “titik labuh” dipahami sebagai tempat kapal layar berlabuh, dan “a real titik labuh” adalah kawasan pantai di dekat (sekitar) titik labuh yang digunakan oleh wisatawan untuk akses ke darat, dan juga dimanfaatkan oleh stakeholder pariwisata untuk memberikan pelayanan terkait kehadiran kapal – kapal layar itu. Bertolak dari pemahaman itu, maka kajian terhadap pengelolaan areal titik labuh difokuskan pada kegiatan-kegiatan terjadi di tempat itu selama kegiatan Sail Indonesia berlangsung.

Kecamatan Maurole memiliki dua titik labuh kapal wisata (yacht) yaitu Pantai Mausambi atau juga dikenal dengan nama Teluk Mausambi di Desa Mausambi dan Pantai Nanganio di Desa Watukamba. Di samping sebagai titik labuh kapal wisata, lokasi ini biasa digunakan oleh nelayan lokal maupun nelayan

antar pulau sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal mereka karena terlindung dari angin kencang dan terpaaan gelombang pada musim-musim tertentu. Pada musim angin barat, antara Desember dan Maret, Teluk Mausambi sangat aman sebagai titik labuh, sedangkan ketika musim angin timur antara April dan Oktober, Pantai Nanganio sangat nyaman sebagai titik labuh. Pada musim angin timur, areal laut di sekitar Tanjung Watulaja yang membentengi sebagian wilayah Teluk Mausambi merupakan titik labuh yang nyaman. Kondisi ini menyebabkan titik labuh Mausambi sering dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti dijelaskan oleh Martinus Lagho, SST. Par., Kasubag Program Dinas Pariwisata Kabupaten Ende.

“Pada saat terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di Pulau Flores dalam tahun 1992, kapal-kapal barang yang mengangkut pasokan material bantuan dari luar pulau menggunakan titik labuh Teluk Mausambi” (Wawancara 9 Juni 2013).

Penuturan itu mau menegaskan bahwa titik labuh ini secara alamiah aman sebagai tempat labuhnya kapal-kapal layar. Kondisi ini menjadi salah satu pertimbangan dipilihnya Teluk Mausambi sebagai titik labuh bagi kapal wisata peserta Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole. Rosalia J.E. Rae, SST.Par., tenaga teknis dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, menjelaskan tentang penetapan titik labuh:

“Penentuan itu dilakukan setelah melalui tahap survei yang dilakukan oleh pihak operator Sail Indonesia dari Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa (ketika itu masih bernama Yayasan Cinta Bahari Indonesia) bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende. Faktor lain yang juga mendukung penetapan lokasi ini adalah adanya atraksi wisata, aksesibilitas, dan fasilitas umum yang mendukung” (Wawancara 9 Juni 2013).

Dalam kegiatan Sail Indonesia, areal titik labuh menjadi lokasi berbagai aktivitas dan pelayanan kepada wisatawan. Dalam dua tahun pertama (2007 dan 2008) pelayanan bagi para peserta Sail Indonesia dipusatkan di Pantai Mausambi, dan pada tahun-tahun berikutnya dipusatkan di Pantai Nanganio (Disbudpar, 2009). Pelayanan itu dikelola melalui kerjasama antar pemangku kepentingan. Aktivitas yang dikelola antara lain meliputi penataan tempat relax wisatawan, tempat penjualan berbagai kebutuhan wisatawan, fasilitas informasi pariwisata, keamanan, dan kesehatan.

Pengelolaan a real titik labuh ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan jadwal singgah kapal-kapal wisata yang diatur oleh operator Sail

Indonesia. Menurut Lesmana (2012) pengaturan jadwal untuk kegiatan Sail

Indonesia, disesuaikan dengan jangka waktu visa kunjungan yang diberikan yaitu tiga bulan. Dalam jangka waktu ini, para pelayar mengarungi perairan Indoneisa dari wilayah timur hingga ke bagian barat dengan kecepatan rata-rata 8 knot per mil laut. Kondisi inilah yang menyebabkan, rata-rata lama tinggal di tiap destinasi singgah adalah empat hari (Sail Indonesia, 2013).

Lamanya waktu singgah ini, menjadi pertimbangan bagi destinasi singgah dalam mengemas berbagai jenis aktivitas dan penyediaan fasilitas pendukung. Dengan kalimat lain, fasilitas dan pelayanan yang diberikan dirancang sesuai dengan jangka waktu dan kondisi itu. Berikut Tabel 6.1 memperlihatkan fasilitas yang disediakan sekaligus menyajikan gambaran pengelolaan titik labuh, pemanfaatan sumber daya manusia dan bahan lokal.

Tabel 6.1

Fasilitas, Pengeloaan, dan Pemanfaatan Bahan dan Tenaga Lokal di Titik Labuh – Destinasi Singgah Kecamatan Maurole

No Fasilitas Pengelolaan dan pemanfaatan bahan dan tenaga lokal

1 Floating Jetty

(Dermaga Apung)

Pembuatannya ditangani oleh Dinas Pekerjaan Umum dengan memanfaatkan tukang dan buruh lokal. Dibangun dengan teknik bongkar pasang.

2 Berbagai fasilitas pelayanan, yaitu:

tempat relax

Wisatawan, tempat penjualan dan promosi kerajinan daerah (souvenir), tempat penjualan sayur dan buah, pos keamanan, pos kesehatan, pusat informasi pariwisata, dan panggung pentas seni budaya

 Seluruhnya dikerjakan oleh Masyarakat lokal dikoordinasikan Camat Maurole dan Kepala Desa. Ada tenaga yang dibiayai dan ada yang merupakan tenaga sukarela (swadaya masyarakat).

 Material yang digunakan adalah bahan lokal dari kayu, daun kelapa, daun gebang dan bambu. Seluruhnya dibeli dari masyarakat setempat.

 Pusat informasi dikelola oleh tenaga lokal dan pramuwisata lokal dibawa koordinasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende.

 Tempat Penjualan sayur dan buah dimanfaatkan oleh pedagang dari Desa Nduaria, sebuah desa yang memiliki pasar tradisional yang biasanya menjadi tempat persinggahan wisatawan.

 Tempat penjualan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menjual makanan dan minuman, bahan bakar minyak, dan jasa

laundry.

 Tempat promosi kerajinan daerah dikoordinasi oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende. Dimanfaatkan oleh beberapa pedagang souvenir (tenun ikat daerah).

 Tenaga lokal juga dimanfaatkan sebagai petugas jetty, petugas kebersihan, petugas keamanan, petugas penyambutan, dan seniman lokal.

Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, 2013 (data diolah) Terlihat bahwa tenaga lokal ikut berpartisipasi dalam pengelolaan areal titik labuh. Hal ini sejalan dengan upaya untuk menghindari, sejak dini, marginalisasi

masyarakat lokal dan terabaikannya hak-hak mereka dalam mendapatkan manfaat dari pengelolaan sumberdaya setempat (Pujaastawa et al., 2005: 127). Manfaat dari kehadiran para wisatawan di titik labuh Mausambi diungkapkan oleh Yan Fangidae, seorang guru SMP di Maurole.

“Jasa yang saya tawarkan kepada para peserta Sail Indonesia adalah jasa laundry. Ternyata banyak juga yang memanfaatkan pelayanan ini. Saya tidak menggunakan mesin cuci. Semua dilakukan secara konvensional. Lumayanlah pendapatan yang saya terima” (Wawancara 13 Juni 2013).

Pada tahun 2012, pengelolaan Sail Indonesia di Maurole dipusatkan di Mausambi. Hal ini terjadi karena sebagian besar kapal lego jangkar di Pantai Mausambi. Pada saat itu, tidak ada pengelolaan khusus yang disiapkan oleh berbagai pemangku kepentingan termasuk oleh pemerintah yang biasanya memfasilitasi kegiatan Sail Indonesia. Namun aktivitas pelayanan kepada wisatawan yang singgah tetap berjalan. Hal ini disampaikan oleh Vinsen Atabala, pramuwisata lokal di Mausambi.

“Saya melayani sejumlah kapal yang lego jangkar di Mausambi terutama di a real perairan dekat Tanjung Watulaja. Mereka mengakui sangat nyaman berlabuh di areal itu. Kapal-kapal datang secara bergelombang dalam kurun waktu dua minggu di Bulan Agustus (2012). Seluruhnya, ada 38 kapal. Saya mengatur dan memandu kunjungan mereka ke Danau Kelimutu, kampung adat Pu’u Pau yang berjarak kurang lebih 1 km dari pantai Mausambi dan ke sejumlah atraksi wisata lainnya termasuk mengadakan acara dinner dengan para tamu” (Wawancara 10 Juni 2013).

Vinsen juga menguraikan bahwa pelayanan kepada para tamu dilakukannya bersama-sama dengan sejumlah masyarakat di Mausambi. Terutama dalam penanganan kunjungan wisata, pelayanan makan dan minum, pembelian sayuran dan buah-buahan. Ditambahkannya, kunjungan ke kampung adat Pu’u Pau

dilakukan setelah mendapat izin dari mosalaki atau tetua adat setempat karena bertepatan dengan upacara pembangunan rumah adat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengelolaan titik labuh sudah dapat dilakukan oleh masyarakat setempat secara mandiri, sekaligus menunjukkan “pentingnya unsur masyarakat lokal dalam sebuah destinasi” (Hermantoro, 2011: 80). Dengan cara berbeda, Murphy (dalam Timothy dan Tosun, 2003: 6) mengungkapkan pariwisata bergantung kepada goodwill dan kerjasama dari masyarakat setempat karena mereka merupakan bagian dari produk.

Kenyataan juga menunjukkan munculnya keyakinan di kalangan masyarakat bahwa mereka mampu mengelola sebuah bentuk pelayanan bagi wisatawan asing yang datang. Keyakinan itu terungkap dalam pendapat yang disampaikan Desi Darius Saba, Kepala Desa Mausambi.

“Kami akan berusaha sedapat mungkin melayani setiap tamu dari kapal wisata yang berkunjung ke daerah kami. Kami belajar dari pengelolaan

sail sebelumnya terutama belajar dari kunjungan mereka ke kampung kami Pu’u Pau. Karena itu, dalam Sail Indonesia tahun ini (2013), kami berencana membangun tenda relax bagi wisatawan di pantai Mausambi sekaligus sebagai pusat pelayanan kami kepada para wisatawan yang singgah.”

Penuturan ini menggambarkan bahwa ada proses belajar dalam keterlibatan masyarakat. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan dengan didukung faktor lainnya seperti tersedianya sumber daya manusia di desa, masyarakat berinisiatif memberikan pelayanan kepada wisatawan yang datang ke wilayahnya. Hal ini mencermintakn bahwa “pendekatan pariwisata berbasis masyarakat dalam pengembangan pariwisata merupakan syarat bagi keberlanjutan” (Woodly dalam Timothy dan Tosun, 2003).

Kunjungan kapal wisata di tahun 2012 dapat dipahami sebagai dampak keberadaan Maurole sebagai salah satu destinasi singgah dalam rute pelayaran kapal-kapal wisata yang melayari perairan Indonesia. Sejak tahun 2007 informasi mengenai titik labuh Mausambi dapat diperoleh melalui beberapa websites yang secara khusus memberikan informasi mengenai Sa il Indonesia, baik yang berbasis di Darwin, Australia maupun di Jakarta. Raymond T. Lesmana, Konsultan Ahli Bidang Wisata Layar di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang juga menjadi Ketua Dewan Pengurus YCBAN menjelaskan pola dikenalnya sebuah destinasi singgah:

“Ketika sebuah destinasi telah menjadi titik labuh dan pernah disinggahi oleh kapal-kapal wisata maka koordinat titik labuh (anchorage position) otomatis dikenal dunia pelayaran kapal wisata. Apalagi jika para pelayar dunia terkesan dengan hospitality dari masyarakat di destinasi singgah” (Wawancara 19 Juni 2013).

Uraian Lesmana itu mengandung pengertian bahwa sebuah destinasi singgah akan selalu berpeluang disinggahi oleh kapal-kapal wisata. Konsekuensinya adalah terbukanya beragam kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari kehadiran kapal-kapal wisata. Manfaat ekonomi bisa didapat dari antara lain pengelolaan perjalanan wisata, jasa guide, penjualan makan dan minum, jasa transportasi, dan jasa laundry. Pengelolaan aktivitas itu memberikan dampak terhadap pendapatan masyarakat. Manfaat dari aspek sosial-budaya adalah terjadinya interaksi antara masyarakat dengan wisatawan yang dapat memperkaya pengalaman. Dalam hal ini, dibutuhkan adanya upaya untuk pengelolaan a real

titik labuh dan destinasi wisata secara menyeluruh melalui pendekatan pariwisata yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan.

Gambar 6.1 Titik Labuh Pantai Mausambi

Sumber: Foto oleh Raymond T. Lesmana (YCBAN, 2007)

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PA (Halaman 102-109)