• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa Otogedu

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PA (Halaman 76-81)

SAIL INDONESIA

5.1.1 Desa Otogedu

BAB V

POTENSI MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH

SAIL INDONESIA

Konsep destinasi singgah atau destinasi wisata layar yang digunakan dalam penelitian ini adalah destinasi pariwisata yang secara nyata dikunjungi kapal wisata (yacht) dan ada aktivitas pemanggku kepentingan pariwisata di destinasi yang dipicu oleh kehadiran kapal wisata itu. Sejalan dengan konsep itu, maka dilakukan kajian terhadap potensi Maurole sebagai salah satu destinasi yang disinggahi oleh kapal wisata melalui aktivitas Sa il Indonesia. Untuk itu, potensi Maurole dilihat dari atraksi wisata, aksesibilitas, amenitas dan ancillary services. 5.1 Atraksi Wisata

Kajian mengenai atraksi wisata di Kecamatan Maurole dilakukan terhadap atraksi wisata alam, budaya, dan buatan di desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan peserta Sail Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran keragaman atraksi wisata. Data diperoleh dari hasil wawancara dengan berbagai informan dan observasi lapangan.

5.1.1 Desa Otogedu

5.1.1.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi Desa Otogedu termasuk dalam wilayah Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, dan wilayahnya secara administratif terbagi menjadi tiga dusun yaitu Dusun Otogedu, Dusun Mbotuboa, dan Dusun Woloau, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

2. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Detuwulu;

3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Watunggere Marilonga; 4. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Watukamba.

Desa Otogedu terletak sekitar 11 km di sebelah selatan Kota Kecamatan Maurole atau sekitar 95 km di utara kota Kabupaten Ende. Perjalanan menuju desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria – Maurole – Nuabela – Otogedu. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot (Nagekeo) – Maukaro – Maurole – Nuabela – Otogedu, sedangkan jalur dari Maumere di bagian timur adalah Maumere – Kotabaru – Maurole – Nuabela – Otogedu. Jalur dari kota kecamatan ke desa Otogedu sebagian berupa jalan beraspal, sebagian berbatu dan sebagiannya lagi berupa rabat beton.

Secara geografis Desa Otogedu terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah Desa Otogedu adalah 16 km² atau sekitar 10,46% dari luas Kecamatan Maurole (BPS, 2012: 3).

Desa Otogedu memiliki 86 kepala keluarga dengan total penduduk berjumlah 346 jiwa yang terdiri atas 181 laki-laki dan 165 perempuan. Sebagian besar petani menggarap usaha pertanian tanaman palawija yaitu ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Tanaman perkebunan yang dibudidayakan adalah kemiri, kakao, jambu mete. Salah satu tanaman yang dimanfaatkan hasilnya adalah pohon enau sebagai bahan pokok pembuatan minuman arak (Profil Desa, 2012).

5.1.1.2 Atraksi Wisata di Otogedu

Atraksi wisata yang menjadi daya tarik utama di Desa Otogedu adalah atraksi pembuatan moke (minuman arak dari pohon enau). Tercatat ada empat lika

(tempat pembuatan arak) di Desa Otogedu. Lika biasanya berlokasi di dekat rumah tinggal pemiliknya. Tempat pembuatan arak di Desa Otogedu umumnya terdiri dari tungku api tempat memasak, periuk tanah sebagai wadah yang dipakai untuk memasak air nira/aren, dan peralatan untuk proses penyulingan yang terbuat dari bambu.

Proses pembuatan (memasak) moke di masing-masing lika pada prinsipnya sama. Namun, yang membedakannya adalah ramuan yang dipakai pada saat memasak moke. Jenis ramuan tidak hanya dipakai saat memasak air nira, namun sudah mulai digunakan sejak menampung air di pohon aren/enau. Ramuan itu dimasukkan ke dalam wadah bambu penampung air nira yang diikatkan di pelepah daun nira. Efek ramuan yang dipakai oleh masing-masing lika diyakini menentukan kualitas rasa moke, sehingga ramuan yang dipakai dalam pembuatan

moke menjadi rahasia dapur para pemilik lika. Hal ini ditegaskan salah seorang pembuat moke dan sekaligus tokoh masyarakat Desa Otogedu yaitu Frans Watu:

“Ramuan yang saya pakai di lika ini berbeda dengan yang dipakai di

lika yang lain. Saya tidak tahu ramuan yang mereka pakai, mereka pun tidak mengetahui ramuan yang saya pakai. Ramuan yang saya pakai di sini, saya peroleh dari orang tua saya. Ramuan ini diberitahu kepada kami secara turun temurun. Yang saya ingat ramuan ini telah dipakai oleh empat generasi keturunan keluarga kami” (Wawancara 12 Juni 2013).

Daya tarik atraksi pembuatan moke ini terletak pada keunikan lika dengan peralatan tradisional yang digunakan serta ritual adat dan legenda yang

mendukung aktivitas ini. Legenda setempat menyebutkan bahwa pohon enau yang menghasilkan air nira dianggap sebagai seorang “perempuan”. Tentang hal ini, Frans Watu menjelaskan:

“Kami harus memerlakukan pohon enau dan seluruh proses pembuatan arak dengan baik. Mulai dari saat kami memukul-mukul tandan enau, saat menyayat dan mengiris tandan enau itu berkali-kali, sampai saat kami harus berhenti mengiris tandannya. Semuanya dilakukan dengan penuh kelembutan, perhatian, penghormatan seperti perlakuan bagi seorang perempuan. Sebelum memasak moke, kami juga harus melakukan upacara adat khusus memohon pada penguasa langit dan bumi untuk merestui semua usaha kami agar moke yang dihasilkan baik adanya” (Wawancara 12 Juni 2013).

Gambar 5.1 Penduduk Memperagakan Proses Pembuatan Arak Sumber: Dokumentasi Disbudpar Ende, 2007

Potensi lain yang terdapat di Desa Otogedu adalah potensi ekologis seperti kebun kemiri, kakao, jambu mete, dan keberdaan pohon nira yang merupakan sumber bahan baku pembuatan moke. Keberadaan pohon enau dan pemanfaatannya sebagai sumber bahan baku pembuatan moke oleh masyarakat setempat juga merupakan salah satu atraksi wisata. Atraksi pengambilan air nira dari pohon enau di Desa Otogedu bisa dijumpai setiap hari di waktu pagi dan petang, sesuai dengan kebiasaan dan tuntutan cara pembuatan moke. Potensi ini merupakan sumber daya pariwisata yang dapat dikembangkan karena menurut Pujaastawa (2005: 132) kombinasi yang harmonis antara potensi sumber daya alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia dapat melahirkan beraneka macam atraksi wisata yang dapat menjaid daya tarik wisata.

Secara keseluruhan, potensi atraksi wisata di Otogedu sudah menjadi daya tarik wisata yang disuguhkan kepada wisatawan asing dalam kegiatan Sail

Indonesia, seperti diungkapkan oleh Ignasius Siga, Kepala Desa Otogedu:

“Mereka (tamu dari peserta Sail Indonesia) menyaksikan atraksi pembuatan moke di empat lika yang ada di desa ini. Pemilik masing-masing lika memberikan penjelasan tentang proses pembuatan disertai cerita legenda yang diyakini masyarakat yang diterjemahkan oleh pemandu wisata. Mereka juga mencicipi moke yang sudah jadi dan sebagian besar dari mereka membeli moke ini” (Wawancara 12 Juni 2013).

Penuturan ini menggambarkan bahwa aktivitas masyarakat sehari-hari yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam dan budaya di sebuah desa dapat menjadi atraksi wisata. Atraksi wisata yang didasarkan pada kebiasaan hidup masyarakat serupa itu, oleh Yoeti (2008: 168) disebut sebagai social attractions yaitu atraksi wisata yang didasarkan pada tata cara hidup masyarakat.

Sejalan dengan itu, dari aspek budaya, Ardika (2003: 50) memasukkan cara hidup suatu masyarakat sebagai salah satu elemen budaya yang menjadi daya tarik wisata.

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PA (Halaman 76-81)