• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Internal

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PA (Halaman 132-139)

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG PENGEMBANGAN DESTINASI WISATA LAYAR MAUROLE SEBAGAI PARIWISATA

7.1 Faktor Internal

Faktor internal mencakup empat hal, yaitu: (1) potensi Maurole sebagai destinasi singgah, (2) pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah, (3) partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah, dan (4) posisi geografisnya dalam rute kapal-kapal wisata. Faktor internal ini dianggap sebagai ‘kekuatan sebuah destinasi’ (Hermantoro, 2011: 77), ‘any feature or characteristic of a place they (tourists) might visit’ (Leiper, 1995). Dengan kalimat lain, faktor internal sesungguhnya merupakan gambaran keberadaan sebuah destinasi dengan segenap potensi dan pengelolaannya (services) yang melibatkan semua pemangku kepentingan di destinasi.

Salah satu kerangka analisa terhadap destinasi pariwisata adalah kerangka analisa 6A yang dibuat oleh Buhalis (2000: 98), yaitu attractions (atraksi),

accessibility (aksesibilitas), amenities (amenitas), available package (paket wisata yang tersedia), activities (aktivitas), dan ancillary services (pelayanan atau jasa yang digunakan). Dalam kerangka analisa ini terdapat empat unsur yang bisa disejajarkan dengan elemen 4A dari Cooper et al., (1996). Di samping itu, ada dua unsur dari kerangka analisa ini yang juga dapat mengungkapkan kekuatan destinasi Maurole. Pertama, unsur available pa ckage. Unsur ini terlihat dari pengelolaan kunjungan wisata dalam kegiatan Sa il Indonesia. Kunjungan wisata ke berbagai atraksi wisata di sejumlah desa-desa telah disiapkan terlebih dahulu. Bertolak dari fakta kunjungan wisata seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat dikatakan kekuatan destinasi Maurole terletak pada pengaturan kunjungan yang melibatkan masyarakat di desa-desa. Keterlibatan masyarakat memberi warna khas pada interaksi dengan wisatawan selama kunjungan. Interaksi yang tercipta juga merupakan kekuatan tersendiri. Keterlibatan masyarakat dimungkinkan karena pengelolaan kunjungan wisata memang dirancang agar masyarakat bisa ikut berpartisipasi.

Kedua, unsur aktivitas. Ini menyangkut kegiatan yang dilakukan wisatawan selama kunjungan. Di samping aktivitas melalui kunjungan wisata, wisatawan juga melakukan aktivitas lainnya seperti berbagi (sha ring) keahlian dengan masyarakat. Hal ini diungkapkan Fransiskus Dafro, seorang guide Sail Indonesia dan saat ini juga menjadi pengurus Tourist Management Organization (TMO) Kabupaten Ende.

“Karakteristik para pelayar (yachties) memang beda. Mereka tidak saja mengunjungi sebuah tempat, namun juga ingin berbagi keahlian dengan masyarakat. Seperti yang terjadi di Maurole pada tahun 2009. Gagasannya justru datang dari yachties. Para pelayar yang ahli mesin memperbaiki mesin genzet dan peralatan kesehatan yang rusak di Puskesmas Maurole dan berbagi keahlian dengan masyarakat yang mengerti mesin, para pelayar yang pensiunan guru berbagi pengalaman dengan para guru di Maurole. Pelayar yang dokter ahli berkomunikasi dengan dokter, bidan dan perawat di Puskesmas Maurole” (Wawancara 12 Juni 2013).

Model aktivitas ini bermanfaat bagi masyarakat sekaligus menciptakan pola kunjungan yang memperkaya pengalaman. Hal ini, menurut Jenings (2007: 34, 37) dimungkinkan karena wisatawan (yachters) memiliki motivasi petualangan,

self actualization, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam jangka pendek untuk memberikan bantuan (keahlian) dan mendukung pengembangan sumberdaya manusia. Karena itu, dalam pengembangan wisata layar, model aktivitas semacam ini diharapkan dapat dilaksanakan secara berlanjut. Misalnya dari aspek sosial bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat. Lagipula interaksi dengan wisatawan menciptakan pengalaman berwisata yang unik, baik bagi wisatawan maupun bagi masyarakat sendiri. Model ini sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata alternatif yang khas di sebuah destinasi.

Penelitian ini juga menemukan aktivitas kunjungan ke sekolah-sekolah oleh wisatawan. Kunjungan dilakukan baik dalam bentuk rombongan maupun secara individu untuk melihat aktivitas murid sekolah, menyumbangkan buku untuk perpustakaan sekolah dan berbagi pengalaman. Sekolah yang dikunjungi adalah SD Maurole, SD Watumesi, SDK Dile, SMPK Maurole, dan SMPK Marsudirini Detusoko (Disbudpar, 2007, 2008, 2009, 2010).

Hal berikutnya yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar adalah bentuk partisipasi pemangku kepentingan khususnya partisipasi masyarakat. Pelayanan di titik labuh sebagian besar dilakukan oleh masyarakat. Pelayanan itu mencakup pelayanan akses dari laut ke darat yaitu di dermaga apung (floating dock/ jetty), pelayanan makan dan minum di a real titik labuh, jasa informasi pariwisata, jasa pengelolaan kunjungan wisata dan pemanduan (guiding), penjualan buah-buahan, sayur-mayur, penjualan kerajinan daerah, pelayanan penjualan bensin dan solar, jasa binatu, jasa kebersihan areal titik labuh sampai pada jasa pengamanan di areal titik labuh.

Partisipasi masyarakat sangat nyata di desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan. Seluruh desa yang dikunjungi dikelola secara mandiri oleh masyarakat desa. Seluruh acara dirancang dan dilakukan langsung oleh masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi sesuai dengan mekanisme kerja di desa. Pemerintah dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya memfasilitasi saja.

Posisi Geografis Maurole dalam rute pelayaran, memungkinkan destinasi ini menjadi pilihan bagi kapal – kapal wisata untuk disinggahi, dalam pelayaran dari bagian timur menuju ke bagian barat Pulau Flores. Sebagai destinasi singgah, tentu saja Maurole memiliki titik labuh (anchorage). Titik labuh merupakan salah satu faktor yang mendukung destinasi wisata layar, bahkan merupakan syarat utama bagi destinasi singgah kapal-kapal wisata. Tentang hal ini, Raymond T. Lesmana, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa sekaligus sebagai Tenaga Ahli Pengembangan Wisata Layar Nasional di Direktorat Jenderal

Pengembangan Destinasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjelaskan:

“Hanya lokasi yang memenuhi syarat sebagai titik labuh-lah yang layak dijadikan destinasi wisata layar. Syaratnya mencakup beberapa hal, yaitu: (1) kedalaman air antara 5 – 20 meter pada saat surut terendah; (2) dasar laut bukan karang/terumbu karang; (3) tidak menghalangi aktivitas pelabuhan atau aktivitas masyarakat nelayan; (4) lokasi labuh tidak lebih dari 200 meter dari garis pantai; (5) tidak pada lokasi arus kuat; (6) tidak terkena hempasan angin dan gelombang; (7) adanya penerimaan dari masyarakat setempat; (8) tersedianya supply kebutuhan antara lain bahan bakar, air bersih dan air minum; (9) adanya sarana humaniter – WC dan kamar mandi; (10) aksesibilitas; (11) bank/ ATM; (12) telekomunikasi dan akses internet; dan (13) keamanan, kenyamanan dan keakraban dari masyarakat setempat” (Wawancara 19 Juni 2013).

Hasil survei yang dilakukannya bersama tim teknis dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende pada tahun 2006, menetapkan titik labuh di Pantai Mausambi di Kecamatan Maurole layak menjadi destinasi singgah bagi kapal-kapal wisata jenis ya cht. Mulai tahun 2007, Pantai Mausambi, yang berada pada koordinat 8° 30' 36'' S, 121° 48' 56'' E, menjadi titik labuh bagi para peserta reli kapal layar internasional Sail Indonesia. Karena itu, Maurole menjadi salah satu akses bagi kapal wisata di Kabupaten Ende, dan dalam rute pelayaran, posisi Maurole berada di antara destinasi singgah Maumere di Kabupaten Sikka dan destinasi singgah Riung di Kabupaten Ngada (Disbudpar, 2007)

Dalam konteks Sail Indonesia yacht merupakan alat trasportasi utama yang digunakan wisatawan untuk mencapai Maurole, dan sekaligus merupakan tempat tinggal utama selama kunjungan mereka. Secara konseptual, menurut McIntosh (dalam Yoeti, 2008: 173) salah satu jenis transportasi yang termasuk dalam komponen supply di destinasi adalah yacht. Dengan karakteristik ini, posisi geografis yang ditunjang keberadaan titik labuh, merupakan faktor yang

mendukung keberaadan Maurole sebagai destinasi wisata layar. Karena itu, pengembangan aksesibilitas di Maurole, diharapkan mencakup prasarana akses dari laut, dan prasarana serta sarana transportasi di darat.

Faktor internal, yang merupakan faktor pendukung (supporting factors) seperti yang telah dikemukakan, mengarahkan pada pemahaman akan beberapa hal berikut. Pertama, seluruh elemen dalam faktor internal secara nyata telah memberikan dukungan bagi keberadaan Maurole sebagai destinasi yang dikunjungi oleh kapal-kapal wisata. Dalam kaitannya dengan dengan siklus hidup destinasi pariwisata (Butler, 1996), dan kenyataan bahwa Maurole berada dalam tahap involvement, maka perencanaan pariwisata diharapkan dilakukan dengan menyesuaikan dengan tahap perkembangan ini. Dengan kalimat lain, faktor internal yang mendukung keberadaan Maurole sebagai destinasi wisata layar merupakan salah satu referensi dalam pembuatan rencana pengembangan destinasi.

Kedua, faktor internal itu merupakan sesuatu yang turut memotivasi kunjungan ke Maurole melalui reli wisata layar. Disebut ‘turut memotivasi’ karena peserta reli wisata layar diberikan kebebasan untuk singgah atau tidak singgah di sebuah destinasi. Kebebasan ini merupakan ciri dari reli wisata layar, seperti yang termuat dalam situs http://sailindonesia.net:

“You are welcome to participate in all events and stopovers after your first port of entry in Kupang or Saumlaki, as the Indonesia Organising Committee at each port will provide you with hospitality, reception and festivities. You do not have to participate in a ll the events and the stopovers on our rally as there will simply not be enough time, you can just join the events that suit your schedule” (diakses 12 Maret 2013).

Terjemahan:

Anda boleh saja berpartisipasi dalam semua acara di titik singgah setelah pelabuhan pintu masuk Kupang atau Saumlaki, karena panitia penyelenggara di Indonesia, di setiap pelabuhan, akan memberikan

hospitality, penerimaan, dan berbagai perayaan. Anda tidak harus berpatisipasi di semua acara di titik singgah dalam reli ini, karena tidak cukup waktu. Anda bisa ikut acara yang sesuai dengan jadwal anda. Berdasarkan tulisan itu dapat dikatakan bahwa keputusan untuk singgah di sebuah destinasi, salah satunya ditentukan oleh daya tarik atau kekuatan faktor internal. Daya tarik atau kekuatan yang mencakup potensi, pengelolaan, partisipasi masyarakat, dan posisi geografis sebuah titik singgah Sail Indonesia dipromosikan baik oleh operator reli kapal wisata melalui media internet, dan promosi oleh wisatawan yang telah mengunjungi Maurole secara word of mouth.

Ketiga, fakta pengelolaan dan partisipasi masyarakat di Maurole telah memicu keyakinan pemangku kepentingan akan kekuatan destinasi singgah. Keyakinan itu menjadi modal mental yang besar dalam upaya pengembangan seluruh sumber daya pariwisata yang ada di destinasi. Hal ini terungkap dari apa yang dikemukakan oleh Damianus Deda, tokoh masyarakat Kecamatan Maurole:

“Sudah saatnya pengelolaan dilakukan penuh oleh masyarakat di lokasi titik labuh agar masyarakat dapat mengalami proses pembelajaran. Pemerintah hanya perlu memfasilitasi dengan membangun sarana dan prasarana kebutuhan sebuah titik labuh. Untuk pengembangannya perlu ada pelatihan pengelolaan pariwisata bagi masyarakat lokal dan pemberian kredit lunak bagi pelaku usaha pariwisata setempat” (Wawancara 14 Juni 2013).

Hal tersebut sejalan dengan penegasan Timothy dan Tosun (2003: 3) bahwa partisipasi aktif dan langsung dari masyarakat setempat dalam kegiatan yang terkait dengan wilayahnya merupakan wahana yang sangat diperlukan untuk pembelajaran publik. Melalui pembelajaran publik diharapkan semakin

meningkatkan kemandirian masyarakat, dan untuk memastikan kemandirian itu, maka pemerintah dituntut untuk memfasilitasinya, antara lain melalui program pelatihan keterampilan dan dukungan pendanaan. Dalam teori perencanaan, pembalajaran publik (public education) dapat diwujudkan “melalui pendekatan swadaya masyarakat (community approach)” (Paturusi, 2008: 47). Ia menjelaskan, pendekatan ini melibatkan masyarakat mulai dari proses perencanaan, membuat keputusan, pelaksanaan, sampai pengelolaan pengembangan pariwisata.

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PA (Halaman 132-139)