• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

6. Bagi Hasil Pajak Propinsi

Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat,

pajak propinsi dibagi-hasilkan kepada kabupaten/kota, dengan proporsi disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Bagi Hasil Pajak Propinsi

No Jenis Pajak Propinsi Kab/kota

1 Pajak Kendaraan Bermotor 70% 30% 2 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 70% 30% 3 Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 30% 70%

4 Pajak Air Permukaan 50% 50%

5 Pajak Rokok 30% 70%

Sumber: UU 32/ 2004

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus-menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Pengaturan earmarking tersebut adalah: a. Sebesar 10 % dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor wajib dialokasikan

untuk pemeliharaan dan pembangunan jalan serta peningkatan sarana transportasi umum.

b. Sebesar 50 % dari penerimaan Pajak Rokok dialokasikan untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum.

c. Sebagian penerimaan pajak penerangan jalan digunakan untuk penyediaan penerangan jalan.

Dengan penetapan UU PDRD ini, diharapkan struktur APBD menjadi lebih baik, iklim investasi di daerah menjadi lebih kondusif karena Perda-Perda pungutan daerah yang membebani masyarakat secara berlebihan dapat dihindari.

2.5. Pemberdayaan Masyarakat

Perhatian terhadap inisiatif pengembangan/pemberdayaan masyarakat bukanlah model pembangunan baru. Inisiatif pengembangan masyarakat sendiri dapat dirunut kembali ke tahun 1920-an, dimana pilot project Etawah, India, telah menggunakan konsep pengembangan masyarakat untuk pembangunan komunitasnya pasca pemerintahan kolonial. Selanjutnya program pengembangan masyarakat ini telah menyebar di negara-negara berkembang selama tahun

1950-an, tetapi pada pertengahan tahun 1960-an mulai ditinggalkan karena sejumlah kegagalan (Korten, 1996).

Menurut Korten (1996) kegagalan ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : (1) kurangnya perhatian terhadap kontrol aset dan hambatan struktural penduduk miskin, (2) program dan target pengembangan masyarakat diformulasikan secara terpusat (tricle down process) dan dijalankan melalui struktur birokrasi konvensional sehingga kurang mendapatkan perhatian masyarakat dan (3) kurangnya usaha pemerintah untuk mengembangkan independensi, keterlibatan, kemandirian dan keswadayaan masyarakat sebagai target pembangunan. Dengan kata lain bahwa kegagalan praktik pengembangan masyarakat lebih disebabkan kegagalan dalam menterjemahkan konsep pengembangan masyarakat dalam implementasi riil oleh pemerintah.

Pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an, keadilan dan partisipasi telah menjadi bagian dari agenda pembangunan internasional. Teori maupun konsep pembangunan yang menyangkut perbaikan-perbaikan kehidupan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, politik maupun lingkungan hidup telah banyak mengalami perubahan yang mendasar. Konsekuensinya, perencanaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik di tingkat lokal maupun regional pada masa sekarang telah banyak mengalami pergeseran yang fundamental (Hilman, 2004).

Dalam paradigma baru pembangunan sekarang, kekuasaan pemerintah seharusnya semakin dibatasi hanya pada bidang public goods dan bidang-bidang dimana pihak swasta dan masyarakat tidak punya insentif untuk melakukannya. Dengan paradigma pembangunan tersebut, telah berlangsung perubahan ke arah perbaikan secara terus-menerus dari waktu ke waktu. Dari hasil pergeseran tersebut dapat disimpulkan bahwa penekanan hakiki tujuan pembangunan adalah tercapainya pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas.

Paradigma baru pembangunan ini mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The second fundamental welfare economics), dimana sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang mendorong pertumbuhan yang diinginkan melalui cara transfer,

perpajakan dan subsidi, sedangkan aspek ekonomi selebihnya dapat diserahkan kepada persaingan melalui mekanisme pasar. Dengan demikian, penterjemahan dan dalil tersebut kepada paradigma baru pembangunan sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah (Hilman, 2004).

Pengalaman empirik menunjukkan bahwa ketidakseimbangan dalam investasi keempat kapital (natural, physical, human, dan social capital)dapat menimbulkan kesenjangan tingkat kehidupan dalam masyarakat yang pada gilirannya akan menjadi sumber dari krisis ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, paradigma baru ini lebih menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative processes) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi kekuasaan, pengelolaan dan manfaat pembangunan dalam rangka mewujudkan kebebasan dan kemandirian masyarakat banyak.

Menurut Sam Landon (1998), dasar penggunaan model pengembangan masyarakat berakar dari beberapa premis utama. Premis tersebut menunjukkan bahwa dalam hubungan antara pemerintahan dan masyarakat, pendekatan berbasis masyarakat dan lokal berpotensi untuk :

a. Membuat masyarakat memiliki posisi yang lebih baik untuk merespon dan beradaptasi dengan kondisi ekologi dan sosialnya dan lebih dapat menunjukkan kepentingan dan preferensinya.

b. Lebih mengetahui proses dan praktik-praktik manajemen.

c. Lebih mampu memobilisasikan sumberdayanya melalui akses dan manajemen yang adaptif.

d. Lebih mampu dalam proses pengambilan keputusan bagi kebutuhan hidupnya.

Lebih lanjut, Sam Landon (1998) menyatakan bahwa disamping potensinya, model pengembangan masyarakat juga memiliki resiko dan kendala. Masyarakat umumnya merupakan kesatuan heterogen (berbeda dalam hal jenis kelamin, umur, kondisi ekonomi, status sosial, grup politik, dan sebagainya). Dimana mereka saling berkompetisi dan memiliki konflik kepentingan masing-masing.

Bagi Indonesia, dengan diberlakukannya UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan

Daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di wilayah-wilayah. Kebijaksanaan desentralisasi melalui otonomi daerah sebenarnya memberi isyarat tentang pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pemberdayaan dalam rangka pengembangan masyarakat lokal (locality development) dan wilayah (regional development) dibanding dengan pendekatan sektoral dan terpusat. Dengan kata lain, kebijakan otonomi daerah mendorong dilakukannya pengembangan masyarakat lokal dan wilayah.

Paradigma baru pengembangan di tingkat lokal dan wilayah pada saat ini didasarkan kepada prinsip-prinsip pembangunan yang menekankan aspek-aspek berikut:

1. Mengutamakan peran-serta (participation) masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan hidup masyarakat setempat. Pemerintah sebaiknya lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan daripada sebagai inisiator dan pelaksana.

2. Menekankan aspek proses interaktif dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menghasilkan “produk-produk” perencanaan berupa master plan dan sejenisnya.

3. Para pihak (stakeholders) yang berinteraksi bekerjasama secara kolaboratif dengan kedudukan yang setara, dan bebas dan hierarki birokrasi.

Sasaran utama pengembangan masyarakat adalah masyarakat yang terpinggirkan, termasuk kaum perempuan dan anak-anak, juga masyarakat lain yang terabaikan. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi orang lain untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pemberdayaan. Tahapan-tahapan umum yang digunakan dalam proses pengembangan masyarakat adalah sebagai berikut.

Tahap 1. Seleksi wilayah

Tahap 2. Sosialisasi pengembangan masyarakat

Tahap 3. Proses pengembangan masyarakat, yang terdiri dari:

 Kajian keadaan pedesaan partisipatif

 Pengembangan kelompok

 Penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan

Tahap 4. Pemandirian masyarakat 1. Seleksi Wilayah

Seleksi wilayah dilakukan sesuai dengan kriteria yang disepakati oleh lembaga, pihak-pihak terkait, dan masyarakat. Penetapan kriteria ini penting agar tujuan lembaga dalam pengembangan masyarakat akan tercapai serta pemilihan lokasi dilakukan sebaik mungkin.