• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR

5.2. Karakteristik Demografis

Analisis demografis dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik responden pelaku PKL. Analisis ini mencakup jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pengeluaran per bulan, dan pekerjaan. Analisis ini berguna untuk mengetahui trend demografis pelaku PKL saat ini.

5.2.1. Jenis Kelamin (A3)

Hasil perhitungan analisis demografis untuk jenis kelamin responden disajikan pada Tabel 46 yang menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 91,67 % (110 responden) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 8,33 % (10 responden).

Tabel 46. Jenis Kelamin Responden

No. Jenis Kelamin Jumlah Persen

1. Laki-laki 110 91,67

2. Perempuan 10 8,33

Total 120 100,00

Hasil ini nampak wajar mengingat bahwa pada umumnya laki-laki adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab memberi nafkah keluarga. Perempuan yang bekerja sebagai PKL lebih bersifat membantu suami dalam mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

Dominasi responden berjenis kelamin laki-laki juga ditunjukkan pada ketiga tipologi PKL. Hasil analisis pada Tabel 47 menunjukkan bahwa responden laki-laki mendominasi setiap tipologi dibandingkan perempuan. Mayoritas responden pasar tumpah (90,00 %), pasar sayur malam (95,00 %), dan pasar kuliner (90,00 %) adalah laki-laki.

Tabel 47. Jenis Kelamin Responden Menurut Tipologi No. Jenis

Kelamin

Pasar Tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen 1. Laki-laki 36 90,00 38 95,00 36 90,00

2. Perempuan 4 10,00 2 5,00 4 10,00

Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

5.2.2. Umur (A4)

Analisis demografis untuk umur responden dilakukan pada kelompok umur 17 sampai lebih dari 65 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok umur produktif yang melakukan aktivitas usaha dalam mencukupi ekonomi keluarga. Hasil analisis demografis kelompok umur responden disajikan pada Tabel 48. Tabel 48. Kelompok Umur Responden

No. Kelompok Umur (tahun) Jumlah Persen

1. ≤ 20 5 4,17 2. 20 - 30 39 32,50 3. 31 - 45 57 47,50 4. 46 - 65 18 15,00 5. > 65 1 0,83 Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden berumur antara 31-45 tahun sebesar 47,50 %. Urutan selanjutnya adalah kelompok umur 20-30

tahun (32,50 %), 46-65 tahun (15,00 %), ≤ 20 tahun (4,17 %), dan > 65 tahun (0,83 %). Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah kelompok usia dewasa dan dipandang sudah memiliki pertimbangan yang rasional dalam berusaha.

Kecenderungan serupa ditunjukkan dalam analisis kelompok umur responden menurut tipologinya. Untuk ketiga tipologi, kelompok umur antara 31-45 tahun mendominasi pasar tumpah (47,50 %), pasar sayur malam (55,00 %), dan pasar kuliner (40,00 %). Kelompok umur responden menurut tipologi disajikan pada Tabel 49.

Tabel 49. Kelompok Umur Responden menurut tipologi No. Kelompok

Umur (tahun)

Tipologi

Pasar Tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner

Jml % Jml % Jml % 1. ≤ 20 3 7,50 1 2,50 1 2,50 2. 20 - 30 14 35,00 12 30,00 13 32,50 3. 31 - 45 19 47,50 22 55,00 16 40,00 4. 46 - 65 4 10,00 5 12,50 9 22,50 5. > 65 0 0,00 0 0,00 1 2,50 Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00

Sumber : Data Primer 2011 (diolah)

5.2.3. Status Perkawinan

Analisis demografis untuk status perkawinan responden disajikan pada Tabel 50. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah menikah (72,50 %) dan sisanya (27,50 %) belum menikah.

Tabel 50. Status Perkawinan

No. Status Perkawinan Jumlah Persen

1. Belum menikah 33 27,50

2. Menikah 87 72,50

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Kecenderungan serupa juga ditunjukkan oleh ketiga tipologi dimana mayoritas responden adalah sudah menikah. Hasil ini nampak konsisten dengan

hasil pada kelompok umur responden dimana mayoritas responden adalah kelompok dewasa yang berada dalam usia pernikahan (Tabel 49). Hasil analisis status perkawinan responden menurut tipologinya disajikan pada Tabel 51.

Tabel 51. Status Perkawinan menurut Tipologi PKL

No. Status

Perkawinan

Pasar Tumpah Pasar Sayur

Malam Pasar Kuliner

Jml % Jml % Jml %

1. Belum menikah 15 37,50 8 20,00 10 25,00 2. Menikah 25 62,50 32 80,00 30 75,00

Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Dari Tabel 51 nampak bahwa untuk tipologi pasar tumpah, sebanyak 62,50 % sudah menikah, untuk pasar sayur malam sebanyak 80,00 % sudah menikah, dan untuk pasar kuliner sebanyak 75,00 % sudah menikah.

5.2.4. Tingkat Pendidikan (A6)

Salah satu ciri dari sektor informal adalah rendahnya tingkat pendidikan para pelakunya. Analisis demografis untuk tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 52.

Tabel 52. Tingkat Pendidikan Responden

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persen

1. SD/sederajat 67 55,83 2. SMP/sederajat 37 30,83 3. SMA/sederajat 13 10,83 4. Akademi/sederajat 3 2,50 5. Sarjana 0 0,00 6. Pascasarjana 0 0,00 Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Tabel 52 menunjukkan bahwa mayoritas responden berpendidikan SD atau sederajat yaitu sebesar 55,83 %. Urutan selanjutnya adalah SMP atau sederajat (30,83 %), SMA atau sederajat (10,83 %), dan akademi atau sederajat (2,50 %). Tidak terdapat responden dengan tingkat pendidikan sarjana dan pascasarjana.

Tabel 53. Tingkat Pendidikan Responden menurut Tipologi PKL

No Pendidikan Pasar tumpah

Pasar Sayur

Malam Pasar Kuliner

Jml % Jml % Jml % 1 SD/sederajat 22 55,00 27 67,50 18 45,00 2 SMP/sederajat 12 30,00 13 32,50 12 30,00 3 SMA/sederajat 6 15,00 0 0,00 7 17,50 4 Akademi/sederajat 0 0,00 0 0,00 3 7,50 5 Sarjana 0 0,00 0 0,00 0 0,00 6 Pascasarjana 0 0,00 0 0,00 0 0,00 Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Berdasarkan tipologinya, dapat dilihat bahwa ketiga tipologi menunjukkan kecenderungan yang sama dimana tingkat pendidikan dasar (SD atau sederajat) mendominasi responden. Tingkat pendidikan untuk pasar kuliner lebih beragam dimana terdapat 7,50 % responden berpendidikan akademi atau sederajat yang kemungkinan disebabkan karena usaha kuliner membutuhkan skill khusus.

Tingginya persentase tingkat pendidikan SD menunjukkan bahwa mayoritas responden pelaku PKL berpendidikan rendah. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Timalsina (2011) bahwa aktivitas PKL didominasi oleh migran dari pedesaan dengan pendidikan dan skill rendah. Beberapa peneliti seperti Suharto (2003) dalam studi PKL di Bandung, Budi (2006) dalam studi PKL di Pemalang, Disperindagkop kota Bogor (2009) juga menunjukkan bahwa mayoritas PKL berpendidikan setara SD.

5.2.5. Asal Responden (A7)

Analisis demografis asal responden dimaksudkan untuk mengetahui dampak migrasi tenaga kerja terhadap pertumbuhan PKL di kota Bogor. Hasil analisis asal kota responden disajikan pada Tabel 54.

Tabel 54. Asal Kota Responden

No. Asal Kota Jumlah Persen

1. Kota Bogor 82 68,33

2. Luar kota Bogor 38 31,67

Total 120 100,00

Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden berasal dari kota Bogor (68,33 %) dan sisanya (31,67%) berasal dari luar kota Bogor. Hasil ini mengindikasikan bahwa banyak warga kota Bogor yang bekerja sebagai PKL untuk mendukung aktivitas perekonomiannya. Meskipun hasil ini kurang konklusif, tetapi menunjukkan bahwa profesi PKL bukan saja didominasi oleh pekerja migran tetapi warga lokal juga turut menjalankan aktivitas ini.

Tabel 55. Asal Kota Responden menurut Tipologi PKL

No. Asal Kota Pasar Tumpah

Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner Jml % Jml % Jml % 1. Kota Bogor 33 82,50 29 72,50 20 50,00 2. Luar kota Bogor 7 17,50 11 27,50 20 50,00

Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00

Sumber : Data Primer 2011 (diolah)

Hasil ini sejalan dengan temuan Disperindagkop (2010) dalam studi pemetaan lokasi PKL di kota Bogor dimana sebanyak 76 % PKL berasal dari kota Bogor. Hal ini menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam usaha PKL karena adanya kedekatan dengan akses berjualan.

5.2.6. Suku Bangsa (A8)

Hasil analisis demografis suku bangsa responden menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah suku Sunda (79,17 %), diikuti oleh suku Jawa (15,83 %), Padang (3,33 %), dan suku lainnya (1,67 %). Hasil analisis suku bangsa responden disajikan pada Tabel 56.

Tabel 56. Suku Bangsa Responden

No Suku Bangsa Jumlah Persen

1 Jawa 19 15,83 2 Sunda 95 79,17 3 Batak 0 0,00 4 Padang 4 3,33 5 Lainnya 2 1,67 Total 120 100,00

Berdasarkan tipologinya, suku bangsa responden menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu didominasi oleh suku Sunda. Hasil ini nampak konsisten dengan Tabel 43 dimana mayoritas responden berasal dari kota Bogor (Sunda). Namun perlu dipahami bahwa suku bangsa tidak selalu berkorelasi dengan asal. Contoh, responden yang berasal dari kota Bogor tetapi suku bangsa Jawa karena dia keturunan Jawa yang orang tuanya sudah lama menetap di Bogor sehingga mempunyai KTP Bogor. Hasil analisis suku bangsa menurut tipologi disajikan pada Tabel 57.

Tabel 57. Suku Bangsa Responden menurut Tipologi

No Suku Bangsa Pasar tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner

Jml % Jml % Jml % 1 Jawa 4 10,00 1 2,50 14 35,00 2 Sunda 32 80,00 39 97,50 24 60,00 3 Batak 0 0,00 0 0,00 0 0,00 4 Padang 3 7,50 0 0,00 1 2,50 5 Lainnya 1 2,50 0 0,00 1 2,50 Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00

Sumber : Data Primer 2011 (diolah)

5.2.7. Status dalam Keluarga (A9)

Analisis demografis responden juga dilakukan terhadap status responden dalam keluarga. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah kepala rumah tangga (69,17 %). Hasil ini konsisten dengan Tabel 50 dimana mayoritas responden sudah menikah. Bila di-crosscheck antara responden yang belum menikah (33 responden) dengan status sebagai anggota keluarga, terlihat bahwa sebanyak 4 responden yang sudah menikah ternyata masih menjadi anggota keluarga. Hal ini disebabkan karena rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga baru sehingga belum memiliki Kartu Keluarga sendiri dan masih menginduk pada orang tua. Hasil analisis status dalam keluarga disajikan pada Tabel 58 dan perbandingan menurut tipologinya disajikan pada Tabel 59.

Tabel 58. Status Responden Dalam Keluarga

No. Status dalam Keluarga Jumlah Persen

1. Kepala rumah tangga 83 69,17

2. Anggota keluarga 37 30,83

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Tabel 59. Status Responden Dalam Keluarga menurut Tipologi

No. Status dalam Keluarga Pasar Tumpah

Pasar Sayur Malam

Pasar Kuliner

Jml % Jml % Jml %

1. Kepala rumah tangga 24 60,00 30 75,00 29 72,50 2. Anggota keluarga 16 40,00 10 25,00 11 27,50

Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

5.2.8. Tanggungan dalam Keluarga (A10)

Responden bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya sendiri tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hasil analisis tanggungan dalam keluarga disajikan pada Tabel 60.

Tabel 60. Tanggungan dalam Keluarga

No. Tanggungan Jumlah Persen

1. Punya tanggungan 71 59,17

2. Tidak punya tanggungan 49 40,83

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Tabel 60 menunjukkan bahwa mayoritas responden (59,17 %) memiliki tanggungan dalam keluarga. Jika di-crosschek dengan Tabel 46 maka terlihat bahwa sebagian responden yang berstatus sebagai anggota keluarga memiliki tanggungan keluarga. Tanggungan tersebut dapat berupa orang tua atau kerabat. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa dari 71 responden yang menyatakan memiliki tanggungan, secara rata-rata responden menyatakan memiliki tanggungan lebih dari 3 orang (62,50 %). Hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan temuan Disperindagkop (2010) bahwa rata-rata PKL kota Bogor memiliki tanggungan sebanyak 4 orang. Jumlah tanggungan akan berimplikasi kepada beban ekonomi. Semakin banyak tanggungan maka semakin

besar beban ekonomi yang harus dipenuhi. Hasil analisis jumlah tanggungan keluarga responden disajikan pada Tabel 61.

Tabel 61. Jumlah Tanggungan dalam Keluarga

No. Tanggungan Jumlah Persen

1. ≤ 2 orang 39 54,93

2. > 2 orang 32 45,07

Total 71 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

5.2.9. Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga (A12)

Analisis berikutnya diarahkan pada tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai dalam keluarga responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 96 responden yang memberikan jawaban, mayoritas tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai dalam keluarga adalah SMA atau sederajat (35,42 %). Sebanyak 23,96 % responden menyatakan dapat menyekolahkan tanggungannya sampai ke akademi atau sederajat, dan sebagian kecil (3,13 %) bahkan mampu menyekolahkan sampai tingkat sarjana.

Tabel 62. Tingkat Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persen

1. SD/sederajat 13 13,54 2. SMP/sederajat 23 23,96 3. SMA/sederajat 34 35,42 4. Akademi/sederajat 23 23,96 5. Sarjana 3 3,13 6. Pascasarjana 0 0,00 Total 96 100,00

Sumber : Data Primer 2011 (diolah)

Hasil ini kontradiktif dengan temuan Suharto (2003) pada studi PKL di kota Bandung bahwa mayoritas (80 %) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan, bahkan menurut pandangan umum pekerjaan PKL sebagai sektor inferior dibandingkan sektor formal dan seringkali dikaitkan dengan faktor kemiskinan perkotaan. Faktanya, mereka mampu menyekolahkan anak pada pendidikan menengah sampai tinggi sehingga mereka tidak dapat dikatakan miskin.

5.2.10. Kondisi Kesehatan (A13)

Kondisi kesehatan keluarga PKL didekati dengan pertanyaan mengenai jumlah keluarga yang sakit selama tiga bulan terakhir. Pertanyaan ini juga digunakan untuk mengetahui kontribusi PKL terhadap pembangunan kota Bogor dalam analisis regresi pada bagian pembahasan berikutnya. Hasil analisis kondisi kesehatan keluarga PKL dalam tiga bulan terakhir disajikan pada Tabel 63.

Tabel 63. Kondisi Kesehatan Keluarga PKL selama 3 bulan terakhir

No. Kondisi Kesehatan Jumlah Persen

1. Ya 45 37,50

2. Tidak 75 62,50

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Hasil analisis menunjukkan mayoritas responden (62,50 %) menyatakan bahwa selama tiga bulan terakhir tidak ada keluarga yang sakit dan 37,50 % menyatakan ada sebagian anggota keluarga yang sakit. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat kesehatan responden secara umum cukup baik.

Perbandingan antar tipologi menunjukkan kecenderungan serupa dimana mayoritas responden menyatakan tidak ada keluarga yang sakit dalam tiga bulan terakhir. Untuk tipologi pasar kuliner, mayoritas responden (55,00 %) menyatakan bahwa terdapat keluarga yang sakit selama tiga bulan terakhir meski jumlahnya tidak jauh berbeda dengan yang menyatakan tidak ada keluarga yang sakit. Hasil analisis kondisi kesehatan keluarga menurut tipologi disajikan pada Tabel 64.

Tabel 64. Kondisi Kesehatan Keluarga Menurut Tipologi

No. Keberadaan Anggota Keluarga yang Sakit

Pasar Tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner Jml % Jml % Jml % 1. Ya 13 32,50 10 25,00 22 55,00 2. Tidak 27 67,50 30 75,00 18 45,00 Total 40 100,00 40 100,00 40 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Tidak semua responden bersedia menyebutkan rata-rata pengeluaran kesehatan per bulan (A14). Sebanyak 40 responden memberikan respon terhadap

biaya pengobatan. Asumsi kisaran biaya pengobatan adalah sakit ringan ke dokter umum atau hanya membeli obat ringan ke apotik/toko adalah kurang dari Rp 30.000,-/bulan, sakit sedang antara Rp 30.000,- sampai Rp 100.000,-/bulan, dan sakit berat lebih dari Rp 100.000,-/bulan. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden (47,50 %) mengeluarkan biaya pengobatan kurang dari Rp 30.000,-/bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa sakit yang dialami anggota keluarga umumnya berupa sakit ringan seperti flu, pusing, demam, dan lain-lain yang hanya membutuhkan obat-obatan ringan. Hasil analisis biaya berobat disajikan pada Tabel 65.

Tabel 65. Biaya Berobat Responden

No. Biaya Berobat (Rp) Jumlah Persen

1. ≤ 30.000 19 47,50

2. 30.000 - 100.000 15 37,50

3. >100.000 6 15,00

Total 40 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Analisis lebih lanjut terhadap kondisi kesehatan keluarga responden diarahkan pada pertanyaan frekuensi sakit dalam tiga bulan terakhir (A15). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa frekuensi sakit per bulan rata-rata adalah 1,6. kali per keluarga. Merujuk pada hasil biaya berobat, sakit tersebut adalah sakit ringan dan dapat diobati dengan obat-obatan yang umum tersedia di pasar.

5.2.11. Kondisi Ekonomi (A16)

Sektor informal seringkali dikaitkan dengan kemiskinan perkotaan sehingga pertanyaan berikutnya diarahkan pada salah satu indikator kemiskinan yang digunakan di Indonesia yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT adalah kompensasi berupa transfer cash akibat dicabutnya subsidi bahan bakar minyak bagi keluarga kurang mampu, yang diberikan per tiga bulan. Meski banyak diperdebatkan BLT tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pemerintah. BLT menjadi salah satu indikator apakah suatu keluarga dikatakan kurang mampu atau tidak. Salah satu indikator penerima BLT adalah berpendapatan kurang dari Rp 600.000,- per bulan. Hasil analisis responden sebagai penerima BLT disajikan pada Tabel 66.

Tabel 66. Responden Penerima BLT

No. Mendapatkan BLT Jumlah Persen

1. Ya 7 5,83

2. Tidak 113 94,17

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 94,17% responden tidak menerima atau bukan penerima BLT. Hasil analisis tersebut mengejutkan dan kontradiktif dengan pandangan umum bahwa PKL berhubungan dengan kemiskinan. Suharto (2003) menemukan bahwa mayoritas (80%) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan. Dengan referensi indikator manusia dan modal sosial, PKL dapat dikategorikan tidak ‘miskin’ karena memiliki pendidikan dasar mencukupi dan akses terhadap jasa kesehatan dan fasilitas perumahan, meski propensitas dalam aktivitas sosial rendah. Pendekatan dalam analisis ini digunakan dengan asumsi bahwa penerima BLT adalah keluarga miskin.