• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR

5.3. Karakteristik Usaha

PKL sekarang bukan lagi sebagai pekerjaan sampingan tetapi sudah menjadi pekerjaan utama sebagian masyarakat. Untuk lebih mengetahui kondisi usaha PKL maka beberapa pertanyaan yang terkait dengan karakteristik usaha diajukan kepada responden. Pertanyaan tersebut adalah : usaha sebelum menjadi PKL (B1), motivasi menjadi PKL (B2), lama menjadi PKL (B3), pernah berusaha di tempat lain (B4), alasan pemilihan lokasi PKL (B5), jenis barang dagangan (B6), tipologi (B7), prasaranan usaha (B8), pengelompokan usaha (B9), waktu usaha (B10), lokasi nama jalan tempat usaha (B11), tempat usaha (B12), luas penggunaan tempat (B13), kondisi kebersihan lokasi usaha (B14), posisi lokasi usaha (B15), usaha serupa di tempat lain (B16), jumlah usaha di tempat lain (B17) dan registrasi usaha (B18).

Untuk kepentingan pembahasan, pertanyaan tipologi (B7) dan lokasi nama jalan tempat usaha (B11) dibahas terpisah di bagian atas pada distribusi sampel dan tipologi PKL.

5.3.1. Usaha/Pekerjaan sebelum Menjadi PKL

Usaha PKL menjadi alternatif bagi mereka yang tidak mendapatkan posisi pekerjaan di sektor formal. PKL sebagai bagian dari sektor informal muncul ke permukaan karena sektor formal tidak memberikan ruang lingkup yang cukup sehingga kegiatan ekonomi berlangsung di luar sektor yang terorganisir. Hasil analisis usaha responden sebelum menjadi PKL disajikan pada Tabel 67.

Tabel 67. Usaha Sebelum menjadi PKL (B1)

No. Usaha sebelum PKL Jumlah Persen

1. Tidak punya usaha 46 38,33

2. Karyawan swasta 25 20,83

3. Pedagang kios pasar 7 5,83

4. Usaha di rumah 12 10,00

5. Lainnya (kuli, asongan, sayur) 30 25,00

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden (38,33 %) menyatakan tidak mempunyai usaha sebelum menjadi PKL. Hasil analisis ini sejalan dengan pandangan Bromley (dalam Manning dan Effendi, 1996) yang menyatakan bahwa usaha PKL merupakan jenis pekerjaan yang penting dan relatif khas dalam sektor informal di kota. Kekhususan tersebut dikarenakan usaha ini relatif paling mudah dimasuki.

Hasil analisis juga menunjukkan meski masih dikategorikan PKL, banyak responden memiliki usaha lain (25,00 %) berganti usaha ke tiga tipologi yang digunakan dalam analisis penelitian ini yang mungkin lebih menguntungkan dari sisi pendapatannya. Hasil ini mengindikasikan bahwa sebenarnya PKL sudah memiliki jiwa kewirausahaan sehingga sangat paham akan usahanya, jika dirasakan kurang menguntungkan akan berganti ke usaha PKL lain.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sebanyak 20,83 % responden sebelumnya bekerja di sektor formal (karyawan swasta). Perpindahan menjadi PKL disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi secara masif selama krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 dan 1998. Alasan lain terkait dengan rendahnya upah bagi pekerja kelas buruh di Indonesia. Upah

minimum regional untuk kota Bogor pada tahun 2011 tercatat sebesar Rp 1.172.060,-. Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan Upah Minimum Regional dan Upah Minimum Propinsi tetapi dirasakan masih kurang mencukupi tuntutan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat.

Sebanyak 10 % responden memiliki usaha di rumah sebelum menjadi PKL. Karakteristik usaha di rumah sangat berbeda dengan usaha PKL yang langsung berhubungan dengan konsumen meski dari sisi tempat usaha lebih ada jaminan. Sebanyak 5,83 % responden menyatakan bekerja sebagai pedagang kios pasar sebelum menjadi PKL. Mereka menjadi PKL disebabkan oleh: Pertama, terjadi kebakaran Pasar Anyar sehingga banyak pedagang kios pasar yang kehilangan tempat usaha. Kedua, meningkatnya biaya sewa kios pasar resmi sehingga mereka tidak mampu menutup biaya sewa untuk usahanya. Ketiga, semakin longgarnya penertiban kawasan PKL yang dilakukan Pemerintah Kota Bogor.

5.3.2. Motivasi Menjadi PKL (B2)

Beragam motif mendasari responden untuk menjadi PKL. Untuk mengetahui jawaban motivasi ini maka responden dapat memberikan lebih dari satu jawaban terhadap pertanyaan ini sehingga total diperoleh 123 jawaban. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden memilih bekerja sebagai PKL karena lebih menguntungkan (29,27 %) dibandingkan usaha lain yang dapat mereka lakukan.

Tabel 68. Motivasi Menjadi PKL

No. Motivasi Menjadi PKL Jumlah Persen

1. Menganggur 28 22,76

2. PHK 7 5,69

3. Usaha lebih menguntungkan 36 29,27

4. Merintis usaha lebih besar 28 22,76

5. Modal usaha ringan atau kecil 24 19,51

Total 123 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Tabel 68 juga menunjukkan bahwa sebanyak 22,76 % responden memiliki motivasi merintis usaha lebih besar. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki harapan untuk mengembangkan usaha dimana aktivitas PKL digunakan sebagai

batu loncatan. Hal ini dapat terwujud bila Pemerintah Kota lebih memperhatikan kapasitas mereka dalam berusaha. Banyak contoh PKL yang sekarang memiliki usaha lebih besar.

Sebagian responden menjadi PKL karena menganggur (22,76 %) dan karena PHK (5,69 %). Hasil ini mengindikasikan bahwa PKL mampu menjadi pekerjaan alternatif bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan atau mereka yang terkena PHK di tempat kerjanya.

Survei Disperindagkop (2010) menemukan bahwa mayoritas PKL memiliki keinginan berdagang dari diri sendiri (66 %), diajak keluarga (23 %), diajak teman (10 %), dan lainnya (1 %). Dari sisi pajak dan regulasi, Schneider (2002) menemukan bahwa orang menjalankan ekonomi informal dengan beragam alasan, di antara yang terpenting adalah tindakan pemerintah, terutama pajak dan regulasi.

5.3.3. Lama Menjadi PKL (B3)

Berdasarkan lama menjadi PKL, mayoritas responden telah menggeluti usaha ini lebih dari 5 tahun (47,50 %). Sebanyak 52 responden (43,33 %) menyatakan bahwa mereka telah mulai membuka usaha kaki lima antara 1-5 tahun dan sebanyak 9,17 % responden menjalankan usahanya kurang dari setahun. Hasil ini mengindikasikan bahwa kegiatan usaha kaki lima bukan lagi menjadi pekerjaan sampingan tetapi alternatif mata pencaharian utama yang dapat menjaga kelangsungan hidup keluarga PKL. Hasil analisis lama menjadi PKL disajikan pada Tabel 69.

Tabel 69. Lama Menjadi PKL

No. Lama Menjadi PKL Jumlah Persen

1. ≤ 1 tahun 11 9,17

2. 1 - 5 tahun 52 43,33

3. >5 tahun 57 47,50

Total 120 100,00

Sumber : Data Primer 2011 (diolah)

Di satu sisi, lama menjadi PKL juga menunjukkan bahwa usaha PKL dapat memberikan pendapatan yang mencukupi bagi pelaku PKL dan di sisi lain mengindikasikan bahwa belum tersedia lapangan kerja yang lebih baik bagi pelaku PKL.

5.3.4. Keberadaan Usaha di Tempat Lain (B4)

Eksplorasi lebih lanjut terhadap pernah-tidaknya responden berusaha atau berjualan di tempat lain menunjukkan bahwa mayoritas responden (55,00 %) pernah berjualan di tempat lain dan sisanya (45,00 %) belum pernah berusaha di tempat lain. Dengan kata lain mereka berpindah ke lokasi sekarang. Perpindahan ini karena penggusuran, lokasi yang lebih ramai dan menguntungkan, lebih dekat dengan tempat tinggal atau alasan-alasan lain. Hasil analisis pernah-tidaknya responden berusaha atau berjualan di tempat lain disajikan pada Tabel 70.

Tabel 70. Pernah-Tidaknya Responden Berusaha atau Berjualan di Tempat Lain

No. Pernah Usaha di Tempat Lain Jumlah Persen

1. Ya 66 55,00

2. Tidak 54 45,00

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

5.3.5. Pemilihan Lokasi (B5)

Keberhasilan usaha PKL sangat tergantung pada keputusan pemilihan lokasi. Untuk mengetahui kisaran jawaban yang lebih luas, maka responden dapat menjawab lebih dari satu jawaban. Hasil analisis faktor pemilihan lokasi disajikan pada Tabel 71.

Tabel 71. Alasan Pemilihan Lokasi Seluruh Sampel

No. Alasan Memilih Lokasi Jumlah Persen

1. Ramai/sering dikunjungi pembeli 80 44,44

2. Pendapatan memuaskan 17 9,44

3. Biaya transportasi murah/dekat rumah 33 18,33 4. Berkumpul dengan usaha sejenis 10 5,56

5. Tidak mampu beli kios 25 13,89

6. Kios resmi penuh 3 1,67

7. Lainnya 12 6,67

Total 180 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Hasil analisis pada Tabel 71 menunjukkan bahwa mayoritas responden (44,44 %) memilih lokasi dengan pertimbangan ramai atau sering dikunjungi pembeli. Urutan berikutnya adalah biaya transportasi murah/dekat rumah (18,33 %), tidak

mampu membeli kios (13,89 %), pendapatan memuaskan (9,44 %), pertimbangan lainnya (6,67 %), berkumpul dengan usaha sejenis (5,56 %), dan kios resmi penuh (1,67 %).

Pertimbangan ramai atau sering dikunjungi pembeli paling banyak menjadi alasan responden. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi pemasaran, yaitu mendekatkan komoditi pada konsumen (place utility). Dengan demikian, aktivitas kegiatan perdagangan sektor informal akan hadir di lokasi-lokasi keramaian seperti pada kawasan perdagangan, perkantoran, pendidikan, perumahan, dan lokasi-lokasi strategis lainnya. Bromley dalam Manning dan Effendi (1996) menggunakan studi pedagang sektor informal di Cali, Colombo, menyatakan bahwa para pedagang sektor informal dijumpai di semua sektor kota, terutama berpusat di tengah kota dan pusat-pusat hiburan lainnya ketika ada pertunjukan, sehingga menarik sejumlah besar penduduk.

Kecenderungan penggunaan ruang kota bagi aktivitas usaha PKL tidak lepas dari keberadaan sektor formal di suatu lokasi. McGee dan Yeung (1977) menyatakan bahwa pada umumnya PKL cenderung berlokasi secara mengelompok pada area yang memiliki tingkat intensitas aktivitas yang tinggi, seperti pada simpul-simpul jalur transportasi atau lokasi-lokasi yang memiliki aktivitas hiburan, pasar, maupun ruang terbuka.

Studi yang dilakukan oleh Joedo (1977) dalam Widjajanti (2000) menemukan bahwa lokasi yang diminati aktivitas perdagangan sektor informal, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang relatif sama sepanjang hari. Ciri ini bisa kita jumpai di lokasi-lokasi perdagangan, pendidikan, dan perkantoran.

2. Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering dikunjungi dalam jumlah besar. Kondisi ini merupakan ciri dari lokasi-lokasi wisata atau ruang-ruang rekreatif kota, seperti taman kota dan lapangan olah raga yang biasa ramai di hari libur.

3. Mempunyai kemudahan untuk terjadinya hubungan antara pedagang dengan calon pembeli, walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit.

4. Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum.

Transportasi murah/dekat rumah juga menjadi pertimbangan responden dalam memilih lokasi usaha. Hasil penelitian Rachbini dan Hamid (1994) mengenai PKL di Jakarta dan Surabaya mengemukakan bahwa ada korelasi yang tinggi antara tingkat mobilitas tempat usaha dengan mobilitas tempat tinggal. Dengan kata lain mobilitas tempat tinggal terjadi karena mobilitas tempat usaha dan bukan sebaliknya. Massa pedagang dan jasa informal harus mengikuti dan bertempat tinggal di mana saja dan ke mana gerobak alat dagangannya akan dipangkalkan. Mereka harus dekat dengan tempat usaha. Jika tidak, mereka akan dililit oleh masalah ongkos transportasi dan kesulitan-kesulitan lain menyangkut cara membawa dan menyimpan alat-alat usahanya.

Dalam teori lokasi yang mengemukakan tentang transportasi disebutkan bahwa penting untuk menentukan lokasi sehingga diperoleh biaya angkutan minimum (Djojodipuro, 1992). Hal ini berkaitan pula dengan ketersediaan sarana transportasi, baik bagi PKL bersangkutan maupun bagi pembeli/konsumen. Aktivitas perekonomian kota umumnya merupakan tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan pelaku kegiatan.

5.3.6. Jenis Barang Dagangan (B6)

Jenis barang dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan di mana pedagang tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Jenis dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama, yaitu : 1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah

seperti daging, buah-buahan, dan sayuran.

2. Makanan siap saji, seperti nasi dan lauk-pauk serta minuman. 3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan.

4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut dan lain sebagainya.

Hasil analisis jenis barang dagangan PKL untuk tiga tipologi PKL disajikan pada Tabel 72.

Tabel 72. Jenis Barang Dagangan PKL

No. Jenis Barang Dagangan Jumlah Persen

1. Sayur- mayur 51 42,50 2. Makanan/lauk-ppauk mentah 11 9,17 3. Bumbu dapur 4 3,33 4. Makanan/minuman jadi 36 30,00 5. Asesoris 1 0,83 6. Lainnya 17 14,17 Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas pedagang (42,50 %) memilih berdagang sayur-mayur, diikuti oleh makanan/minuman jadi (30,00 %), barang dagangan lainnya (14,17 %), makanan/lauk-pauk mentah (9,17 %), bumbu dapur (3,33 %), dan asesoris (0,83 %). Hasil ini konsisten dengan tipologi pedagang yang digunakan sebagai populasi penelitian yaitu pasar tumpah dengan jenis barang dagangan beragam (jenis barang dagangan lainnya), pasar sayur malam (jenis barang dagangan sayur-mayur), dan pasar kuliner (jenis barang dagangan makanan/lauk-pauk mentah dan makanan/minuman jadi).

5.3.7. Jenis Sarana Usaha yang Digunakan (B8)

Bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL dalam menjalankan aktivitasnya sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McGee dan Yeung (1977) di kota-kota di Asia Tenggara menunjukkan bahwa pada umumnya bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual.

Hasil analisis terhadap tiga tipologi PKL (Tabel 73) menunjukkan bahwa mayoritas responden (49,17 %) menggunakan gelaran atau hamparan dalam berdagang. Gelaran atau alas tersebut berupa tikar, terpal, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangan. Pedagang PKL tipe ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (semi static).

Tabel 73. Sarana Usaha yang Digunakan PKL

No. Sarana Usaha Jumlah Persen

1. Warung tenda 23 19,17 2. Gerobak/kereta dorong 30 25,00 3. Pikulan/keranjang 6 5,00 4. Gelaran/hamparan 59 49,17 5. Kios 0 0,00 6. Sementara 1 0,83

7. Lainnya: mobil, sepeda, dan lain-lain 1 0,83

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Sebanyak 25,00 % responden menggunakan gerobak atau kereta dorong . Bentuk sarana ini terdiri dari 2 macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan sebagai aktivitas PKL yang permanen

(static) atau semi permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang

berjualan makanan, minuman, dan rokok. Dikelompokkan permanen jika gerobak/kereta dorong tersebut tidak dipindah-pindah atau menetap dan dikatakan semi permanen jika berpindah-pindah.

Warung tenda juga banyak digunakan sebagai sarana usaha (19,17 %).

Gerobak/kereta dorong diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan/atau meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air. Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL demikian dapat dikategorikan sebagai pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan makanan dan minuman.

Sebagian PKL (5,00 %) menggunakan pikulan/keranjang. Bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen

(semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan beragam jenis barang

dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat.

Tidak terdapat PKL yang menggunakan sarana kios (0,00 %). Bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga

menyerupai sebuah bilik semi permanen dan si pedagang juga tinggal di tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap (static).

Sarana lain seperti mobil, sepeda, dan lain-lain juga digunakan oleh PKL (0,83 %). Bentuk sarana ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static) yang berpindah-pindah lokasi untuk mencari konsumen.

5.3.8. Pola Penyebaran PKL (B9)

Berdasarkan pola penyebarannya, aktivitas PKL dapat dikelompokkan dalam 2 pola, yaitu berkelompok dengan usaha sejenis dan bercampur dengan usaha jenis lain. Hasil analisis pola penyebaran PKL disajikan pada Tabel 74.

Tabel 74. Pola Penyebaran PKL

No. Pengelompokan Dagangan Jumlah Persen

1. Berkelompok dengan usaha sejenis 35 29,17 2. Bercampur dengan usaha jenis lain 85 70,83

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden bercampur dengan usaha jenis lain (70,83 %). Pada umumnya pola penyebaran memanjang atau linier

concentration terjadi di sepanjang atau di pinggir jalan utama atau pada jalan yang

menghubungkan jalan utama. PKL tipe ini dapat ditemukan di sekitar Taman Topi, Merdeka, Pasar Bogor, Pasar Anyar dimana pola jaringan jalan menentukan aktivitas PKL. Pola kegiatan linier lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan aksesibilitas yang tinggi pada lokasi yang bersangkutan. Dari sisi pangsa pasar, hal ini sangat menguntungkan, karena mempunyai peluang yang tinggi dalam maraih konsumen. Jenis komoditi yang biasa diperdagangkan adalah pakaian, sepatu, kelontong, dan sebagainya.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa PKL memiliki pola berkelompok dengan usaha sejenis (29,17 %). Pola penyebaran seperti ini biasanya banyak dipengaruhi oleh adanya pertimbangan aglomerasi, yaitu suatu pemusatan atau pengelompokan pedagang sejenis atau pedagang yang mempunyai sifat komoditas yang sama atau saling menunjang di suatu tempat. Dari tiga tipologi pedagang yang dianalisis, pola ini dapat ditemukan pada pasar sayur malam (Pasar Bogor, Pasar Anyar, Merdeka) dan pasar kuliner (Merdeka, depan Pusat Grosir Bogor, dan Jembatan Merah).

5.3.9. Waktu Operasi PKL (B10)

McGee dan Yeung (1977) menyatakan bahwa pola aktivitas PKL menyesuaikan denganp irama ciri kehidupan masyarakat sehari-hari. Penentuan periode waktu kegiatan PKL didasarkan pula atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal. Adapun perilaku kegiatan keduanya cenderung sejalan, walaupun pada saat tertentu kaitan aktivitas keduanya lemah atau tidak ada hubungan langsung antara keduanya. Hasil analisis waktu operasi PKL disajikan pada Tabel 75.

Tabel 75. Waktu Operasi PKL

No. Waktu Operasi Jumlah Persen

1. Malam-Pagi 39 32,50

2. Pagi-Malam 9 7,50

3. Pagi-Siang 51 42,50

4. Siang-Malam 21 17,50

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Dalam penelitian ini, waktu operasi dibagi ke dalam 4 kelompok. Jika diamati, pengelompokan waktu operasi tersebut menunjukkan bahwa aktivitas operasi PKL di kota Bogor berlangsung penuh selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas PKL beroperasi pada waktu pagi-siang (42,50 %). Waktu operasi ini sesuai dengan aktivitas masyarakat umum yang umumnya berlangsung pagi-siang sehingga dengan waktu tersebut mereka dapat memperoleh konsumen secara maksimal. Kondisi ini dapat teramati di sekitar Pasar Anyar dan Merdeka dimana pada waktu pagi-siang PKL beroperasi penuh, sedangkan menjelang sore-malam kondisinya sangat sepi.

Urutan waktu operasi berikutnya adalah malam-pagi (32,50 %). PKL tipe ini umumnya adalah pasar sayur malam. Waktu operasi berikutnya adalah siang-malam (17,50 %) yang biasanya adalah PKL pasar kuliner, penjual kelontong dan penjual pakaian yang menggunakan tempat/kios kecil di tempat-tempat ramai .

5.3.10. Lama Waktu Operasi (C2)

Hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata PKL bekerja selama 10 jam (9,73 jam) per hari. Waktu operasi ini sedikit lebih tinggi bila dibandingkan jam kerja kantoran dari jam 08.00-16.00 yaitu sekitar 8 jam. Pengamatan lapangan

menunjukkan bahwa lama waktu operasi ini tergantung pada setiap PKL. Mereka cenderung berhenti bekerja jika barang dagangannya sudah cukup terjual.

Tabel 76. Lama Waktu Operasi

No. Lama Kerja (jam) Ya Persen

1. < = 5 5 4,17

2. 5-10 77 64,17

3. >10 38 31,67

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Dari sisi jumlah hari kerja dalam seminggu (C3), hasil analisis yang disajikan pada Tabel 77 menunjukkan bahwa mayoritas responden (75.00%) bekerja penuh selama seminggu tanpa memiliki hari libur. Kondisi ini mencirikan aktivitas usaha informal dimana mereka mengatur sendiri waktu liburnya. Mereka akan libur bila ada keperluan tertentu saja.

Tabel 77. Lama Hari Kerja dalam Seminggu

No. Lama Kerja (Hari) Ya Persen

1. 5 5 4,17

2. 6 25 20,83

3. 7 90 75,00

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

5.3.11. Tempat Usaha (B12)

Hasil analisis pemanfaatan ruang bagi usaha PKL disajikan pada Tabel 78. Hasil analisis untuk ketiga tipologi menunjukkan bahwa mayoritas PKL menempati badan jalan (48,33 %), trotoar (37,50 %), dan lahan parkir (14,17 %). Tabel 78. Tempat Usaha

No. Tempat Usaha Jumlah Persen

1. Trotoar 45 37,50

2. Lahan Parkir 17 14,17

3. Badan Jalan 58 48,33

Total 90 100,00

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa PKL menempati ruang publik dan ruang privat. Ruang publik merupakan ruang milik pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat luas, seperti taman atau hutan kota, trotoar, ruang terbuka hijau, lapangan, dan sebagainya, termasuk fasilitas atau sarana yang terdapat di dalamnya seperti halte, jembatan penyeberangan, dan sebagainya. Ruang privat atau pribadi adalah ruang yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, seperti lahan pribadi pemilik pertokoan, perkantoran, dan sebagainya. Penggunaan ruang-ruang inilah yang akhirnya menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) antara Pemerintah Kota, PKL, masyarakat dan bahkan pemilik ruang privat yang lahannya dipakai untuk PKL. Bentuk penyelesaian konflik sangat kompleks.

Dari sisi pelaku PKL (Tabel 79), penempatan usaha di ruang publik dan privat tersebut dipandang strategis (96,67 %). Dari sisi usaha, PKL akan memilih lokasi yang mendekati pasar atau pembeli. Mereka akan berusaha agar barang atau jasa yang dijual terlihat oleh pembeli.

Tabel 79. Posisi Lokasi Usaha

No. Posisi Usaha Jumlah Persen

1. Strategis 116 96,67

2. Tidak Strategis 4 3,33

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Dari aspek pemasaran, mereka akan memilih lokasi-lokasi yang strategis dan menguntungkan di pusat kota atau lokasi aktivitas masyarakat, seperti lokasi aktivitas perdagangan, pendidikan, perkantoran, dan aktivitas sosial masyarakat lainnya. Dalam teori lokasi disebutkan bahwa bagi pedagang terdapat kecenderungan untuk berorientasi kepada konsentrasi konsumen dalam menentukan lokasi tempat usaha (Djojodipuro, 1992). Sesuai pula dengan yang dikatakan dalam ilmu manajemen bahwa salah satu kriteria dalam pemilihan lokasi adalah dekat dengan pasar ( Umar H, 2005).

5.3.12. Luas Tempat Usaha (B13)

Analisis berikutnya diarahkan pada luas tempat (ruang) yang digunakan oleh PKL dalam menjalankan usaha (Tabel 80). Dari keseluruhan responden yang

dianalisis rata-rata pemanfaatan ruang PKL adalah 4 m2. Hasil ini lebih rendah dibandingkan hasil analisis Budi (2005) yang mengkaji penyebaran PKL di Tegal dimana rata-rata pemanfaatan ruang oleh PKL adalah lebih dari 5 m2

No.

. Perbedaan hasil ini terkait dengan perbedaan tipologi PKL yang dianalisis. Semakin besar luas ruang yang digunakan maka akan semakin banyak ruang publik atau privat yang terpakai. Dengan kata lain hasil ini berimplikasi strategis bagi pengaturan ruang yang dapat dipakai PKL dalam menjalankan usahanya.

Tabel 80. Luas Ruang yang Digunakan PKL

Luas Lahan (m2) Jumlah Persen

1. ≤ 1 24 26,67

2. 1 - 3 42 46,67

3. > 3 54 60,00

Total 120 133,33

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa mayoritas responden menempati ruang lebih dari 3 m2 (60,00 %), menempati ruang 1 sampai 3 m2 (46,67 %), dan sisanya kurang dari 1 m2. Luas penggunaan ruang ini berhubungan erat dengan sarana dan prasarana PKL. Budi (2005) menemukan hubungan yang signifikan antara sarana dagang dengan luas ruang. Implikasinya adalah dalam peraturan daerah perlu diperhitungkan jenis sarana dagang dan luas tempat agar dapat dibatasi jumlah PKL yang menempati suatu lokasi.

5.3.13. Penilaian terhadap Kondisi Kebersihan (B14)

Pemanfaatan ruang untuk aktivitas PKL berhubungan dengan kondisi kebersihan sekitarnya. Terdapat pandangan umum bahwa PKL menyebabkan lingkungan yang kotor dan mengurangi estetika wajah kota. Kondisi kebersihan juga berhubungan dengan rentan-tidaknya pelaku PKL terhadap penyakit.

Untuk menguji pandangan ini maka dilakukan penilaian terhadap kondisi kebersihan untuk aktivitas PKL yang dilakukan oleh petugas survei dengan melakukan pengamatan kondisi sekitar usaha dan kondisi usaha PKL tanpa sepengatahuan PKL. Hasil analisis kondisi kebersihan aktivitas PKL disajikan pada Tabel 81.

Tabel 81. Kondisi Kebersihan

No. Kondisi Kebersihan Jumlah Persen

1. Bersih 31 25,83

2. Kotor 89 74,17

Total 120 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)