• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR

5.8. Persepsi Pesaing, Pemasok, dan Masyarakat terhadap Keberadaan PKL

Persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap keberadaan PKL menjadi salah satu komponen penting dalam penelitian ini. Hal ini menjadi unsur yang membedakan bila dibandingkan dengan penelitian lain tentang PKL di Indonesia. Suharto (2003) dalam penelitian PKL di kota Bandung, Jawa Barat dan Brata (2008) di Yogyakarta tidak membahas persepsi masyarakat terhadap PKL. Budi (2006) dalam kajian lokasi PKL di kota Pemalang hanya menggunakan persepsi masyarakat umum terhadap keberadaan PKL.

Dalam penelitian ini, jumlah responden yang digunakan adalah pemasok (9 responden), pesaing (6 responden) dan masyarakat umum (45 responden). Jumlah masyarakat lebih banyak mengingat mereka adalah pihak yang terkena dampak langsung dan tidak langsung dari keberadaan PKL.

Usaha PKL (informal) tidak berlangsung tanpa kompetisi. Mereka berkompetisi dengan PKL sejenis dan toko-toko (formal) yang ada di sekitarnya. Walsh (2010) dan Timalsina (2011) menyatakan bahwa PKL mampu menyediakan harga produk lebih murah sehingga” menguntungkan” konsumen masyarakat umum tetapi menjadi pesaing bagi usaha toko-toko di sekitarnya. Dengan demikian maka perlu memasukkan persepsi pesaing dalam analisis.

Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 97 menunjukkan bahwa mayoritas pesaing (55,56 %) memandang bahwa keberadaan PKL tidak mengganggu mereka dalam berusaha, tetapi proporsi yang terganggu juga cukup besar yaitu 44,44 %. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan PKL di sekitar warung/toko mereka dipandang sebagai pesaing bila barang yang dijual adalah barang sejenis. Tabel 107. Persepsi Gangguan PKL terhadap usaha Pesaing dan Pemasok

No. Gangguan Usaha Pesaing Pemasok

Jumlah Persen Jumlah Persen

1. Ya 4 44,44 1 16,67

2. Tidak 5 55,56 5 83,33

Total 9 100,00 6 100,00

Dari sisi pemasok, mayoritas responden (83,33 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL tidak mengganggu aktivitas usaha mereka. Pemasok adalah penyedia suplai PKL sehingga PKL bukan dipandang sebagai gangguan usaha.

Eksplorasi lebih lanjut terhadap pesaing yang merasa terganggu menunjukkan bahwa mayoritas (23,08 %) mengalami penurunan omzet penjualan. Hal ini tekait dengan keberadaan PKL yang mengganggu parkir konsumen (15,38 %) dan menyebabkan tempat usaha kurang dapat dilihat konsumen (15,38 %).

Tabel 108. Bentuk Gangguan usaha PKL terhadap Pesaing

No. Bentuk Gangguan usaha Ya Persen

1. Menurunkan omzet penjualan 3 23,08

2. Menyebabkan konsumen enggan berbelanja 1 7,69

3. Mengganggu parkir konsumen 2 15,38

4. Menyebabkan tempat usaha kurang bisa dilihat konsumen 2 15,38 5. Lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi 2 15,38

6. Jalanan menjadi sesak dan macet 2 15,38

7. Merasa kurang aman 1 7,69

8. Lainnya 0 0,00

Jumlah jawaban 13 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Berdasarkan data Persepsi Pesaing (B3) menunjukkan bahwa adanya PKL sejenis dengan usaha pesaing menyebabkan penurunan omzet penjualan pesaing rata-rata sekitar Rp. 377.778,- per bulan. Angka ini sebaiknya diverifikasi lebih lanjut dengan sampel pesaing lebih banyak untuk memastikan apakah keberadaan PKL menyebabkan penurunan omzet pesaing atau toko di sekitarnya.

PKL dipandang memberikan manfaat bagi pemasok. Mayoritas responden pemasok (83,33 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL menambah rantai pemasaran dan sebagian kecil (16,67 %) menyatakan bahwa PKL memberikan manfaat lain seperti mitra usaha dan sebagainya.

Tabel 109. Manfaat Keberadaan PKL bagi Pemasok

No. Manfaat Keberadaan PKL Ya Persen

1. Menambah rantai pemasaran 5 83,33

2. Meningkatkan jumlah barang yang dipasok (diversifikasi produk)

0 0,00

3. Lainnya 1 16,67

Total 6 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Penelitian lebih lanjut diarahkan pada manfaat aktivitas PKL bagi pesaing, pemasok, dan masyarakat umum. Hasil analisis disajikan pada Tabel 110.

Tabel 110. Manfaat Aktivitas PKL bagi Pesaing, Pemasok, dan Masyarakat Umum

No. Manfaat keberadaan PKL

Pesaing Pemasok Masyarakat

Jml % Jml % Jml %

1. Tidak Ada 2 11,76 0 0,00 2 3,39

2. Lokasi menjadi lebih ramai 3 17,65 0 0,00 3 5,08 3. Mudah mendapatkan kebutuhan 5 29,41 2 33,33 21 35,59 4. Meningkatkan perekonomian masyarakat kecil 1 5,88 2 33,33 19 32,20 5. Mengurangi pengangguran 6 35,29 1 16,67 13 22,03 6. Lainnya 0 0,00 1 16,67 1 1,69 Total 17 100,00 6 100,00 59 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Mayoritas pesaing (35,29 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL dapat menurunkan jumlah pengangguran di masyarakat. Mayoritas pemasok (33,33 %) dan masyarakat umum (35,59 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat mereka mudah mendapatkan kebutuhan. Hasil untuk masyarakat ini sejalan dengan temuan Budi (2005) pada kajian PKL di Pemalang bahwa aktivitas PKL memiliki manfaat yang bervariasi bagi konsumennya. Intinya adalah aktivitas PKL memberikan kemudahan karena keberadaan mereka yang cenderung dekat dengan aktivitas masyarakat. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa rata-rata

frekuensi berbelanja masyarakat umum ke PKL adalah 14,33 (∼15) kali dalam sebulan. Ini menunjukkan ketergantungan masyarakat umum terhadap aktivitas PKL di sekitarnya.

Ketergantungan masyarakat terhadap aktivitas PKL terkait dengan beberapa alasan. Alasan mereka berbelanja ke PKL sangat beragam. Hasil analisis alasan masyarakat memilih berbelanja/makan di lokasi PKL disajikan pada Tabel 111. Tabel 111. Alasan Masyarakat Berbelanja di PKL

No. Alasan Berbelanja Ya Persen

1. Harga lebih murah dibanding yang lain 35 64,81

2. Lokasinya dekat 14 25,93

3. Suasana lebih santai 1 1,85

4. Produk dan jasa yang ditawarkan beragam 3 5,56

5. Kualitas produk/jasa sesuai 1 1,85

6. Lainnya, sebutkan... 0 0,00

Total 54 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Mayoritas responden (64,81 %) menyatakan bahwa mereka berbelanja karena harganya lebih murah dibandingkan yang lain. Alasan ini dapat dicontohkan dalam harga kran air. Harga level PKL adalah Rp 5.000,- sampai Rp 7.500,- sedangkan harga level toko kelontong atau toko bangunan antara Rp 10.000,- sampai Rp 15.000,-. Jika kualitas yang menjadi ukuran, barang di toko tentunya lebih bagus, namun ukuran yang digunakan masyarakat menengah ke bawah umumnya adalah adalah harga dibandingkan kualitas.

Kedekatan lokasi juga menjadi pertimbangan utama konsumen (25,93 %), khususnya untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu seperti rokok, sabun, shampo, dan sebagainya. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membeli rokok maka dia akan mencari warung terdekat yang menjual rokok yang biasanya adalah toko kelontong PKL.

Meskipun bermanfaat bagi masyarakat, keberadaan PKL sering dianggap mengganggu kepentingan umum. Untuk itu persepsi pemasok, pesaing dan masyarakat terhadap gangguan aktivitas PKL perlu dikaji. Hasil analisis disajikan pada Tabel 112.

Tabel 112. Persepsi Keberadaan PKL untuk Kepentingan Umum No.

Persepsi Keberadaan PKL untuk Kepentingan Umum

Pesaing Pemasok Masyarakat

Jml % Jml % Jml %

1. Tidak ada 3 18,75 0 0,00 6 9,09

2. Mengganggu aktivitas pejalan kaki

1 6,25 0 0,00 12 18,18

3. Parkir menjadi sulit 2 12,50 2 33,33 5 7,58 4. Lingkungan menjadi

kotor dan kurang rapi

3 18,75 2 33,33 14 21,21

5. Jalanan menjadi sesak dan macet

6 37,50 1 16,67 28 42,42

6. Merasa kurang aman 1 6,25 1 16,67 1 1,52 Total Jawaban 16 100,00 6 100,00 66 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Dari hasil analisis pada Tabel 112 terlihat bahwa persepsi pesaing dan pemasok menunjukkan hasil yang cenderung sama. Mayoritas pesaing (37,50 %) dan masyarakat (42,42 %) menyatakan bahwa PKL menyebabkan jalanan menjadi sesak dan macet. Banyak pesaing (18,75 %) dan masyarakat (21,21 %) menyatakan bahwa PKL menyebabkan lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi. Bagi pemasok, PKL menyebabkan parkir menjadi sulit (33,33 %), lingkungan menjadi kotor dan kurang rapi (33,33 %).

Jika hasil di atas dicermati, baik pesaing, pemasok maupun masyarakat sedikit sekali yang menyatakan bahwa keberadaan PKL membuat mereka menjadi kurang aman (masing-masing 1 %). Terkait dengan hasil ini, Budi (2005) menemukan bahwa mayoritas masyarakat berpendapat PKL menyebabkan gangguan sebagai berikut : ketidaknyamanan pejalan kaki kerena sempitnya trotoar (18 %), parkir menjadi sulit (10 %), lingkungan kotor (10 %), jalanan yang macet (18 %), merasa tidak aman (4 %), dan alasan lain (6 %). Yang dimaksud dengan gangguan lain adalah gangguan secara visual karena tampilan PKL yang tidak teratur dan tidak tertib. Sebanyak 18 % masyarakat menganggap bahwa kehadiran PKL tidak memberi gangguan yang berarti. Umumnya masyarakat yang berpendapat demikian adalah masyarakat yang lokasi aktivitasnya belum dipenuhi oleh aktivitas PKL sehingga mereka beranggapan bahwa aktivitas PKL yang ada belum terlalu mengganggu.

Analisis selanjutnya diarahkan pada persepsi terhadap perlunya pengaturan khusus untuk aktivitas PKL di Kota Bogor (Tabel 113). Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas pesaing (88,89 %), pemasok (66,67 %) maupun masyarakat (84,44 %) menyatakan bahwa keberadaan PKL perlu diatur secara khusus.

Tabel 113. Persepsi Pengaturan untuk Aktivitas PKL

No. Persepsi Penataan PKL

Pesaing Pemasok Masyarakat

Jml % Jml % Jml %

1. Ya 8 88,89 4 66,67 38 84,44

2. Tidak 1 11,11 2 33,33 7 15,56

Total 9 100,00 6 100,00 45 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Beragam bentuk pengaturan bisa dilakukan seperti pengelompokan usaha, pengaturan sarana dan prasarana usaha, pengaturan waktu usaha, relokasi usaha, registrasi usaha, dan bentuk-bentuk pengaturan lainnya. Hasil analisis persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap bentuk pengaturan disajikan pada Tabel 114.

Tabel 114. Persepsi terhadap Bentuk-Bentuk Pengaturan

No. Bentuk Pengaturan Pesaing Pemasok Masyarakat

Jml % Jml % Jml %

1. Pengelompokan usaha 4 36,36 0 0,00 7 12,73 2. Sarana dan prasarana usaha 5 45,45 2 50,00 28 50,91

3. Waktu usaha 0 0,00 0 0,00 4 7,27

4. Relokasi usaha 1 9,09 2 50,00 14 25,45 5. Registrasi usaha 1 9,09 0 0,00 2 3,64

Total Jawaban 11 100,00 4 100,00 55 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Hasil analisis menunjukkan bahwa pesaing memandang perlunya pengaturan sarana dan prasarana usaha (45,45 %), pengelompokan usaha (36,36 %), relokasi usaha (1 %), dan registrasi usaha (1 %). Bagi pemasok, bentuk pengaturan yang perlu dilakukan adalah sarana dan prasarana usaha (50,00 %) dan relokasi usaha (50,00 %). Bagi masyarakat, hal yang paling perlu diatur adalah sarana dan

prasarana usaha (50,91 %), relokasi usaha (25,45 %), pengelompokan usaha (12,73 %), waktu usaha (7,27 %), dan registrasi usaha (3,64 %).

Bentuk pengaturan sarana dan prasarana dapat dicontohkan di Blitar dimana pemerintah menyediakan tenda-tenda dengan warna tertentu sehingga memberikan keunikan sendiri pada wajah kota. Tenda tersebut dapat dimiliki PKL dengan cara pembayaran angsuran yang besarannya disesuaiakan dengan kemampuan PKL.

Dalam konteks pengaturan PKL, Pemerintah Kota Bogor sering melakukan penggusuran di lokasi-lokasi tertentu sehingga persepsi terhadap penggusuran perlu diketahui. Penggusuran pada dasarnya merupakan penerapan Perda, namun terkadang bersifat represif sehingga menimbulkan bentrok fisik antara PKL dan petugas (Satuan Polisi Pamong Praja, Polisi, Dinas Tata Kota, dan sebagainya). Hasil analisis persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap penggusuran disajikan pada Tabel 115.

Tabel 115. Persepsi terhadap Penggusuran No. Perlunya

Penggusuran

Pesaing Pemasok Masyarakat

Jml % Jml % Jml %

1. Ya 7 87,50 4 66,67 30 68,18

2. Tidak 1 12,50 2 33,33 14 31,82

Total 8 100,00 6 100,00 44 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Hasil analisis menunjukkan bahwa, baik pesaing (87,50 %), pemasok (66,67 %), dan masyarakat (68,18 %) memandang perlu dilakukan penggusuran pada lokasi-lokasi tertentu yang peruntukannya bukan untuk PKL. Agar penggusuran tidak menimbulkan bentrok fisik yang terkadang merenggut korban jiwa, diperlukan mekanisme yang tepat sehingga masing-masing pihak merasa tidak dirugikan. Persepsi pesaing, pemasok, dan masyarakat terhadap mekanisme penggusuran yang seharusnya, disajikan pada Tabel 116.

Tabel 116. Mekanisme Penggusuran

No. Mekanisme

Penggusuran

Pesaing Pemasok Masyarakat

Jml % Jml % Jml %

1. Tanpa sosialisasi dan tanpa kompensasi

0 0,00 0 0,00 0 0,00

2. Dengan sosialiasi tapi tanpa kompensasi

2 28,57 0 0,00 1 20,00

3. Dengan sosialiasi, dengan kompensasi, tanpa relokasi

0 0,00 0 0,00 2 40,00

4. Dengan sosialisasi, dengan kompensasi dan relokasi

5 71,43 5 100,00 26 20,00

5. Lainnya 0 0,00 0 0,00 1 20,00

Total Jawaban 7 100,00 5 100,00 30 100,00

Sumber : Data primer 2011 (diolah)

Hasil analisis menunjukkan bahwa baik pesaing, pemasok, dan masyarakat mayoritas berpendapat bahwa sosialisasi, kompensasi, dan relokasi adalah mekanisme penggusuran yang sesuai. Mekanisme ini pernah dilakukan dalam pengaturan PKL di Solo, Jawa Tengah dimana Pemerintah Kota melakukan pemberitahuan sebelumnya (sosialisasi), menyediakan tempat (relokasi), menyediakan angkutan secara gratis ditambah modal awal untuk berusaha di lokasi baru (kompensasi). Bentuk pengaturan ini terbukti tidak menimbulkan konflik antara petugas dan PKL karena PKL secara sukarela bersedia pindah ke lokasi baru.