• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian Keempat

A. UJUB ATAU MEMBANGGAKAN DIRI (AL-I’JAB BI AL-NAFS)

3. Bahaya Penyakit Ujub





























































Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa. Maka ia berlaku ani-aya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepa-danya: “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyu-kai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. (QS al-Qashash [28]: 76) Allah SWT tidak menyukai orang­orang yang terlalu membang­ gakan dirinya. Ujub sangat dibenci Allah, merupakan salah satu ke­ durhakaan pada­Nya, ujub berarti telah mengingkari karunia Allah SWT yang seharusnya disyukuri. Sifat ujub membawa akibat buruk dan terperosok kepada kehancuran, baik bagi pelakunya maupun bagi amal perbuatannya.

Di antara beberapa bahaya dari sifat ujub tersebu, yaitu:  a. Terjerumus ke dalam sikap teperdaya (ghurur), takabur,

hasad (dengki), dan riya.

Seseorang yang mempunyai perasaan ujub akan selalu menilai dirinya baik dan tidak pernah menilai dirinya buruk dan serba keku­ rangan, sehingga ia selalu mengumbar keinginan hawa nafsunya dan tidak merasa kalau dirinya telah berbuat dosa. Nabi SAW bersabda,

“Andaikan kalian tidak pernah berbuat dosa sedikit pun, pasti aku khawatir kalau kalian berbuat dosa yang lebih besar, yaitu perasaan ujub” (HR. al­Bazzar). 

Sikap ujub akan berdampak pada kelengahan pelakunya dan ke­ engganannya dalam mengintrospeksi diri. Seiring berjalannya waktu, sikap ini akan mencapai klimaks dengan menyepelekan dan mere­ mehkan potensi orang lain sehingga pelaku terjerumus dalam kete­ perdayaan diri. Pujian yang berlebihan atas dirinya menyebabkan di ri­ nya tertipu, ia pun menjadi riya memamerkan segala kelebihan dirinya.

Lebih jauh lagi, ia akan merasa lebih dari orang lain dan me remehkan jati diri dan kepribadian orang lain. Dengan demikian, ia telah bersikap sombong. Seterusnya, ia merasa tidak senang jika ada orang lain yang menyaingi dirinya sehingga muncullah iri hati dan dengki.

b. Mengundang Murka Allah SWT

Nabi SAW bersabda: “Seseorang yang menyesali dosanya, maka ia

menanti rahmat Allah. Sedang seseorang yang merasa ujub, maka ia menanti murka Allah” (HR. Baihaqi).

Barangsiapa dimurkai Allah SWT, seluruh penduduk langit akan memurkainya, dan pada akhirnya orang yang ujub pun akan dibenci penduduk bumi; mereka akan menjauhi, tidak ingin melihat, juga tidak ingin mendengar suaranya. Sebaliknya, buah manis untuk orang yang telah dicintai Allah adalah ia akan dicintai dan diterima di tengah pen­ duduk bumi.

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Se­

sungguhnya Allah Ta’ala apabila mencintai seorang hamba, Dia menye­ ru Jibril seraya berfirman: Sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah ia. Lalu Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru di langit seraya berkata: Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cin­ tailah ia. Maka penduduk langit mencintainya. Kemudian dijadikan untuknya penerimaan di bumi. Sebaliknya, apabila Allah membenci seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril seraya berfirman: Sesungguh­ nya Aku membenci fulan, maka bencilah ia. Maka, Jibril membencinya. Lalu Jibril menyeru pada penduduk langit: Sesungguhnya Allah mem­ benci fulan, maka bencilah ia. Lalu penduduk langit memben cinya. Kemudian diletakkan untuknya kebencian padanya di bumi. (HR.

Bukhari dan Muslim).

c. Terhalang dari Bimbingan Allah SWT (al-Taufiq al-Ilahi)

Sering kali ujub akhirnya menjadi kepribadian si pelaku dan dija­ dikan acuan dalam melakukan segala sesuatu. Ia melupakan Allah SWT, Sang Penciptanya, Pengurus segala urusannya, Pemberi segala kenikmatan lahir dan batinnya. Akhirnya ia ditelantarkan, tidak men­ dapatkan bimbingan (taufik) dari Allah dalam setiap aktivitasnya.

Sunnatullah telah menetapkan bahwasanya Allah SWT tidak akan

memberikan bimbingan dan petunjuk kecuali kepada orang­orang yang menghinakan dirinya di hadapan­Nya, menghindarkan diri dari godaan setan, memohon perlindungan sepenuhnya kepada Allah, dan

168

Tasawuf dan Kesehatan

menghabiskan seluruh hidupnya untuk tunduk patuh hanya ke pada­ Nya. Allah SWT berfirman: “Dan orang­orang yang berjihad di jalan

Kami, maka Kami benar­benar akan menunjukkan kepada mereka jalan­jalan Kami” (QS. al­‘Ankabut [29]: 69).

Dalam hadits Qudsi diriwayatkan: Dari Abu Hurairah r.a., ia ber­ kata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT berfirman,

Siapa yang memusuhi wali­Ku maka sesungguhnya Aku telah menya­ takan perang terhadapnya. Dan tidaklah hamba­Ku mendekatkan diri ke pada­Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang te lah Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa seorang hamba­Ku men dekatkan diri kepada­Ku dengan amalan­amalan sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pen de­ ngarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada­Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan kepada­Ku pasti Aku akan melin­ dunginya” (HR. Bukhari).

Hadis di atas menjelaskan, bahwa di antara sebab yang menda­ tangkan kecintaan Allah SWT adalah mengerjakan amal­amal sunah sesudah yang wajib secara kontinyu. Dan jika Allah sudah mencintai hamba, maka Allah akan memberi petunjuk pada anggota tubuhnya. Sehingga ia akan berkata dan berbuat sesuai keridhaan­Nya. Maksud “Allah menjadi pendengarannya” ialah bahwa Allah akan memberi petunjuk kepadanya pada pendengarannya sehingga ia tidak men­ de ngar kecuali yang mendatangkan keridhaan­Nya. Maksud “Allah menjadi penglihatannya”: Allah akan memberi petunjuk kepadanya pada penglihatannya sehingga ia tidak akan melihat kecuali apa yang dicintai Allah. Sementara maksud “Allah menjadi tangannya yang de­ ngannya ia berbuat” ialah Allah memberi petunjuk pada tangannya sehingga ia tidak berbuat dengan tangannya kecuali apa yang diri­ dhai Allah. Adapun maksud “Allah menjadi kakinya yang dengannya ia melangkah”: Allah memberi petunjuk pada kakinya sehingga ia tak melangkah/berjalan dengan kakinya kecuali untuk sesuatu yang diri­ dhai oleh Allah SWT Buah manis lain yang akan hamba tersebut da­ patkan adalah doanya akan didengar dan dikabulkan, ia berada pada perlindungan Allah SWT dari segala yang mengancam dirinya.

d. Mendapatkan Siksa Allah SWT di Dunia dan Akhirat

Sikap ujub juga akan menyeret pelakunya mendapatkan siksa di dunia. Ia akan ditimpa kehinaan seperti yang menimpa umat terda­ hulu. Atau, paling tidak ia akan mengalami gangguan kejiwaan seperti yang dirasakan banyak orang saat ini. Di akhirat kelak, ia pun akan disiksa di neraka bersama para penghuni lainnya.

e. Putus Asa Saat Menerima Cobaan dan Musibah

Sikap ujub menjadikan diri lengah membersihkan diri dan men­ dekatkan diri pada Allah SWT. Saat senang ia tidak mengingat Allah, maka Allah pun tidak mengingatnya saat ia dalam kesusahan.

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah beserta orang­orang

yang bertakwa dan orang­orang yang berbuat kebaikan” (QS. an­Nahl

[16]: 128). “Dan sesungguhnya Allah benar­benar bersama orang­orang

yang berbuat baik” (QS. al­‘Ankabut [29]: 69).

Nabi SAW bersabda: “Peliharalah (agama) Allah, maka engkau

akan mendapati­Nya di hadapanmu. Ingatlah Allah pada saat senang, maka Dia akan mengingatmu pada saat susah” (HR. Ahmad).

f. Menyebabkan Su’ul Khatimah dan Kerugian di Akhirat

Orang yang mempunyai sifat ‘ujub adalah orang yang durhaka kepada Allah, karena ia tidak sadar bahwasanya Allah SWT­lah yang memberikan segala keutamaan nikmat tersebut kepadanya. 

Nabi bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang suka me­

nyebut­nyebut kembali pemberiannya, seorang yang durhaka, dan pe­ candu minuman keras” (HR. an­Nasa’i).

Umar r.a. pernah berkata, “Siapa pun yang mengakui dirinya ber­ ilmu, maka ia seorang yang bodoh dan siapa pun yang mengaku diri­ nya akan masuk surga, maka ia akan masuk neraka.” 

Qatadah berkata, “Barangsiapa yang diberi kelebihan harta, atau kecantikan, atau ilmu, atau pakaian, kemudian ia tidak bersikap tawa­ du, maka semua itu akan berakibat buruk baginya pada hari kiamat.”