• Tidak ada hasil yang ditemukan

Empat Golongan yang Lebih Berpotensi Terjangkit Penyakit Ujub

Bagian Keempat

A. UJUB ATAU MEMBANGGAKAN DIRI (AL-I’JAB BI AL-NAFS)

2. Empat Golongan yang Lebih Berpotensi Terjangkit Penyakit Ujub

Sikap takjub terhadap diri sendiri, adalah suatu hal yang biasa kita temukan di mana­mana. Banyak orang yang sudah terbiasa berinter­ aksi dengannya. Baik itu dalam berinteraksi dengan sikap ujub yang ada pada dirinya sendiri, ataupun dengan sikap ujub yang ada pada diri orang lain. Ujub bisa menimpa siapa saja. Akan tetapi, secara umum, ujub lebih dominan dan lebih berpotensi untuk menimpa ke­ empat golongan berikut, yakni: para pemuda; penuntut ilmu/pemula (terutama dalam masalah ilmu agama); orang­orang yang memiliki keutamaan (kekuasaan, kepandaian dan kekayaan); serta kelompok pergaulan (perkumpulan) antara sesama orang­orang yang memiliki keutamaan.

a. Pemuda

Rentang usia fase pemuda itu adalah fase hidup yang paling pan­ jang dibandingkan fase hidup lainnya (sejak akil baligh hingga usia 40 tahun). Pemuda dengan jiwanya yang berani, semangatnya yang membara, dan kondisi fisiknya yang prima, bisa jadi berpotensi un­ tuk memiliki prestasi dan kebaikan yang sangat memukau jika melalui bimbingan dan arahan yang tepat dan benar. Akan tetapi, umumnya

para pemuda itu lebih mudah untuk memperturutkan hawa nafsu­ nya dan naif dalam memandang suatu perkara. Belum lagi kebiasaan para pemuda itu adalah saling berlomba untuk saling membanggakan diri antara mereka. Sebagian orang mengatakan dengan istilah “masa

untuk mencari jati diri“ atau “agar diakui.”

Rasulullah SAW mengisyaratkan hal ini dengan perkataan beliau, “Sesungguhnya Allah SWT benar­benar kagum terhadap seorang pe­ muda yang tidak memiliki  shabwah (pemuda yang tidak mempertu­

rutkan hawa nafsunya, dengan dia membiasakan dirinya melakukan kebaikan dan berusaha keras menjauhi keburukan) [HR. Ahmad dan

Thabrani].

Oleh karena itu, memahami permasalahan ilmu mengenai ujub dan mengatur hawa nafsu itu sangatlah penting untuk dipelajari oleh para pemuda, di samping bimbingan dan arahan yang benar dan tepat sasaran.

b. Para Penuntut Ilmu (Tholabul ‘Ilmi)/Para Pemula (Terutama dalam Masalah Ilmu Agama)

Kadang para penuntut ilmu atau yang masih pemula dalam hal ilmu agama umumnya yang paling mudah untuk merasa ujub. Ti­ dak jarang pula bersikap arogan atau berlebihan dalam suatu perka­ ra, merasa sudah memiliki ilmu cukup sehingga berani berpendapat sendiri, paling mudah berfatwa walau tanpa ilmu dan fondasi yang matang, dan mudah untuk takjub dengan perkataan atau fatwanya sen­ diri. Terkadang juga mudah untuk mengikuti hawa nafsu dan syu bhat tanpa mereka sadari. Dan jika diluruskan atau dikritisi de ngan ber­ dasarkan ilmu agama yang benar (haq), maka mereka bersikap som­ bong dan arogan dikarenakan ujubnya. Bahkan tidak jarang pula ma­ lah lebih suka berdebat tanpa ilmu, memberikan argumen­argumen yang benar namun tidak ada korelasinya dengan permasalahan (logi­

cal fallacy), dan menunjukkan adab serta akhlak yang buruk.

Mereka tertipu dengan diri mereka sendiri dan beranggapan bah­ wa mereka telah memiliki kemapanan ilmu sehingga muncul dari mereka pendapat­pendapat yang mengguncangkan, tidak dilandasi dengan pemahaman yang benar berlandaskan Al­Qur’an dan as­Sun­ nah. Maka, mereka sesat dengan pemikiran­pemikiran tersebut dan menyesatkan banyak manusia. Tak jarang kita mendengar dari para pe mula ini mengatakan dengan sangat mudahnya, “saya berijtihad” atau “saya berpendapat demikian” tanpa memikirkan dampak negatif

164

Tasawuf dan Kesehatan

yang ditimbulkan dari ucapan­ucapannya.

Para ulama berkata: Berhati­hatilah jangan engkau menjadi “Abu

Syibrin”. Ada yang mengatakan, “Tahapan ilmu itu ada tiga jengkal,

barangsiapa yang masuk jengkal (syibr) pertama maka ia menjadi sombong, barangsiapa yang masuk jengkal kedua maka ia menjadi tawadu, dan barangsiapa yang masuk jengkal ketiga maka ia baru me­ nyadari bahwa dirinya tidak tahu apa­apa.”4 Para ulama menerangkan bahwa “Abu Syibrin” ialah orang yang baru belajar setahap ilmu kemu­ dian ia tergesa­gesa dengan meninggalkan tahapan berikutnya karena menyangka dirinya telah berilmu dan kemudian ia berfatwa, mendebat dan menuduh salah siapa pun yang menyelisihinya dengan modal se­ jengkal ilmu yang baru dimilikinya. Inilah hakikat kesom bongan yang sesungguhnya. Bahkan Rasulullah SAW pun berkata: Dari Ibnu Ka’b bin Malik, dari bapaknya, dia berkata; “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menuntut ilmu untuk mendebat para ulama,

atau untuk mengolok­olok orang bodoh atau untuk mengalih kan pan­ dangan manusia kepadanya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka” (HR. Tirmidzi).

Kepada para penuntut ilmu hendaklah mereka sabar dalam me­ nuntut ilmu, janganlah tertipu dengan ilmu yang dimiliki sekarang, dan menjauhi segala akhlak yang tidak terpuji agar tidak tergelincir ke dalam ujub. Ikuti jalan yang telah digariskan Allah SWT, jangan mem perturutkan hawa nafsu dan pemahaman yang dangkal dalam menggunakan dalil, janganlah sekali­kali bersandar atau semata­mata meng andalkan pemahaman (ijtihad) sendiri tanpa mengambil bantu­ an dari kitab­kitab fikih dan hadits serta pemahaman ulama terhadap kitab­kitab tersebut.

c. Orang-orang yang Memiliki Keutamaan (Kekuasaan, Kepandaian, dan Kekayaan)

Orang­orang yang memiliki keutamaan sangat wajar berpotensi untuk mudah terkena ujub. Karena memang mereka mempunyai hal untuk dibanggakan. Kekuasaan, kepandaian, dan kekayaan  merupa­ kan anugerah keutamaan yang bisa membantu kita untuk meraih kesuksesan dunia akhirat. Akan tetapi, bisa juga merupakan anugerah keutamaan yang akan menghancurkan kita.

Adapun contoh orang­orang yang mempunyai keutamaan yang tergelincir kepada ujub yang membinasakan: Iblis, Fir’aun, Haman, dan Qarun——merupakan empat dari sekian banyak contoh makhluk yang diberikan keutamaan akan tetapi tergelincir karena keutamaan­ nya itu sehingga ujub, bersikap sombong, dan berakhir kepada keku­ furan. Adapun Dzulqarnain, Nabi Daud a.s., dan Nabi Sulaiman a.s.—— merupakan tiga orang dari sekian banyak contoh orang yang dibe rikan keutamaan yang tidak jatuh kepada ujub dan kesombongan. Mereka menisbatkan keutamaan itu benar­benar merupakan karunia dari Allah SWT, mensyukurinya, memanfaatkannya untuk membangun du­ nia dan akhiratnya, serta meraih ridha Allah SWT.

d. Kelompok Pergaulan (Perkumpulan) antara Sesama Orang-orang yang Memiliki Keutamaan

Adapun orang­orang yang memiliki keutamaan yang dimaksud­ kan di sini adalah dalam artian luas, bisa itu berupa kepandaian, kecantikan/ketampanan, harta kekayaan, kemampuan fisik dan ke­ kuat an, orang­orang yang memiliki pengaruh dan kekuasaan, status sosial yang tinggi, dan hal­hal semisal lainnya yang memengaruhi so­

cial circle pergaulannya.

Selain ujub mudah untuk menimpa orang­orang yang memiliki keutamaan, pergaulan di antara sesama mereka terkadang juga tidak lepas dari hal­hal yang mengkhawatirkan, yakni tidak lepas dari per­ gaulan ujub yang hanya saling berlomba untuk membanggakan diri, saling menyombongkan diri, saling mengejek orang lain untuk men­ jatuhkan (meskipun) berselubung canda, dan saling mengalahkan. K e angkuhan, ego, dan saling bersaing ingin mengalahkan untuk me­ nunjukkan superioritasnyalah yang senantiasa ditunjukkan.

Ujub, penyakit­penyakit hati, hawa nafsu, dan bisikan setan se akan memiliki lahan yang sangat subur untuk berkembang di lingkung an pergaulan seperti ini. Hilangnya hati dari rasa saling menya yangi (rah­ mat) dan bertebarannya akhlak buruk, benar­benar menjadi peman­ dangan yang umum dalam pergaulan itu.

Padahal, seharusnya jika orang­orang yang saling memiliki keuta­ maan berkumpul, dapat memunculkan sinergi berpadunya kekuatan di antara mereka. Saling membantu dengan keutamaan masing­ma­ sing dan saling menutupi kekurangan satu sama lain. Suasana penuh rahmat yang saling menyayangi, akhlak yang santun, adab yang baik, dan saling menghargai di antara sesama. Dan andai kata ada suatu

166

Tasawuf dan Kesehatan

persaingan pun, maka hendaklah persaingan yang sehat dan dengan tujuan untuk saling berlomba dalam masalah kebaikan.