Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitabnya Minhajul Qashidin menceritakan sebuah kisah sebagai berikut:
Sahl bin Abdullah berkata, “Saat itu aku masih berumur tiga tahun.” Suatu malam aku bangun dari tidur dan menunggui shalat pamanku, Muham-mad bin Siwar. Suatu hari paman berkata kepadaku, “Tidakkah engkau mengingat Allah yang telah menciptakan dirimu?” Aku balik bertanya, “Bagaimana aku mengingat-Nya?”
“Katakan di dalam hatimu tiga kali tanpa menggerakkan lidah,” “Allah be-sertaku. Allah melihatku. Allah menyaksikanku.”
Jika malam hari aku mengucapkan di dalam hati yang seperti itu, hingga dapat mengenal-Nya. Lalu paman berkata lagi kepadaku, “Ucapkan yang seperti itu setiap malam sebelas kali!” Maka, kulakukan sarannya, sehingga di dalam hati ada sesuatu yang terasa nikmat.
Setahun kemudian paman berkata kepadaku, “Jaga apa yang sudah kua-jarkan kepadamu dan terus laksanakan hingga engkau masuk ke liang ku-burmu.”
Maka sarannya itu terus kulaksanakan hingga aku benar-benar merasakan kenikmatan di dalam batinku. Kemudian paman berkata kepadaku, “Wahai Sahl, siapa yang Allah besertanya, melihat dan menyaksikan dirinya, maka mana mungkin dia akan mendurhakainya? Jauhilah kedurhakaan.” Setelah itu aku melanjutkan perjalanan ke sekolah untuk menghafalkan Al-Qur’an, yang saat itu umurku baru enam atau tujuh tahun. Setelah itu aku banyak berpuasa, makan hanya dengan roti dan setiap malam mendirikan shalat.”42
Menjaga ke-istiqamah-an qalbu ini tentu bukanlah perkara yang ringan, iman itu adakalanya naik dan turun. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa muraqabah itu adalah sikap diri yang terus-menerus meng-istiqamah-kan qalbu dalam menghadirkan Allah SWT, memfungsikan iman dengan benar, agar diri dan kehidup-annya senantiasa dalam ridha Allah SWT Berikut adalah kiat-kiat
muja-42 Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhajul Qashidin, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), hlm. 200-201.
hadah diri untuk menjaga dan memelihara muraqabah:
1) Memupuk keimanan kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya. 2) Senantiasa merenungi ayat-ayat kauniyah melalui tadabbur alam. 3) Senantiasa membaca dan merenungi ayat-ayat qauliyah, dengan
mentadaburinya ayat per ayat secara perlahan.
Nabi SAW mengatakan: “Hati ini bisa berkarat sebagaimana besi
dapat berkarat jika terkena air.” Seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah pengkilatnya? Baginda menjawab: “Ba nyak me ngingat maut dan membaca Al-Qur’an” (HR. Baihaqi dalam
Su’bah al-Iman).
Hadis ini menjelaskan betapa besarnya fungsi membaca Al-Qur’an dan mengingat maut dalam mensucikan jiwa. Banyaknya dosa dan lalai dari memahami ayat-ayat Allah akan menyebabkan hati ko-tor, menimbulkan bintik-bintik hitam dalam hati. Bintik itu akan hilang ketika seseorang bertobat, menyucikannya dengan selalu membaca Al-Qur’an dan memahami makna-makna yang terkan-dung di dalamnya dan membuat persiapan buat bekal hidup se-sudah mati.
Hasan Al-Bashri mengatakan, orang-orang dahulu benar-benar menganggap Al-Qur’an adalah titah (perintah) Allah, mereka se-lalu menghabiskan malamnya dengan memikirkan dan mena da-burkan Al-Qur’an, dan menghabiskan siangnya untuk meng amal-kannya. Imam Syafi’i sendiri menghabiskan 1/3 malamnya untuk memahami ayat-ayat Allah SWT.
4) Memperbanyak menakar usia, ingat mati (termasuk juga ziarah kubur), dan meminimalisasi tertawa.
Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Nabi SAW meninggalkan dua nasihat kepada umatnya, yang satu dapat berbicara dan yang satu lagi diam saja. Yang dapat bicara itulah Al-Qur’an dan yang diam saja adalah mengingat (melihat) kematian. Dengan membaca Al-Qur’an hati akan semakin kukuh, terimbas nur firman-Nya dan dengan merenungi hakikat kematian hati seseorang akan sadar, mudah kembali kepada kebaikan dan mampu memahami hakikat perjalanan kehidupan dunia serta menyeronokkan jiwa dengan tambahan rasa takut pada-Nya dan harap akan kasih sayang-Nya. 5) Melatih diri untuk menjaga perintah dan larangan Allah SWT di
mana pun dan kapanpun berada. 6) Memperbanyak amalan-amalan sunah. 7) Senantiasa zikrullah.
146
Tasawuf dan Kesehatan
8) Merenungi kehidupan salafush saleh dalam muraqabah.
9) Bersahabat dan berkumpul dengan orang-orang saleh yang memi-liki rasa takut kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki bejana
di antara penghuni bumi, dan bejana Rabb kalian adalah qalbu hamba-hamba-Nya yang saleh, dan yang paling dicintai-Nya ada-lah qalbu yang paling lembut dan halus” (HR. Ahmad).
Berkumpul dengan orang-orang yang saleh artinya bergaul de ngan mereka, menjadi komunitas mereka, saling membantu sesama, layaknya kita memperlakukan mereka sebagai saudara kandung kita sendiri. Bergaul dengan orang-orang yang saleh merupakan tuntutan kehidupan kita sekarang ini, melihat maraknya pergaulan bebas yang semakin merebak di masyarakat sehingga tidak jelas mana yang al-haq dan al-bathil dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Hati adalah pengendali. Jika ia baik, baik pula perbuatannya. Jika ia rusak, rusak pula perbuatannya. Hidup dan bersihnya hati meru-pakan pokok segala kebaikan, adapun mati dan gelapnya hati adalah pokok segala keburukan. Maka, menjaga hati dari kerusakan adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan ini.
Termasuk perkara penting yang hendaknya waktu kita banyak dimanfaatkan untuknya, upaya maksimal, semangat dan ketekunan kontinu hendaknya dikerahkan untuk melakukannya adalah perbaik-an kondisi hati dperbaik-an upaya menjadikperbaik-annya sehat, kita harus mampu senantiasa menyucikan dan mengaktifkannya agar jiwa tidak dikuasai hawa nafsu,43 agar hati tidak berkarat (hadits), tidak mengeras,44 tidak tertutup,45 tidak brutal,46 sakit47 dan buta.48
Agar kita terhindar dari segala bentuk penyakit hati, maka seyo g-ianya kita selalu bertaubat, berzikir, bersabar menerima cobaan, ber-syukur menerima nikmat, dan selalu berusaha mendekatkan diri kepa-da Allah SWT. Dalam hal ini Nabi SAW mewasiatkan, “Mintalah fatwa
kepada hatimu. Kebajikan itu adalah apa yang (jika engkau melaku-kannya) jiwa dan hatimu merasa tenang; sedangkan dosa adalah yang
43 Lihat QS. al-Furqan [25]: 43.
44 Lihat QS. al-Baqarah [2]: 74.
45 Lihat QS. al-Baqarah [2]: 7.
46 Lihat QS. Ali Imran [3]: 159.
47 Lihat QS. al-Baqarah [2]: 10.
selalu menghantui jiwamu dan membuat hatimu bim bang, serta eng-kau merasa tidak suka dilihat oleh orang lain saat melakukannya” (HR.
Ahmad dan ad-Darimi).
Puncak dari kesembuhan hati adalah “merasakan di dalam hatinya bahwa Allah senantiasa besertanya.” Kesembuhan itu memang diper-lukan, namun ingatlah, sesungguhnya setan itu tidak jemu-jemunya menggoda manusia. Lindungi hatimu dengan perisai yang dapat me-lindunginya dari godaan-godaan setan.
“Merdekakan hatimu semerdekanya! Sebab di dalam hati terdapat kekusutan yang tidak bisa diurai kecuali dengan menghadap Allah. Di dalam hati terdapat kesepian, yang tidak bisa dihilangkan kecuali de-ngan menyendiri dede-ngan Allah. Di dalam hati ada kesedihan yang ti-dak terhapus kecuali dengan kebahagiaan mengetahui Allah dan berin-teraksi secara sungguh-sungguh dengan-Nya. Di dalam hati terdapat kegelisahan yang tidak bisa tenang kecuali berkumpul dan datang kepada-Nya. Di dalam hati juga terdapat kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi kecuali dengan cinta-Nya, kembali kepada-Nya, selalu meng-ingat-Nya, dan ikhlas karena-Nya, kekurangan tersebut selamanya ti-dak akan terpenuhi walaupun diberi dunia dan seisinya.”
“Perkaya hatimu dengan qana’ah, sebab hati yang qana’ah itu lebih kaya daripada lautan. Hindari kemunafikan, sebab hati orang munafik itu lebih keras dari batu. Lawanlah kezaliman sebab penguasa yang za-lim itu lebih panas dari api. Hindari berhajat kepada orang yang bakhil itu lebih dingin daripada es/salju, dan hindari adu domba sebab itu lebih pahit dari racun.”
“Jagalah selalu keikhlasan hati dan pikiran. Karena berpikir adalah perbuatan hati dan ibadah adalah perbuatan anggota badan, sedang-kan hati adalah lebih mulia daripada anggota badan, maka amal per-buatan hati pun lebih mulia daripada perper-buatan anggota badan. Jaga-lah iba hatimu, dan apabila hatimu sedang iba, berdoaJaga-lah. Karena hati tidak akan iba kecuali ia sedang ikhlas.”
“Hindarkan hatimu dari kekerasan, dengan mewaspadai hal me-nyebabkan kerasnya hati, yaitu banyak makan, banyak tidur, dan suka bersantai-santai.”