• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muraqabah: Fondasi Kukuh Menuju Hati yang Sehat (Qalbun Salim)

b. Pandangan Mata

D. OBAT/TERAPI PENYAKIT HATI SECARA UMUM

2. Muraqabah: Fondasi Kukuh Menuju Hati yang Sehat (Qalbun Salim)































Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada ke-sesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia). (QS. Ali-Imran [3]: 8)

Dengan menyinergikan kekuatan-kekuatan tersebut seseorang akan mampu meng-istiqamah-kan qalbunya senantiasa hidup, mera-sakan jalinan hubungan keterikatan yang kuat dengan Allah SWT. Selagi seseorang maju-mundur, tentu ia tidak akan berhasil menca-pai kebeningan hatinya. Dan sebagai bekal yang perlu dipersiapkan se panjang mengiringi perjalanan mujahadah dan riyadhah tersebut adalah penyucian hati dari segala kotoran noda dosa kemaksiatan, penanaman dan pemupukan tentang ilmu serta keyakinan yang benar tentang Allah, agama dan ajaran Rasulullah SAW, keikhlasan, kejujur an hati, serta kesabaran diri.

2. Muraqabah: Fondasi Kukuh Menuju Hati yang Sehat

(Qalbun Salim)

Muraqabah adalah cara pengendalian diri dengan memfungsi kan

iman, senantiasa meng-istiqamah-kan qalbu dalam menghadirkan Allah SWT. Ibnul Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa muraqabah merupakan buah iman yang menghunjam dalam qalbu dan ilmu yang mumpuni bahwa sesungguhnya Allah itu amat sangat dekat dengan-nya, Maha Mengawasidengan-nya, Maha Mendengardengan-nya, dan Allah itu Maha Melihat dengan amat sangat teliti terhadap amaliahnya setiap waktu dan keadaan, serta memperhatikan setiap detak jantung dan kerdip matanya (Madarijus Salikin: II/65).

Hati seseorang yang telah mengenal Allah beserta kalam-Nya, ya-kin dan sadar atas Allah SWT, bertauhid yang sebenar-benarnya, serta senantiasa merasakan kehadiran Allah di dalam dirinya, di dekatnya, bersamanya, di setiap denyut nadi dan helaan napasnya, yang sadar

134

Tasawuf dan Kesehatan

bahwa Allah SWT selalu menyertai segala aktivitas kehidupannya maka akan membentuk jiwa mutmainah, yang terpancarkan dari karakter kepribadiannya yang ihsan. Dalam suatu hadits dinyatakan bahwa ihsan adalah “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau

melihat-Nya. Jika kau tak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia me-lihat engkau.” Frasa “engkau meme-lihat Allah” dan/atau “Allah meme-lihat

engkau” menunjukkan kedekatan, kebersamaan, dan pengawasan. Allah yang terus menyertai kita dalam kehidupan ini, terus-menerus ber dekatan dan mengawasi kehidupan kita.

Ketika muraqabah mendasari kehidupan seseorang, yakinlah bahwa kunci keberhasilan dan kebahagiaan hidup dapat diraihnya, karena:

1) Dengan muraqabah akan menimbulkan rasa kedekatan kepada Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an pun Allah SWT berfirman, “Dan Kami lebih dekat

padanya daripada urat lehernya sendiri.” Sehingga dari sini pula

akan timbul kecintaan yang membara untuk bertemu de ngan-Nya. Keyakinan ini akan melahirkan sikap bahwa yang utama dalam hidup ini adalah Allah.

Dengan muraqabatullah seseorang akan menganggap dunia

ha nya sebagai ladang untuk memetik hasilnya di akhirat, untuk bertemu dengan Sang Kekasih, yaitu Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan: “Barangsiapa yang

merindu-kan pertemuan dengan Allah, maka Allah pun amerindu-kan merindumerindu-kan pertemuannya dengan diri-Nya. Dan barangsiapa yang tidak me-nyukai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak meme-nyukai pertemuan dengannya” (HR. Bukhari).

Sikap menempatkan dunia pada tempatnya ini sangat penting agar seseorang tidak terlalu mencintai dunia (hub ad-dunya) dan melupakan akhirat. Sikap terlalu cinta dunia inilah pangkal segala keburukan dan kejahatan.

2) Muraqabah menjadikan seseorang selalu berupaya berada dalam kebenaran dan selalu belajar menjadi benar.

3) Muraqabah menjadikan seseorang selalu berupaya melakukan

muhasabah (instrospeksi), mawas diri, dan evaluasi diri dalam

rangka menuju yang lebih benar dan lebih baik.

Dengan muhasabah seseorang akan melakukan perhitungan baik dan buruk terhadap perbuatan yang sudah dilakukan. Bila lebih banyak melakukan kebaikan kita bersyukur dan berusaha

me-ningkatkannya, atau paling tidak mempertahankannya, dan kalau ternyata amal kejahatan dan kelalaian yang lebih banyak, maka wajib bertaubat dan melakukan upaya perbaikan.

– Allah SWT berfirman: Bacalah bukumu. Cukuplah engkau

sendiri pada hari ini menghitung amalmu (al-Israa’ [17]: 14).

– Umar bin Khattab mengatakan: Adakanlah perhitungan

ter-hadap dirimu sendiri sebelum kamu nanti diadakan perhitung-an di hadapperhitung-an Tuhperhitung-an.

– Ibn ‘Araby berkata: Buatlah perhitungan sebelum perhitungan

dibuat untukmu, timbanglah dosa-dosamu sebelum ia ditim-bang untukmu.

4) Dalam kehidupan pribadi, muraqabah akan meningkatkan ke-imanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Dengan muraqabah sese-orang akan disiplin dan khusyu’ dalam beribadah.

5) Muraqabah akan menjadikan seseorang memiliki kekuatan inte-lektual, moral, dan spiritual.

6) Dengan muraqabatullah, sesorang akan memiliki mata batin yang

tajam, memiliki kepekaan rohani atau firasat yang benar.

Al-Imam al-Kirmani dalam Ighatsatul Lahfan mengatakan, “Ba-rangsiapa yang memakmurkan dirinya secara lahir dengan itti ba’ sunah, secara batin dengan muraqabah, menjaga dirinya dari syahwat, manundukkan dirinya dari keharaman, dan membia sa-kan diri mengkonsumsi masa-kanan yang halal, maka firasat nya tidak akan salah.”

Langkah-langkah Mencapai Hati yang Muraqabah

Muraqabah secara sederhana berarti membuka hati dan keya kinan

akan adanya Allah Sang Maha Pengawas. Ada delapan langkah yang dikemukakan di sini agar kita dapat senantiasa merasakan bahwa Allah terus-menerus menyertai kita, yaitu: 1) takhalli melalui pendekatan metode “faqr”; 2) membuka hijab dalam hati; 3) khudhu’: tunduk patuh kepada Allah tanpa paksaan; 4) khusyu’: fokus kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari; 5) tawadhu’ dalam setiap momen kehidupan; 6) ta’dzim dalam sikap dan perilaku; 7) tafakkur dan tadzakkur; dan 8) mengenali tajalli jalaliyah dan jamaliyah Allah SWT.

1) “Takhalli” dan Metode “Faqr”: Prinsip Dasar Mencapai Muraqabah

• Takhalli: Membersihkan Cara Pandang.

ditem-136

Tasawuf dan Kesehatan

puh adalah dengan takhalli (membersihkan cara pandang). Sifat-sifat yang membuat cara pandang kita menjadi jauh dari Allah yaitu selama masih memiliki sifat seperti riya, takabur, dan ujub. Inilah sifat yang mendorong manusia memiliki karakter negatif dan men-dorong manusia pada kebinasaan. Sifat-sifat inilah yang menjadi penghalang muraqabah, dan ini menjadi mutlak harus dihilangkan jika kita ingin memunculkan muraqabah dalam hati kita.

• Metode “Faqr”.























Wahai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia lah yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. (QS. al-Fathir [35]: 15)

Ayat di atas sangat sederhana, seharusnya mudah untuk dipaha-mi, yakni bahwa Allah itu Mahakaya (al-Ghina), tak membutuhkan apa pun, sementara manusia sangat membutuhkan segala sesuatu (faqir). Lapar butuh makan agar kenyang, gelap butuh cahaya agar bisa ter-lihat, bekerja butuh gaji biar dapat membiayai kehidupan. Pokok nya semua yang terkait dengan manusia niscaya berhubungan dengan “kebutuhan”. Sementara Allah tidak membutuhkan apa pun. Inilah makna faqr yang berarti melarat, tak memiliki apa yang dibutuhkan. Pada hakikatnya, setiap manusia adalah lemah, fakir, dan membutuh-kan Allah, termasuk ketika ia tidak memiliki kesadaran iman.

Seorang hamba mesti mengenal posisi kefakirannya secara terus-menerus. Sifat-sifat kehambaan: fakir, hina, lemah dan tak berdaya, membuat manusia merasa bergantung pada Yang Mahakaya, Maham-ulia, Mahakuasa, Mahakuat. Begitu manusia merasa dirinya faqr (tidak riya, ujub, dan takabur) Allah akan hadir sebagai al-Ghani, sehingga ia menjadi kaya bersama Allah, mulia bersama Allah, dan mampu ber-sama Allah, serta kuat berber-sama Allah.

Ketika seseorang sampai pada dimensi iman dan ketundukan maka semua kehendak, keinginan, dan kekuatan dirinya akan hilang. Saat itu, yang tersisa adalah daya dan kekuatan Allah. Pada saat itu dia tidak akan melihat apa pun selain Allah, tidak akan mengetahui apa pun selain Allah, tidak akan memikirkan apa pun selain Allah, sembari menyadari kelemahan dan kefakirannya. Untuk itulah kefakiran me-rupakan upaya para sufi untuk merasakan kehadiran Allah Al-Ghani, yakni mengosongkan hati (takhalli) dari segala bentuk selain Allah.

Kefakiran adalah bentuk upaya untuk meninggalkan semua yang “ti-dak penting” (fana’) agar mendapatkan “yang sangat penting” (baqa’). Metode ini begitu penting dan berharga bagi para sufi sehingga mereka menyatakan al-faqr fakhry (kefakiran adalah kebanggaanku).

Secara prinsipal, metode faqr ini menjadi prinsip dasar untuk men capai muraqabah. Langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Mendahulukan apa yang didahulukan oleh Allah dan menjadi-kannya sebagai bagian utama dari keinginan kita.

Keinginan kita harus mendahulukan apa yang didahulukan oleh Allah, keinginan kita diselaraskan dengan kehendak Allah. Prin-sip ini hanya mungkin dilakukan bagi orang yang tidak riya, ujub, dan takabur. Selagi orang menganggap dirinya “memiliki” ia tidak dapat mendahulukan kehendak Allah daripada kehendak dirinya. Untuk memandu langkah ini, Rasulullah SAW telah menegaskan agar setiap tindakan diawali dengan doa

bismillahirrahmanirra-him. Ucapan bismillahirrahmanirrahim yang diucapkan dengan faqr akan menjadikan kehendak Allah menjadi kehendak kita.

b. Membesarkan apa yang dianggap besar oleh Allah dengan men-jadikannya sebagai bagian utama dari kerja pikiran kita.

Pikiran kerap mengelirukan cara pandang sehingga menganggap yang tidak penting sebagai penting, yang terbatas dianggap tidak terbatas. Uang, misalnya, sangatlah terbatas dalam hal jumlah atau kemampuannya memenuhi aspek kehidupan. Namun pikiran kita memberi masukan bahwa uang itu dapat secara tak terbatas me-nyelesaikan masalah kehidupan, akhirnya pikiran juga mendorong kita untuk mengejar uang dengan upaya tak terbatas. Akhirnya muncullah kekecewaan, karena uang ternyata tak bisa membeli kesehatan, uang tak bisa membeli kebahagiaan dan cinta.

Langkah kedua ini mendorong kita untuk memahami prioritas yang telah ditetapkan Allah. Apa yang penting bagi Allah, harus ditemukan dan direnungkan sehingga pikiran kita dapat meneri-manya sebagai hal penting bagi diri ini.

c. Menganggap kecil apa yang dianggap kecil oleh Allah dengan menyingkirkannya dari dalam hati kita.

Hati manusia sering kali menyimpan hal-hal yang kurang pen-ting bagi kehidupannya, misalnya kekhawatiran akan masa depan. Padahal, Allah telah menegaskan bahwa masa depan itu sesuatu yang sangat remeh, semua ada dalam genggaman-Nya. Begitu hati mengkhawatirkan apa yang kecil bagi Allah, berarti ia

membesar-138

Tasawuf dan Kesehatan

besarkan masalah itu dan meremehkan apa yang telah ditegaskan oleh Allah.

2) Membuka Hijab dalam Hati untuk Kehadiran Allah SWT

Hijab berarti penutup yang membuat kita tidak melihat

tampak-nya sesuatu. Di sini ada tiga unsur utama, yakni yang mencari, yang dicari, dan hijab (penutup). Hijab terutama ada dalam diri manusia, dalam hati manusia.

Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa dosa atau maksiat itu ibarat debu yang menutupi cermin. Debu itu hijab——semakin banyak yang menutupi, semakin sulit menangkap bayangan benda. Perbaikan mata hati agar tidak gelap dan terlalu silau akan membuat kita merasakan kehadiran Allah sehingga terus merasa dalam pengawasan Allah.

Rasulullah SAW bersabda: “Hati ada empat macam: (1) hati yang

dijernihkan ibarat pelita yang bersinar; (2) hati yang tertutup dan tutupnya terkunci; (3) hati yang sakit; (4) hati yang terlapisi; “Adapun yang jernih adalah hati para orang beriman, pada pelitanya terdapat cahaya, adapun hati yang tertutup ialah hatinya para orang kafir, ada-pun hati yang sakit ialah hati para orang munafik, dan hati yang ter-lapisi ialah hati yang ada di dalamnya keimanan dan kemunafikan. Perumpamaan iman itu ibarat tumbuh-tumbuhan yang subur oleh su-plai air yang baik, dan perumpamaan kemunafikan ibarat borok yang disuplai dengan nanah dan darah, tergantung mana suplainya yang lebih banyak maka ia lebih dominan” [HR. Ahmad].

Hati yang terlapisi, yang sakit, dan terkunci tak mungkin bisa merasakan kehadiran Cahaya Ilahiah. “Dan apabila mereka diberi

pel-ajaran mereka tiada mengingatnya.” (QS. ash-Shaaffat [37]: 13).

Mem-buka hijab berarti upaya agar seorang hamba senantiasa merasakan pelajaran dari Allah SWT, seraya mengakui hadirnya Allah SWT. Dalam

al-Hikam, Ibn Athaillah, menyebutkan beberapa faktor yang

menye-babkan hijab, antara lain alam ciptaan, syahwat kesenangan, kealpaan, dan kemaksiatan yang terus-menerus.

Nafsu syahwat merupakan penghalang bagi terbukanya hijab. Dalam kajian tasawuf-akhlak, nafsu itu lazim dibagi ke dalam dua ka-tegori, yaitu:

a. Nafsu marah (nafs ghadabiyyat); adalah nafsu yang mendorong orang untuk marah atau benci kepada apa saja yang mengganggu atau berbahaya bagi kehidupannya.

Karena adanya nafsu marah itu, ia berupaya menyingkirkan gang-guan atau bahaya itu, dan kalau ia tidak mampu menyingkirkan-nya, ia akan didorong oleh nafsu itu untuk menyingkirkan diri sendiri, agar jauh dari bahaya itu. Nafsu marah yang dikembang-kan secara baik (pada jalan yang lurus) oleh akal atau ajaran aga-ma, akan mengangkat orang menjadi manusia yang berani dalam kebenaran. Sebaliknya, bila nafsu marah seseorang tidak dikem-bangkan secara baik niscaya menjadi manusia pengecut, atau ka-lau dikembangkan tanpa kendali, niscaya menjadi manusia nekat, yang merugikan diri sendiri.

b. Nafsu kesenangan (nafs syahwatiyah); adalah nafsu yang men-dorong orang untuk mendapatkan, memiliki, atau dekat dengan apa yang menyenangkan dirinya.

Nafsu senang (syahwat), yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang lurus) oleh akal atau ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi manusia yang bersih (suci). Sebaliknya, ia akan jatuh menjadi manusia serakah (rakus), bila ia membiarkan naf-sunya berkembang merajalela, tanpa kontrol, atau menjadi ma-nusia beku, tak berselera, bila nafsu syahwatnya itu dibiarkan tak berkembang.

Nafsu, meski di satu sisi berfungsi menggairahkan hidup, namun jika tidak dikendalikan dan tidak dikembalikan kepada Allah, dapat menyeret seseorang pada tipu daya kehidupan dunia. Nafsu dapat membuat batin terombang-ambing, karena desakan beragam peris-tiwa, keadaan, keinginan, dan ambisi. Dalam situasi demikian, hati seseorang akan mudah terhijab (terdindingi) dan berpaling kepada selain Allah.

3) Khudhu’: Tunduk Patuh Kepada Allah SWT Tanpa Paksaan

Khudhu’ secara bahasa bermakna cenderung merunduk,

meren-dah, dan menurut. Khudhu’ adalah ketundukan sukarela kepada Allah, bukan karena motif apa pun. Khudhu’ merupakan wujud dari tindakan setelah seseorang memahami dan meyakini adanya pengawasan Allah dalam diri. Orang khudhu’ merasa terus hadir di depan sifat ketuhanan walaupun secara fisik ia berada di hadapan beragam masalah dalam kehidupannya. Muraqabah dalam hal ini berarti kemampuan untuk menemukan nilai-nilai ibadah dalam segala aspek peristiwa dan ke-jadian dalam kehidupannya.

140

Tasawuf dan Kesehatan 4) Ridha sebagai Basis Khudhu’

Elemen-elemen yang mendukung untuk pembentukan khudhu’ diperlukan sifat-sifat kerelaan hati (ridha), qana’ah, keikhlasan, dan ketakwaan. Ridha berasal dari kata radhiya-yardha yang berarti me-nerima sesuatu perkara dengan lapang dada tanpa merasa kecewa atau pun tertekan. Adapun menurut istilah, ridha terbagi menjadi dua yaitu, ridha Allah kepada hamba-Nya dan ridha hamba kepada Allah.

Ridha bukan berarti menerima begitu saja segala hal yang

me-nimpa kita tanpa ada usaha sedikit pun untuk mengubahnya. Ridha tidak sama dengan pasrah. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita dituntut untuk ridha. Dalam artian kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu adalah takdir yang telah Allah tetap-kan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha.

Hal ini berarti ridha menuntut adanya usaha aktif. Berbeda dengan sikap pasrah yang menerima kenyataan begitu saja tanpa ada usaha untuk mengubahnya. Walaupun di dalam ridha terdapat makna yang hampir sama dengan pasrah yaitu menerima dengan lapang dada suatu perkara, namun juga dituntut adanya usaha untuk mencapai suatu target yang diinginkan atau mengubah kondisi yang ada sekira-nya itu perkara yang pahit.

5) Khusyu’: Fokus Kepada Allah SWT dalam Kehidupan Sehari-Hari

Kekhusyu’an ditandai dengan kemampuan diri manusia me-mantulkan sifat-sifat ilahiah dalam kehidupan, bukan sekadar fokus dan konsentrasi pada saat shalat saja.

Khusyu’ berasal dari kata khasya’a yang artinya kuat, al-inkifaafh

(merendah), adz-dzull (tunduk), dan as-sukuun (tenang). Menurut para ulama khusyu’ adalah kelunakan hati, ketenangan pikiran, dan tunduknya hawa nafsu dan hati yang menangis ketika berada di ha-dapan Allah. Ketundukan hati ini menghilangkan segala kesombongan yang ada di dalam hati dan menjadikan seorang hamba hanya ber gerak sesuai yang diperintahkan oleh Tuhannya (khudhu’).

Khusyu’ berkaitan erat dengan hati. Menurut para sufi, untuk

meraih hati yang khusyu’, pertama-tama harus memiliki ilmu. Dalam konteks ini, kita harus benar-benar memahami fungsi hati ketika akan menghadap Allah. Kaitannya dengan khusyu’, ada dua jenis kualitas hati: qalb ‘isyqi (hati yang rindu kepada Allah) dan qalb khawfi (hati yang takut kepada Allah).

Hati yang penuh kerinduan (qalb ‘isyqi) mengejar keindahan Allah (jamaliah). Ia merindukan untuk melakukan kebaikan, karena Allah Mahabaik. Rindu tidak akan diperoleh tanpa ada cinta. Maka dalam tasawuf ada yang dikenal dengan mazhab cinta. Mereka beribadah dengan cinta, menghampiri Allah melalui pintu kasih-Nya. Hati yang penuh dengan rasa takut kepada Allah mengorientasikan dirinya pada sifat-sifat-Nya jalal (keperkasaan dan keagungan).

Apabila seseorang dapat mengembangkan kualitas hati yang pe nuh rindu dan/atau penuh takut, ia akan meraih kedamaian. Dalam du nia Tasawuf, kedamaian ini memiliki istilah yang khas, yakni uns (inti masi/ keakraban)——merasa akrab dengan Allah, merasa bahagia yang tak ter kira ketika bersama Allah. Begitu seseorang merasa akrab dengan Allah, seluruh dirinya terus merasa diawasi Allah sehingga te rus-me ne-rus menghasilkan tindakan terbaik dalam kehidupannya.

6) Tawadhu’: Rendah Hati dalam Setiap Momen Kehidupan

Sikap tawadhu’ yang benar terjadi ketika seseorang mampu me-nentukan posisinya di hadapan keagungan Allah, yakni bahwa diri-nya adalah “nol” dan tidak ada artidiri-nya, serta tak berdaya di hadapan Allah Yang Maha Tak Terbatas. Ke-tawadhu’-an ini kemudian meman-car dalam aktivitas kehidupan yang menafikan kesombongan diri di hadapan makhluk lain. Ketidaksombongan ini didasarkan kesadar-an bahwa dirinya bukkesadar-an siapa-siapa di hadapkesadar-an Allah, dkesadar-an karena semua makhluk merupakan “wajah Allah”, maka ia merasa malu ketika menyombongkan dirinya di hadapan siapa pun.

Tawadhu’ merupakan tindakan yang bergerak “dari dalam ke luar”.

Diri yang mengimani kepada sifat ar-Rahman memiliki kesa daran untuk terus mengupayakan terealisasinya sifat ar-Rahman dalam ke-hidupan. Sumber tindakannya adalah ar-Rahman yang diimaninya, bukan respons atas kejadian yang ditemukannya dalam kehidupan. Di sini terlihat jelas, bahwa tawadhu’ lahir dari diri yang menjadikan Asma

Allah al-Husna sebagai sumber tindakan.

Tawadhu’ menjadi sifat terpuji yang dicintai oleh Allah dan

Rasul-Nya, karena itu barangsiapa tawadhu’ niscaya Allah akan mengangkat kedudukannya di mata manusia di dunia dan di akhirat dalam surga.

Tawadhu’ akan mendorong seseorang memuliakan siapa pun orang

142

Tasawuf dan Kesehatan 7) Ta’dzim dalam Sikap dan Perilaku

Ta’dzim adalah memberikan penghormatan kepada orang yang

pantas menerimanya. Ta’dzim merupakan pasangan dari tawadhu’.

Tawadhu’ bersifat pasif, sedang ta’dzim merupakan bentuk aktif dari tawadhu’. Setelah seseorang melatih dirinya untuk terus ber-tawadhu’

di hadapan banyak orang karena mengharap hanya kepada Allah yang memuji dirinya, ta’dzim adalah riyadhah (pelatihan) untuk membe-rikan penghormatan pada kehidupan. Dasarnya adalah keyakinan bah wa hidup tak hanya diawasi oleh Allah, namun juga pancaran dari kehendak Allah.

Ta’dzim muncul ketika seseorang merasakan sentuhan keagung an

Allah SWT pada setiap peristiwa dan kejadian. Cara pandang ini lahir dari keyakinan tentang tak ada satu pun peristiwa dan kejadian di luar kehendak dan rencana Allah. Keberhasilan, hambatan, dan kegagalan adalah wujud dari sentuhan keagungan Allah, karena itu semua itu dianggap sebagai undangan Allah.

Orang yang muraqabah menyaksikan keagungan Allah terefleksi pada semua ciptaannya. Persaksian ini menjadikan manusia memi-liki keagungan atas keagungan yang dimimemi-liki Allah. Sehingga ta’dzim bagi sesama manusia bahkan bagi lingkungan melahirkan ikrom yakni penghormatan. Secara makro, menjadikan segala hal yang dilihatnya, menghadirkan rasa ta’dzim pada dirinya, tidak berlaku sewenang-we-nang atas segala hal, melihat segala sesuatu dari sisi yang baik.

8) Tafakkur dan Tadzakkur

Tafakkur berarti menggerakkan pikiran secara luas, dalam dan

sistematis. Tafakkur dapat menjadi pemicu qalbu, santapan roh, inti makrifat, serta sekaligus menjadi darah, nyawa, dan cahaya bagi ke-hidupan Islami. Ketika tafakkur hilang, hati pasti akan menjadi gelap, roh akan kacau, dan kehidupan yang Islami akan berubah menjadi kematian yang beku.

Tafakkur disebut sebagai cahaya hati karena dengan tafakkur

seseorang dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, antara yang bermanfaat dan yang berbahaya, serta antara yang bagus dan yang jelek.

Tadzakkur dan tafakkur merupakan dua tempat persinggahan

yang membuahkan berbagai macam kesadaran hadirnya Allah dalam kehidupan, hakikat iman, dan kebajikan. Orang yang mengalami

dan mengembalikan tafakkur kepada tadzakkur, hingga dapat mem-buka gembok hatinya.

Tafakkur merupakan pencarian, sedangkan tadzakkur merupakan