3. Penarikan Karena Disumbangkan
3.1. Pengaruh Ketentuan Tentang Penyusutan Terhadap Laba Kena Pajak
3.1.1. Basis Penbukuan
Pengakuan pendapatan dan biaya menurut akuntansi
hanya dilakukan dengan menggunakan basis akrual. Sedang
perpajakan Indonesia (selanjutnya disebut PPh 1994)
memperbolehkan pemakaian basis kas atau basis akrual.
Pengertian basis akrual menurut akuntansi dan PPh 1994,
sama. Tetapi pengertian basis kas antara akuntansi dan
PPh 1995, berbeda.
Akan tetapi, sebenarnya basis akrual menurut akun
tansi sendiri terdapat penyimpangan-penyimpangan. Penyim-
pangan tersebut diperkenankan untuk hal-hal sebagai
berikut :
1. Pendapatan diakui pada saat selesainya produksi.
Hal ini diperuntukkan bagi produk yang nilai pasarnya
sudah tertentu atau yang sudah dapat dipastikan akan
terjual dengan . harga tertentu. Dan terhadap produk
berarti serta satuan produk dapat saling dipertu-
karkan, misal logam mulia, produk pertanian atau
.produk yang dijual berdasarkan kontrak.
2. Pendapatan diakui secara proporsional selama tahap
produksi.
Hal ini diperuntukkan bagi proyek-proyek yang memerlu-
kan jangka waktu penyelesaian yang melebihi beberapa
periode akuntansi. Laba dalam hal ini diakui secara
proporsional atas pekerjaan yang telah diselesaikan.
Bagian pekerjaan yang telah diselesaikan ini dapat
didasarkan pada persentase biaya atau persentase
penyelesaian secara fisik. Hal ini dapat digunakan
jika taksiran biaya atau kemajuan untuk penyelesaian
proyek dapat dipertanggungjawabkan. Jika penaksiran
tidak dapat dipertanggungjawabkan maka digunakan
metode kontrak selesai, artinya laba rugi baru dihi-
tung setelah pembangunan selesai.
3. Pendapatan diakui pada saat pembayaran diterima.
Hal ini diperuntukkan bagi penjualan secara cicilan
yang kolektibilitas piutangnya tidak dapat dipastikan.
Pengakuan pendapatan jenis ini dapat dilakukan berda
sarkan persentase laba kotor dari pembayaran yang
diterima atau laba baru diakui setelah harga pokok
tertutup seluruhnya dari pembayaran-pembayaran cici
lan .
baru mengatur pengakuan pendapatan atas proyek jangka
panjang yaitu dalam pasal 5 (1) PP No 42 tahun 1985. PPh
1994 mengharuskan pemakaian metode persentase penyele-
saian, meskipun tidak dijelaskan harus memakai persentase
penyelesaian berdasar biaya atau fisik, tetapi apabila
digunakan secara konsisten pilihan atau keduanya, menurut
penyusun, dapat dilakukan. Pengakuan pendapatan pada saat
produksi selesai dan pada saat pembayaran diterima diatur
oleh perpajakan.
Basis kas menurut PPh 1994 dapat digunakan, tetapi
harus menaati modifikasi ketentuan yang telah ditetapkan
oleh undang-undang. Jadi basis kas menurut PPh 1994 tidak
murni lagi karena telah dimodifikasi. Modifikasi ini
dilakukan untuk mencegah WP melakukan tindakan-tindakan
untuk menghidarkan pajak. Misalnya, mendekati akhir tahun
pajak, WP membuat estimasi pajak yang terhutang adalah
sejumlah tertentu. Supaya tidak ada pajak yang terhutang,
WP melakukan pengeluaran yang dapat dikurangkan sebagai
biaya, misal membeli harta berwujud atau membeli perse-
diaan dengan tunai.
Dengan cara tersebut WP dapat meminimumkan pajak
yang terhutang untuk tahun tersebut. Apalagi bila penge
luaran tersebut tetap akan dilakukan untuk tahun beri-
kutnya. Dengan begitu WP akan lebih cenderung melaku-
kannya sekarang, karena jika dilakukan pada tahun sekar-
juga dapat menghindarkan pajak.
Cara di atas tidak saja dilakukan oleh perusahaan
kecil, yang tidak memiliki bagian perencanaan atau kon-
sultan pajak tersendiri. Perusahaan besar dengan bagian
perencanaan pajaknya akan semakin dapat meminimumkan
pajaknya dengan investasi yang terencana dan rapi.
Cara penghindaran pajak seperti di atas dapat digam-
barkan seperti berikut. Mendekati akhir tahun pajak, data
dari suatu perusahaan adalah sebagai berikut. Penjualan
keseluruhan Rp 450 juta, uang yang telah diterima dari
penjualan ini Rp 400 juta. Pembelian barang yang dijual
Rp 300 juta, dan yang telah dibayar adalah Rp 250 juta.
Persediaan akhir tahun dari barang yang dijual Rp 25
juta. Biaya-biaya yang telah dibayar Rp 50 juta. Biaya-
biaya yang masih terhutang Rp 15 juta.
Dengan menggunakan basis kas murni, maka estimasi
Penghasilan Kena Pajak (PhKP) tahun tersebut (dalam Rp)
adalah : - Penjualan - Pembelian - Biaya-biaya 400.000.000 (250.000.000) (50.000.000) Estimasi PhKP : 100.000.000
Untuk menghindari pajak, maka Wajib Pajak dapat
melakukan pengeluaran untuk pembelian barang yang masih
masa dua tahun sejumlah Rp 25 juta (golongan 1). Membeli
kendaraan angkutan (golongan 1) seharga Rp 25 juta tunai.
Dari pengeluaran-pengeluaran ini PhKP (dalam Rp) menjadi
sebagai berikut : - Penjualan : 400.000.000 - Pembelian : (300.000.000) - Penghasilan bruto : 100.000.000 - Biaya-biaya (semula) : (50.000.000) - Biaya sewa : (25.000.000) - Pembelian kendaraan : (25.000.000)
Estimasi PhKP yang baru : nihil
Dengan basis kas WP berusaha untuk melakukan penge
luaran yang pasti akan dilakukan pada tahun berikutnya,
menjadi pengeluaran (akhir) tahun ini, sehingga WP dapat
juga menghindari pajak yang terhutang. Apabila WP tidak
menggeser pengeluaran tersebut, maka WP akan menanggung
hutang pajak pada tahun ini. Memang masalah yang krusial
dalam basis pembukuan adalah masalah pengakuan penjualan
atau penghasilan dari usaha dan pengakuan pengeluaran
sebagai biaya atau sebagai harta yang dikapitalisasi.
Dengan modifikasi ala UU PPh 1994, perbandingan PhKP
antara basis kas dengan akrual disajikan dalam Tabel I.
Basis Kas Basis Akrual
Penjualan 450.000.000 450.000.000
Harga pokok penjualan - Persediaan awal - Pembelian - Persediaan akhir 300.000.000 (25.000.000) 300.000.000 (25.000.000)
Harga pokok penjualan 275.000.000 275.000.000
Penghasilan bruto 125.000.000 125.000.000
Biaya yang dapat dikurangkan - Biaya-biaya (semula) - Penyusutan kendaraan - Amortisasi sewa
- Biaya masih terhutang
(50.000.000) (12.500.000) (12.500.000) (50.000.000) (12.500.000) (12.500.000) (15.000.000)
Penghasilan kena pajak 50.000.000 35.000.000
Dari contoh tersebut terlihat jelas basis kas murni
berbeda jauh dengan pengertian basis kas menurut UU PPh
1994. Basis kas ini tetap diperbolehkan oleh peraturan,
mengingat WP sangat banyak jenis ragam dan skala usahan-
ya. Basis kas biasanya digunakan oleh perusahaan peroran-
gan dengan skala usaha kecil atau usaha yang menyediakan
jasa, yang waktu penyerahan jasa dengan penerimaan uang
pembayaran relatif bersamaan.
Jika dibandingkan antara basis kas dengan basis
akrual dalam PPh 1994, maka kedua basis pembukuan terse
but hampir sama. Dengan basis kas WP tidak mempunyai
peluang memperkecil laba kena pajak hanya dengan melaku
kan pergeseran pengeluaran-pengeluaran. Karena pengeluar
pembebanannya harus melalui penyusutan dan amortisasi,
dan hal-hal mengenai pengakuan harga pokok penjualan
meliputi seluruh pembelian dan memperhatikan persediaan,
serta pengakuan penjualan yang harus mencukupi keseluru-
han penjualan. Jadi dapat dikatakan sebenarnya perpajakan
tidak mengakui basis kas.
Di dalam formulir surat pemberitahuan pajak tahunan
(SPT) PPh baik untuk WP badan maupun WP perorangan terda
pat pilihan tentang basis kas atau basis akrual, tetapi
belum pernah ada surat edaran (SE) yang menerangkan apa
perbedaan yang prinsip antara basis kas dengan basis
akrual. Dari uraian di atas perbedaan antara keduanya
terletak pada pos-pos transitoris dan antisipasi, dan
pengakuan biaya yang masa manfaatnya kurang dari satu
tahun. Pos transitoris misalnya biaya yang dibayar dari
satu tahun. Pos transitoris misalnya biaya yang dibayar
di muka atau pendapatan yang diterima di muka, pos anti-
sipasi misalnya biaya yang masih harus dibayar atau
pendapatan yang akan diterima.
Selanjutnya tentang konsep matching cost against
revenue, konservatisme, dan materialisme. Konsep matching
cost against revenue juga ada dalam perpajakan. Hanya,
konsep ini tunduk pada ketentuan PPh 1994. Artinya unsur-
unsur penghasilan dan biaya yang dilaporkan dalam suatu
tahun pajak harus menaati ketentuan perpajakan. Unsur-
menentukan unsur-unsur yang merupakan penghasilan dan
bukan penghasilan. Sedang unsur biaya yang dapat dikur-
angkan dari penghasilan diatur dalam pasal 6 UU PPh 1894,
dan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
diatur dalam pasal 9 UU PPh 1994. Dengan menaati keten-
tuan-ketentuan ini berarti laba yang dilaporkan telah
menerapkan konsep matching cost against revenue, menurut
PPh 1994.
Selanjutnya mengenai konsep konservatisme, PPh 1894
tidak menganut konsep ini. Hal ini terbukti dari pasal 9
ayat 1 huruf c UU PPh 1994, yang menentukan biaya pemben-
tukan atau pemupukan cadangan tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan
lain oleh Peraturan Pemerintah. Artinya jika ada kerugian
yang ditaksir akan terjadi, tetapi kalau belum nyata-
nyata terjadi, WP tidak boleh mengakui kerugian melalui
pembentukan atau pemupukan cadangan.
Kemudian konsep materialisme, konsep ini juga tidak
dianut oleh PPh 1984. Dalam PPh 1994 pengungkapan infor-
masi meskipun tidak material, tetapi apabila informasi
tersebut menyangkut hutang pajak kepada negara, hal ini
harus tetap dilaporkan. Hal ini dikarenakan sehubungan
ketaatan pada ketentuan yang berlaku, yaitu ketentuan UU
PPh 1994 dan ketentuan yang berada di bawahnya.