• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Penarikan Karena Disumbangkan

3.1. Pengaruh Ketentuan Tentang Penyusutan Terhadap Laba Kena Pajak

3.1.2. Harta yang Dapat Disusutkan

Pengertian aktiva tetap dalam akuntansi seperti yang

dikemukakan di bab II dengan harta berwujud dalam PPh

1994 seperti yang dikemukakan di bab II pada dasarnya

sama. Ciri-ciri yang melekat pada istilah tersebut ialah

mempunyai wujud, digunakan dalam operasi perusahaan, dan

mempunyai masa manfaat lebih dari setahun. Dalam keputu­

san Menteri Keuangan mengenai penggolongan harta, sebe-

narnya hal tersebut merupakan aktiva tetap menurut akun­

tansi. Jadi meskipun istilahnya berbeda, dalam praktiknya

pengertian aktiva tetap dan harta berwujud sama. Penger­

tian aktiva tak berwujud antara keduanya pada dasarnya r

juga sama, hanya dalam akuntansi tidak menyebutkan bahwa

umur aktiva tersebut lebih dari setahun, sedangkan PPh

1994 dengan tegas menyebutkan umur aktiva harus lebih

dari setahun. Namun, akuntansi dengan penggolongan aktiva

tidak berwujud atas dasar masa manfaat, sebenarnya juga

telah tersirat bahwa umur aktiva tidak berwujud lebih

dari setahun.

Meskipun antara akuntansi dengan PPh 1994 mempunyai

pengertian yang pada dasarnya sama mengenai aktiva berwu­

jud dan tak berwujud, tetapi terdapat perbedaan pengakuan

terhadap suatu aktiva boleh diakui penyusutan/amortisa-

sinya atau tidak.

Aktiva atau harta yang dapat disusutkan menurut

akuntansi dan PPh 1994 adalah aktiva yang digunakan dalam

khusus misalnya tanah yang tidak mengalami penurunan

nilai ekonomis karena pemakaian, atau harta tersebut

oleh perpajakan dianggap tidak untuk keperluan mendapat-

kan, menagih dan memelihara penghasilan. Untuk hal-hal

terakhir ini maka PPh 1994 dengan tegas tidak nengakui

penyusutan atas harta tersebut.

a. Tanah

Akuntansi meskipun telah membagi aktiva tetap menja-

di aktiva depreciable (dapat disusutkan) dan nondepreci­

able (tidak dapat disusutkan), tetapi tidak memberikan

penjelasan lebih lanjut mana saja aktiva yang termasuk

dalam kelompok dapat disusutkan dan aktiva mana saja yang

termasuk tidak dapat disusutkan. Sedang PPh 1994 dengan

tegas menetapkan, tanah adalah harta yang tidak dapat

disusutkan, kecuali tanah yang mengalami penurunan nilai

ekonomis karena dipakai.

Tanah, di Indonesia dimiliki dalam bentuk hak milik

(HM), hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak

pakai, hak sewa. HH tidak terbatas jangka waktu kepemili-

kannya dan apabila tanah tersebut tidak mengalami penur­

unan nilai karena pemakaiannya, maka tidak boleh disusut­

kan, baik menurut PPh 1994 maupun akuntansi. Namun bagai-

mana halnya dengan HGU, HGB, hak pakai dan hak sewa yang

jangka waktunya terbatas. Pada umumnya badan usaha di

selanjutnya ditekankan pada HGU, HGB, dan Hak pakai, Hal

Sewa yang jangka waktunya terbatas.

Mengingat kompleksitas masalah pertanahan di Indone­

sia, pembahasan di sini akan ditekankan pada sifat nilai

perolehan awal dan biaya-biaya yang dikeluarkan setelah

perolehan awal, apakah mengalami penurunan nilai ekonomis

atau tidak, sehingga dapat ditetapkan apakah nilai pero­

lehan awal dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memper-

oleh atau mempertahankan hak atas tanah akan disusutkan

atau tidak. Penurunan nilai dapat disebabkan oleh pema-

kaian sehingga aus atau karena berlalunya waktu sebab

masa manfaatnya dibatasi oleh waktu. Selain itu untuk

menentukan apakah perolehan awal atau biaya-biaya akan

disusutkan atau tidak, pembahasan diperbandingkan dengan

HM.

Jika ditinjau dari pemakaian tanah yang digunakan

untuk keperluan mendirikan bangunan atau sebagai tempat

usaha pertanian, perkebunan, perikanan, maka nilai pero­

lehan awal tanah tidak akan mengalami penurunan nilai

ekonomis. Oleh karena itu nilai perolehan awal dari hak

atas tanah tidak disusutkan.

Selanjutnya jika ditinjau dari segi berlalunya

waktu, nilai perolehan awal tanah juga tidak akan menga­

lami penurunan nilai ekonomis. Karena setelah hak atas

tanah habis, tanah tersebut tetap dapat dijual. Hal ini

penurunan nilai ekonomis. Seperti yang telah terjadi dan

diberitakan oleh harian Kompas, " ... justru sekarang

tanah-tanah PT Perkebunan yang habis masa HGUnya dijual

kepada pihak ketiga ... ^0

Apabila ditinjau dari sifat-sifat hak-hak atas

tanah, hak-hak tersebut ada yang mirip dengan HM, ada

pula yang mempunyai sifat-sifat mirip dengan sewa. Sifat-

sifat tersebut ialah dapat tidaknya hak untuk beralih

kepada ahli waris jika pemegang hak meninggal atau senga-

ja dialihkan (dijual) kepada pihak lain dan ada tidaknya

jaminan untuk memperpanjang hak tersebut serta dapat

tidaknya hak tersebut dijadikan jaminan hutang dengan

pembebanan hipotek.

Hak-hak yang mempunyai sifat dapat beralih kepada

ahli waris apabila pemegang hak meninggal, dan ada jami­

nan untuk diperpanjang haknya jika masa hak telah habis,

serta dapat dijadikan jaminan hutang hipotek, sebenarnya

mirip dengan H M . Hak yang termasuk di sini yaitu HGU,

HGB. Keterbatasan HGU dan HGB dibanding dengan HM yaitu

dalam hal keleluasaan untuk pengelolaan dan adanya kehar-

usan untuk memperpanjang hak di masa yang akan datang.

Jadi menurut penyusunan, nilai perolehan awal HGU dan HGB

tidak disusutkan, karena pada dasarnya hak-hak tersebut

^Editor, "Tanah sambungan dari halaman 1", Rompas f 30 September 1993, hal. 5.

tidak berbeda dengan hak milik.

Undang-undang Pokok Agraria memang hanya menyebutkan

bahwa HGU, HGB setelah jangka waktunga habis, maka dapat

diperpanjang haknya. Bagaimana jika perpanjangan hak

tersebut juga telah habis. Setelah perpanjangan hak

habis, hak tersebut dapat diperpanjang lagi, demikian

seterusnya. Seperti disebutkan oleh Effensi Perangin

sebagai berikut :

Pemerintah menyatakan bahwa selama seorang pengusaha mengusahakan tanah dan perusahaannya dengan baik, maka baginya bukan saja dijamin dapat menguasai tanah itu selama haknya berlangsung, akan tetapi pengusahaan tersebut dapat diteruskannya juga setelah hak atas tanahnya berakhir, yaitu dengan memperpanjang atau memperbaharui haknya yang sudah berakhir itu. *

Hak-hak tersebut memang mirip dengan hak milik,

tetapi hak-hak tersebut setelah jangka waktu tertentu

harus diperpanjang haknya. Untuk hal ini diperlukan biaya

perpanjangan hak yaitu biaya yang berhubungan dengan

masalah tanah di Indonesia seperti yang telah dikemukakan

dalam Bab III kecuali biaya pembebasan tanah. Biaya untuk

perpanjangan hak yang merupakan pengeluaran setelah

perolehan awal inilah yang sebenarnya mengalami penurunan

nilai ekonomis yang disebabkan oleh berlalunya waktu,

biaya inilah yang diamortisasi. Biaya yang dikeluarkan

21Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. op. cit., hal. 2 6 1

.

setelah perolehan awal, yang dapat berupa biaya

perpan-jangan atau pembaruan hak, merupakan biaya untuk memper-

tahankan hak atas tanah yang dibeli pada waktu perolehan

awal.

Selanjutnya hak atas tanah yang menyerupai sewa, hak

ini mempunyai sifat yaitu hak tidak langsung beralih

kepada ahli waris jika pemegang hak meninggal, tidak ada

jaminan perpanjangan hak, tidak dapat dijadikan jaminan

hutang hipotek, ada kemungkinan tidak dapat dialihkan.

Hak yang mirip dengan sewa ini ialah hak sewa atas tanah.

Hak sewa atas tanah ini, menurut penyusun diamortisasi

seperti halnya sewa biasa.

Di antara hak yang mirip dengan HM dan hak sewa

tadi, ada juga hak yang berbeda di tengah antara HM

dengan hak sewa, yaitu hak pakai. Hak ini memang mempun­

yai keterbatasan, yaitu tidak dapat langsung beralih

kepada ahli waris bila pemegang hak meninggal meskipun

hak tidak langsung batal, tidak dapat dijadikan jaminan

hutang hipotek, tidak ada jaminan perpanjang hak, penga-

lihan hak memerlukan izin dari pihak yang berwenang

memberikan izin.

Namun dengan melihat ciri-ciri yang hampir sama

dengan HGB dan HGU, yaitu hak tidak langsung batal meski­

pun pemegang hak meninggal, tanah tetap dapat diperpan-

jang haknya walaupun tidak dijamin perpanjangannya, serta

pembeba-nan hipotek, menurut penyusun, nilai perolehan awal hak

pakai tidak disusutkan.

HGU adalah hak yang hanya dapat diperoleh dari

penetapan pemerintah, HGB dan hak pakai dapat diperoleh

dari penetapan atau dari perjanjian dengan pemegang HM.

Sedang hak sewa hanya dapat diperoleh dari perjanjian

dengan pemegang HM. Menurut penyusun, hak-hak yang diper­

oleh dari perjanjian dengan pemegang HM, hanya mirip

dengan sewa. Karena diperoleh dari perjanjian dengan

pemegang HM, tentu tidak ada pembebasan tanah, uang

pemasukan atau administrasi, sumbangan landreform, dan

uang pendaftaran. Dan hak atas tanah yang diperoleh

dengan cara ini baru terbatas pada hak sewa, sedang HGU

dan hak pakai belum pernah ada, karena peraturan pelaksa-

naannya belum ada. Hak atas tanah ( land right) yang

diperoleh dari cara ini diamortisasi, karena mirip dengan

perjanjian sewa.

b. Golongan Bangunan

Bangunan yang disusutkan menurut akuntansi dan PPh

1994 juga sama, yaitu bangunan yang digunakan untuk

operasi perusahaan. Akan tetapi tidak seluruh bangunan

yang digunakan untuk operasi perusahaan menurut akuntansi

merupakan operasi juga menurut PPh 1994. Bangunan yang

menurut PPh 1994 tidak merupakan bangunan yang digunakan

penyusu-tannya, m i s a l n y a b a n g u n a n perumahan untuk karyawan yang

bukan di daerah terpencil. Khusus perumahan di daerah

t e r p e n c i l ini diatur dalam pasal 9 ayat 1 huruf e, yang

menyebutkan bahwa pemberian kenikmatan kepada karyawan

tidak boleh dikurangkan dari penghasilan untuk menentukan

laba kena pajak, kecuali bangunan untuk perumahan di

daerah terpencil.

akuntansi tidak membedakan perumahan di daerah

terpencil atau bukan. Sedang PPh 1994 membedakan antara

keduanya. Perumahan, baik di daerah terpencil maupun

bukan, yang dinikmati karyawan menurut akuntansi merupa­

kan biaya. Artinya penyusutan atas aktiva tersebut diakui

sebagai biaya. Akan tetapi menurut PPh 1994, biaya penyu­

sutan atas perumahan yang bukan di daerah terpencil tidak

diakui sebagai biaya yang dapat mengurangi penghasilan

bruto, karena perumahan tadi dianggap bukan sebagai

pengorbanan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan. Perbedaan di sini terjadi semata-mata karena

PPh 1994 memang tidak mengakui biaya tersebut, bukan

perbedaan waktu pengakuan atas biaya tersebut. Sedang

perumahan yang dinikmati oleh karyawan, yang memenuhi

persyaratan menurut ketentuan seperti telah dijelaskan

dalam Bab II (merupakan daerah terpencil) PPh 1994 akan

mengakui penyusutannya.

Namun demikian, perumahan untuk karyawan yang bukan

diber-ikan tunjangan sewa, perusahaan dapat membebankan biaya

penyasutan dan eksploitasi perumahan maksimal sebesar

biaya penyusutan dan eksploitasi, jika tunjangan sewa

sama atau lebih besar dari biaya penyusutan dan eksploi­

tasi. Apabila tunjangan sewa lebih kecil dari biaya

penyusutan dan eksploitasi, maka perusahaan hanya dapat

membebankan penyusutan dan eksploitasi sebesar tunjangan

sewa yang diberikan kepada karyawan. (Tunjangan sewa itu

sendiri merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari

penghasilan bruto oleh perusahaan, dan bagi karyawan

tunjangan tersebut merupakan penghasilan.)

Pengaruh dari hal tersebut di atas terhadap laba

menurut akuntansi (selanjutnya disebut laba komersial)

atau laba kena pajak menurut PPh 1994 (selanjutnya dise­

but laba fiskal) dengan asumsi tidak ada perbedaan lain

kecuali masalah di atas ialah, laba komersial akan lebih

kecil dari laba fiskal.

c. Golongan Bukan Bangunan

Jenis harta golongan bukan bangunan (golongan 1,

golongan 2, golongan 3, dan golongan 4) yang disusutkan

menurut akuntansi dan perpajakan sama, kecuali ditentukan

lain oleh PPh 1994. Pengecualian ini berhubungan dengan

hal apakah harta tersebut digunakan untuk operasi perusa­

haan menurut ketentuan PPh 1994, atau tidak. Harta yang

untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan,

misal harta perusahaan yang digunakan untuk keperluan

pribadi karyawan, termasuk dalam pengertian ini mobil

yang diluar jam kerja kantor dibawa pulang oleh karyawan.

Atas harta ini PPh 1994 tidak mengakui penyusutannya.

3.1.3. Penentuan Harga perolehan

Dalam bab II telah diuraikan penetapan dasar penyu­

sutan baik berupa harga buku maupun harga perolehan

dipengaruhi oleh penentuan harga perolehan pada waktu

pembelian. Secara urnum penentuan harga perolehan harta

yang diperoleh dari transaksi yang tidak dipengaruhi oleh

hubungan istimewa, yaitu dilakukan dua pihak yang mempun­

yai kepentingan berlawanan, sehingga harga perolehan

dapat ditentukan secara obyektif, maka harga perolehan

ialah jumlah sesungguhnya atau seharusnya dikeluarkan.

Berikut ini akan dibahas mengenai penetapan harga perole­

han harga ditinjau dari cara-cara perolehannya.

a. Aktiva Tetap yang Diperoleh dalan Bentuk Siap Pakai

Henurut akuntansi jelas bahwa harga perolehan aktiva

dengan oara ini mfeliputi semua pengeluaran sehingga

aktiva tetap yang dimaksudkan siap digunakan, seperti

iuraikan dalam Bab II, sub bab B, anak sub bab 1 butir a.

PPh 1994 seperti diuraikan pada Bab III, sub bab 5,

anak sub bab 1, butir a, tidak menyebutkan mengenai harga

tetapi hanya menyebutkan bahwa harga perolehan adalah

jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan. Apakah harga pero­

lehan di sini mencakup semua pengeluaran sampai harta

yang dimaksudkan benar-benar siap digunakan, ataukah

hanya harga beli harta yang bersangkutan. Ketidakjelasan

ketentuan perpajakan ini memberikan peluang bagi WP untuk

mengkapitalisasi atau mengakui langsung sebagai biaya

atas suatu pengeluaran di luar harga beli harta misal bea

masuk, biaya angkut, biaya pemasangan, PPn BM, PPH yang

tidak dapat dikreditkan.

Pada tahun-tahun WP menderita rugi, biaya di luar

harga beli harta cenderung dikapitalisasi dan dibebankan

pada tahun-tahun mendatang, karena tanpa pembebanan

biaya-biaya tadi PhKP nihil bahkan negatif,. Hal ini

dikarenakan mengakui pengeluaran sebagai biaya pada waktu

rugi tidak akan memperkecil hutang pajak, dan saldo rugi

yang tidak dikompensasikan dalam 5 tahun pajak tidak

boleh dikompensasikan sebagai pengurang PhKP.

Selanjutnya tentang perlakuan bunga atas pembelian

secara angsuran atau kredit. Menurut akuntansi, bunga

atas pembelian angsuran atau kredit tidak dikapitalisasi

tetapi dibebankan sebagai biaya pada periode terjadinya

pengeluaran. Menurut perpajakan, dalam hal ini sama,

berdasarkan pasal 6 ayat 1 huruf a, bahwa biaya bunga

dikurangkan dari penghasilan bruto.

Masalah sehubun'gan dengan aktiva tetap yang dibangun

sendiri adalah perlakuan bunga atas pinjaman yang diguna­

kan untuk membangun aktiva tetap. IAI, dalam Pernyataan

No. 26, yang diuraikan dalam Bab II, sub bab B, anak sub

bab 1 butir b, menyatakan bila kondisi-kondisi tertentu

telah ditetapkan dipenuhi, biaya bunga boleh (bukan

harus) dikapitalisasi.

Dalam hal ini tergantung kepentingan manajemen, jika

pengukuran prestasi manajemen didasarkan pada laba ber-

sih, manajemen akan cenderung mengkapitalisasi bunga,

bila kondisi-kondisi yang ditetapkan dipenuhi. Karena

dengan kapitalisasi akan menunda pengakuan biaya bunga

tersebut.

Sedang PPh 1994, karena belum mengatur, bunga dapat

dikurangkan dari penghasilan bruto seperti biaya bunga

yang lain. Jika ditinjau dari kecenderungan dalam perpa­

jakan, WP cenderung mengakui bunga sebagai biaya pada

tahun terjadinya pengeluaran, bila pada tahun,tersebut WP

memperoieh laba. Sebaliknya jika pada tahun tersebut WP

menderita rugi, WP dengan alasan Pernyataan IAI No. 2

akan mengkapitalisasi bunga.

Jadi dalam hal ini perlu ketegasan dalam akuntansi,

jika syarat-syarat yang telah ditetapkan dipenuhi, bunga

harus (bukan boleh) dikapitalisasi. Demikian juga PPh

keperluan perpajakan atau tidak.

Unsur harga perolehan aktiva yang dibangun sendiri

menurut akuntansi terdiri dari bahan langsung, upah

langsung, dan biaya produksi tidak langsung (BPTL). Bahan

langsung dan upah langsung dapat ditelusuri pembebanannya

terhadap aktiva. Artinya biaya bahan dan upah untuk

membangun aktiva tersebut dapat diketahui secara tepat.

Sedang BPTL tidak dapat ditelusuri secara langsung pada

aktiva yang dibangun dan pembebanan dilakukan berdasarkan

kebijakan manajemen. Bahkan sampai menjadi perbedaan

pendapat di kalangan akuntan dan belum ada ketentuan oleh

pihak yang berkompeten. Ada yang berpendapat BPTL yang

dibebankan adalah sebesar kenaikan BPTL yang disebabkan

oleh pembangunan aktiva. Pendapat yang lain mengatakan

pembebanan BPTL dilakukan seperti pengalokasian terhadap

aktiva yang tidak untuk dipakai sendiri. Bahkan ada pula

yang berpendapat aktiva yang dibangun untuk dipakai

sendiri tidak dibebani BPTL. Kedua pendapat yang pertama

tersebut sama-sama tidak akan lepas dari kebijakan atau

taksiran manajemen, karena itu sulit mengatakan mana yang

lebih tepat. Pendapat yang ketiga, menurut penyusun

justru sulit diterima, karena aktiva yang dibangun terse­

but pasti ada juga unsur BPTL-nya.

Selain ketiga unsur harga perolehan di atas, dengan

Pernyataan IAI No. 26, maka harga perolehan selanjutnya

Sebagai ilustrasi, sebuah perusahaan bergerak di

bidang konstruksi, membangun gedung dan perumahan. Gedung

akan dipakai untuk keperluan kantor, sedang perumahan

akan dipakai oleh karyawan (asumsi bukan di daerah ter­

pencil). Khusus untuk pembangunan aktiva tersebut dananya

diperoleh dari pinjaman bank sejumlah Rp 500.000.000,00

dengan 20% per tahun. Pembangunan selesai dalam waktu 6

bulan. Biaya yang dikeluarkan adalah sebagai berikut

(dalam Rp 1.000,00).

Kantor Perumahan Jumlah

- Bahan langsung 200.000 125.000 325.000

- Upah langsung 100.000 50.000 150.000

- BPTL (misal berda­

sar kenaikan) 20.000 5.000 25.000

Jumlah 320.000 180.000 500.000

Menurut akuntansi, aktiva tersebut sebelum pembeba­

nan bunga akan dicatat unruk Gedung Rp 320.000.000,00 dan

Perumahan Rp 180.000.000,00. Bunga Rp 50.000.000,00 (= Rp

500.000.000.00 x 20% x 8/12 ) harus dialokasikan ke

gedung dan perumahan dengan perbandingan nilai gedung dan

perumahan sebelum pembebanan bunga. Alokasi bunga untuk

gedung adalah Rp 32.000.000,00 (= 320/500 x Rp

50.000.000.00) dan untuk perumahan Rp 18.000.000,00 (=

180/500 x Rp 50.000.000,00). Dengan demikian Gedung

198.000.000.00.

Menurut akuntansi penyusutan gedung dan perumahan

tersebut dapat dibebankan sebagai biaya. Sedang PPh 1994,

karena perumahan digunakan untuk karyawan (asumsi tidak

diberikan tunjangan sewa) maka penyusutan atas perumahan

tidak diakui oleh perpajakan, dan hal ini merupakan

perbedaan tetap.

Bunga atas pinjaman untuk pembangunan sebesar Rp 50

juta, karena PPh 1994 belum mengatur hal ini, maka dapat

dikurangkan dari penghasilan bruto seperti halnya biaya

bunga yang lain. Terlebih kagi jika dalam- tahun tersebut

WP memperoleh laba, sehingga WP semakin cenderung untuk

membebankan daripada mengkapitalisasi bunga.

Seandainya dalam tahun tersebut WP menderita rugi,

maka WP dengan alasan Pernyataan IAI No. 26, dapat meng­

kapitalisasi bunga, minimal bunga Rp 32.000.000,00 yang

dialokasikan untuk gedung. Sedang sisa bunga Rp

18.000.000.00 dengan alasan manajemen menganggap bahwa

bunga tersebut sama halnya dengan biaya bunga lainnya,

akan dicatat sebagai biaya yang menambah saldo rugi, yang

akan dikompensasikan selama 5 tahun yang akan datang jika

memperoleh laba. Hal ini dikarenakan kapitalisasi bunga

untuk perumahan tidak akan diakui penyusutannya seperti

halnya bahan, upah dan BPTL yang dibebankan pada peruma­

han .

PAI 1984, seperti diuraikan dalasi Bab II, mengatur

bahwa aktiva tetap yang diperoleh dari pertukaran tidak

sejenis dinilai dengan harga wajar. Bila pertukaran

melibatkan uang, uang yang dibayarkan ditambahkan pada

nilai wajar aktiva yang diserahkan sebagai nilai perole­

han. Artinya harga wajar aktiva yang diterima adalah

sebesar penjumlahan harga wajar aktiva yang diserahkan

dan uang yang dibayarkan. Sedang bila menerima uang, uang

yang diterima dikurangkan dari harga wajar aktiva yang

diserahkan. Artinya harga wajar aktiva yang diterima

sebesar harga wajar yang diserahkan dkurangi dengan uang

yang diterima. Kiranya pertukaran tidak sejenis mudah

dipahami, karenanya tidak perlu penjelasan lebih lanjut.

Pertukaran sejenis, harga perolehan aktiva adalah

harga buku atau harga pasar, mana yang lebih rendah. Jika

melibatkan uang, uang yang diserahkan menambah harga buku

atau harga pasar yang lebih rendah tadi. Sedang bila

menerima uang, maka harus dilihat dahulu penjumlahan uang

yang diterima dengan harga pasar aktiva yang diterima.

Jika penjumlahan tersebut lebih kecil dari harga buku

aktiva yang diserahkan, maka harga perolehan aktiva yang

diterima dicatat sebesar harga pasar aktiva yang diteri­

ma. Bila penjumlahan tersebut lebih besar dari harga buku

aktiva yang diserahkan, aktiva yang diserahkan diperlaku­

bagian yang ditukar, yang nilainya proporsional dengan

kas yang diterima dan harga pasar aktiva yang diterima.

Bagian harga buku aktiva yang ditukar inilah yang menjadi

nilai perolehan aktiva yang diterima.

Sebenarnya pertukaran baik sejenis maupun tidak

sejenis, menurut logika pastilah aktiva yang dipertu-

karkan dinilai dengan harga pasar atau harga wajar yang

disepakati oleh kedua belah pihak, dan aktiva yang diper-

tukarkan tentunya mempunyai nilai wajar yang seimbang,

karena jika tidak seimbang pertukaran tidak akan terjadi.

Dalam contoh 1 pada halaman 19 (Bab II), karena

aktiva yang dipertukarkan mempunyai nilai wajar yang sama

yaitu Rp 2.500.000,00 maka tidak perlu penyeimbang berupa

aktiva lain. Demikian juga jika harga wajar yang dipertu­

karkan adalah Rp 1.000.000,00. Akuntansi mencatat pertu­

karan sejenis seperti tidak akan terjadi pertukaran,

sehingga aktiva baru dicatat sebesar harga buku aktiva

lama jika harga wajar aktiva lama lebih besar daripada

harga bukunya, tetapi jika harga wajar aktiva lama lebih

kecil daripada harga bukunya, aktiva dicatat sebesar