transaksi ini selalu menggunakan metode penyatuan kepen-
tingan yang dikenal dalam akuntansi.
Bila pembayaran menggunakan uang kas, maka aktiva
dicatat sejumah kas yang dikeluarkan, berapapun harga
pasarnya. Jadi pembayaran dengan kas yang dicatat dengan
metode pembelianpun, menurut PPh 1984 tidak akan pernah
ada goodwill.
Sebagai ilustrasi, PT XX membeli PT YY. Harga buku
dan harga pasar harta dan hutang PT YY adalah sebagai
berikut.
Harta Hutang Hodal
(Rp 1.000) (Rp 1.000) (Rp 1.000)
- Harga Buku 500.000 250.000 250.000
- Harga Pasar 750.000 250.000 500.000
PT XX membeli PT YY dengan menyerahkan saham 250
lembar saham nominal Rp 1.000.000,00 per lembar (asumsi
kondisi yang ada menurut akuntansi mengharuskan pemakaian
metode pembelian, harga pasar saham tidak diketahui dan
aktiva yang ada hanya aktiva tetap). Transaksi ini akan
dicatat sebagai berikut.
Akuntansi PPhl884
Aktiva Tetap 750.000.000 500.000.000
Hutang 250.000.000 250.000.00
Agio Saham 250.000.000
Apabila PT XX membeli PT YY dengan menyerahkan uang
kas, misal sejumlah Rp 550.000.000,00 maka pencatatannya
sebagai berikut. Akuntansi PPhl884 Aktiva Tetap 750.000.000 800.000.000 Goodwill 50.000.000 Hutang 250.000.000 250.000.000 Kas 550.000.000 550.000.000
Perbedaan pencatatan ini hanya mengakibatkan perbe-
daan waktu pembebanan penyusutan yang dikarenakan perbe
daan metode penyusutan antara akuntansi dengan PPh 1994.
Meskipun PPh 1994 tidak mencatat adanya goodwill, namun
dalam nilai aktiva yang dicatat PPh 1984 tersebut sebe
narnya terkandung nilai goodwill yang dikenal akuntansi.
Bagi PT YY, yang kemudian dilikuidasi, menurut PPh
1994 transaksi yang dilakukan dengan pembayaran berupa
saham, semua aktiva yang diserahkan dinilai dengan harga
buku (sehingga tidak akan ada laba rugi). Sedang transak
si yang dilakukan dengan pembayaran uang, aktiva yang
diserahkan dinilai dengan uang yang diterima (sehingga
ada laba rugi). Dengan demikian tidak ada kontroversial
pencatatan antara perusahaan yang diambil alih dengan
perusahaan yang mengambil alih.
f. Perolehan Aktiva dengan Sewa Guna Usaha
finance lease atau operating lease antara akuntansi
seperti diuraikan dalam Bab II dengan PPh 1994 yang
diuraikan dalam Bab II tidak jauh berbeda. Ada perbedaan
sedikit yaitu tentang masa leasing. Akuntansi menetapkan
masa leasing finance lease minimum adalah 2 tahun, sedang
perpajakan menetapkan untuk golongan 1 minimum 2 tahun,
golongan 2 dan 3 minimum 3 tahun> dan golongan bangunan
minimum 7 tahun.
Dampak perbedaan syarat tersebut, suatu transaksi
menurut akuntansi dikategorikan sebagai finance lease,
tetapi menurut PPh 1994 dikategorikan sebagai operating
lease. Misal perjanjian leasing atas suatu bangunan
dengan masa leasing 5 tahun, asumsi persyaratan lain
memenuhi syarat sebagai finance lease. Menurut akuntansi
hal tersebut dikategorikan sebagai finance lease, tetapi
menurut PPh 1994 dikategorikan sebagai operating lease
karena PPh 1994 mengharuskan masa leasing bangunan mini
mum 7 tahun. Demikian juga sebaliknya, suatu perjanjian
operating lease menurut PPh 1994 belum tentu akan dikate
gorikan sebagai operating lease oleh akuntansi.
Akan tetapi, suatu transaksi bila dicatat sebagai
operating lease oleh akuntansi, pasti dicatat juga seba
gai operating lease oleh perpajakan. Dan suatu transaksi
bila dikategorikan sebagai finance lease oleh PPh 1994
akan dikategorikan juga sebagai finance lease oleh akun
Namun, meski suatu transaksi sama-sama dikategorikan
sebagai finance lease oleh akuntansi dan PPh 1894, karena
ketentuan penyusutan aktiva yang diperoleh dari leasing
berbeda, maka pembebanan penyusutannya akan tetap berbe
da.
Harta yang diperoleh dari leasing jenis operating
lease, perlakuan penyusutan antara akuntansi dan perpaja
kan, sama. Sedang jenis finance lease, menurut akuntansi,
aktiva dari finance lease diamortisasi oleh penyewa guna
usaha (lessee), dan perusahaan sewa guna usaha (lessor)
tidak menyusutkannya. Sedang PPh 1994, aktiva ini tidak
disusutkan oleh lessor dan juga tidak diamortisasi oleh
lessee.
Aktiva yang diperoleh dari sewa guna usaha jenis
finance lease, menurut perpajakan, meskipun lessee tidak
melakukan amortisasi sebagaimana dalam akuntansi, tetapi
lessee mengakui semua pembayaran berkala, kecuali untune
pembebanan atas tanah, sebagai biaya yang dapat dikurang
kan dari penghasilan. Jadi antara akuntansi dan perpaja
kan tetap mengakui biaya atas harta yang diperoleh dari
sewa guna usaha.
Penyusutan PPh 1894 seperti dikemukakan pada Bab II,
dilakukan setahun penuh. Sehingga sangat menguntungkan
lessor jika semua leasing diperlakukan sebagai operating
dari finance lease diamortisasi oleh lessee. Keuntungan
tersebut diperoleh dengan mengatur leasing yang dimulai
pada akhir tahun.
Berdasarkan pasal 3 ayat 1 PP No. 42 tahun 1985,
harta dalam usaha leasing, penyusutannya dimulai pada
tahun harta yang bersangkutan dileasingkan, berarti semua
leasing baik operating maupun finance lease, secara
perpajakan dianggap sebagai operating lease, sehingga
menguntungkan lessor, jika leasing dimulai pada akhir
tahun. Untuk itu dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan
No. 1169/KMK. 01/1991. Dengan ketentuan tersebut kesempa-
tan bagi lessor tersebut telah tertutup, karena pembeba
nan penyusutan dan perhitungan laba rugi fiskal bagi
lessor menurut perpajakan sama dengan akuntansi.
Begitu juga lessee tidak dapat memperoleh keuntungan
dengan cara mengatur leasing yang dimulai pada akhir
tahun. Karena jenis leasing apapun, lessee tidak membe
bankan penyusutan atas aktiva yang bersangkutan.
Jadi meskipun seolah-olah tidak ada pihak yang
menyusutkan harta sewa guna usaha tetapi lessee dalam hal
ini bukan sama sekali tidak membebankan biaya atas penge
luaran untuk harta tersebut, karena lessee membebankan
semua pembayaran berkala, kecuali pembebanan untuk tanah.
Bahkan bila tidak memperhatikan nilai waktu dari uang,
lessee lebih untung dengan cara ini. Karena jika lessee
leasing, harga perolehan harta belum habis dibebankan
sebagai biaya. Tetapi dengan cara pembebanan .semua pem
bayaran, selama masa leasing, lessee telah membebankan
semua pengeluaran. Harta ini disusutkan setelah lessee
menggunakan hak opsi untuk membeli harta yang bersangku
tan dengan yang telah disepakati pada awal perjanjian
leasing. Harga yang disepakati ini merupakan harga pero
lehan untuk dasar penyusutan seperti pembelian biasa.
g. Perolehan Harta dengan Ruilslag
Masalah ruilslag sebenarnya berkaitan dengan pertu
karan aktiva. Oleh karenanya penilaian harta dari ruils
lag juga sama dengan pertukaran aktiva. Ruilslag dapat
terjadi pertukaran tanah dengan tanah, tetapi dapat juga
antara tanah dengan sekelompok harta misal tanah, gedung,
dan sarana fisik lain.
Bila suatu perusahaan menginginkan tanah yang telah
ditempati oleh pihak lain, perusahaan dapat membebaskan
tanah yang diinginkan dengan melakukan kerja sama dengan
pihak yang menguasai tanah yang bersangkutan. Kerja sama
dilakukan dengan cara pihak yang mengingingkan tanah
(pihak I) bersedia menyediakan tanah, gedung dan sarana
fisik lain sesuai perjanjian dengan pihak yang akan
menempati (pihak II), dan pihak II bersedia menyerahkan
tanah (mungkin termasuk harta lain yang ada di atas
tanah, sesuai perjanjian) kepada pihak I.
dianggap sebagai pertukaran tidak sejenis dan harta yang
diperoleh dinilai dengan harga wajar. Karena dalam hal
ini pihak I sebenarnya hanya menginginkan tanah yang
kemudian dapat dikelola sesuai keinginannya. Sedang bagi
pihak II, hal ini dapat dianggap sebagai pertukaran
sejenis dan harta yang diperoleh dinilai dengan harga
buku, bila memang sarana-sarana pengganti yang diberikan
oleh pihak I sejenis dengan sarana yang lama. Dan dapat
juga merupakan pertukaran tidak sejenis sehingga harta
yang diperoleh dinilai dengan harga wajar, bila memang
sarana-sarana yang baru tidak sejenis dengan sarana yang
lama.
Menurut PPh 1994, bagi pihak I, hal ini dapat dia
nggap sebagai pembelian tanah, membangun gedung dan
sarana lain di atas tanah tersebut kemudian menjualnya,
selanjutnya membeli tanah yang diinginkan tadi. Tanah
yang diinginkan ini dinilai sebesar seluruh biaya untuk
membeli tanah, membangun gedung dan sarana pengganti
tadi, dengan memperhatikan biaya yang dapat dikurangkan
dan yang tidak dapat dikurangkan. Karena sejumlah terse-
butlah tanah yang diinginkan dapat diperoleh. Bagi pihak
II harta yang diperoleh dinilai sebesar harga wajar.
Ruilslag ini biasanya terjadi antara instansi pemer
intah dengan swasta. Peraturan khusus mengenai ruilslag
ini belum ada, menurut J. B. Sumarlin (sewaktu masih
22 saja. Asal proses ruilslag itu tidak merugikan negara."66
Agar tidak ada pihak yang dirugikan, harta yang
saling dipertukarkan haruslah mempunyai nilai pasar atau
wajar yang sama, dan tanah yang akan dimiliki oleh pihak
II nanti juga harus diselesaikan pengurusan sertifikatnya
oleh pihak I sehingga sama dengan sertifikat tanah pihak
II yang lama. Bagi pihak I, tanah yang akan dikelola r
pengurusan dan pencatatannya sama seperti yang telah
diuraikan di depan. Untuk keperluan penilaian harga wajar
dapat digunakan tenaga penilai yang bebas, bila perlu
digunakan lebih dari satu tim penilai agar hasilnya dapat
dibandingkan.
h. Perolehan Aktiva Tidak Berwujud
Seperti disebutkan di depan bahwa harga perolehan
harta meliputi semua pengeluaran, demikian juga untuk
harta tak berwujud atau harta yang sulit untuk dikategor
ikan sebagai harta berwujud atau tidak berwujud. Harta
tak berwujud meliputi hak paten, hak oipta, hak sewa atas
suatu harta, goodwill, franchise, trade mark. Sedang
harta yang sulit untuk dikategorikan sebagai harta berwu
jud atau tidak berwujud misalnya biaya penelitian dan
pengembangan (litbang). Dan akhir-akhir ini sedang dikem-
bangkan oleh pemerintah cara pembiayaan pembangunan
22Editor, "Ruilslag Sah saja, Asalkan Prosesnya Tak Rugikan Negara", Rompas. 20 Agustus 1992, hal. 2.
sarana fisik yang mirip dengan harta tak berwujud, yaitu
BOT (build, operate, and transfer). Di samping cara
pembiayaan BOT ada lagi cara pembiayaan BOO (build,
operate, and own).
3.1.4. Pengelompokan Harta dan Jangka Waktu Penyusutan
PPh 1994 mengelompokkan harta berwujud menjadi harta
golongan 1, golongan 2, golongan 3, golongan 4, dan
golongan bangunan dan harta tak gerak lainnya. Harta tak
berwujud juga dikelompokkan menjadi golongan 1, golongan
2, golongan 3, dan golongan 4 (tidak ada golongan bangu
nan dan harta tak gerak). Pengelompokan ini didasarkan
pada jangka waktu umur manfaat harta. Jika suatu jenis
harta sudah termasuk dalam kelompok harta yang ditetapkan
oleh Keputusan Menteri Keuangan, maka penyusutan fiskaln-
ya mengikuti ketentuan tersebut. Untuk jenis harta yang
belum termasuk dalam ketentuan tersebut, maka penentuan
pengelompokannya didasarkan pada masa manfaatnya.
Manajemen perusahaan dengan memperhatikan frekuensi
pemakaian dan kualitas suatu harta, dapat membuat taksir
an masa manfaat yang berbeda antara suatu perusahaan
dengan perusahaan lain. Jenis usaha yang berbeda sebe
narnya wajar saja jika manajemen membuat taksiran masa
manfaat yang berbeda, meskipun harta yang digunakan sama
jenis, merek dan kualitasnya.
kebebasan kepada manajemen untuk membuat kebijakan menge
nai penyusutan, termasuk di dalamnya adalah kebijakan
taksiran jangka waktu pemakaian atau masa manfaat. Akun
tansi hanya menyediakan metode-metode yang dapat dipilih
manajemen. Kensekuensinya memang dapat terjadi pengelom
pokan harta yang beraneka ragam.
Jika ditinjau dari jangka waktu yang digunakan
sebagai dasar pengelompokan harta, suatu golongan menca-
kup harta dengan masa manfaat yang berbeda-beda. Terlihat
dari golongan 1 mencakup umur harta dari di atas 1 tahun
sampai dengan 4 tahun, golongan 3 mencakup umur harta
yang lebih dari 8 tahun tapi tidak lebih dari 16 tahun.
Bahkan golongan bangunan dan harta tak gerak lainnya
tidak dibagi lagi dalam golongan-golongan, namun hanya
dibagi dalam permanen dan tidak permanen. Jadi semua
bangunan dan harta tak bergerak dianggap mempunyai masa
manfaat sama, yaitu 20 tahun untuk yang permanen dan 10
tahun untuk yang tidak permanen. Meski dasar pengelompo
kan harta adalah jangka waktu pemakaian, namum harta
tidak disusutkan dalam jangka waktu sesuai dengan golon-
gannya, terbukti dari harta berwujud bukan bangunan, yang
dapat disusutkan terus melebihi masa manfaatnya jika
tidak ditarik pemakaian.
Namun, pada akhirnya pengelompokan harta bukan
didasarkan pada taksiran jangka waktu pemakaian, akan
kebebasan kepada manajemen untuk membuat kebijakan menge-
nai penyusutan, termasuk di dalamnya adalah kebijakan
taksiran jangka waktu pemakaian atau masa manfaat. Akun-
tansi hanya menyediakan metode-metode yang dapat dipilih
manajemen. Kensekuensinya memang dapat terjadi pengelom-
pokan harta yang beraneka ragam.
Jika ditinjau dari jangka waktu yang digunakan
sebagai dasar pengelompokan harta, suatu golongan menca-
kup harta dengan masa manfaat yang berbeda-beda. Terlihat
dari golongan 1 mencakup umur harta dari di atas 1 tahun
sampai dengan 4 tahun, golongan 3 mencakup umur harta
yang lebih dari 8 tahun tapi tidak lebih dari 16 tahun.
Bahkan golongan bangunan dan harta tak gerak lainnya
tidak dibagi lagi dalam golongan-golongan, namun hanya
dibagi dalam permanen dan tidak permanen. Jadi semua
bangunan dan harta tak bergerak dianggap mempunyai masa
manfaat sama, yaitu 20 tahun untuk yang permanen dan 10
tahun untuk yang tidak permanen. Meski dasar pengelompo-
kan harta adalah jangka waktu pemakaian, namum harta
tidak disusutkan dalam jangka waktu sesuai dengan golon-
gannya, terbukti dari harta berwujud bukan bangunan, yang
dapat disusutkan terus melebihi masa manfaatnya jika
tidak ditarik pemakaian.
Namun, pada akhirnya pengelompokan harta bukan
didasarkan pada taksiran jangka waktu pemakaian, akan
digolongkan dalam suatu golongan harus mengikuti keten-
tuan pedoman pengelompokan harta untuk keperluan penyusu-
tan, yaitu Keputusan Menteri Keuangan No. 961/KMK.
04/1983 dan No. 826/KHK. 04/1984.
Menurut akuntansi, suatu harta dengan taksiran masa
manfaat 5 tahun, bila tidak ada perubahan taksiran masa
manfaat, harta tersebut akan disusutkan dalam jangka
waktu 5 tahun atau kurang dari itu jika ditarik dari
pemakaian.
Pengelompokan harta dalam PPh 1984 berakibat harta
akan disusutkan tidak sesuai taksiran masa manfaat. Harta
berwujud golongan 1 dengan taksiran masa manfaat 2 tahun
dan 3 tahun akan disusutkan dalam jangka waktu yang sama
dengan harta dengan taksiran masa manfaat 4 tahun. .Demi-
kian juga untuk harta golongan 2 dan golongan 3. Bahkan
harta berwujud golongan 1 dan golongan 2 yang mempunyai
taksiran masa manfaat maksimal masing-masing 4 tahun dan
8 tahun, tidak disusutkan dalam jangka waktu tersebut
juga, tetapi bisa lebih dari itu. Harta berwujud golongan
4 yang masa manfaat maksimalnya tidak tertentu, semakin
tidak jelas jangka waktu penyusutannya.
Hal di atas dapat dilihat dari perhitungan penyusu-
tan harta berwujud golongan 1 dengan tarif 50% dari sisa
harga buku. Jika tidak ada penambahan, maka masih terda-
pat sisa harga buku pada akhir tahun keempat seperti
Tahun Jumlah Awal Penvusutan Sisa harga buku.
1 100% 50% X 100% = 50% 100% - 50% = 50%
2 50% 50% X 50% = 25% 50% - 25% = 25%
3 25% 50% X 25% = 12,5% 25% - 12,5% = 12,5%
4 12,5% 50% X 12,5% = 6,5% 1,25% - O) cn n 6,5%
Sisa harga buku pada akhir tahun keempat memang
tidak terlalu besar. Tetapi harta dengan masa manfaat
yang sebenarnya 2 tahun, maka sisa harga buku harta yang
masih ada setelah masa manfaatnya cukup besar, yaitu 25%
dan untuk harta dengan masa manfaat 3 tahun sisa harga
buku masih ada setelah masa manfaatnya adalah 12,5% dari
harga perolehan.
Demikian juga untuk harta berwujud golongan 2 dan
golongan 3. Semakin pendek masa manfaat yang sebenarnya
dari harta dalam suatu golongan, maka sisa harga buku
harta yang bersangkutan setelah masa manfaat akan semakin
besar. Dengan perhitungan yang sama, untuk harta berwujud
golongan 2, tarif 25% dari sisa harga buku, harta dengan
masa manfaat yang sebenarnya 5, 6, 7, dan 8 tahun, sisa
harga buku pada akhir masa manfaat yang sebenarnya mas-
ing-masing harta tadi berturut-turut adalah 23,73%,
17,8%, dan 10,01% dari harga perolehan.
Sisa harga buku yang masih ada tersebut akan dibe-
bankan terus pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini disbe-
ukur. Namun dengan rumus: Dn = a[l - rn ]/[l - r]
dengan Dn : jumlah penyusutan sampai tahun ke n
a : penyusutan tahun pertama
r : rasio perbandingan penyusutan tahun ke n
dengan penyusutan tahun ke n-1, (dalam hal
ini sama dengan 1 dikurangi tarif penyusutan)
n : tahun ke 1, 2, 3 dan selanjutnya.
dan asumsi harta tidak ditarik, maka dapat dihi-
tung sampai kapan harta akan disusutkan. Dengan rumus
tersebut harta golongan 1 penyusutan sampai tahun ke-8
mencapai 99,61%, golongan 2 penyusutan sampai tahun ke-16
menoapai 98,99%, dan golongan 3 penyusutan sampai tahun
ke-40 mencapai 98,52%. Jadi harta dengan masa manfaat 2
tahun, pada tahun ketiga, keempat dan seterusnya masih
akan membebankan penyusutan atas harta tersebut. Sama
juga untuk harta dengan masa manfaat 3 dan 4 tahun, dan
harta golongan 2 dan golongan 3.
Dari lanjutan oontoh 4 pada halaman 114, harga buku
harta yang dijual Rp 4.500.000,00 sedangkan penerimaan
netonya Rp 2.500.000,00. Dalam hal terjadi penarikan
sebab biasa, kelihatannya harta masih terus disusutkan,
karena yang dikurangkan bukan siisa harga buku, tetapi
penerimaan neto penjualan. Harga buku harta yang masih
dipakai Rp 22.500.000,00 tetapi dasar penyusutan harta
adalah Rp 24.500.000,00. Nilai lebih Rp 2.000.000,00
dilakukan atas nilai Rp 2.000.000,00 adalah penyusutan
atas kerugian.
Pembebanan penyusutan suatu harta setelah masa
manfaat yang ditaksir, memang dapat diterima, jika harga
buku dari dasar penyusutan masih ada dan harta juga masih
digunakan. Akan tetapi, hal ini tidak mendorong proses
industrialisasi.
Untuk mendorong proses industrialisasi, penyusutan
fiskal sebaiknya WP dapat segera membebankan seluruh
harga perolehan aktiva tetap sebelum masa manfaatnya
habis, seperti halnya metode MACRS di Amerika Serikat,
bukan membebankan harga perolehan dalam jangka waktu yang
terlalu lama. Paling tidak jangka waktu penyusutan atas
suatu harta dibatasi dalam waktu tertentu. Konsekuensinya
haruslah mengubah metode penyusutan yang diatur oleh PPh
1994, khususnya metode saldo menurun secara seimbang yang
diterapkan untuk harta berwujud golongan bukan bangunan.
Harta tak berwujud digolongkan seperti harta berwu
jud golongan bukan bangunan, tetapi jangka waktu penyusu-
tannya berbeda. Harta tak berwujud diamortisasi sesuai
masa manfaat. Sebagai ilustrasi, bulan Oktober 1993 PT
ABC menyewa gedung dengan untuk 3 tahun (golongan 1)
sampai September 1996. Pembebanan amortisasinya adalah
sebagai berikut.
Tahun Jumlah Awal Penvusutan Sisa harga buku
1994 50% 50% x 50% = 25% 50% - 25% = 25%
1995 25% 50% x 25% = 12,5% 25% - 12,5% = 12,5%
1995 12,5% 12,5%
Jadi tidak ada harga buku yang tersisa pada waktu
masanya habis. Hal ini disebabkan pada waktu penarikan
baik karena sebab biasa maupun luar biasa, dasar penyusu
tan harta tak berwujud dikurangi dengan sisa harga bukun-
ya.
Penyusutan harta berwujud golongan bukan bangunan
seperti di atas berbeda sekali dengan akuntansi. Menurut
akuntansi, dasar penyusutan pasti akan habis dibebankan
selama masa manfaat. Sisa harga buku pada akhir masa
manfaat kemungkinan ada, tetapi hal tersebut memang telah
diperkirakan pada awal pemakaian.
Selanjutnya tentang awal pembebanan, akuntansi
membebankan penyusutan bersamaan dengan awal pemakaian
aktiva. Hal ini berkaitan dengan konsep matching cost
against revenue. Jadi meskipun aktiva telah dibeli tetapi
belum digunakan, maka pembebanan juga belum dilakukan.
Sedang PPh 1994 mengatur bahwa pembebanan penyusutan
dimulai pada saat pengeluaran dilakukan. Dengan pengecua-
lian untuk harta yang masih dalam proses, pembebanan
dilakukan setelah harta yang dimaksudkan selesai penger-
jaannya, dan untuk harta yang disewa-guna-usahakan. Harta