• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa dasar penyu­

sutan merupakan jumlah yang akan digunakan untuk menetap-

kan jmlah beban penyusutan dalam tahun tertentu. Dasar

penyusutan di sini dapat berupa harga buku untuk harta

golongan 1, golongan 2, golongan 3, dan golongan 4 bisa

juga berupa harga perolehan, yaitu khusus untuk golongan

bangunan.

Dasar penyusutan meskipun berupa harga buku, hal ini

tidak dapat lepas dari penentuan harga perolehan pada

saat pembelian. Demikian halnya dengan dasar penyusutan

berupa harga perolehan. Berikut ini diuraikan penetapan

harga perolehan dari berbagai oara perolehan.

a. Harta Berwujud yang Diperoleh dari Penbelian

UU PPh 1984 pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa harga

perolehan adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan,

tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai biaya-biaya

diluar harga harta yang bersangkutan.

Masalahnya bagaimana dengan biaya-biaya lain yang

dikeluarkan agar harta benar-benar siap digunakan, nis-

alnya biaya pengangkutan, bea masuk, biaya pemasangan,

PPn BM, PPN masukan yang tidak dapat dikreditkan. Apakah

biaya-biaya tersebut akan dikapitalisasi atau dibebankan

langsung pada tahun terjadinya.

Dan bagaimana halnya dengan pembelian secara tidak

kontan atau cicilan. Apakah bunga yang dibayarkan dikapi­

talisasi atau dibebankan langsung pada tahun terjadinya

pembayaran.

b. Harta Berwujud yang Dibangun Sendiri

Perolehan harta dengan cara ini tidak disebutkan

oleh UU PPh 1994, tetapi cara perolehan ini dapat dida-

sarkan pada pasal 10 ayat 1 UU PPh 1994 juga. Jadi harga

perolehan meliputi seluruh jumlah yang dikeluarkan.

Masalah yang timbul di sini adalah bagaimana perla­

kuan biaya, bunga pinjaman yang digunakan untuk membangun

harta tadi. Apakah mengikuti ketentuan akuntansi yang

apabila syarat-syarat tertentu dipenuhi, biaya bunga atas

pinjaman boleh dikapitalisasi, ataukah langsung dibeban­

kan seperti halnya biaya bunga lain.

c. Harta yang Diperoleh dari Pertukaran

Perolehan dengan cara ini disinggung dalam penjela-

san pasal 10 ayat 2 UU PPh 1994. Dalam penjelasan terse­

but dicontohkan mengenai pertukaran harta, yang harga

menjadi harga perolehan dan juga menjadi pengurang untuk

menetapkan dasar penyusutan, jika harta yang ditukar

harta golongan bukan bangunan.

Masalahnya bagaimana bila terjadi pertukaran harta

yang harga pasarnya tidak seimbang dan melibatkan uang.

Jumlah mana akan dicatat sebagai harga perolehan harta

baru dan jumlah mana akan digunakan sebagai pengurang

untuk menentukan dasar penyusutan, dan bagaimana pula

untuk pertukaran bangunan.

d. Pembelian Harta Secara Kelonpok

Perolehan yang dilakukan dengan cara membeli seke­

lompok harta, sejauh pengetahuan penyusun belum ada

ketentuan PPh 1994 yang mengaturnya. Sebagai contoh,

harga perolehan secara individual dari sekelompok harta

jika ditotal adalah Rp500 juta. akan tetapi, jika seke­

lompok harta tersebut dibeli sekaligus harganya hanya

Rp450 juta.

Masalahnya bagaimana mencatat perolehan harta terse­

but, bila dibeli secara kelompok dan harta tersebut

berlain-lainan golongannya atau bahkan dari sekelompom

harta tadi terdapat harta yang tidak boleh disusutkan.

e. Perolehan Harta dengan Sena Guna Usaha

Sewa guna usaha atau leasing secara khusus diatur

dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMR. 01/1991.

Keputusan tersebut mulai berlaku tanggal 19 Januari 1991.

48/KMK. 013/1991, karena ketentuan ini sudah tidak berla-

ku lagi, pembahasan selanjutnya akan mengacu pada keten­

tuan yang masih berlaku, yaitu Keputusan Menteri Keuangan

Nomor 1169/KMK. 10/1991.

Leasing menurut PPh 1994 dibagi menjadi dua jenis,

yaitu leasing dengan hak opsi (finance lease) dan tanpa

hak opsi (operating lease). Dalam pasal 13 Keputusan

Menteri Keuangan tersebut disebutkan bahwa perlakuan

akuntansi leasing dilaksanakan sesuai dengan standar

akuntansi leasing yang ada di Indonesia. Dan syarat

-syarat yang harus dipenuhi apakah suatu transaksi akan

dikelompokkan sebagai transaksi finance/capital lease

yang diatur dalam pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan

tersebut, juga hampir sama dengan syarat-syarat yang

ditentukan dalam akuntansi, seperti yang telah diuraikan

sebelumnya. Hanya syarat bahwa masa leasing minimum 2

tahun, oleh PPh 1994 dibedakan bahwa untuk golongan 1

minimum 2 tahun, golngan 2 dan 3 minimum 3 tahun, dan

golongan bangunan minimum 7 tahun. Syarat yang lain,

jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna

usaha pertama dan ditambah nilai sisa barang modal harus

dapat menutup harga perolehan dan keuntungan lessor, dan

perjanjian mengatur mengenai opsi bagi lessee.

Di samping itu persyaratan untuk operating lease

juga disebutkan secara jelas dalam pasal 4, yaitu jumlah

pertama tidak dapat menutup harga perolehan barang modal

dan keuntungan lessor dan perjanjian tidak mengatur opsi

bagi lessee.

Namun, perlakuan mengenai pembebanan penyusutan

menurut PPh 1994 diatur berbeda dengan akuntansi, yaitu

diatur dalam pasal 14 dan 16 Keputusan Menteri tersebut

sebagai berikut.

Untuk finance lease:

a. Lessor tidak boleh melakukan penyusutan harta yang

bersangkutan.

b. Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas harta

yang bersangkutan selama masa leasing.

c. Setelah lessee menggunakan hak opsinya untuk membeli

harta yang bersangutan, lessee baru melakukan penyu­

sutan dengan dasar penyusutannya adalah nilai sisa

(residual value) harta tersebut, yang telah disepa-

kati oleh lessor dan lessee pada awal perjanjian

leasing.

d. Pembayaran leasing yang telah dibayar atau terhutang

oleh lessee, kecuali pembebanan atas tanah, dapat

dikurangkan dari penghasilan bruto sebagai biaya.

Untuk operating lease:

Operating lease ini tidak lain dengan sewa-menyewa biasa.

a. Lessor melakukan penyusutan sesuai pasal 10 UU PPh

1994.

guna usaha sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari

penghasilan bruto.

Masalahnya di sini dalam hal leasing jenis finance

lease, siapakah yang menyusutkan harta tersebut, atau

apakah harta yang disewa-guna-usahakan jenis finance

lease memang tidak disusutkan baik oleh lessor maupun

lessee.

Selain cara-cara perolehan seperti di atas, sejalan

dengan perkembangan dunia usaha ada pula cara perolehan

harta berwujud yang lain dari yang telah diuraikan di

atas, yaitu ruilslag. Euilslag mu1anya merupakan pertu­

karan persil (tanah) dengan persil juga. Akan tetapi pada

akhirnya berkembang menjadi pertukaran tanah dengan

sekelompok harta misal tanah (di lokasi yang baru/lain)

ditambah gedung di atas tanah yang baru dan peralatan

lain.

f. Perolehan Harta Tak Berwujud

Disebutkan dalam pasal 10 UU PPh 1994, bahwa harga

perolehan harta tak berwujud dan biaya lain yang mempun­

yai masa manfaat lebih dari setahun diamortisasi sesuai

dengan golongannya. Karena di depan telah disebutkan

bahwa harta berwujud dan tak berwujud berlaku prinsip

yang sama, maka harga perolehan ini juga sama yaitu

jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan.

Termasuk dalam golongan harta tak berwujud ini

biaya penelitian dan pengembangan. Akhir-akhir ini sedang

hangat mengenai perjanjian build, operate and transfer

(BOT), yaitu perjanjian antara dua pihak, pihak pertama

sanggup menyediakan tanah dan pihak kedua bersedia mem-

bangun sarana gedung dan lain-lain di atas tanah milik

pihak pertama, kemudian pihak kedua mengelolanya dalam

jangka waktu tertentu sesuai perjanjian, setelah jangka

waktu habis, pihak kedua menyerahkan gedung dan sarana

lain tersebut sesuai dengan perjanjian kepada pihak

pertama. Sedang tanah dari semula adalah milik pihak

pertama dan hak atas tanah tidak berpindah. Jadi kepemil-

ikan pihak kedua atas harta yang dibangunnya bersifat

sementara.

Masalahnya bagaimana penyusutan atau amortisasi yang

dilakukan. Apakah pihak kedua akan menyusutkan sarana

gedung dan lain-lainnya sesuai golongannya secara indi­

vidual, ataukah BOT dianggap sebagai satu pos harta tak

berwujud. Apakah pihak pertama juga melakukan penyusutan.

Oi samping itu masih ada pula perjanjian BOO yaitu

Build, Operate and Own. Dengan BOO sarana yang dibangun

tetap dimiliki dan dioperasikan oleh yang membangun,

selama tidak dialihkan kepada pihak lain. Masalahnya,

bagaimana pula perlakuan penyusutan dan amortisasinya.

Dasar penyusutan menurut PPh 1994 hanya dipengaruhi

oleh harga perolehan, karena tidak dikenal adanya nilai

ini dimaksudkan sebagai insentif bagi wajib pajak, bahwa

seluruh pengeluaran, asal tetap merupakan biaya untuk

mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, maka

pengeluaran tersebut boleh dikurangkan dari penghasilan

bruto. Dasar penyusutan menurut PPh 1994 selanjutnya

diuraikan pada sub bab Tarif, Dasar dan Metode Penyusu­

tan .

2.1.2.3. Pengelojipokan Harta vang__

Disusutkan_daa

Jangka Waktu Penyusutan.

a. Pengelompokan Harta yang Disusutkan

PPh 1994 menentukan harta yang disusutkan dan dia­

mortisasi menjadi empat golongan, yang didasarkan pada

jangka waktu kegunaan harta. Pengelompokan ini diatur

dalam pasal 11 ayat 6 UU PPh 1994, yaitu sebagai berikut.

a. Golongan 1, meliputi harta bukan bangunan, yang

mempunyai masa manfaat lebih dari setahun tetapi

tidak lebih dari 4 tahun.

b. Golongan 2, mencakup harta bukan bangunan, yang

memiliki masa manfaat lebih dari 4 tahun, tetapi

tidak lebih dari 8 tahun.

c. Golongan 3, yaitu harta golongan bukan bangunan,

yang memiliki masa manfaat lebih dari 8 tahun,

tetapi tidak lebih dari 16 tahun.

d. Golongan 4, yang mencakup harta bukan bangunan yang

20 tahun.

e. golongan bangunan yang meliputi :

Permanen : masa manfaatnya sampai "20 tahun

Tidak permanen : masa manfaatnya tidak lebih dari

10 tahun

Selanjutnya untuk menentukan suatu harta akan digo-

longkan sebagai golongan 1, golongan 2 atau golongan

lainnya, diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor

961/KMK. 04/1983, yang kemudian disempurnakan dengan

Keputusan Menteri Keuangan No. 826/KMK. 04/1984.

b. Jangka Waktu Penyusutan

Golongan harta seperti di atas akan memasukkan harta

yang mempunyai masa manfaat yang berbeda-beda dalam satu

golongan. Yang akibatnya harta dengan masa manfaat yang

berbeda disusutkan dalam jangka waktu yang sama. Sabagai

misal harta golongan 2, harta yang mempunyai masa manfaat

5, 6, 7, atau 8 tahun secara jelas akan masuk dalam

golongan ini. Menurut logika, harta yang mempunyai masa

manfaat 5 tahun seharusnya disusutkan dalam jangka waktu

5 tahun, demikian juga untuk harta dengan masa manfaat 8

tahun akan disusutkan selama 6 tahun.

Akan tetapi masalahnya menurut PPh 1994, harta-harta

tersebut dianggap memiliki masa manfaat yang sama yaitu

memiliki masa manfaat paling lama 8 tahun. Namun, jangka

8 tahun, tetapi sampai batas waktu tak terhingga a w .

sampai harta yang bersangkutan ditarik dari pemakaian.

Kemudian bagaimana dengan masa manfaat harta tak berwujud

yang telah jelas, misal pembayaran sewa di muka untuk 5

tahun.

selanjutnya, PP no. 42 Tahun 1985 pasal 3 ayat 1

menentukan saat dimulaimya dilakukan penyusutan dan

amortisasi adalah pada tahun pengeluaran, dengan perke-

cualian sebagai berikut:

a. untuk harta yang masih dalam pengerjaan penyusutan

dan amortisasi dimulai setelah harta selesai penger-

jaannya,

b. untuk harta yang disewa-guna-usahakan penyusutan

dimulai pada tahun harta yang bersangkutan disewa-

guna-usahakan. .

Jadi penyusutan dan amortisasi tidak dilakukan pada

waktu harta yang bersangkutan digunakan. Dan itupun

dilakukan untuk 1 tahun penuh, tanpa melihat kapan dimu-

lainya penggunaan, jadi tidak ada penyusutan dengan

pecahan tahun, misal 6 bulan.

Suatu harta yang sama jenisnya, karena dipakai untuk

usaha yang berbeda sehingga frekuensi pemakaiannya juga

berbeda, dengan hal tersebut tentunya taksiran masa

manfaat juga akan berbeda. Namun menurut PPh 1994 suatu t harta pengelompokannya harus nengikuti Keputusan Menteri

tentang penentuan jenis-jenis harta dalasi golongan.

2.1.2.4. Tarif, Dasar. dan Metode Penyusutan.

a. Tarif Penyusutan

Tarif penyusutan harta menurut perpajakan diatur

dalam pasal 11 ayat 6 UU PPh 1894, yaitu sebagai berikut.

Golongan Tarif penyusutan

garis lurus saldo menurun

Bukan bangunan Golongan 1 25% 50% Golongan 2 12.5% 25% Golongan 3 6.25% 12.5% Golongan 4 5% 10% Bangunan. Permanen 5% Tidak permanen 10%

Perpajakan tidak memberikan alternatif tarif penyusutan

yang lain bagi manajemen selain tarif penyusutan seperti

yang telah disebutkan di atas.

b. Dasar Penyusutan

Pada sub bab terdahulu telah disinggung bahwa dasar

penyusutan menurut perpajakan ada yang berupa harga buku,

dan ada pula yang berupa harga perolehan. Dasar penyusu­

tan berupa harga buku diatur dalam pasal 11 ayat 4, 5, 8

UU PPh 1994 dan pasal 3 ayat 4 PP No. 42 Tahun 1985, yang

mana dasar penyusutan berupa harga buku ini diterapkan

untuk harta berwujud golongan bukan bangunan dan harta

Dasar penyusutan dari masing-masing harta berwujud

golongan bukan bangunan dan harta tidak berwujud suatu

tahun pajak sama dengan dasar penyusutan tahun sebelumnya

dikurangi penyusutan tahun sebelumnya, ditambah dengan

penambahan dan dikurangi dengan pengurangan yang diperbo­

lehkan peraturan.

Pengurangan yang dimaksud menurut UU PPh 1994 terse­

but adalah pengurangan karena penarikan harta. Penguran­

gan karena sebab biasa (dijual atau ditukar) adalah

sebesar harga pasarnya. Pengurangan karena penarikan

sebab luar biasa (kar.ena musibah) atau disumbangkan atau

dihibahkan atau diwariskan adalah sebesar sisa harga

buku. Sedang untuk harta tak berwujud, pengurangan selalu

berupa harga buku.

Dasar penyusutan berupa harga perolehan diatur dalam

pasal 11 ayat 4 dan 6 UU PPh 1994 dan pasal 3 ayat 5 PP

No. 42 Tahun 1985, yang mana dasar penyusutan ini diter­

apkan untuk harta golongan bangunan dan harta tak gerak

lainnya. Dasar penyusutan harta golongan bangunan untuk

suatu tahun pajak adalah dasar penyusutan tahun lalu

yaitu sebesar harga perolehan, bila tidak terjadi penam­

bahan atau pengurangan. Pengurangan untuk harta bangunan

selalu berupa harga perolehan, tanpa melihat sebab penar­

ikan.

penetapan dasar penyusutan di sini dapat berupa pembelian

harta baru, perbaikan-perbaikan yang dapat menambah

kapasitas atau yang menambah umur harta yang lama. Penam­

bahan dicatat selalu dengan harga perolehan atau penge­

luaran yang sesungguhnya, tanpa melihat golongan harta.

c. Metode Penyusutan

Dari uraian-uraian di atas sebenarnya telah dapat

menggambarkan metode penyusutan dan amortisasi menurut

perpajakan. Namun, untuk lebih jelasnya berikut ini akan

diuraikan mengenai hal tersebut.

Metode-metode penyusutan dan amortisasi yang diakui

menurut perpajakan adalah sebagai berikut.

Metode penyusutan, ada dua metode yaitu:

a. Metode saldo menurun secara berimbang (declining

balance), yang diperuntukkan bagi harta golongan

bukan bangunan.

b. Metode garis lurus, untuk harta golongan bangunan

dan bukan bangunan.

Metode amortisasi, ada dua metode yaitu:

a. Metode menurun secara berimbang (declining balance)

dan metode garis lurus (straight line) untuk harta

tak berwujud sesuai dengan golongan masa manfaatn­

ya.

b. Metode satuan produksi, untuk hak penambangan dan

hak pengusahaan hutan.

amortisasi yang digunakan untuk mengalokasikan harga

perolehan harta berwujud dan harta tak berwujud adalah

metode declining balance dan metode straight line, masa-

lahnya apakah metode-metode tersebut mempunyai pengertian

yang sama dengan metode declining balance dan metode

straight line dalam akuntansi atau ada perbedaannya.

2.1.2-5-Laba Rqgj Penarikan. Ketentuan PPh 1994

tentang penarikan harta dituangkan dalam pasal 11 ayat 7

UU PPh 1994. Terdapat dua jenis penarikan dalam PPh 1984.

Yaitu penarikan dengan sebab luar biasa, penarikan karena

sebab biasa. Namun, untuk pengakuan laba rugi penarikan,

terdapat penarikan jenis lain yang tidak disebutkan dalam

ketentuan tersebut, yaitu penarikan karena disumbangkan

atau diwariskan atau dihibahkan.

Penarikan karena sebab luar biasa adalah penarikan

harta yang disebabkan adanya bencana atau musibah yang

menimpa harta yang bersangkutan, sehingga tidak dapat

digunakan lagi. Penghentian sebagian besar usaha karena

sebab diluar kekuasaan manajemen termasuk dalam kategori

penarikan ini.

Sedangkan penarikan karena sebab biasa adalah penar­

ikan yang dikarenakan oleh sebab di luar penyebab penari­

kan luar biasa, misalnya dijual atau ditukar dengan harta

milik perusahaan lain.

dihibahkan, untuk penetapan dasar penyusutannya termasuk

kategori atau sama dengan penarikan sebab luar biasa,

tetapi untuk pegakuan laba rugi penarikannya berbeda.

Pengakuan laba atau rugi masing-masing jenis penarikan

tersebut diuraikan di bawah ini.