lessor maupun lessee tidak boleh melakukan penyusutan/
4. Dasar Penyusutan Pertukaran Harta
Dari cara pencatatan harta yang diperoleh dari
pertukaran yang berbeda antara akuntansi dengan perpaja
kan, hal ini akan mengakibatkan dasar penyusutan yang
berbeda pula. Menurut akuntansi, pertukaran aktiva tidak
sejenis selalu mengakibatkan dasar penyusutan berubah
dengan harga perolehan aktiva yang baru. Pertukaran
sejenis akan mengakibatkan dasar penyusutan berubah jika
harga wajar aktiva lama lebih kecil dari harga bukunya.
bukunya, dasar penyusutan tidak berubah. Pertukaran
dengan menyerahkan uang, tentu saja dasar penyusutan akan
berubah, paling tidak sejiimlah uang yang diserahkan,
apakah menambah pada harga buku atau harga wajar mana
yang lebih rendah.
Menurut PPh 1994, bila harta tersebut merupakan
harta berwujud golongan bukan bangunan dan harga wajar
harta yang dipertukarkan sama, maka harga perolehan akan
selalu berubah, tetapi dasar penyusutan tidak akan beru
bah. Hal ini disebabkan harga dasar penyusutan tidak akan
berubah. Hal ini disebabkan harga yang seharusnya dike-
luarkan untuk memperoleh harta yang baru sekaligus ber-
fungsi sebagai pengurang (penerimaan neto) untuk peneta-
pan dasar penyusutan.
Hal di atas dap.at dijelaskan dengan contoh 1, pada
bab II halaman 19, dari pertukaran tersebut harga perole
han harta yang baru adalah harga wajar harta, yaitu untuk
(a) sebesar Rp 2.500.000,00 atau Rp 1.000.000,00 untuk
(b). Jumlah ini sekaligus menjadi pengurang (sebagai
penerimaan neto penjualan) untuk penetapan dasar penyusu
tan. Dengan demikian dasar penyusutan akan tetap yaitu
sebesar harga buku yang lama.
Misal jumlah awal tahun ini atas golongan harta yang
bersangkutan Rp 50.000.000,00, maka dasar penyusutan
adalah:
Penambahan 2.500.000,00 1.000.000,00
Pengurangan 12-5QD.QQQ.Q0^______ Cl. OOfl^QOO^QQ )
Dasar Penyusutan Rp_5Q.0QJ_,Q0(LQ0____ Rp 50.000.000.00
Menurut akuntansi, pertukaran sejenis aktiva baru
dicatat sebesar harga wajar atau harga buku mana yang
lebih rendah. Contoh 1 (a) aktiva baru dicatat sebesar Rp
2.000.000.00 (harga buku lebih rendah dari harga wajar Rp
2.500.000.00). Dan dalam contoh 1 (b), aktiva dicatat
sebesar Rp 1.000.000,00 (harga pasar lebih rendah dari
harga buku Rp 2.000.000,00).
Menurut akuntansi dalam contoh 1 (pada halaman 19),
pertukaran tersebut merupakan pertukaran sejenis. Asumsi
akuntansi juga menggunakan metode penyusutan saldo menu-
run (dasar penyusutan adalah harga buku) dan pertukaran
terjadi pada awal tahun. Dasar penyusutan tahun tersebut
sebagai berikut.
I r&ns&k si .(a.)__________ I:ransa.ksi _f.b^
Jumlah Awal (Harga Buku) : Rp 50.000.000,00 Rp 50.000.000,00
Penambahan : 2.500.000,00 1.000.000,00
Pengurangan (Harga Buku)
- Harga Perolehan (10.000.000,00) (10.000.000,00)
- Akumulasi Penyusutan : 8.000.000.00________ 8 .000.nnn.nn
Dasar Penyusutan : Rp 50.000.OOP..00 ... Rp 49.000.000.00
Pertukaran harta golongan bukan bangunan bila harga
wajar tidak sama, dapat dijelaskan dari contoh 2 pada bab
XI halaman 20. Penetapan dasar penyusutan bagi pihak I,harga perolehan harta yang baru adalah harga wajar dari
pihak II yaitu Rp 7.500.000,00 untuk (a) atau Rp
6.000.000,00 untuk (b). Sedang pengurangnya adalah harga
wajar harta milik pihak I sendiri.
menurut PPh 1994 dasar penyusutan berbah sebesar
uang kas yang diserahkan yaitu Rp 5.000.000,00.
Transaksi. (,a)_________Transaksi Xb)
Jumlah Awal Rp 50.000.000,00 Rp 50.000.000,00Penambahan 7.500.000,00 6.000.000,00
Pengurangan L 2.500. QQQ. 001______ U. J3Q0 ._Q0J3 .00
Dasar PenvusutanRp_ 55.QQQ J3QQ_.00 _ Rp _5_5^Q0Q .000, 00
Menurut akuntansi dengan oara asumsi yang sama
dengan contoh 1, contoh 2 (pada halaman 20) dasar penyu
sutan menurut akuntansi tahun tersebut adalah sebagai
berikut.
Xrans-aksi (a) Transaksi (b)
Jumlah Awal (Harga Buku) : Rp 50.000.000 Rp 50.000.000
Penambahan : 7.000.000 6.000.000
Pengurangan (Harga Buku)
- Harga Perolehan - Akumulasi Penyusutan Dasar Penyusutan (10.000.000) (10.000.000) B-QQ.Q.QQQ ' 8 .QQQ.QQQ Rp_55._00Q.Q00 Rp_ 54. QQQ. 000
Aktiva yang baru dalam hal ini dicatat sebesar harga
uang kertas yang diserahkan (Rp 5.000.000,00).
Lain halnya dengan harta berwujud golongan bangunan, bila
terjadi pertukaran harta golongan ini, menurut PPh 1994
dasar p e n y u s u t a n yang lama akan berubah dengan yang baru
dan mengurangi dengan harga perolehan harta yang lama.
Sebagai ilustrasi pertukaran bangunan, PT KLM menu-
kar bangunan yang harga perolehannya Rp 25.000.000,00 dan
akumulasi penyusutan Rp 20.000.000,00, harga wajarnya Rp
7.500.000,00 dengan bangunan PT XYZ yang harga wajarnya
Rp 9.000.000,00. Untuk pertukaran ini PT KLM menambah
uang Rp 1.500.000,00 di samping bangunan -yang lama.
Asumsi jumlah seluruh harga perolehan harta golongan
bangunan PT KLM adalah Rp 75.000.000,00. Dasar penyusutan
menurut PPh 1994 dihitung sebagai berikut.
Jumlah Awal (Harga Perolehan) : Rp 75.000.000,00
Penambahan (Bangunan Baru) : 9.000.000,00
Pengurangan (Harga Perolehan) : (25.000.000.00^
Dasar Penyusutan 59.000.000.00
Menurut akuntansi, bila pertukaran tersebut merupa
kan pertukaran tidak sejenis, bangunan yang baru dicatat
sebesar harga wajar bangunan lama ditambah uang yang
diserahkan, dan bangunan yang lama dikeluarkan dari
catatan. Dengan demikian dasar penyusutan menurut akun
tansi akan sama dengan PPh 1994.
Sedangkan bila pertukaran tersebut merupakan pertu
buku (karena lebih rendah daripada harga wajar) ditambah
uang yang diserahkan. Dan bangunan lama dikeluarkan dari
catatan. Jadi dasar penyusutan menurut akuntansi adalah :
Jumlah Awal (Harga Perolehan) : Rp 75.000.000,00
Penambahan (Bangunan Baru) : 6.500.000,00
Pengurangan (Harga Perolehan) : (25.000.000.001
Dasar Penyusutan : 58.500.000.00
Untuk pertukaran aktiva, akuntansi tidak membedakan
antara aktiva bangunan atau bukan bangunan. Artinya jika
terjadi pertukaran bangunan, hal ini juga harus dilihat
apakah pertukaran tersebut sejenis atau tidak, melibatkan
uang atau tidak, jika melibatkan uang apakah menerima
atau menyerahkan, seperti halnya pertukaran aktiva bukan
bangunan.
Kemudian bagaimana bila terjadi pertukaran sekelom-
pok harta dengan sekelompok harta juga. Hal ini sama saja
dengan uraian di atas. Menurut akuntansi harus dilihat
apakah sekelompok harta tersebut sejenis atau tidak. Dan
menurut PPh 1994, sekelompok harta tersebut harus diper-
lakukan sebagai penjualan kemudian melakukan pembelian.
Dan untuk keperluan penetapan dasar penyusutan maka
diperlukan pengalokasian harga wajar harta masing-masing
golongan baik untuk harta yang diterima maupun yang
diserahkan. Harga wajar harta yang diserahkan ini diper
lukan sebagai pengurang untuk penetapan dasar penyusutan
Di depan telah dikemukakan bahwa kadang-kadang sulit
untuk menggolongkan apakah suatu pos merupakan harta
berwujud atau tidak berwujud hal ini disebabkan pos
tersebut dapat saja terdiri dari gabungan keduanya atau
karena alasan lain. Berikut ini akan dibahas jenis harta
tersebut.
Pertama mengenai biaya penelitian dan pengembangan
atau litbang. Akuntansi dan perpajakan memang sepakat
bahwa biaya-biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari
setahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau
amortisasi. Termasuk dalam kategori biaya di sini antara
lain biaya litbang, karena hasil dari litbang akan dinik-
mati oleh periode-periode di masa yang akan datang.
Mengenai biaya litbang PPh 1984 telah mengaturnya dalam
Keputusan Menteri Keuangan No. 769/KMK. 04/1990, yang
telah diterangkan dalam Bab II.
Bila dibandingkan antara PPh 1984 dengan statement
yang dikeluarkan FASB, yang telah dikemukakan dalam bab
II, hampir sama. Menurut FASB biaya litbang dibebankan
pada saat terjadinya atau incurred. Perbedaan terletak
pada biaya-biaya yang khusus hanya dapat digunakan untuk
penelitian dan pengembangan, meskipun mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun, menurut FASB, pembebanan
biaya tersebut dilakukan sekaligus, tidak melalui penyu
laboratorium yang mempunyai umur tiga tahun, tetapi
karena hanya dapat digunakan untuk keperluan litbang,
maka pengeluaran atas peralatan tersebut untuk keperluan
litbang, maka pengeluaran atas peralatan tersebut dibe-
bankan sekaligus, tidak melalui penyusutan seperti halnya
PPh 1994.
Selanjutnya mengenai BOT, dalam hal ini biaya untuk
membangun sarana yang akan dioperasikan dikeluarkan oleh
pihak pembangun yang juga sekaligus sebagai pengoperasi
sebelum dialihkan. Oleh karena itu, biaya tersebut dapat
dianggap sebagai biaya yang mempunyai masa manfaat yang
terbatas. Masalahnya apakah biaya tersebut akan dikate-
gorikan sebagai harta tak berwujud ataukah sebagai harta
berwujud. Dianggap sebagai harta tak berwujud, karena
pengeluaran tersebut mirip dengan biaya yang dikeluarkan
untuk menyewa lokasi tempat berdirinya bangunan dan
sarana lain yang dibangun, yang pada waktunya bangunan
dan sarana lain tadi akan diserahkan kepada pihak penye-
dia lokasi. Jika biaya tersebut dikategorikan sebagai
harta tak berwujud, metode pembebanannya harus sesuai
dengan golongan harta tak berwujud, dan dalam hal ini
hanya ada satu rekening atas pengeluaran tersebut.
Lain dari hal di atas, pengeluaran untuk BOT dapat
juga dianggap sebagai harta berwujud. Hal ini karena
sebelum diserahkan pada waktunya, harta yang dibangun dan
demikian, maka atas pengeluaran tersebut disusutkan
sesuai dengan golongan masing-masing harta yang di-BOT-
k a n . Jadi ada lebih dari satu rekening dan mungkin juga
beberapa golongan harta.
Kedua perlakuan penyusutan terhadap pengeluaran
untuk BOT dapat diterapkan. Memang antara keduanya ke-
mungkinan ada perbedaan waktu pengakuan biaya
penyusutan/amortisasi bila harta-harta berwujud yang di-
BOT-kan berlainan golongan dengan harta tak berwujud yang
ditentukan dengan masa pengelolaan.
Dari perjanjian antara pembangun dengan penyedia
lokasi, kemungkinan atas pengelolaan harta yang dibangun,
pihak penyedia lokasi juga berhak mendapatkan bagian
keuntungan sebelum harta diserahkan. Namun, untuk keper-
luan penyusutan, hanya pihak pembangunlah yang boleh
membebankan biaya pehyusutan atau amortisasi atas penge
luaran untuk pembangunan. Pihak penyedia lokasi tidak
boleh membebankan penyusutan, meskipun pihaknya mempero-
leh keuntungan dari pengelolaan sarana yang dibangun,
karena memang pihak penyedia lokasi tidak mengeluarkan
biaya berupa materi atau uang.
Jumlah yang digunakan sebagai dasar penyusutan atau
amortisasi atas harta BOT sama dengan perolehan biasa,
yaitu seluruh jumlah yang- sesungguhnya dikeluarkan. Dan
pihak pembangun berhak membebankan seluruh pengeluaran
semata-mata karena keterbatasan waktu. Penarikan harta yang
terjadi karena keterbatasan waktu ini hanya terjadi pada
harta tak berwujud, yang seluruh sisa harga buku diku-
rangkan dari jumlah awal untuk menetapkan dasar penyusu
tannya. Dan jumlah sisa harga buku tersebut diakui seba
gai kerugian, sehingga pada waktu diserahkan seluruh
pengeluaran telah dibebankan seluruhnya.
Dari uraian di atas, meskipun pengakuan penyusutan,
harta BOT dapat dianggap sebagai harta berwujud maupun
tak berwujud, tetapi dengan memperhatikan penarikan pada
waktu penyerahan, BOT lebih cocok dikategorikan sebagai
harta tak berwujud. Jika dikategorikan sebagai harta
berwujud, akan timbul kesulitan tentang perlakuan sisa
harga buku harta pada waktu penyerahan.
Ketentuan yang mengatur mengenai BOT ini sampai
sekarang juga belum ada seperti halnya tentang ruilslag.
Seandainya harta BOT ini kemudian ditentukan bahwa pembe
banan penyusutannya mengikuti penyusutan harta berwujud,
hal yang perlu diatur secara khusus adalah mengenai
perlakuan sisa harga buku yang masih ada pada waktu
penyerahan. Sebaiknya sisa harga buku ini diperlakukan
seperti halnya penarikan harta tak berwujud yang terbatas
masa manfaatnya. Dengan demikian tidak ada perbedaan
apakah akan diperlakukan sebagai harta berwujud ataupun
sebagai harta tak berwujud.
bahwa jangka waktu pengoperasian cukup untuk membebankan
sebagian besar pengeluaran, jika ada sisa harga bukupun
tidak terlalu besar. Adanya sisa harga buku yang cukup
besar, hal ini tentu pihak pembangun kurang memperhitung-
kan aspek perpajakan. Dan hal ini, menurut penyusun,
kemungkinannya sangat kecil.
Sebagai ilustr&si, PT BINTANG mengadakan perjanjian
BOT dengan instansi pemerintah. Perjanjian mengatur hal-
hal sebagai berikut. PT BINTANG bersedia membangun rumah
penginapan beserta kamar penginapan, misal tempat tidur,
almari, televisi, alat pengatur udara, alat komunikasi/
telepon, meja kursi. Rumah penginapan dibangun di atas
tanah instansi pemerintah. Penginapan akan dikelola oleh
PT BINTANG selama 15 tahun sejak seluruh sarana siap,
setelah itu penginapan dan seluruh perabotan diserahkan
kepada instansi pemerintah yang akan digunakan untuk
penginapan karyawan instansi tersebut.
PT BINTANG mengeluarkan biaya sampai seluruh sarana
siap dioperasikan adalah golongan 1: Rp 50.000.000,00,
golongan 2: Rp 35.000.000,00, golongan 3: Rp
15.000.000,00, dan golongan bangunan: Rp 400.000.000,00,
total seluruhnya Rp 500.000.000,00.
Apabila harta BOT dianggap sebagai harta berwujud,
penyusutannya mengikuti penyusutan masing-masing golongan
harta yang bersangkutan. Asumsi selama 15 tahun pengop
aktiva. Sisa harga buku fiskal pada akhir tahun ke-15
dapat dihitung dengan rumus Dn = a[l - rn ]/[l - r], yang
telah diuraikan didepan.
Untuk golongan 1, a = 50% x 50.000.000 = 25.000.000;
r = 1 - tarif penyusutan = 1 - 50% =
0,5; n =15
Dn = 25.000.000 [1 - 0,5 15]/[1 - 0,5] = 49.998.474
Jadi sisa harga buku harta golongan 1 adalah Rp
50.000.000.00 dikurangi Rp 49.998.4747,00 yaitu Rp
1.526.00.
Dengan cara yang sama sisa harga buku harta golongan
2 dan harta golongan 3 masing-masing adalah Rp 467.721,00
dan Rp 3.088.367,00.
Sedang untuk harta golongan bangunan penyusutan
sampai akhir tahun ke-15 adalah 15 x 5% x Rp
400.000.000.00 yaitu Rp 300.000.000,00, jadi sisa harga
bukunya Rp 100.000.000,00.
Dalam praktik hal seperti di atas mungkin jarang
terjadi, karena manajemen seharusnya telah oemperhitung-
kan sisa harga buku pada akhir masa perjanjian. Namun,
bila hal ini terjadi maka dilihat dari keadilan, PT
BINTANG berhak membebankan total sisa harga buku semua
jenis golongan tersebut, yaitu Rp 103.557.614,00. Hal ini
dikarenakan penyerahan harta dilakukan bukan dengan
sukarela, tetapi karena tuntutan perjanjian.