BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Intensitas persaingan antar perusahaan yang terjadi pada saat ini semakin tinggi. Peningkatan intensitas persaingan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor termasuk faktor utama adalah globalisasi dimana persaingan tidak lagi hanya terjadi antarperusahaan di dalam suatu negara tetapi telah terjadi persaingan lintas batas negara. Salah satu karakteristik era globalisasi adalah deregulasi berbagai peraturan yang mendorong kemudahan bertransaksi antar negara. Kondisi ini mengharuskan semua perusahaan harus meningkatkan daya saing agar mampu bertahan dan berkembang dalam lingkungan bisnis global. Hal ini tidak hanya terjadi bagi perusahaan yang menjalankan operasinya di berbagai negara (Multinational Company - MNC) namun juga bagi perusahaan lokal karena produk yang dihasilkannya akan bersaing dengan produk impor. Porter (2008) menyatakan lima kekuatan yang mempengaruhi persaingan adalah: rivalry among excisting competitors, threat of new entrants, bargaining power of buyers, threat of subtitutes products or services, dan bargaining power of suppliers. Kelima hal tersebut dihadapi oleh semua perusahaan sehingga harus fokus melakukan tindakan manajerial untuk kelima aspek diatas.
Kelima faktor diatas berasal dari lingkungan internal dan eksternal perusahaan. Untuk memenangkan persaingan, fokusnya tidak lagi hanya terbatas pada keunikan produk dibandingkan produk pesaing namun juga meliputi seluruh proses untuk menghasilkan produk atau jasa tersebut. Seiring dengan makin
mudahnya melakukan proses duplikasi produk, maka daya saing tidak hanya ditentukan oleh karakteristik produk tetapi juga ditentukan efisiensi internal dalam proses produksi. Jika diperhatikan secara detail pengklasifikasian kekuatan yang dijelaskan oleh Porter (2008) terdapat dua dari lima kekuatan persaingan tersebut dipengaruhi efisiensi internal proses produksi yaitu: “persaingan antara perusahaan yang telah ada dalam industri” dan “ancaman dari pendatang baru”. Kedua hal tersebut sangat ditentukan total biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk.
Dalam pandangan ini, setiap perusahaan akan berusaha untuk mencapai biaya produksi yang relatif rendah agar perusahaan tersebut dapat menerapkan berbagai strategi yang sensitif pada harga pokok produksi. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa keunggulan dalam efisiensi produksi akan memberikan kekuatan menghadapi pesaing yang sudah ada dan juga kekuatan untuk menghadapi kompetitor baru.
Efisiensi tersebut tidak hanya ditentukan oleh proses teknis produksi namun juga ditentukan oleh kemampuan memperoleh dana dengan biaya paling kecil.
Efisiensi teknis produksi merupakan bidang kajian ilmu lain misalnya ilmu tkenik untuk produksi dengan biaya terkecil ataupun bidang ilmu yang terkait erat dengan subtansi produk tertentu. Selain masalah teknis produksi, manajemen sangat perlu memfokuskan perhatian terhadap efisiensi pendanaan. Secara teoritis, seluruh dana yang digunakan oleh perusahaan baik modal yang disetor oleh pemilik maupun hutang yang diperoleh dari kreditur menanggung biaya tertentu. Biaya ini dikenal sebagai biaya dana yang selanjut dalam penelitian ini disebut sebagai Cost of
Capital (CoC). Hal ini berarti CoC akan menjadi salah satu komponen biaya yang akan menentukan kemampuan perusahaan untuk bersaing.
Secara teoritis, CoC dapat diartikan sebagai tingkat pengembalian minimum dari suatu proyek yang dapat meningkatkan nilai perusahaan (Gitman & Zutter, 2012) atau biaya dana yang ditanggung oleh perusahaan yang diberikan kepada penyedia dana sebagai kompensasi risiko yang ditanggung pemberi dana (MacDonald & Marsh, 2013). CoC ini cukup menentukan kemampuan bersaing persahaan. Sebagai gambaran, Erhardt & Brigham (2011) menyatakan bahwa Jepang mampu mengalahkan perusahaan Amerika salah satunya diakibatkan kemampuan perusahaan Jepang mencapai CoC yang lebih rendah. CoC yang lebih rendah akan membuat sebuah perusahaan lebih mampu untuk menerima sebuah proyek. Pada era sebelum globalisasi, CoC sangat dipengaruhi oleh karakteristik risiko negara. Seiring tren globalisasi yang telah dijelaskan diatas, perusahaan tidak hanya dapat memperoleh dana dari negara tempat perusahaan tersebut berada namun dimungkinkan untuk memperoleh pendanaan lintas negara. Hal ini berarti kemampuan untuk memperoleh CoC yang lebih rendah tidak trbatas pada karakteristik negara namun juga kemampuan individual oleh masing-masing perusahaan sehingga CoC antar perusahaan dalam suatu negara akan bervariasi.
CoC terdiri dari dua komponen yaitu komponen biaya atas modal sendiri yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut sebagai Cost of Equity (CoE) dan komponen biaya atas hutang yang diperoleh dari kreditur yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut sebagai Cost of Debt (CoD). CoD dapat diukur dengan mudah karena sifatnya cukup absolut sebagai biaya yang dibayarkan atas pemanfaatan
dana yang diberikan kreditur. Pada sisi lain, pengukuran CoE relatif sulit karena bersifat estimasi yang memiliki berbagai pendekatan yang bervariasi (Ross, Westerfield, & Jordan, 2008). Seperti yang telah dijelaskan diatas, CoC terdiri dari CoE dan CoD, maka untuk memperoleh total CoC maka diperlukan penjumlahan CoE dan CoD. Namun karena perhitungan CoE yang cukup sulit karena berbasis estimasi maka untuk memberikan gambaran awal terkait biaya dana antar negara disederhanakan dengan membandingkan CoD antar berbagai negara.
Tabel 1.1 Lending Rate dan Real Interest Rate Tahun 2015
Negara Lending Rate (%) Real Interest Rate (%)
Indonesia 12,663 8,089
Malaysia 4,585 4,980
Thailand 6,563 3,650
Singapura 5,350 6,330
Amerika Serikat 3,260 2,160
Jepang 1,143 -0,090
Brazil 43,958 33,416
Rusia 15,717 6,996
India 10,008 7,956
China 4,350 4,810
Afrika Selatan 9,417 5,252
Tabel 1.1 merupakan ringkasan data yang dipublikasi oleh World Bank melalui http://data.worldbank.org terkait data lending rate dan real interest rate.
World bank mendefinisikan lending rate sebagai suku bunga perbankan untuk pembiayaan jangka pendek dan menengah sedangkan real interest rate adalah lending rate yang telah disesuaikan dengan tingkat inflasi. Nilai real interest rate dapat dipandang sebagai rata-rata CoD suatu negara. Negara negara yang terdapat
skala ekonomi yang besar, dan negara yang tergabung dalam kelompok BRICS yaitu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat serta memiliki populasi yang cukup besar. Berdasarkan data tersebut, real interest rate Indonesia menduduki peringkat ke-10 (8,089%) dari 11 negara tersebut. Real interest rate Indonesia hanya lebih kecil dari Brazil yang pada periode tersebut (tahun 2015) mengalami gejolak ekonomi yang cukup besar.
Pada dasarnya CoD pada penjelasan diatas yang direpresentasikan oleh real interest rate merupakan kompensasi atas risiko. Risiko tersebut merupakan akumulasi dari berbagai risiko seperti risiko ekonomi negara, risiko bisnis, bahkan risiko ketidaksamaan informasi antara pemilik dana dengan pengguna dana (Information Asymmetry). Penelitian U. Bhattacharya et al. (2003) sekalipun relatif menggunakan data lama dapat memberikan pendugaan teoritis bahwa biaya meminjam di Indonesia relatif tinggi karena kekuranginformatifan laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berada di ranking terakhir dari 34 negara yang diteliti dalam keinformatifan laba akuntansi (earning opacity). Hasil penelitian tersebut mendorong dugaan bahwa tingginya CoD sebagai kompensasi risiko yang diminta pemberi pinjaman diakibatkan ketidakjelasan informasi yang dapat digunakan kreditur untuk mengestimasi risiko masa depan. Risiko yang dimaksud dalam hal ini adalah risiko sebagai dampak dari kualitas informasi yang dipublikasikan perusahaan tersebut. Perusahaan tidak menyediakan informasi yang dapat digunakan oleh investor untuk melakukan estimasi arus kas yang dapat diyakininya sehingga meningkatkan premi risiko bagi dana yang diinvestasikannya.
Berdasarkan data awal penelitian atas sampel perusahaan manufaktur nilai CoD dan CoE pada perusahaan manufaktur di Indonesia pada tahun 2016 masing-masing sebesar 10,48% dan 15,41%. Nilai ini memang lebih kecil dari lending rate Indonesia secara keseluruhan (tabel 1.1) karena lending rate merupakan rata-rata keseluruhan bunga pinjaman baik bagi sektor komsumsi, perusahaan mikro, kecil, menengah dan besar. Secara umum perusahaan berskala besar seperti perusahaan manufaktur yang terpilih menjadi sampel dalam penelitian ini akan memperoleh tingkat bunga yang lebih kecil baik melalui pinjaman yang diperoleh dari perbankan maupun melalui penerbitan obligasi perusahaan.
Jika ditinjau dari tujuan dasar laporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja keuangan, arus kas entitas, yang bermanfaat bagi pengguna laporan dalam pengambilan keputusan ekonomi (Kerangka Dasar Penyajian dan Pelaporan Keuangan Paragraf 7, PSAK 2010).
Dalam keadaan yang ideal, laporan keuangan dapat menjadi sumber informasi yang memadai bagi investor untuk mengambil keputusan investasi. Namun secara praktis, investor menyadari bahwa laporan keuangan tidak sepenuhnya mengambarkan keadaan nyata yang dapat digunakan untuk peramalan arus kas di masa depan. Hal ini didorong karena investor meyakini terdapat perbedaan kualitas informasi yang mereka miliki dibandingkan yang dimiliki oleh manajemen.
Sebagai kompensasi risiko keinformatifan yang rendah tersebut, investor meminta tingkat return yang lebih tinggi karena memikul ketidakpastian yang relatif besar [(Nilabhra Bhattacharya et al., 2011); (Song, 2007)].
Aktifitas Earning Management (EM) secara teoritis menjadi salah satu penyebab kurangnya keinformatifan laporan keuangan. Hal ini memang masih menjadi perdebatan dimana dalam beberapa pandangan ahli yang didukung berbagai penelitian justru menunjukkan sebaliknya bahwa EM justru meningkatkan kualitas laporan keuangan. Peningkatan kualitas laporan keuangan tersebut karena manajemen memasukkan informasi terkait prospek perusahaan di masa datang, di mana informasi tersebut tidak diungkapkan atau dimasukkan ke dalam laporan keuangan jika hanya mengikuti standar pelaporan. Tindakan EM dalam definisi ini kemudian dikenal sebagai benefecial earning management. Namun demikian hal tersebut hanya mungkin terjadi pada pasar modal dengan tingkat efisiensi informasi yang baik. Walaupun ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa pasar modal Indonesia cukup efisien (Zeren & Konuk, 2013) namun kebanyakan riset menyimpulkan bahwa pasar modal Indonesia tidak efisien [Sanyal, Gahan, & Gupta (2014); Almudhaf & AlKulaib (2013)]. Tingkat efisiensi pasar yang rendah mengindikasikan bahwa terjadi asimetri informasi di mana manajemen memiliki informasi yang lebih baik dibanding pihak lainnya.
Earning Management akan mengurangi Earning Quality. Earning quality atau kualitas laba dapat menggambarkan risiko, dimana earning quality yang rendah merupakan gambaran risiko yang tinggi bagi pemilik modal yang ingin menginvestasikan dananya di dalam perusahaan (Nekrassov, 2008). Beberapa penelitian seperti Tariverdi, Moradzadehfard, & Rostami (2012) serta Y. Gao (2010) berusaha membedakannya dengan meneliti hubungan diantara keduanya.
Penelitian tersebut memperoleh hasil yang konsisten dengan teori bahwa tindakan
yang dilakukan oleh manajemen dalam rangka mengarahkan angka laba pada tingkat yang diinginkan akan menurunkan kualitas informasi dari laba yang dilaporkan di dalam laporan keuangan.
Dalam kaitan kualitas laba dengan CoC, Francis, LaFond, Olsson, &
Schipper (2005) melakukan penelitian mengenai kualitas laba yang dinyatakan dengan earning attributes yang terdiri dari tujuh atribut yang mengukur kualitas laba dalam hubungannya dengan CoC. Penelitian ini membuktikan bahwa keinformatifan laba memberikan pengaruh yang positif terhadap CoC. Penelitian sejenis juga pernah dilaksanakan oleh (McInnis, 2010) dengan meneliti hubungan antara earning smoothness terhadap CoC. Penelitian ini menunjukkan bahwa usaha manajemen untuk melakukan perataan laba tidak menurunkan Cost of Equity capital padahal dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa tujuan manajemen melakukan perataan laba adalah untuk menurunkan biaya modal. Penelitian Nilabhra Bhattacharya et al. (2011) dengan fokus meneliti hubungan earning quality terhadap CoE dengan menggunakan Information Asymmetry sebagai variabel antara. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa earning quality secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi CoE.
Mayoritas hasil penelitian tersebut memang menunjukkan bahwa tindakan manajemen untuk mengintervensi informasi yang disajikan di dalam laporan keuangan meningkatkan biaya modal karena risiko ketidakpastian. Salah satu aspek penting yang mengakibatkan ketidakpastian tersebut adalah asimetri informasi, selanjutnya dalam penelitian ini disebut sebagai Information Asymmetry (IA). Jika manajemen melakukan manajemen laba maka hal tersebut akan membuat informasi
yang dimiliki oleh manajemen tidak sama kualitasnya dengan informasi yang dimiliki investor. Dalam penelitian Nilabhra Bhattacharya et al. (2011) yang telah disampaikan diatas, IA dapat mempengaruhi pola hubungan antara earning quality dengan CoE. IA menjadi moderasi hubungan antara earning quality dan CoE. IA yang dimaksud dalam penelitian tersebut adalah perbedaan informasi yang dimiliki di antara investor. Perbedaan informasi antar investor tersebut didorong karena manajemen memiliki informasi yang lebih dibanding investor sehingga penafsiran antar investor atas informasi keuangan yang dipublikasikan menjadi bervariasi.
Perbedaan informasi tersebut berdasarkan hipotesis dan kesimpulan yang diperoleh menunjukkan bahwa perbedaan informasi diantara investor tersebut menjadi faktor yang menentukan besaran CoE dan CoD (Song, 2007).
Salah satu faktor yang diduga berperan meningkatkan asimetri informasi tersebut adalah perbedaan standar yang digunakan di berbagai negara. Sebagai respon atas hal tersebut terdapat usaha untuk mengurangi asimetri informasi dengan merancang dan mendorong implementasi standar yang sama di seluruh dunia.
Penyusunan laporan keuangan akan memberikan dampak baik dari dua sisi yaitu substansi informasi yang terkandung di dalam laporan keuangan akan semakin terstandarisasi di seluruh dunia serta mendorong intepretsi investor dengan variasi yang lebih kecil karena telah memiliki acuan yang relatif sama. Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia mulai mengadopsi International Financial Reporting Standar (IFRS) pada tahun 2008-2010, melakukan persiapan di tahun 2011 dan mulai mengimplementasikan di tahun 2012. IFRS merupakan standar yang dibuat oleh International Accounting Standards Boards (IASB) dengan tujuan
memberikan kumpulan standar penyusunan laporan keuangan perusahaan di seluruh dunia. Perusahaan dapat menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas tinggi, dapat diperbandingkan dan transparan yang digunakan oleh investor di pasar modal dunia maupun pihak-pihak yang berkepentingan lainnya (stakeholder).
Penelitian Turki, Wali, & Boujelbene (2016) yang mengambil sampel perusahaan-perusahaan yang ada di Eropa menyimpulkan bahwa implementasi IFRS dapat mengurangi asimetri informasi dan meningkatkan keandalan laporan keuangan dalam memprediksi keadaan di masa yang akan datang. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Mohammadrezaei, Mohd-Saleh, & Banimahd (2015) namun bertentangan dengan hasil penelitian Gatsios, Silva, Ambrozini, Assaf Neto,
& Lima (2016) yang menyimpulkan bahwa untuk perusahaan yang terdaftar di bursa Brazil implementasi IFRS tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan asimetri informasi. Perbedaan ini kemungkinan besar diakibatkan perbedaan tingkat efisiensi pasar antara Eropa dan Brazil. Kajian implikasi implementasi IFRS terutama dalam kaitan hubungan asimetri informasi dengan berbagai variabel lainnya sangat menarik untuk dilakukan di pasar modal Indonesia.
Salah satu aspek penting dalam mengurangi asimetri informasi tersebut adalah meyakinkan bahwa manajemen bertindak untuk kepentingan pemilik perusahaan. Dalam hal ini diperlukan tata kelola (selanjutnya disebut dengan Corporate Governance – CG) yang baik. Di samping berbagai hal utama yang menjadi tujuan CG seperti pengendalian internal, pengawasan terhadap kebijakan strategis, dan lain sebagainya, salah satu hal yang ingin dicapai adalah penyajian
laporan keuangan yang memberikan informasi yang lengkap sehingga antara manajemen dan pihak lainnya memiliki kualitas informasi yang relatif sama.
Sebagai konsekuensi bahwa laporan keuangan yang merupakan ringkasan kinerja manajemen disusun sendiri oleh manajemen maka dalam proses penyusunan tersebut rentan timbul conflict of interest. Dalam usaha untuk meminimalisasi dampak negatif conflict of interest tersebut maka dikembangkan mekanisme CG yang secara teoritis akan mengurangi peluang untuk mengambil keuntungan sendiri.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meneliti pengaruh CG terhadap earning quality baik secara langsung maupun melalui tindakan manajemen melakukan manajemen laba. Hal ini cukup rasional bahwa manajemen laba secara relatif lebih berpeluang terjadi pada perusahaan yang tidak mengimplementasikan CG yang baik. Beberapa penelitian tersebut diantaranya Ramachadran et al. (2015), Uwuigbe et al. (2014), Visvanathan (2008), dan Y. Gao (2010) yang menyimpulkan bahwa jika perusahaan tersebut mengimplementasikan CG yang baik maka peluang untuk melakukan manajemen laba menjadi lebih kecil. Namun beberapa penelitian lain termasuk penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Tejo & Sanjaya (2016) tidak mendukung kesimpulan tersebut karena menemukan kesimpulan bahwa CG tidak menurunkan praktek EM. Yaghoobnezhad et al. (2012) juga menghasilkan kesimpulan yang tidak kuat untuk mendukung hipotesis tersebut.
Dalam kerangka implementasi IFRS, praktek EM dan CG juga mengalami perubahan yang mendasar. Secara teoritis praktek EM akan dapat ditekan dengan implementasi IFRS. Implementasi IFRS dapat menurunkan alternatif-alternatif
akuntansi yang diperbolehkan dan mungkin dilakukan oleh manajemen. IFRS diharapkan dapat membatasi management discretion untuk mengintervensi angka laba. Berdasarkan data awal yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan EM ketika IFRS telah diimplementasikan yaitu tahun 2012 mengalami penurunan namun tidak terlalu signifikan. Pada sisi lain implementasi CG setelah tahun 2012 terlihat mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan fenomena bahwa implementasi IFRS telah memberikan dampak terhadap proses pelaporan keuangan sekalipun belum secara signifikan mempengaruhi hasil akhir dari pelaporan tersebut.
Dalam kaitan pengaruh CG terhadap CoC telah dilakukan beberapa penelitian dengan hasil yang relatif sama yaitu pengelolaan perusahaan yang baik akan menurunkan CoC [(Patro & Kanagaraj, 2016), (Strobl, 2013), (Kim & Sohn, 2013), (Piot & Missonier-Piera, 2007), (Bhojraj & Sengupta, 2003), (Ashbaugh-Skaife et al., 2006)]. Sebaliknya beberapa penelitian lain seperti McInnis (2010) termasuk penelitian Juniarti & Natalia (2012) yang dilakukan di Indonesia tidak mendukung kesimpulan bahwa peningkatan CG perusahaan yang baik akan menurunkan CoC. Namun hasil penelitian Juniarti & Natalia (2012) memiliki kelemahan karena hanya menilai dari perusahaan yang secara sukarela berpartisipasi dalam survei Good Corporate Governance. Perusahaan yang berpartisipasi hanya 118 dari sekitar 400 perusahaan terdaftar. Dari 118 yang mengikuti survei hanya 38 perusahaan yang memenuhi syarat menjadi sampel.
Sebanyak 75% dari 38 perusahaan memang dikategorikan melaksanakan CG yang baik namun hal ini terlalu kecil dibandingkan populasi. Kelemahan lain adalah
indikasi bahwa hanya perusahaan yang telah mengimplementasikan CG secara baik yang bersedia mengikuti survei sehingga sampel dapat dikatakan tidak mewakili karakteristik populasi. Selain hal tersebut, pengukuran EM yang digunakan perlu untuk direview karena perkembangan pengukuran EM sudah mengalami perkembangan yang signifikan dibandingkan pengukuran yang digunakan dalam penelitian tersebut.
Uraian diatas mulai dari fenomena nyata dalam dunia bisnis serta hasil dari berbagai penelitian terdahulu baik yang sesuai dengan teori maupun berbagai hasil penelitian yang tidak sesuai dengan teori membuat peneliti tertarik untuk menganalisis keterkaitan antara penerapan corporate governance dan tindakan Earning Management dalam mempengaruhi cost of capital yang ditanggung oleh perusahaan melalui variabel Information Asymmetry. Penelitian ini akan melakukan beberapa modifikasi cara pengukuran atas keseluruhan variabel yang diteliti.
Berdasarkan hal diatas peneliti bermaksud melaksanakan suatu penelitian dengan judul “Studi Pengaruh Corporate Governance dan Earning Management Terhadap Cost of Capital Melalui Information Asymmetry Setelah Implementasi International Financial Reporting Standard”