• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-Bentuk Sanksi Administrasi yang Merupakan Bagian

BAB III KEPUTUSAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DAPAT

D. Bentuk-Bentuk Sanksi Administrasi yang Merupakan Bagian

Kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris cendrung berkaitan dengan pembuatan akta, yang mana kewajiban tersebut harus dipatuhi oleh notaris, sehingga apabila dilanggar kewajiban-kewajiban tersebut, maka

77Analisa hukum keputusan majelis pengawas pusat notaris yang diajukan kepada pengadilan tata usaha negara: studi kasus Putusan PTUN Jakarta No. 43/G/2011/PTUN-JKT, http://lib. ui. ac.

id/bo/uibo/detail. jsp?id=20364955&lokasi=lokal

notaris tersebut dapat dikenakan sanksi yang ada dalam Undang-undang Jabatan Notaris yang bersifat administrasi adapun pelanggaran-pelanggaran yang mempunyai muatan sanksi administratif adalah:

1. Pelanggaran yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu pelanggaran yang dilakukan notaris terhadap melakukan jabatannya secara nyata terhitung paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan notaris, menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan notaris kepada Menteri, Organisadsi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah, dan menyampoaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap atau stempel jabatan notaris berwarna merah kepada Menteri dan pejabat lain yang bertanggungjawab di bidang pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta Bupati/Walikota di tempat Notaris diangkat.

2. Pelanggaran yang memuat tentang Notaris yang melanggar Pasal 16 ayat (1) yaitu:

a. Tidak bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. Melanggar dalam membuat akta tidak dalam bentuk minuta akta dan melakukan pelanggaran dengan tidak menyimpannya sebagai bagian dari protokolnya Notaris kecuali dalam hal Notaris mengeluarkan akta ini original;

c. Tidak melekatkan surat, dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta;

d. Tidak mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

e. Tidak memberikan alasan penolakan dalam mebuat pelayanan terkait tugas jabatan Notaris serta tidak melakukan tugas sesuai dengan ketentuan UUJN;

f. Melakukan kelalaian dalam menjaga kerahasian segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

g. Melakukan pelanggaran karena tidak menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid dalam lebih satu buku, dan tidak mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

h. Lalai atau tidak membuat daftar Aktya proses terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

i. Lalai atau tidak membuat daftar Akta berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap;

j. Tidak mengirimkan daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat atau daftar nihil ke pusat daftar wasiat pada kementeriaan yang menyelanggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

k. Lalai atau tidak mencatat dalam repotorium tanggal pengriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

l. Tidak memiliki atau mempunyai cap atau stempel yang memuat lambing Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkuta;

m. Pelanggaran dengan tidak melakukan pembacaan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta Wasiat dibawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh para penghadap, saksi dan notaris. Kecuali jika penghadap telah mebaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta dalam setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan notaris tetapi terhadap pembacaan kepala Akta, komparisi, penjelasan pokok akta secara singkat dan jelas, serta penutup akta tetap harus dibacakan;

n. Pelanggaran terhadap tidak membacakan akta dihadapan Penghadap untuk pembuatan akta Wasiat;

o. Pelanggaran dengan sengaja tidak menerima magang calon notaris.

3. Pelanggaran yang dilakukan notaris terhadap pada Pasal 17 UUJN yaitu:

a. Notaris menjalankan jabatannya diluar wilayah jabatannya;

b. Notaris meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. Notaris merangkap sebagai pegawai negeri;

d. Notaris merangkap sebagi Advokat;

e. Merangkap sebagai pimpinan atau anggota pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Swasta;

f. Notaris merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan/atau Pejabat Lelang Kelas II diluar tempat kedudukan Notaris;

g. Notaris menjadi Notaris Pengganti;

h. Notaris melakukan pekerjaan lain yang bertentang dengan norma agama, kesusialaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris.

4. Pelanggaran yang dilakukukan oleh Notaris menurut Pasal 19 UUJN, yaitu:

a. Notaris mempunyai lebih dari satu kantor ditempat kedudukannya maupun di luar tempat kedudukannya;

b. Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki tempat kedudukan yang berbeda, tidak mengikuti tempat kedudukan notaris;

c. Notaris tetap melakukan kewenangannya secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukkannya.

5. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 32 UUJN, yaitu:

a. Notaris tidak memberikan protokol notaris kepada notaris pengganti pada saat notaris tersebut menjalankan cuti;

b. Notaris tidak meminta protokol pada notaris pengganti setelah cuti berakhir;

c. Notaris tidak menjalani proses serah terima protokol tersebut dengan membuat berita acara dan menyampaikan pada Majelis Pengawas wilayah 6. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 37 UUJN, yaitu notaris tidak memberikan jasa hukum dibidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu.

7. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 48 UUJN, yaitu notaris melakukan pelanggaran terhadap pewrubahan isi Akta yaitu: diganti, ditambah, dicoret, disisipkan, dihapus dan/atau ditulis tindih tanpa diberi paraf atau diberi tanda pengesahan lain penghadap saksi dan notaris.

8. Pelanggaran yang dilakukan notaris menurut Pasal 49 UUJN, yaitu notaris melakukan pelanggaran dengan tidak dibuatnya perubahan isi Akta pada sisi kiri Akta atau tidak menunujkan bagian yang diubah pada berubahan yang dibuat diakhir Akta, dengan menunjukan bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan.

9. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 50 UUJN, yaitu notaris melakukan pelanggaran terhadap tidak dibuatnya pada penutup akta tentang dinyatakan atau tidaknya penutup akta tentang dinyatakan atau

tidaknya perubahan atas pencoretan ataupun perubahan lain yang terjadi pada setia akta.

10. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 51 UUJN, yaitu notaris melakukan pelanggaran dengan tidak dibuatnya berita acara pembetulan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat dalam minuta Akta yang telah ditanda tangani serta memberikan catatan tersebut pada minuta akta asli dengan menyebutkan ntanggal dan nomor Akta berita acara pembelian.

11. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 54 UUJN, yaitu notaris melakukan pelanggaran terhadap memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Groose Akta, Salinan Akta atau kutipan Akta kepada orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.

12. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 58 UUJN, yaitu Notaris melakukan pelanggran atas tidak dibuatnya daftar akta, daftar surat dibawah tangan yang disahkan, daftar surat dibawah tangan yang dibukukan, dan daftar surat lain yang diwajibkan oleh UUJN serta notaris tidak membuat akta yang dibuat oleh atau dihadapannya, baik dalam minuta akta maupun yang aslinya, tanpa sela-sela kosong, masing-masing dalam ruang yang ditutup dengan garis-garis tinta, dengan mencantumkan nomor unit, nomor bulan, tanggal, dan sifat aktadan nama semua orang yang bertindak baik untuk dirinya sendiri maupun kuasa orang lain.

13. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 59 UUJN, yaitu notaris tidak membuat akta klepper untuk daftar akta dan daftar surat dibawah tangan yang disahkan dan disusun menurut abjad dan dikerjakan setiap bulan.

Ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUJN selain menentukan apa yang tidak boleh dilakukan oleh notaris juga memuat sanksi-sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan oleh notaris, sanksi-sanksi yang ada dalam UUJN bersifat administratifdan berlaku bagi profesi notaris, menurut UUJN sanksi-sanksi administratif tersebut berupa:

1. Peringatan Lisan

Salah satu cara pembinaan bagi notaris bila ia melakukan pelanggaran atau kesalahan menurut UUJN yang dikategorikan sebagai kesalahan atau pelanggaran ringan yang dilakukan notaris dalam melakukan pekerjaannya.

2. Peringatan Tertulis

Salah satu cara pembinaan bagi notaris apabila tendensi peringatan lisan (beberapa kali) tidak membuahkan perbaikan untuk notaris melakukan kesalahan atau pelanggaran ringan, maka akan dikeluarkan peringatan tertulis.78

3. Pemberhetian Sementara

Salah satu cara pembinaan bagi notaris yang melakukan pelanggaran yang ditentukan oleh UUJN, yaitu:

a. Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;

b. Berada dibawah pengampuan;

c. Melakukan perbuatan tercela;

d. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta kode etik notaris; atau

e. Sedang menjalani masa penahanan.79 4. Pemberhentian dengan hormat

Salah satu alasan atau sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh notaris yang ditentukan oleh UUJN, yaitu:

78Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notaris, (Bandung: Sinar Bandung, 1985), hal 33.

79Pasal 9 Undang-undang Jabatan Notaris.

a. Meninggal dunia;

b. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;

c. Permintaan sendiri;

d. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan notaris secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; atau

e. Merangkap jabatan.80

5. Pemberhetian dengan tidak hormat

Salah satu sanksi terhadap pelanggaran berat yang dilakukan oleh notaris yang ditentukan oleh UUJN, yaitu:

a. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

b. Berada dibawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;

c. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris; atau

d. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan.81 Pelanggaran-pelanggaran yang ditentukan oleh UUJN kepada notaris beserta sanksi yang mengikutinya harus mempunyai proses yang mengutamakan keadilan serta kepastian hukum dalam melakukan penindakan atas pelanggaran yang dibuat oleh notaris. Hal ini juga harus didukung dengan lembaga yang mempunyai

80Pasal 8 Undang-undang Jabatan Notaris.

81Pasal 12 undang-undang Jabatan Notaris.

wewenang untuk menjalankan proses menentukan sanksi apa saja yang dijatuhkan kepada notaris yang melanggar serta golongan pelanggaran yang dilakukan notaris agar dapat tercapainya kepastian hukum dan keadilan bagi notaris dan pihak-pihak yang terkait dengan pelanggaran tersebut.

BAB IV

UPAYA HUKUM ADMINISTRASI YANG DILAKUKAN NOTARIS TERHADAP SANKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2014 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 TENTANG

JABATAN NOTARIS

A. Prosedur Pemeriksaan Notaris Pada Majelis Pengawas

Pendapat E. K. Meyers berkaiatan dengan hukum, maka didapatkan defenisi hukum adalah semua peraturan yang mengadung pertimbangan-pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya.82Selain itu W.

Levensbergen mengatakan bahwa hukum merupakan pengatur, khususnya pengaturan mengenai perbuatan manusia di dalam masyarakat.83

Berkaitan dengan simbol hukum adalah kumpulan aturan-aturan yang harus dijalankan oleh setiap individu, kelompok ataupun suatu bangsa yang mendudukung keberadaan suatu Negara, maka PERMENKUMHAM Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004 dan kode etik notaris merupakan aturan bagi organisasi notaris yang harus dijalankan serta merupakan petunjuk dan pedoman bagi setiap notaris ataupun organisasi notaris secara keseluruhan sebagai upaya taat akan aturan hukum, dan bila aturan tersebut, dilanggar, maka notaris dapat dikenakan sanksi, melalui tahapan-tahapan atau prosedur yang telah ditentukan. Prosedur pemanggilan Notaris atas Pelanggaran Kode Etik Jabatan:

82R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal 38.

83Ibid, hal 30.

1. Tahap Pengajuan Laporan, Menurut Pasal 21 PERMENKUMHAM Nomor : M. 02. 08. 10 Tahun 2004:

a. Pihak yang merasa dirugikan mengajukan laporan pelanggaran kode etik dapat ditujukan kepada MPD, MPW, MPP.

b. Jika laporan atas pelanggaran kode etk dilaporkan ke MPW atau MPP, maka MPW atau MPP akan meneruskan kepada MPD.

c. Laporan harus disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.84

2. Tahap Pemanggilan, Menurut Pasal 22 PERMENKUMHAM Nomor : Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004:

a. Ketua Majelis Pemeriksa melakukan pemanggilan terhadap pelapor dan terlapor.

b. Pemanggilan dilakukan dengan surat oleh sekretaris dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum sidang.

c. Dalam keadaan mendesak pemanggilan dapat dilakukan dengan faksmile dan selanjutnya dapat disusul dengan surat pemanggilan.

d. Dalam hal terlapor setelah dipanggil secara sah dan patut, tetapi tidak hadir, maka akan dilakukan pemanggilan kedua.

84Pasal 21 Permenkumham Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004, mengatur mekanisme penerimaan laporan atas pengaduan Pelapor terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran di dalam melakukan fungsi jabatannya.

e. Dalam hal terlapor dipanggil secara sah dan patut yang kedua kali namun tetap tidak hadir, maka pemeriksaan dilakukan dan putusan diucapkan tanpa kehadiran terlapor.

f. Dalam hal pelapor setelah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir, maka dilakukan pemanggilan kedua, dan apabila pelapor tetap tidak hadir, maka Majelis Pemeriksa menyatakan laporan gugur dan tidak dapat diajukan kembali.85

3. Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Daerah, Menurut Pasal 23 PERMENKUMHAM Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004 :

a. Pemeriksaan dilakukan oleh MPD dan tertutup untuk umum.

b. Pemeriksaan dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah laporan diterima.

c. MPD harus sudah menyelesaikan pemeriksaan dan menyampaikan hasil pemeriksaan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak laporan diterima.

d. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam berkas acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh ketua dan sekertaris.

e. Surat pengantar pengiriman berita acara pemeriksaan yang dikirimkan kepada MPW ditembuskan kepada pelapor, terlapor, MPP, dan pengurus daerah INI.

85Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 22 Permenkumham Nomor : M. 02. 08. 10 Tahun 2004 , selain dapat dipanggil melalui panggilan resmi, maka notaris yang terlapor dalam keadaan mendesak dapat dipanggil melalui facsimile.

f. Pada sidang pertama yang ditentukan pelapor dan terlapor hadir, lalu MPD melakukan pemeriksaan dengan membacakan laporan dan mendengar keterangan pelapor.

g. Dalam pemeriksaan, terlapor diberi kesempatan yang cukup untuk menyempaikan tanggapan.

h. Pelapor dan terlapor dapat mengajukan bukti-bukti untuk mendukung dali-dalil yang diajukan.

4. Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa wilayah, Menurut Pasal 26 PERMENKUMHAM Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004:

a. MPW memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa Daerah.

b. MPW mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan MPD dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.

c. MPW berwenang memanggil terlapor dan pelapor untuk didengar keterangannya.

d. Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima.

e. Putusan harus memuta alasan dan pertimbangan yang cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan dan ditandatangani oleh ketua, anggota, dan sekertaris MPW.

f. Dalam hal laporan tidak dapat dibuktikan, maka MPW mengucapkan putusan yang megnyatakan laporan ditolak dan terlapor direhabilitasi namanya.

g. Dalam hal laporan dapat dibuktikan, maka terlapor dijatuhi sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.

h. Salinan putusan MPW disampaikan kepada Menteri, pelapor, terlapor, Majelis Pengawas Daerah, dan Pengurus Pusat INI, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.

5. Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa wilayah, Menurut Pasal 29 PERMENKUMHAM Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004:

a. MPP memeriksa permohonan banding atas Putusan MPW.

b. Dalam hal dali yang diajukan pada memori banding dianggap cukup beralasan oleh MPP, maka putusan MPW dibatalkan.

c. Dalam hal dalil yang diajukan pada memori banding dianggap tidak beralsan oleh MPP, maka putusan MPW dikuatkan.

d. MPP dapat mengambil putusan sendiri berdasarkan kebiksanaan dan keadilan.

e. MPP mulai melakukan pemeriksaan terhadp berkas permohonan banding dalam jangka waktu paling lam 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.

f. MPP berwenang untuk memanggil pelapor dan terlapor untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar keterangannya.

g. Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling alam 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima dan ditandatangani oleh ketua, anggota dan sekertaris MPP.

h. Putusan MPP disampaikan kepada menteri, dan salinannya disampaikan kepada pelapor, terlapor, MPD, MPW, Pengurus Pusat INI, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.

Berdasarkan konsekwensi logis terhadap aturan di atas, maka upaya yang paling lugas dan paling menyeluruh dalam menganalisis konsep hukum dengan istilah-istilah yang terlihat sebagai elemen sederhana berupa perintah (commands) dan kebiasaan (habits) atau perilaku.86

B. Upaya Hukum Administrasi Yang Dilakukan Notaris Terhadap Sanksi Menurut undang No. 2 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Jika upaya hukum notaris yang dijatuhkan sanksi perdata, maka seluruh upaya hukum seperti yang diajarkan oleh Hukum Acara Perdata adalah menjadi upaya hukumnya, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh notaris terhadap pelanggaran atas pasal-pasal tersebut di paragraf sebelumnya adalah dengan

86 H. L. A Hart, Konsep Hukum (The Concept Of Law), cetakan Ke-Empat (Bandung:

Nusamedia, 2011), hal 28.

melakukan berbagai upaya banding administratsi yang hidup dilingkungan masyarakat notaris dan sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris.

Dapat digambarkan secara singkat perihal banding administrasi yang hidup dilingkungan notaris terkait pelanggaran terhadap pasal-pasal yang mana disebutkan oleh pasal 85 UUJN yang mengandung sanksi administratif. Dugaan awal tentang pelanggaran notaris dengan ancaman sanksi administrasi tentu datangnya dari masyarakat kepada MPD.

Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten atau Kota yang mana Ketua dan Wakilnya dipilih dari dan oleh anggota nya. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Majelis Pengawas Daerah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali, MPD dibantu oleh seorang Sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam rapat MPD. Menurut Pasal 70 UUJN Majelis Pengawas Daerah salah satunya berwenang Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris.

Kemudian jika laporan masyarakat setelah diperiksa MPD dan mendengarkan pembelaan dari notaris yang bersangkutan, dipandang perlu dijatuhkan sanksi teguran baik lisan maupun tulisan, maka Majelis Pengawas Daerah Notaris juga memiliki menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.87

87 PERMENKUMHAM Nomor : M. 02. 08. 10 Tahun 2004

Majelis Pengawas Wilayah dibentuk dan berkedudukan di ibukota provinsi yang mana Ketua dan Wakilnya dipilih dari dan oleh anggota nya. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Majelis Pengawas Wilayah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali, MPW dibantu oleh seorang Sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam rapat MPW. Jika hasil pemeriksaan oleh MPD dipandang perlu diberikan teguran baik lisan maupun tulisan, maka MPW akan memberikan putusannya. Dalam pasal 73 ayat (1) huruf e MPW hanya bisa memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis dan sanksi seperti ini menurut pasal 73 ayat (2) bersifat final. Setelah memeriksa dan mendengarkan pembelaan notaris tersebut namun pelanggaran yang dilakukan dipandang MPW perlu sanksi yang lebih berat berupa pemberhentian sementara, maka MPW dapat mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan, atau pemberhentian dengan tidak hormat.

Majelis Pengawas Pusat dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara yang mana Ketua dan Wakilnya dipilih dari dan oleh anggota nya. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Majelis Pengawas Pusat adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali, MPP dibantu oleh seorang Sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam rapat MPP.

MPP memiliki wewenang menurut pasal 77 huruf (a) yaitu berupa menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti. Sementara MPP juga memiiliki kewenangan yang diatur dalam pasal yang sama huruf (c) untuk

memberikan sanksi pemberhentian sementara. Karena ini adalah tingkat banding maka MPP melakukan pemeriksaan terhadap berkas perkara ketika di MPW apakah ada hal yang salah dengan berkas tersebut. Namun untuk melakukan pemberhentian tidak hormat MPP hanya bisa mengajukan usulan ke Menteri. Maka keputusan untuk pemberhentian secara tidak hormat terhadap notaris finalnya adalah preogratif menteri.88

Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat dapat menjatuhkan sanksi administrasi terhadap notaris sesuai dengan kewenangannya. Baik teguran lisan dan teguran tertulis dari Majelis Pengawas Wilayah, dan sanksi pemberhentian sementara jabatannya oleh Majelis Pengawas Pusat.

MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan tertulis, dan sanksi seperti ini bersifat final (Pasal 73 ayat (1) huruf e dan ayat (2) UUJN. MPP hanya dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara saja (pasal 77 huruf c UUJN). Dengan demikian sanksi seperti tersebut merupakan kewenangan MPW dan MPD.

Kewenangan untuk menjatuhkan sanski tertentu hanya ada pada MPW dan MPP berdasarkan UUJN, tapi disisi lain Majelis Pemeriksa (wilayah dan pusat) berwenang juga menjatuhkan sanksi administrasi sebagaimana tersebut di atas.

Menurut Pasal 33 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

88http://idehukum. blogspot. co. id/2012/05/upaya-hukum-bagi-notaris-2. html diakses pada tanggal 05 September 2016

Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, bahwa notaris yang diatuhkan sanksi oleh Majelis Pemeriksa Wilayah dapat mengajuhkan banding ke MPP, dan putusan Majelis Pemeriksa Pusat final dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kecuali putusan tentang pengusulan pemberian sanski bereupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri (Pasal 35 ayat (2) Peraturan Meneteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004). Putusan Majelis Pemeriksa Pusat tersebut dilaporkan kepada MPP untuk diteruskan kepada

Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, bahwa notaris yang diatuhkan sanksi oleh Majelis Pemeriksa Wilayah dapat mengajuhkan banding ke MPP, dan putusan Majelis Pemeriksa Pusat final dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kecuali putusan tentang pengusulan pemberian sanski bereupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri (Pasal 35 ayat (2) Peraturan Meneteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004). Putusan Majelis Pemeriksa Pusat tersebut dilaporkan kepada MPP untuk diteruskan kepada