• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang disebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Majelis Pengawas Notaris merupakan lembaga administrasi negara.

2. Untuk mengetahui keputusan majelis pengawas notaris dapat dikatakan merupakan bagian dari objek sengketa Tata Usaha Negara.

3. Untuk mengetahui upaya hukum administrasi yang dilakukan notaris terhadap sanksi menurut undang No. 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara Teoritis maupun secara Praktis dibidang hukum kenotariatan, dan hukum Administrasi terkhususnya tentang upaya hukum administrasi.

1. Secara Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

a. Menambah khasanah ilmu Hukum administrasi dan Hukum Kenotariatan.

b. Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang dapat memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum administrasi khususnya upaya hukum administrasi.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

a. Manfaat yang sebesar-besarnya bagi para praktisi hukum khususnya bagi para Notaris sehubungan dengan upaya hukum administrasi.

b. Mengungkap masalah-masalah yang timbul dan/atau muncul dalam lapangan hukum dan masyarakat serta memberikan solusinya sehubungan dengan upaya hukum administrasi yang dapat dilakukan notaris.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum pernah dilakukan. Akan tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini di antara lain:

1. T. Muzakkar, Nim. 067011095, dengan judul Perbandingan Peranan Dewan Pengawas Notaris Dalam Melakukan Pengawasan Setelah Dikeluarkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004.

Rumusan Masalah:

a. Bagaimanalah pengawas melakukan pengawasan bagi Notaris dalam pelaksanaan tugasnya sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004?

b. Apakah manfaat pengawasan bagi Notaris dalam pelaksaan tugasnya?

c. Bagaimanakah perbandingan peranan Dewan kehomatan dengan Majelis Pengawas Notaris dalam melakukan pengawasan setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004?

2. Desni Prianty Eff. Manik, Nim. 077005007, dengan judul Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 2004.

Rumusan Masalah:

a. Bagaimana kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam Pengawasan Notaris menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris?

b. Bagaimana akibat hukum dari putusan Majelis pengawas Notaris terhadap Notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris?

c. Bagaimana kendala yang timbul dalam pelaksaan kewenangan Majelis Pengawas Notaris serta upaya-upaya untuk mengatasinya?

3. Silvia Sumbogo, NIM: 127011144, dengan judul Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut UU No. 30 Tahun 2004 Dan Permen Hukum Dan HAM RI No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004.

Rumusan Masalah:

a. Bagaimanakah Kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam pengawasan Notaris menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Dan HAM RI No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004?

b. Bagaimanakah akibat hukum dari Putusan Majelis Pengawas Notaris terhadap Notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Dan HAM RI No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004?

c. Bagaimanakah hambatan dalam pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas Notaris serta upaya-upaya untuk mengatasinya ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Dan HAM RI No.

M.02.PR.08.10 Tahun 2004?

4. Andre Prima Sembiring, NIM: 137011144, dengan judul Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Dalam Penerapan Sanksi Atas Pelanggaran

Administrasi Yang Dilakukan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris.

Rumusan Masalah :

a. Bagaimanakah kewenangan MPW dalam melakukan penerapan sanksi yang terhadap pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh Notaris?

b. Bagaimanakah akibat hukum terhadap notaris dan para pihak setelah dijatuhkan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah atas pelanggaran administrasi yang berlaku bagi Notaris?

c. Bagaimanakah upaya hukum yang dilakukan notaris dan/atau pihak yang dirugikan atas putusan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah terhadap pelanggaran yang dilakukan Notaris?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang dilakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti

“perenungan”, yang berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki berarti “realitas”.15

Di dalam suatu teori sedikitnya terdapat tiga unsur, yakni : Pertama, penjelasan mengenai hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori. Kedua,

15H. R Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum( Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka Kembali),(Bandung : Refika Aditama, 2004), hal. 21.

Teori menganut sistem deduktif, yaitu bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata. Ketiga, Teori memberikan penjelasan atau gejala yang dikemukakannya.16

Setiap penelitian memerlukan adanya landasan teoritis, sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa “landasan teoritis merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan digunakan untuk mengupas suatu kasus ataupun permasalahan.”17

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan. Hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan sosial. Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit), dan kepastian hukum (rechtszekerheid).

Sebuah penelitian membutuhkan kerangka teori untuk dapat menganalisis masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut, apalagi di dalam penelitian-penelitian yang berhubungan dengan disiplin ilmu hukum yang membutuhkan teori guna menganalisis masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut. Sebagaimana fungsi teori,teori merupakan susunan fakta-fakta secara teratur dan sistematis, atau lebih tegas diartikan bahwa teori adalah suatu kumpulan konsep, definisi dan dugaan yang memberikan gambaran sistematis tentang fakta yaitu dengan menggunakan saling hubungan antara variabel-variabel fakta yang secara keseluruhan berguna

16Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta : PT Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.

17M. Solly Lubis ,Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.

untuk menjelaskan dan memprediksikan fakta tersebut. Secara garis besar ada 3 (tiga) fungsi utama dari teori yaitu:

a. Teori memberikan arah tentang apa yang harus diteliti dari suatu objek, sehingga mampu membahas fenomena/ fakta yang akan dipelajari/diamati dari objek tersebut (yang relevan).

b. Teori menyusun fakta secara teratur/sistematis dalam bentuk generalisasi atau prinsip-prinsip, sehingga hubungan fakta-fakta satu sama lainnya mudah untuk dipahami.

c. Teori menunjukkan hubungan fakta-fakta, sehingga dengan pola hubungan itu dapat diramalkan fakta/kondisi yang belum pernah diketahui.18

Teori berhubungan erat dengan fakta. Teori dapat menunjukkan arah yang harus ditempuh untuk mengungkapkan fakta baru. Fakta dapat memberikan gambaran untuk menyusun teori baru atau memperluas, menyempurnakan, bahkan untuk menolak teori yang sudah ada (lama).

Fakta adalah pengamatan yang telah diverifikasikan secara empiris. Fakta dapat menjadi ilmu dapat juga tidak. Jika fakta hanya diperoleh saja secara random, fakta tersebut tidak akan menghasilkan ilmu. Sebaliknya, jika dikumpulkan secara sistematik dengan beberapa sistem serta beberapa pokok-pokok pengurutan, maka fakta tersebut dapat menghasilkan ilmu. Fakta tanpa teori juga tidak akan menghasilkan apa-apa.19

18Abdurrozaq Hasibuan, Metode Penelitian, (Medan, 2003), hal 4.

19Ibid

Adapun yang menjadi teori dalam penelitian ini adalah teori kewenangan, berkaitan dengan teori kewenangan ini, maka Pilar utama negara hukum (rechtstaat) yaitu asas legalitas (legalitas principle). Berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Beberapa pengertian tentang kewenangan dari para ahli yaitu:

a. H. D. Stout berpendapat bahwa wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintah oleh subyek hukum publik dalam hubungan dengan hukum publik.

b. E. Utrecht melihat bahwa kekuasaan (gezag, authority) lahir dari kekuasaan (match, power) apabila diterima sebagai sesuatu yang sah atau sebagai tertib hukum positif badan dan badan yang lebih tinggi itu diakui sebagai penguasa (autoriteit).

c. Soerjono Soekanto lebih melihat wewenang sebagi kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.

d. Bagir Manan berpendapat bahwa kekuasaan (match) menggambarkan hak untuk berbuat ataupun tidak berbuat, sedangkan wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten).20

20Hutagalung, dkk, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Raja Grafindo Persada:

Jakarta, 2008), hal 104.

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

Indoroharto mengatakan “bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.”21

Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya.

Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi wewenang. Beberapa pengertian mengenai atribusi, delegasi dan mandat:

a. Menurut H. D. van Wijk/ Willem Konijnenbelt mendefenisikan sebagai berikut:

1) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.

2) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

3) Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannnya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

b. Berbeda dengan van Wijk, F. A. M. Stoinkdan J. G. Steenbeek menyebutkan bahwa “Hanya ada 2 (dua) cara organ pemerintahan memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang

21Ridwan HR, Hukum Administrasi Negera, (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2006), hal 104.

baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Dalam hal mandat dikemukakan bahwa pada mandat tidak dibicarakan penyerahan wewenang, tidak pula pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (setidak-tidaknya dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal, sebagai contoh Menteri dengan pegawai, Menteri mempunyai kewenangan dan melimpahkan kepada pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama Menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada organ kementerian.”

c. Pengertian atribusi dan delegasi berdasarkan Algemene Bepalingen van Administratief Recht yaitu “Atribusi wewenang dikemukakan bila

undang-undang (dalam arti material) menyerahkan wewenang tertentu kepada organ tertentu). Dalam hal delegasi disebutkan berarti pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan yang telah diberi wewenang kepada organ lainnya, yang akan melaksanakan wewenang yang telah dilimpahkan itu sebagai wewenangnya sendiri. ”

d. Di dalam Al-gemene Wet Bestuursrecht (Awb), “Mandat berarti pemberian wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lainnya untuk mengambil keputusan atas namanya, sedangkan delegasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lain untuk mengambil keputusan dengan tangung jawab sendiri, artinya dalam penyerahan

wewenang melalui delegasi ini pemberi wewenang telah terlepas dari tanggung jawab hukum atau dari tuntutan pihak ketiga jika dalam penggunaan wewenangitu menimbulkan kerugian pada pihak lain.” Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini terdapat syarat-syarat sebagai berikut:

1) Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.

2) Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.

3) Delegasi tidak kepada bawahan artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak dibenarkan adanya delegasi.

4) Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan) artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.22

Peraturan kebijakan,23 artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Dalam kajian hukum administrasi negara, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum yaitu tidak ada

22Ibid, hal 104-107.

23Pengertian Peraturan Kebijakan adalah peraturan yang dibuat untuk berlaku di dalam instansi itu sendiri.

kewenangan tanpa pertanggungjawaban. Di dalam setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli dari Undang- undang. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu Undang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau dapat memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).

Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada pelimpahan wewenang dari pejabat satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans) tetapi beralih kepada penerima delegas (delegetaris). Sementara itu pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.24

Dalam kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat wewenang pemerintahan yaitu yang bersifat terikat, fakultatif dan bebas terutama dalam kaitannya dengan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan- keputusan

24Asmarani Ramli, Penerapan Fungsi Pembinaan dan Pengawasan Pejabata Pembuat Akta Tanah Oleh Pejabat Pada Badan Pertanahan. Tesis, (Makassar: Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2011), hal 52-53.

(besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikkingen) oleh organ pemerintah sehingga dikenal ada keputusan atau ketetapan yang bersifat terikat dan bebas. :

a. Wewenang pemerintahan yang bersifat terikat yakni terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus diambil. Dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi dari keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang pemerintahan semacam itu merupakan wewenang yang terikat.

b. Wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hak atau keadaan-keadaaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.

c. Wewenang bebas yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada badan atau pejabat Tata Usaha Negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Philipus M. Hadjon, dengan mengutip pendapat Spelt dan Ten Berge, membagi kewenangan bebas dalam 2 (dua) kategori yaitu kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoor-delingsvrijheid). Kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam

arti sempit) bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan, sedangkan organ tersebut bebas untuk tidak menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Adapun kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) ada apabila sejauh menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan ekslusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah dipenuhi.

Berdasarkan pengertian ini, Philip M. Hadjon menyimpulkan adanya 2 (dua) jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi yaitu kewenangan untuk memutus secara mandiri dan kewenangan interprestasi terhadap norma-norma tersamar (vege norm).25

Meskipun kepada pemerintahan diberi kewenangan bebas, dalam suatu negara hukum pada dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya atau kebebasan tanpa batas sebab dalam suatu negara hukum menegaskan bahwa baik penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang maupun pelaksanaan wewenang tunduk pada batasan-batasan yuridis. Mengenai penyerahan wewenang dan sebaliknya, terdapat aturan-aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Di samping itu, dalam negara hukum juga dianut prinsip bahwa setiap penggunaan kewenangan pemerintahan harus disertai dengan pertangungjawaban hukum.26

25Ibid, hal 110.

26Ibid, hal 54.

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. Selain itu MPN merupakan perpanjangan tangan Menteri Hukum dan HAM, MPN diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM sesuai Pasal 67 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004. Pengawasan Menteri Hukum dan HAM di delegasikan ke MPN.27

2. Konsepsi

Kerangka konsepsional ini penting dirumuskan agar tidak tersesat kepemahaman lain, diluar maksud yang diinginkan. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu sari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.28

Dalam bahasa Latin, kata conceptus (dalam bahasa Belanda, begrip) atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan defenisi yang dalam bahasa Latin adalah defenitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (dalam bahasa Belanda onschrijving) yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk

27 Hasil Wawancara dengan Anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris I(Marzuki) Kota Medan Pada Tanggal 29 Agustus 2016.

28Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996) dan Aminuddin dan H.

Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 48-49.

ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal di dalam epistimologi atau teori ilmu pengetahuan.29 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsional atau pengetian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.30

Di sini terlihat dengan jelas bahwa suatu konsepsional atau suatu kerangka konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun, suatu kerangka konsepsional terkadang dirasakan masih juga abstrak sehingga diperlukan defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit di dalam proses penelitian.31Maka konsepsional merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, konsepsional terdiri dari variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.32

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep tersebut sebagai berikut:

a. Upaya Hukum Administrasi/administratif adalah merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu perundang-undangan yang untuk menyelesaikan suatu sengketa Tata Usaha Negara yang dilaksanakan di lingkungan pemerintah sendiri

29Konsep berbeda dengan teori, dimana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang menjelaskan hubungan kausal antara dua variable atau lebih. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996), hal. 22-23 dan 58-59, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Ibid dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Ibid.

30Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta : UI Press, 1986), hal. 21.

31Satjipto Rahardjo, Op. cit, hal. 30 dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Op. Cit, hal. 48.

32Koentjaraningrat, et-al, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Cet 3, (Jakarta : Gramedia, 1980), hal. 21.

(bukan oleh badan peradilan yang bebas) yang terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administratif.33

b. Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.34

c. Majelis Pengawas Notaris yang selanjutnya disebut Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris (MPD, MPW, dan MPP).35

G. Metode Penelitian

Metode (Inggris : method, Latin : methodus, Yunani : methodos- meta berarti sesudah, di atas, sedangkan hodos berarti suatu jalan, suatu cara). Van Peursen mula-mula mengartikan metode sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, kemudian menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.36

Metode yang diterapkan di dalam suatu penelitian adalah kunci utama untuk menilai baik buruknya suatu penelitian. Metode ilmiah itulah yang menetapkan alur kegiatannya, mulai dari pemburuan data sampai ke penyimpulan suatu kebenaran yang diperoleh dalam penelitian itu.37

33Penjelasan Pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

34Desni Prianty Aff. Op. Cit. Hal 23.

35Pasal 1 ayat 6 Undang Nomor 2 Tahun 2014 sebagaimana perubahan atas Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

36 Johny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia Publishing, 2005), hal. 25

37Tampil Anshari Siregar, Metodelogi penelitian Hukum Penulisan Skripsi. (Medan : Pustaka Bangsa Press), 2005, hal. 15.

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.

Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yangbertentangan dalam suatu kerangka tertentu.38

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum doktrinal (doctrinal research) adalah penelitian yang bertujuan untuk memberikan eksposisi yang bersifat sistematis mengenai aturan hukum yang mengatur bidang hukum tertentu, menganalisis hubungan antara hukum yang satu dengan yang lain, menjelaskan bagian-bagian yang sulit untuk dipahami dari suatu aturan hukum, bahkan mungkin juga mencakup prediksi perkembangan suatu aturan hukum tertentu pada masa mendatang.39

Penelitian yuridis normatif tersebut mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Selain itu, dengan melihat sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainnya secara hierarki.40

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya adalah

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya adalah