• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alat Pengumpul Data

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Alat Pengumpul Data

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu :

a. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen, perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.

b. Wawancara, yang dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai bahan pendukung apabila diperlukan untuk penelitian terkait kewenangan Majelis Pengawas Wilayah.

Penelitian ini dilakukan dengan metode pengumpulan data, yaitu studi pustaka/ studi dokumen (documentary study), yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian.45 5. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang

45Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 105.

bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regulitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).46

Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek penelitian.47

Bahwa penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yang artinya data diuraikan secara deskriptif, sebagaimana bentuk-bentuk penelitian ilmu sosial, bila dilakukannya sebuah penelitian atas ilmu tersebut. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus, guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

Uraian jawaban penelitian atas penelitian tersebut, akan diuraikan secara terperinci dan detail pada bagian pembahasan, dan setelah itu, akan ditarik kesimpulan dari setiap pembahasan yang terdapat di dalam bab-bab pembahasan, selain menarik kesimpulan, maka akan diberikan sumbangsi saran, bagi stakeholder para pemangku kepentingan, guna mencapai tujuan dari penelitian ini.

46Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 53.

47Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Jambi : Mandar Maju, 2008), hal. 174.

BAB II

MAJELIS PENGAWAS NOTARIS MERUPAKAN LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

A. Majelis Pengawas Notaris

Pejabat atau instansi yang diberi wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 67 ayat (1) UUJN). Dalam pelaksanaan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas (Pasal 67 ayat (2) UUJN).

Berdasarkan Pasal 68 UUJN Majelis Pengawas terdiri dari : 1. Majelis Pengawas Daerah,

2. Majelis Pengawas Wilayah, dan 3. Majelis Pengawas Pusat.

MPN merupakan perpanjangan tangan Menteri Hukum dan HAM MPN di angkat oleh Menteri Hukum dan HAM sesuai Pasal 67 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 membentuk MPN. Pengawasan Menteri Hukum dan HAM di delegasikan ke MPN.48

Tiap Majelis Pengawas tersebut mempunyai tempat kedudukan yang berbeda, untuk Majelis Pengawas Daerah (MPD) berkedudukan di Kabupaten atau Kota (Pasal 69 ayat (1) UUJN), Majelis Pengawas Wilayah (MPW) berkedudukan di ibukota

48 Hasil Wawancara dengan anggota Majelis Pengawas Notaris Daerah Kota yaitu Bapak Marzuki Pada Tanggal 30 Agustus 2016

Propinsi (Pasal 72 ayat (1) UUJN) dan Majelis Pengawas Pusat (MPW) di ibukota negara (Pasal 76 ayat (1) UUJN).

Majelis Pengawas Notaris secara umum mempunyai ruang lingkup atau berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris (Pasal 70 huruf a, Pasal 73 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 77 huruf a dan b UUJN). Berdasarkan substansi pasal tersebut bahwa Majelis Pengawas Notaris berwenang melakukan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran :

1. Kode Etik;

2. Pelaksanaan tugas jabatan Notaris.

Tiap jenjang Majelis Pengawas mempunyai wewenang masing-masing dalam melakukan pengawasan dan untuk menjatuhkan sanksi. UUJN tidak memberikan kewenangan kepada MPD untuk menjatuhkan sanksi apapun terhadap Notaris, tapi hanya MPW dan MPP yang berwenang untuk memberikan sanksi. MPW berwenang untuk memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis (Pasal 73 ayat (1) huruf e UUJN), dan sanksi tersebut bersifat final (Pasal 73 ayat (2) UUJN), dan putusan mengusulkan kepada MPP berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) bulan, dan mengusulan kepada MPP untuk memberhentikan tidak hormat dari jabatan Notaris (Pasal 73 ayat (1) huruf f UUJN).

MPP berwenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris diatur dalam Pasal 77 huruf c dan d UUJN, yaitu :

1. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara, dan

2. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian tidak hormat kepada Menteri.

Pemeriksaan atau sidang yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, Notaris sebagai terlapor (ataupun Notaris sebagai pelapor yang melaporkan sesama Notaris) Majelis Pengawas diberi wewenang untuk mendengarkan keterangan dan menerima tanggapan serta menerima bukti-bukti dari Notaris sebagai terlapor (ataupun Notaris sebagai pelapor yang melaporkan sesama Notaris). Pasal 70 huruf a UUJN memberi wewenang kepada MPD menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggar Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan Jabatan Notaris.

Pada dasarnya pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri (Pasal 67 ayat (1) UUJN) dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Majelis Pengawas yang dibentuk oleh Menteri (Pasal 67 ayat (2) UUJN). Menempatkan kedudukan Majelis Pengawas yang melaksanakan tugas pengawasan dari Menteri dapat dianggap sebagai menerima tugas dari Menteri (secara atributif) sebagai pihak yang mempunyai urusan pemerintahan.

Dengan demikian perlu dikaji kedudukan Majelis Pengawas yang secara fungsional (dalam fungsinya) telah melakukan urusan pemerintahan. Majelis Pengawas dalam menjalankan kewenangannya mengeluarkan putusan yang ditujukan kepada Notaris, baik putusan menjatuhkan sanksi administratif ataupun putusan mengusulkan untuk memberikan sanksi-sanksi tertentu dari MPW kepada MPP ataupun MPP kepada Menteri. Dengan demikian perlu ditentukan dasar hukum

putusan dari Majelis Pengawas sebagai suatu Figur Hukum dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara.

B. Perbedaan antara Majelis Pengawas Notaris (MPN) dan Majelis Kehormatan Notaris (MKN)

Majelis Pengawas Notaris (“Majelis Pengawas”) adalah suatu badan yang mempunyai “kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris”.49

Majelis Kehormatan Notaris (“MKN”) adalah suatu badan yang mempunyai “kewenangan untuk melakukan pembinaan Notaris” dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.50

Apabila melihat pengertian Majelis Pengawas Notaris dan Majelis Kehormatan Notaris di atas, maka Majelis Pengawas dan MKN itu memiliki persamaan, yaitu sama-sama melakukan pembinaan Notaris. Akan tetapi pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tersebut mempunyai perbedaan yang sangat mendasar.

Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 lebih mengarah pada pembinaan notaris untuk selalu melaksanakan tugas sesuai pada aturan yang

49Pasal 1 (3) Permenkumham No. 7/2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris.

50Pasal 1 (1) Permenkumham No. 7/2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris.

mengatur tentang jabatan notaris, sedangkan majelis Kehormatan Notaris melakukan pembinaan lebih mengarah pada agar notaris terhindar dari perbuatan-perbuatan yang bersifat tindak pidana disaat melaksanakan tugas-tugasnya sebagai notaris.

Kedudukan Majelis Kehormatan Notaris ada dan diadakan sebagai perwujudan pelaksanaan tugas Majelis Pengawas Daerah yang dialihkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan didukung oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PUU-X/2012, sehingga pada prinsipnya Majelis Kehormatan Notaris yang berkedudukan di Kabupaten dan Kota, mempunyai kedudukan yang setara dengan Majelis Pengawas Daerah yang berada di Kabupaten dan Kota, oleh karena itu senyatanya perbandingan kewenangan Majelis Kehormatan Notaris dapat dibandingkan dengan kewenangan Majelis Pengawas Daerah, sehingga dapat diambil sebuah perbedaan yang jelas perbandingan kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Kehormatan Notaris dengan Majelis Pengawas Notaris khususnya Majelis Pengawas Daerah.

Adapun perbedaan tersebut dapat dilihat melalui kewenangan yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Kewenangan Majelis Pengawas Notaris

Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris

1. Memberikan izin cuti untuk jangka waktu sampai dengan 6 (enam)

1. Kewenangan untuk memberikan persetujuan atau menolak

bulan.

2. Menetapkan notaris pengganti.

3. Menentukan tempat penyimpanan protokol notaris yang saat serah terima protokol notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih.

4. Memberikan paraf dan

menandatangani daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan dan daftar surat lain yang diwajibkan undang-undang

5. Menerima penyampaian secara tertulis salinan dari dafar akta, daftar surat dibawah tangan yang disahkan, dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan yang telah disahkannya, yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lambat 15

memberikan persetujuan atas dilakukannya pemanggilan terhadap notaris yang terindikasi melakukan tindak pidana yang harus diperiksa oleh penyidik, penuntut umum atau hakim dan pengambilan fotocopy minuta dan;

2. Kewenangan untuk memberikan pembinaan terhadap notaris agar notaris terhindar dari tuntutan atas dasar telah melakukan tindak pidana,

(lima belas) hari kalender pada bulan berikutnya, yang memuat sekurang-kurangnya nomor, tanggal dan judul akta

Kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Kehormatan Notaris sebagaimana telah disebutkan di atas hanya melaksanakan sebahagian tugas Majelis Pengawas Daerah Notaris setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, selain kewenangan Majelis Pengawas Daerah yang telah berkurang, maka kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat, masih mempunyai kewenangan yang sama sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut, di saat masih berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

1. Fungsi Pengawasan Bertentangan Dengan Fungsi Pembinaan

Majelis Pengawas seharusnya melakukan fungsi pengawasan secara komprehensif terhadap kegiatan kenotariatan yang dilakukan oleh seorang Notaris.

Pengawasan seharusnya bersifat berkala, regular dan teratur, seperti pemeriksaan repertorium yang dilakukan secara rutin setiap tahunnya. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kesalahan dan kealpaan dalam praktek yang dilakukan oleh Notaris. Pengawasan dilakukan meskipun tidak ada pengaduan dari masyarakat yang menerima pelayanan hukum dari Notaris. Kalaupun terdapat kesalahan atau ketidakmengertian dalam praktek kenotariatan, maka Majelis Pengawas berwenang

untuk memberitahu dan mengingatkan sesuai asas, prinsip dan ilmu kenotariatan yang benar. Fungsi pengawasan dilakukan untuk mencegah timbulnya permasalahan hukum. Sementara itu, Majelis Kehormatan Notaris memiliki kewenangan pembinaan apabila telah terdapat pengaduan dari masyarakat yang menerima pelayanan hukum dari Notaris. Majelis Kehormatan Notaris Wilayah berwenang bertindak apabila telah terjadi masalah hukum dan/atau sengketa yang melibatkan para pihak, sehingga diperlukan adanya alat bukti atas perbuatan hukum yang telah dilakukan para pihak dan/atau adanya dugaan kesalahan/tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.

Pembinaan dalam hal ini bisa dipahami sebagai pengayoman dan perlindungan hukum terhadap Notaris yang telah melaksanakan tugas jabatannya berdasarkan asas, prinsip, dan ilmu kenotariatan yang benar.

2. Preventif Bertentangan Dengan Reaktif Kuratif

Pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab Majelis Kehormatan Notaris diatur di dalam Permenkumham RI Nomor 7 Tahun 2016. Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris ialah:

a. Kewenangan untuk memberikan persetujuan atau menolak memberikan persetujuan atas dilakukannya pemanggilan terhadap notaris yang terindikasi melakukan tindak pidana yang harus diperiksa oleh penyidik, penuntut umum atau hakim dan pengambilan fotocopy minuta dan;

b. Kewenangan untuk memberikan pembinaan terhadap notaris agar notaris terhindar dari tuntutan atas dasar telah melakukan tindak pidana.

Pelaksanaan kewenangan yang juga merupakan tugas dan tanggung jawab dari Maejelis Kehormatan Notaris ini, dilakukan secara berjenjang dimulai dari Majelis Kehormatan Daerah, dapat diteruskan kepada Majelis Kehormatan Wilayah dan selanjutnya sampai pada Majelis Kehormatan Pusat. Jenjang pada Majelis Kehormatan Notaris tersebut, tentu diadakan dengan tujuan upaya dari pada Notaris apabila keberetan pada putusan dari setiap jenjang, senyatanya jenjang yang ada pada Majelis Kehormatan Notaris hampir sama dengan jenjang yang ada pada Majelis Pengawas Notaris, akan tetapi Majelis Kehormatan Notaris dan Majelis Pengawas Notaris memiliki perbedaan yang sangat mendasar terlebih dalam hal pengawasan dan pembinaan terhadap para notaris.

Majelis Pengawas melaksanakan kewenangan yang bersifat preventif, yaitu menjaga dan mencegah agar Notaris tidak terlibat dalam suatu permasalahan hukum.

Sementara Majelis Kehormatan Notaris melaksanakan kewenangan yang bersifat reaktif dan kuratif. Reaktif, karena Majelis Kehormatan Notaris baru bertindak apabila terdapat permohonan dari penyidik, penuntut umum dan hakim, sebagai akibat timbulnya permasalahan hukum terkait Notaris dan/atau produk hukum yang dihasilkan Notaris. Kuratif, karena Majelis Kehormatan Notaris Wilayah (berdasarkan hasil eksaminasi Majelis Pemeriksa) memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mendudukan permasalahan hukum yang sebenarnya terjadi, apabila timbul sengketa dan/atau tindak pidana yang melibatkan Notaris atau produk hukum yang dibuat oleh Notaris. Majelis Kehormatan Notaris Wilayah memiliki diskresi untuk menolak atau menyetujui permohonan yang diajukan oleh penyidik, penuntut

umum dan hakim berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Pemeriksa.

3. Kewenangan Pembinaan

Menurut DR. Habib Adjie, SH, M. Hum hingga saat ini belum ada data terkait jumlah Notaris dan PPAT yang akurat. Namun beliau memperkirakan bahwa jumlah Notaris sekitar 14.000 orang. Tentunya ini merupakan jumlah yang sangat besar.51

Melihat jumlah tersebut pembinaan Notaris seharusnya adalah gerakan yang bersifat preventif, masif dan berkesinambungan, tidak hanya sekedar reaktif (apabila terjadi masalah hukum) seperti yang tergambar dalam Permenkumham Nomor. 7 Tahun 2016 tersebut. Apabila melihat definisi kata “pembinaan” menurut kamus bahasa Indonesia adalah: “(1) proses, cara, perbuatan membina (negara, dsb); (2) Pembaharuan, penyempurnaan; (3) usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik.”

Berbicara mengenai program pembinaan maka ada beberapa hal yang seharusnya menjadi dasar dan prioritas program pembinaan. Target pembinaan harus jelas. Program pembinaan juga harus dilakukan secara efisien dan efektif, dengan output, outcome dan impact yang harus jelas dan terukur. Apabila Majelis Kehormatan Notaris Wilayah bersifat reaktif, maka Majelis Kehormatan Notaris

51Majelis Kehormatan Notaris http://www. indonesianotarycommunity. com/majelis-kehormatan-notaris-catatan-diskusi-inc/diakses pada tanggal 28 November 2016

Pusat seharusnya dapat memiliki kewenangan pembinaan dalam konteks “thinker”52 yang bertugas membuat policy serta grand design strategy53 progam pembinaan Notaris. Pelaksanaan pembinaan harus meliputi pemantauan, pendampingan, dan pengayoman oleh Majelis Kehormatan Notaris Wilayah berdasarkan skala prioritas dan urgensitas masalah yang biasa terjadi dalam praktek kenotariatan.

C. Kedudukan Majelis Pengawas Notaris Sebagai Lembaga yang Melakukan Pengawasan, Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi Terhadap Notaris.

Majelis Pengawas Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenanangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris. Pengawas Notaris dibentuk berdasarkan :

1. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

2. Permenhukham No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Tentang Tata cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, susunan Organisasi, Tata Kerja, dan tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.

3. Kepmenhukham Nomor M. 39-PW. 07. 10. Tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris.

Menurut Pasal 11 Permenhukham . M.02.PR.08.10 Tahun 2004 menyebutkan Majelis Pengawas Notaris berangggotakan 9 (Sembilan) orang terdiri atas 1 (satu)

52Yang dimaksud dengan Majelis Kehormatan Pusat sebagai “thinker” disini ialah pemberi petunjuk dan arahan kepada Majelis Kehormatan Daerah dan Majelis Kehormatan Wilayah yang merupakan lembaga yang dibawahinya.

53 policy serta grand design strategy ialah kebijakan dalam bentuk format dalam bentuk petunjuk pelaksana dan petunjuk tertulis.

orang ketua merangkap anggota, 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota.

Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh anggota yang dilakukan secara musyawarah atau pemungutan suara. Pasal 12 Peraturan Menteri tersebut menyebutkan bahwa Majelis Pengawas notaris dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris.

Permenhukham M.02.PR.08.10 Tahun 2004 mengalami perubahan dengan diterbitkannya Permenhukham M.HH. 06-AH.02.10 Tahun 2009 tentang Sekretaris Majelis Pengawas Notaris.

Sesuai Permenhukham M.HH.06-AH.02.10 Tahun 2009 tentang Sekretaris Majelis Pengawas Notaris. Sekretaris Majelis pengawas Notaris yang selanjutnya disebut Sekretaris Majelis adalah ex officio yang bertugas memimpin sekretariat Majelis Pengawas Notaris. Sekretariat Majelis Pengawas Daerah dilaksanakan secara fungsional oleh Lembaga pemasyarakat dengan pertimbangan:

1. Unit Pelaksana Tugas Kantor Wilayah yang ada di Kabupaten/Kota hanya lembaga pemasyarakatan. Pemaknaan Lembaga Pemasyarakatan bukan lembaganya tetapi pejabat structural yang berpendidikan sarjana Hukum atau yang membidangi administrasi atau ketatausahan baik di Bapas, Rupbasan.

2. Pejabat struktural yang dimaksud adalah bukan kepala Unit Pelaksana Tugasnya.

Hal ini untuk tidak membebani tugas Ka Unit Pelaksana Tugas.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik.

Mengingat kewenangan Notaris sangat penting, Notaris membutuhkan suatu fungsi kontrol, supaya Notaris dapat melaksanakan kewenangan dengan baik sebagaimana

diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).

Pada dasarnya yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dalam pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Menteri sebagai kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang hukum dan hak asasi manusia. Dengan demikian kewenangan pengawasan terhadap Notaris ada pada pemerintah, sehingga berkaitan dengan cara pemerintah memperoleh wewenang pengawasan tersebut.

Ada 3 (tiga) cara utama untuk memperoleh wewenang pemerintah, yaitu Atribusi, Delegasi, dan Mandat.

Atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya

kepada organ tertentu atau juga dirumuskan pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam Undang-undang Dasar atau Undang-undang.

Delegasi merupakan pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Dalam rumusan lain bahwa delegasi sebagai penyerahan wewenang oleh pejabat pemerintahan (Pejabat TUN) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut. Pendapat yang pertama, bahwa delegasi itu harus dari Badan atau jabatan

TUN kepada badan atau Jabatan TUN lainnya, artinya baik delegator maupun delegasi harus sama-sama Badan atau Jabatan TUN. Pendapat yang kedua bahwa

delegasi dapat terjadi dari Badan atau Pejabat TUN kepada pihak lain yang belum tentu Badan atau Jabatan TUN. Dengan ada kemungkinan bahwa Badan atau Jabatan TUN dapat mendelegasikan wewenangnya (delegasi) kepada Badan atau Jabatan yang bukan TUN (delegataris). Suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Badan atau Jabatan TUN yang tidak mempunyai atribusi

wewenang tidak dapat mendelegasikan wewenangnya kepada pihak lainnya.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, bahwa wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris secara atributif ada pada Menteri sendiri, yang dibuat, diciptakan dan diperintahkan dalam undang-undang sebagaimana tersebut dalam Pasal 67 ayat (1) UUJN.

Kedudukan Menteri sebagai eksekutif (pemerintah) yang menjalankan kekuasaan pemerintah dalam kualifikasi sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 67 ayat (2) UUJN Menteri mendelegasikan wewenang pengawasan tersebut kepada suatu badan dengan nama Majelis Pengawas. Majelis Pengawas menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris. Dengan demikian Menteri selaku delegans dan Majelis Pengawas selaku delegataris. Majelis Pengawas sebagai delegataris mempunyai

wewenang untuk mengawasi Notaris sepenuhnya, tanpa perlu untuk mengembalikan wewenangnya kepada delegasi.

D. Majelis Pengawas Notaris Sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara 1. Sumber Kewenangan Yang Dimiliki Oleh Majelis Pengawas Notaris

Dalam setiap organisasi terutama organisasi pemerintahan fungsi pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin adanya kearsipan antara penyelenggara tugas pemerintahan oleh daerah-daerah dan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.54

Sebelum lebih jauh membicarakan Majelis Pengawas Notaris yang terdiri dari Majelis Pengawas Daerah (MPD), Majelis Pengawas Wilayah (MPW), Majelis Pengawas Pusat (MPP). Pada dasarnya peran pengawasan Notaris adalah dilakukan oleh negara yang dalam hal ini dijalankan oleh Menteri. Menterinya menurut UUJN adalah Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan atau dengan tegas adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kemudian dalam pengawasannya Menteri mendelegasikan kepada sebuah Majelis Pengawasan. Bangunan Hukum dari Majelis Pengawas tersebut tersusun pada pasal 67 UUJN:

a. Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri.

54 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Hukum Administrasi Pemerintahan DiDaerah, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1993 ), hal. 233

b. Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas.

c. Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur:

1) pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;

2) organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan 3) ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.

d. Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri.

e. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris.

f. Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris.

Senada dengan Pasal 67 ayat (3) Undang-undang Jabatan Notaris Nomor. 30 Tahun 2004 yang telah direvisi melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014, maka Suprayitno juga menegaskan tentang susunan dari Majelis Pengawas tersebut sebagai berikut:

a. Pengangkatan Majelis Pengawas wilayah Notaris sebanyak 3 (tiga) orang

a. Pengangkatan Majelis Pengawas wilayah Notaris sebanyak 3 (tiga) orang