• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majelis Pengawas Notaris Sebagai Badan atau Jabatan Tata

BAB II MAJELIS PENGAWAS NOTARIS MERUPAKAN

D. Majelis Pengawas Notaris Sebagai Badan atau Jabatan Tata

Dalam setiap organisasi terutama organisasi pemerintahan fungsi pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin adanya kearsipan antara penyelenggara tugas pemerintahan oleh daerah-daerah dan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.54

Sebelum lebih jauh membicarakan Majelis Pengawas Notaris yang terdiri dari Majelis Pengawas Daerah (MPD), Majelis Pengawas Wilayah (MPW), Majelis Pengawas Pusat (MPP). Pada dasarnya peran pengawasan Notaris adalah dilakukan oleh negara yang dalam hal ini dijalankan oleh Menteri. Menterinya menurut UUJN adalah Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan atau dengan tegas adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kemudian dalam pengawasannya Menteri mendelegasikan kepada sebuah Majelis Pengawasan. Bangunan Hukum dari Majelis Pengawas tersebut tersusun pada pasal 67 UUJN:

a. Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri.

54 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Hukum Administrasi Pemerintahan DiDaerah, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1993 ), hal. 233

b. Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas.

c. Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur:

1) pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;

2) organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan 3) ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.

d. Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri.

e. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris.

f. Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris.

Senada dengan Pasal 67 ayat (3) Undang-undang Jabatan Notaris Nomor. 30 Tahun 2004 yang telah direvisi melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014, maka Suprayitno juga menegaskan tentang susunan dari Majelis Pengawas tersebut sebagai berikut:

a. Pengangkatan Majelis Pengawas wilayah Notaris sebanyak 3 (tiga) orang yang merupakan unsur dari notaris dan direkomendasikan oleh pengurus wilayah notaris Sumatera Utara, dan nama-nama yang telah dipilih oleh

Pengurus Wilayah Notaris selanjutnya diajukan ke Kementerian Hukum dan Ham RI.

b. Unsur yang kedua adalah dari akdemisi sebanyak 3 (tiga) orang yang dipilih oleh dekan fakultas hukum dan selanjutnya direkomendasikan kepada Kantor Wilyah Kementerian hukum dan Ham.

c. Unsuryang ketiga adalah utusan pemerintah “dari Pegawai Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM-RI” sebanyak 3 (tiga) orang yang mana langsung diajukan ke Menteri Hukum dan HAM-RI untuk disahkan.55

Dari bangunan hukum di atas dapat diterapkan dua Teori Perolehan Kewenangan yang diterapkan oleh UUJN hingga akhirnya peran pengawasan dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris. Teori yang mana menurut kajian Hukum Administrasi negara adalah Teori Atributif, yaitu kewenangan yang diperoleh Menteri langsung dari undang-undang. Kewenangan atributif lazimnya digariskan atau berasal dari adanya pembagian kekuasaan negara oleh UUD. Istilah lain untuk kewenangan atributif adalah kewenangan asli atau kewenangan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada siapapun. Dalam kewenangan atributif, pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh pejabat atau badan tersebut tertera dalam peraturan dasarnya.

Adapun mengenai tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada pejabat ataupun pada badan sebagaimana tertera dalam peraturan dasarnya. Sementara

55Wawancara dengan Notaris/PPAT Kota Medan yaitu Suprayitno, yang mana beliau juga merupakan anggota Majelis Pengawas Wilayah Notaris Sumatera Utara, wawancara dilakukan pada hari Kamis tanggal 01 September 2016.

Kewenangan kedua adalah kewenangan delegatif, yaitu kewenangan Majelis Pengawas hingga dapat menjalankan pengawasan.

Kewenangan delegatif merupakan kewenangan yang bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan kewenangan mandat, dalam kewenangan delegatif, tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada yang diberi limpahan wewenang tersebut atau beralih pada delegataris. Dengan begitu, si pemberi limpahan wewenang tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada azas contrarius actus. Oleh sebab itu, dalam kewenangan delegatif peraturan dasar berupa peraturan perundang-undangan merupakan dasar pijakan yang menyebabkan lahirnya kewenangan delegatif tersebut.

Tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur pelimpahan wewenang tersebut, maka tidak terdapat kewenangan delegatif.56

Dari Uuraian di atas dapat dipahami bahwa Menteri sebagai Tata Usaha Negara menerima kewenangan berupa pengawasan notaris secara atributif atau langsung dari Undang-undang, setelah itu Menteri mendelegasikan kewenangan mengawasnya kepada Majelis Pengawasan Notaris.

Perihal pertanyaan pertama dalam dunia Hukum Administrasi terdapat ada dua pandangan. Pertama, bahwa delegasi itu harus dari badan atau jabatan TUN kepada Badan atau jabatan TUN lainnya, artinya baik delegator maupun delegasi

56Lutfi Effendi, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Edisi pertama Cetakan kedua, (Malang:

BayumediaPublishing, 2004), hal. 77-79

harus sama-sama Badan atau Jabatan TUN. Pendapat yang Kedua, bahwa delegasi dapat terjadi dari badan atau pejabatan TUN kepada pihak lain yang belum tentu Badan atau Jabatan TUN.57

Untuk mengatasi dua pemikiran tentang apakah Majelis Pengawas Notaris adalah Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara atau bukan, patutlah disimak terlebih dahulu kutipan yang penulis ambil dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 009-014/PUU-III/2005 berkaitan dengan uji materi58 Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004. Putusan atas dasar gugatan dari Persatuan Notaris Reformasi Indonesia (PERNORI), materi gugatannya cukup banyak namun yang menjadi menarik perihal Majelis Pengawas Notaris adalah permohonan PERNORI agar bunyi pasal 77 huruf (c) menjadi:

Majelis Pengawas Pusat berwenang:

a. menyelenggarakan sidang, untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi;

b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian sementara atau pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri yang bidang tugas

57Habib Adjie, Op. Cit, hal

58 Pada tahun 1974, bersamaan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah agung diberiu kewenangan untuk menguji peraturan perundangan-undangan di bawah Undang-undang. Pada tahun 2001, melalui proses amandemen Undang-undang Dasar 1945, dibentuk Mahkamah Konstitusi yang salah satu kewenangannya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, dengan demikian di atas merupakan hak uji materi undang-undang jabatan notaris terhadap Undang-undang Dasar, Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hal 1-2.

dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan setelah Notaris membela diri dan pembelaan dirinya ditolak oleh Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara, yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;59 Hal ini dimohonkan dengan alasan agar persepsi masyarakat umum dan masyarakat notaris menjadi satu bahwa Majelis pengawas adalah Badan atau Jabatan Tata Usaha sehingga Keputusannya dapat dijadikan obyek sengketa dari PTUN.

Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa pemberhentian sementara yang dilakukan oleh Majelis Pengawas sambil menunggu Keputusan Menteri atas usul pemberhentian dengan tidak hormat merupakan tindakan yang penting. Hal itu diperlukan, di satu sisi, untuk mencegah tindakan yang tidak diinginkan dari notaris terlapor selama tenggang waktu tersebut, dan di sisi lain, untuk mencegah kesewenang-wenangan Majelis Pengawas. Pemberhentian sementara dan pengusulan untuk memberhentikan dengan tidak hormat, merupakan tindakan Tata Usaha Negara (administratief rechtshandeling).60

Pandangan Mahkamah Konstitusi tersebut menunjukan secara nyata bahwa Mahkamah Konstitusi mengakui kegiatan yang dijalankan oleh Majelis Pengawas Notaris adalah kegiatan Tata Usaha Negara. Sehingga Putusan yang dibuatnya adalah putusan Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sehingga tidak perlu lagi

59Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 009-014/PUU-III/2005. , hlm. 17

60Ibid. hal 125.

mengubah bunyinya karena yang dimaksud sudah menjadi “ruh” bagi pasal tersebut.61

Kedudukan Menteri selaku Badan atau Jabatan TUN yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku membawa konsekuensi terhadap Majelis Pengawas, yaitu Majelis Pengawas berkedudukan pula sebagai Badan atau Jabatan TUN, karena menerima delegasi dari badan atau Jabatan yang berkedudukan sebagai Badan atau Jabatan TUN.

Dengan demikian secara kolegial Majelis Pengawas sebagai : a. Badan atau Pejabat TUN;

b. Melaksanakan urusan pemerintahan;

c. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yaitu melakukan pengawasan terhadap Notaris sesuai dengan UUJN.

Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris terhadap para Notaris dilakukan dengan merujuk pada patokan yang utama yaitu Undang-undang Jabatan Notaris, dengan demikian pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris mempunyai standarisasi pengawasan yang terukur dan terstandar.

Menurut Marzuki Majelis Pengawas Notaris diangkat oleh pejabat Tata Usaha Negara disesuaikan dengan kedudukan Majelis Pengawas tersebut:

a. MPD diangkat oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham tersebut;

61Yang dimaksud dengan “Ruh” perundang-undangan adalah kemampuan kita untuk melihat apa motivasi dibalik bunyi perundang-undangan tersebut.

b. MPW diangkat oleh Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum;

c. MPP diangkat Menteri Hukum dan HAM berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM.62

Perihal pengakatan dan pemberhentian ini diatur secara jelas dan tegas melalui Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004.

Pendapat Ilham Lubis mengenai pembahasan Majelis Pengawas Notaris merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mempunyai pemikirin tersendiri yaitu:

“Majelis Pengawas Notaris adalah suatu badan, bukan pejabat Tata Usaha Negara lihat peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor. M.02.PR.08.10 Tahun 2004 dengan Tata Cara Pengakatan dan Pemberhentian dan Tata Kerja Majelis Pengawas Notaris serta Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor.

M.39.PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Tugas Majelis Pengawas Notaris”.63

Beberapa perdebatan di atas, mengenai kedudukan Majelis Pengawas Notaris di atas, kerangka hukum yang dapat diambil dari hukum di atas, lebih menitik

62Ibid

63Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Ilham Lubis pada tanggal 30 Agustus 2016

beratkan pada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Majelis Pengawas Notaris merupakan Badan Tata Usaha Negara, yang putusannya merupakan objek Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Putusan Majelis Pengawas Notaris sebagai objek Tata Usaha Negara yang dapat digugat dapat disamakan dengan penetapan atau putusan pejabat Tata Usaha Negara yang menjalankan fungsi Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan pada Undang-undang tentang Peratun (Peradilan Tata Usaha Negara).

Dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian materi Undang-undang Jabatan Notaris terhadap Undang-undang Dasar 1945, maka konsep Undang-undang Jabatan Notaris telah merubah mindset (pemikiran) dari Undang-undang Jabatan Notaris yang menyatakan secara tegas kedudukan Majelis Pengawas Notaris Merupakan Pejabat Tata Usaha Negara.

2. Majelis Pengawas Notaris Merupakan Jabatan Tata Usaha Negara ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Pengawas Notaris sebagaimana disebutkan di atas bila ditinjau dari Undang-Undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Pengawas Notaris.

Berdasarkan Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang sumber kewenangan dari pejabat tata usaha negara, maka kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Pengawas Notaris sebagaimana disebutkan di atas pada sub bab

sebelumnya, adalah kewenangan yang bersumber atas adanya aturan perintah Undang-Undang Jabatan Notaris pada Majelis Pengawas Notaris serta delegasi kewenangan dari pejabat sebelumnya yaitu Menteri Hukum dan Ham RI guna melaksanakan fungsi pelayanan terhadap masyarakat. sebagaimana tertuang di dalam Pasal 7 ayat (2) huruf j Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang berkenaan menerbitkan permohonan masyarakat atas terbitnya sebuah Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat dikaitkan dengan fungsi pelayananan yang dimiliki oleh Majelis Pengawas Notaris, yang berwenang untuk menerima laporan pengaduan masyarakat, lembaga, dan lain-lain atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris, yang selanjutnya laporan pengaduan tersebut dapat diteruskan melalui pemeriksaan dan putusan pemberian sanksi kalau terbukti notaris yang di laporkan tersebut memang senyatanya bersalah sebagaimana laporang pengaduan yang diterima oleh Majelis Pengawas Notaris.

Berdasarkan sumber kewenangan dan fungsi kewenangan pada Majelis Pengawas Notaris sebagaimana diuraikan di atas, maka senyatanya bahwa Majelis Pengawas Notaris merupakan pejabat tata usaha Negara yang menjalankan bagian dari fungsi administrasi sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

BAB III

KEPUTUSAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DAPAT DIKATAKAN MERUPAKAN BAGIAN DARI OBJEK SENGKETA

TATA USAHA NEGARA

A. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Ketetapan Tata Usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini diperkenalkan di negeri Belanda dengan nama Beschikking oleh Van Vollenhoven dan C. W van der Pot yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner, H. D. Van Wiljk/Willemkonjinenbelt, dan lain-lain, dianggap sebagai “de vader vanhet modern beschikking begrip.64

Di Indonesia istilah Beschikking diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins ada yang memperkenalkan istilah Beschikking ini dengan “ketetapan”, seperti E.

Utrecht, Bagir Manan, Sjchran Basah, Indroharto dan lain-lain, dan dengan

“keputusan”. Djenal Hoesen dan Muchsan mengatakan bahwa penggunaan istilah keputusan barang kali akan lebih tepat untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian dengan istilah ketetapan.65

Menurutnya di Indonesia istilah ketetapan sudah memiliki pengertian teknis yuridis, yaitu sebagai ketetapan MPR yang berlaku ke luar danke dalam. Meskipun penggunaan istilah keputusan dianggap lebih tepat. Istilah ketetapan dengan pertimbangan untuk membedakan dengan penerjemahan “besluit” (keputusan) yang

64Ridwan HR. Op. Cit, hal 144

65Ibid, hal 144-145.

sudah memiliki pengertian khusus, yaitu sebagai keputusan yang bersifat umum dan mengikat atau sebagai peraturan perundang-undangan.

Istilah “Beschikking” sudah sangat tua dan dari segi kebahasaan digunakan dalam berbagai arti. Meskipun demikian, dalam pembahasan ini istilah Beschikking hanya dibatasi dalam pengertian yuridis, khususnya HAN. Menurut H. D van Wiljk Willem Konijnenbelt, ketetapan merupakan keputusan pemerintah untuk hal yang bersifat konkret dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu telah dijadikan intrumen yuridis pemerintahan yang utama.66

Konsepsi tentang Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)67 dalam UU PERATUN berbunyi, keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarakan oleh Badan atau Pejabat yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan atau sering disebut Undang-undang Administrasi Pemerintahan , konsepsi KTUN ini diatur lebih detail dan menyeluruh, sehingga menimbulkan konstruksi baru tentang elemen-elemen yang terkandung dalam KTUN yang akan menjadi obyek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasal 1 butir 7 berbunyi Keputusan administrasi pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut

66Ibid, hal 145-146.

67Ibid

Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Ruang lingkup sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN juga semakin luas karena disebutkan dalam Pasal 87, Keputusan Badan dan/atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Sementara UU PERATUN masih mengandung konsep yang lebih rigid dan sempit.

Sumber hukum materil dalam sebuah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara juga belum terakomodir melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negarajo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan akan mempermudah para hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menguji sebuah sengketa administrasi karena dapat menjadi sumber hukum materil dalam suatu pengujian Keputusan Tata Usaha Negara.

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan

keputusan yang dimaksud. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan dalam hal peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Bertolak belakang pada Pasal 77 ayat (5) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menyebutkan tentang penyelesaian upaya administratif berupa keberatan harus diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, maka keberatan tersebut dianggap dikabulkan. Disini dapat dilihat perubahan paradigma dalam pelayanan publik. Hal ini akan mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Hukum acara mengenai pengajuan permohonan ini semestinya harus menyesuaikan diri agar tidak terjadi tumpang tindih dalam tindakan dan keputusan pihak yang berwenang.

Keputusan dan ketetapan Tata Usaha Negara merupakan tindakan Tata Usaha Negara, dimana tindakan Tata Usaha Negara tersebut terdiri dari 2 macam yaitu:

1. Tindakan hukum TUN berdasar hukum perdata (hukum privat) misalnya menyewakan ruang (Pasal 1548), jual-beli (Pasal 1457) ataupun perjanjian kerja (BK III BW) yang dilakukan oleh pejabat Tata Usaha Negara untuk kepentingan jabatan.

2. Tindakan hukum TUN berdasarkan hukum publik, yaitu tindakan menurut hukum publik yang bersifat sepihak yang dilakukan oleh badan atau pejabat

TUN dalam rangka melaksanakan utusan pemerintahan dengan maksud menimbulkan akibat hukum.68

Bila melihat dan menganalisis dua (2) tindakan sebagaimana disebutkan di atas, maka selayaknya yang dapat dikatakan sebagai tindakan dari Pejabat Tata Usaha Negara yang mempunyai muatan sebagai objek dari sebuatn keputusan administratif (keputusan tata usaha Negara) ialah tindakan yang diuraikan pada point kedua sebagaimana disebutkan di atas. Setelah mengetahui tindakan yang merupakan tindakan dari Pejabat Tata Usaha Negera, selanjutnya dapat mengetahui bentuk-bentuk dari sebuah keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut:

1. Keputusan dalam rangka ketentuan-ketentuan larangan dan atau perintah.

Misalnya pemberian ijin, dispensasi, dan konsesi.

2. Keputusan yang menyediakan sejumlah uang. Misalnya pemberian subsidi atau hibah.

3. Keputusan yang membebankan suatu kewajiban. Misalnya membayar pajak.

4. Keputusan yang member suatu kedudukan. Misalnya pengakatan seseorang menjadi pejabat atau pegawai negeri.

5. Keputusan penyitaan. Misalnya pencabutan hak milik.69

68 Diana Halim Koentjoro, Hukum Adminitrasi Negara, (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2004), hal 57.

69 Faisal Akbar Nasution, Makalah diajukan dalam acara Sosialisasi Administrasi Negara, yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Pakpak Barat Pada tanggal 20 April 2011.

Bentuk-bentuk di atas, dapat diterapkan serta mempunyai keabsahan di dalam pelaksanaannya, apabila telah memiliki 4 (empat) syarat sebagaimana diutarakan oleh van der pot:

1. Ketetapan harus dibuat oleh alat pemerintah yang berwenang

2. Pembentukan kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh memuat kekurangan yuridis.

3. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan oleh peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya juga harus memperhatikan cara membuat keputusan dimaksud, apabila cara tersebut diutarakan secara tegas dalam peraturan dasar tersebut.

4. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.70 Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak sesuai dengan syarat-syarat formil di atas sebagaimana disampaikan Van Den Pot, maka keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat berakibat sebagai berikut:

1. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) itu harus dianggap batal sama sekali.

2. Berlakunya KTUN itu dapat digugat.

3. Dalam KTUN tersebut, sebelum dapat berlaku memerlukan persetujuan suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi.

4. KTUN itu diberi suatu tujuan lain daripada tujuan semula.71

70Ibid

71Ibid

B. Unsur-Unsur Keputusan Dikatakan Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah Undang undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan:

”Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisis tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. ”

Keputusan atau beschikking (sering pula dikatakan penetapan), dapat diberikan batasan, antara lain:

“Beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan alat-alat pemerintahan, pernyataan-pernyataan kehendak alat-alat pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hak istimewa, dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan perhubungan-perhubungan hukum”. Beschikking adalah suatu perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istemewa. Beschikking sebagai suatu tindakan hukum sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan yang ada pada alat atau organ tersebut.72

Berpijak dari ketiga batasan beschikking tersebut, bahwa beschikking adalah:

1. Merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau perbuatan sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan persetujuan dua belah pihak.

2. Sifat hukum publik diperoleh dari/berdasarkan wewenang atau kekuasaan

2. Sifat hukum publik diperoleh dari/berdasarkan wewenang atau kekuasaan