• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISKURSUS TERORISME

2. Bentuk-bentuk Terorisme

Aksi tersebut terjadi dalam skala nasional maupun internasional. Dalam skala nasional, terorisme di lakukan secara terbatas dalam satu wilayah negara. Sasaran dari aksi teror adalah warga sipil atau penguasa di negara tersebut tergantung pelakunya.

Aksi terorisme dalam bentuk ini bisa dilakukan karena tidak sepaham dengan ide, pikiran atau kebijakan penguasa atau kelompok yang menjadi musuhnya.

Aksi teror yang dilakukan oleh suatu kelompok kepada negara atau penguasa bertujuan agar mendapatkan perhatian sehingga aspirasi mereka bisa diakomodir sehingga bisa mengubah kebijakan yang ada. Atau bisa juga untuk menciptakan ketidakstabilan sosial-politik sehingga mereka mendapatkan keuntungan dari kondisi tersebut. Sedangkan teror yang dilakukan oleh penguasa kepada rakyatnya sendiri bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan dan menciptakan kepatuhan rakyat kepada penguasa.

Dalam skala internasional, aksi terorisme dilakukan terhadap kepentingan internasional tanpa tersekat oleh batas negara. Terorisme yang demikian merupakan bentuk kekerasan politik yang melibatkan warga atau negara lebih dari satu dengan melampaui batas-batas negara.66 Inilah terorisme internasional. Sasaran dari tindak kejahatan terorisme internasional ini bisa berupa target manusia, fasilitas-fasilitas publik, gedung, atau instansi negara. Tindakan semacam ini umumnya memiliki motif yang sangat luas, mencakup ideologi, ekonomi, politik, militer, budaya, dan sebagainya.

Terorisme internasional bisa dilakukan oleh sebuah jaringan yang rapi dan bekerja secara sistemik. Target sasaran mereka lintas batas negara. Terkadang suatu kelompok atau negara melakukan aksi teror di suatu negara yang memiliki dampak strategis secara internasional. Dengan begitu, diharapkan akan ada respons balik dari negara korban untuk menanggapinya sehingga kepentingan pelaku bisa diwujudkan. Kasus serangan ke gedung WTC dan Penthagon pada 11 September 2001 silam di Amerika adalah contoh paling gampang untuk diingat. Keduanya memiliki arti yang sangat strategis dan penting. Gedung WTC adalah urat nadi perekonomian dunia, karena di sana berkantor perusahaan multinasional yang tersebar di seluruh dunia.

66

Andrew J. Peirre, The Politic of International Terrorism on A Journal of World Affair, (Philadelhia: Foreign Policy Research Institute , 1976), 91

WTC adalah simbol kapitalisme dunia. Sementara Gedung pentagon adalah otak sistem pertahanan negara adikuasa tersebut. Dampaknya jelas, Amerika langsung mengumumkan perang melawan terorisme. Negara atau kelompok yang tidak pro dengan kebijakan AS akan dianggap sebagai musuh. Sementara yang mau tunduk akan menjadi anak emas yang akan menerima banyak hadiah.

Dalam bentuknya, aksi terorisme dilakukan dengan sangat beragam dalam buku The Antiterrorism Handbook67 dijelaskan bahwa tindakan-tindakan yang bisa dikategorikan sebagai aksi terorisme antara lain: penculikan, penyanderaan, pendudukan wilayah secara tidak sah, pembakaran, pengeboman, serangan bersenjata, pembajakan, sabotase, penyebaran polusi, ancaman/Intimidasi, dan perusakan fasilitas.

Adapun bentuk terorisme di dunia terdapat 3 kategori dalam hal ini68, yaitu:

a. Terorisme non Negara (Non State Terrorism)

Terorisme non Negara adalah aksi terorisme yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang tidak terkait dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Dalam aksinya mereka mem-blow up permasalahan tersebut dengan melakukan pembakaran, penyanderaan, ataupun hal lain yang membahayakan dan menimbulkan ketakutan publik.

Kelompok teroris dalam kategori ini, memiliki kemampuan terbatas dan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang diperlukan untuk memberikan dukungan, atau kontribusi lain demi kelangsungan kelompoknya dalam periode waktu tertentu. Mereka juga tidak memiliki kontak atau dukungan dengan pihak luar,

67

Karl A. Seger, The Antiterrorism ..., h.12 68

dan anggota mereka sering kali tertangkap akibat keterampilan dan pelatihan yang kurang, tidak seperti layaknya yang diperoleh kelompok teroris internasional.

Tetapi bagaimanapun juga, sekecil apapun aksi mereka akan memberikan dampak terhadap publik atau negara. Di samping itu kelompok ini sangat mungkin untuk bergabung dengan kelompok lainnya yang seide.

b. Terorisme Negara (State Terrorism)

Terorisme Negara adalah suatu tindak kekerasan yang dilakukan oleh suatu penguasa dengan mengatasnamakan kepentingan negara sebagai sarana untuk menundukkan pihak lain agar menjadi patuh. Bentuk teror yang dilakukan sangat beragam, dari yang paling ringan seperti intimidasi hingga yang paling berat seperti pembunuhan dengan senjata berat atau pemusnah massal. Dengan menciptakan rasa takut di pihak rakyat maka suatu rezim akan merasa aman dan biasa menjalankan fungsi negara tanpa ada gangguan baik secara politik maupun keamanan. Namun demikian, yang mencemaskan dari kejahatan ini adalah upaya melegalkan kejahatan teror tersebut melalui legitimasi hukum sehingga menjadi legal.

Terorisme Negara biasanya dilakukan oleh sebuah rezim tiran yang memiliki catatan pelanggaran HAM terhadap rakyatnya, seperti Adolf Hittler, Mushollini, Pol Pot, Stalin, Mao Zedong, atau bahkan Soeharto di Indonesia. Setiap pemerintahan yang otoriter dan tiran selalu melakukan upaya represif dan menggunakan metode teror untuk mengatasi situasi politik dan keamanan di negerinya.69

Terorisme negara juga tidak hanya dalam lingkup teror negara terhadap rakyatnya sendiri saja, melainkan kepada negara lain. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina. AS juga bisa dimasukkan dalam kategori ini, karena kebijakan luar negerinya sering berupa intimidasi hingga penyerangan terhadap negara lain, seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak.

69

c. Terorisme yang disponsori Negara (State Sponsored Terrorism)

Terorisme yang disponsori negara adalah kelompok yang melakukan aksi kekerasan dan teror di suatu negara di mana ia didukung penuh oleh suatu negara, baik masalah pendanaan, peralatan, taktik, strategi, dan pelatihan. Negara mengontrol dan mengarahkan operasi-operasi tersebut dengan tujuan dan target tertentu.

Gerilyawan Mujahidin adalah salah satu contohnya. Saat pendudukan Uni Sovyet, AS memberikan bantuan penuh kepada mereka untuk melakukan perlawanan dengan tujuan komunisme tidak berkembang dan kepentingan Sovyet sebagai musuh besarnya tidak dapat terlaksana.

D. Terorisme di Indonesia

1. Munculnya Fenomena Radikalisme Agama

Radikalisme adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan gejala pemahaman terhadap agama secara keras dan militan. Ada beberapa istilah serupa untuk menggambarkan aktivitas kelompok yang melakukan kekerasan dengan motif agama, seperti fundamentalisme, ekstremisme, militanisme, dan sebagainya. Semua term ini memiliki kedekatan pengertian meskipun sedikit berbeda.

Tarmidzi Taher, Edy Kristianto, dan Frans Magnis Suseno menggunakan kata radikalisme untuk menggambarkan fenomena beragama secara keras dalam agama Islam dan Katholik.70 Kendati mereka sama-sama menggunakan kata

radikalisme, tetapi makna dan pengertiannya berbeda-beda. Tarmidzi memaknai radikalisme dengan gerakan yang memiliki model keberagamaan konservatif serta menolak sistem sosial politik sekuler. Gerakan tersebut menurutnya, dicirikan oleh keinginan untuk menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah) dalam kehidupan keluarga, ekonomi,

politik, budaya dan sebagainya. Sementara Eddy-Magnis tidak menemukan gerakan yang muncul di Katolik untuk menciptakan tatanan sosial- politik tersendiri. Tetapi gerakan itu lebih bersifat internal, yaitu berkaitan dengan masalah keagamaan dan institusi agama.

70

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, istilah radikal mengacu kepada keinginan adanya perubahan sosial dan politik secara mendasar. Sedangkan radikalisme berarti paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik secara cepat dan dengan cara-cara kekerasan tanpa kompromi.71

Jelasnya, radikalisme adalah kenyataan global yang muncul pada semua keyakinan, tak terkecuali dalam Islam. Paham ini memang tidak muncul begitu saja sebagai reaksi spontan terhadap tatanan timpang dunia saat ini, tetapi terlahir dengan kompleksitas persoalan yang mengepung umat Islam itu sendiri.Penyebab keberadaannya pun tidak berdiri secara tunggal, tapi berjalin kelindan dengan beragam persoalan lainnya. Jadi radikalisme di sini lebih merupakan bentuk reaksi atas kompleksitas persoalan yang melingkupi umat Islam.

Dengan demikian, radikalisme Islam merupakan salah satu fenomena global. Dalam pandangan Bassam Tibi, radikalisme merupakan gejala ideologis dari tesis benturan peradaban (clash of civilizations). Gejala ini bukan disebabkan krisis yang

melanda dunia saat ini, tetapi lebih merupakan bentuk respons atasnya.72

Dalam kajian ilmu sosial, Horace M. Kallen mencirikan tiga kecenderungan umum dari fenomena radikalisme. Pertama,

Radikalisme merupakan respons penolakan atas situasi yang sedang berlangsung. Permasalahan yang ditolak dapat berupa gagasan, lembaga, pemerintahan, hukum yang dinilai bertanggung jawab atas situasi yang ditolak tersebut. Kedua,

radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berusaha mengubah situasi tersebut dengan tatanan yang baru yang bisa diterima. Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikal akan kebenaran gagasan atau keyakinan yang mereka

anut.73

Adapun mengenai fenomena kekerasan agama yang terjadi di Indonesia, untuk menjelaskannya, penulis lebih memilih istilah radikalisme karena terminologinya lebih dekat dengan situasi yang terjadi pada tahun-tahun pertama sejak tumbangnya rezim Soeharto di tahun 1998, di mana rakyat Indonesia seperti mengalami euforia kebebasan setelah sekian lama dibungkam bersuara.

Munculnya fenomena radikalisme Islam pasca tahun 1998 tersebut adalah titik awal dimulainya berbagai aksi terorisme di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Pasca gerakan reformasi, setiap orang seperti bebas melakukan apa saja. Kelompok

71

Kamus Besar Bahasa Indonesia, ... h. 919. 72

Lihat: Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, (University of California Press, 1998), h.2.

73

Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo (ed), Radikalisme Agama, (Jakarta: PPIM IAIN, 1998), h. xvii-xviii

atau organisasi yang sebelumnya menutup diri tiba-tiba muncul. Sebagian mereka adalah kelompok Islam garis keras yang secara demonstratif mengusung simbol-simbol keislaman yang diyakininya sebagai yang paling benar sehingga harus ditegakkan, sekalipun dengan cara kekerasan dan melanggar hukum.

Dari situasi yang demikian, tidak berselang lama terjadi peristiwa serangan teroris ke AS pada 11 September 2001. Isu terorisme kemudian berhembus kencang ke seluruh dunia. Indonesia bahkan menjadi salah satu negara yang oleh Barat diyakini sebagai sarang teroris. Apalagi kemudian terbukti dengan adanya beberapa kasus pengeboman di tanah air, seperti bom Bali, Bursa Efek Jakarta, JW. Marriot, kedubes Australia, dan pengeboman lainnya. Banyak di antara kasus tersebut disinyalir terkait dengan jaringan terorisme internasional pelaku teror 11 September 2001 di New York, AS.74

Akibat aksi terorisme tersebut bangsa ini mengalami kerugian yang luar biasa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada peristiwa bom Bali I misalnya, tercatat ratusan nyawa melayang. Sebagian besar merupakan turis asing yang sedang berlibur di Bali. Di samping itu, puluhan bangunan, mobil, dan fasilitas publik hancur. Trauma dan kepedihan lebih berat lagi dirasakan oleh masyarakat Bali akibat sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung perekonomian mereka runtuh dalam sekejap. Masyarakat internasional trauma dengan peristiwa tersebut dan memilih tidak berlibur ke Bali. Hal ini berlangsung cukup lama dan membuat perekonomian rakyat mengalami kelesuan yang luar biasa.

Berdasarkan berbagai barang bukti yang ditemukan oleh polisi, belakangan terekspos bahwa pelaku pengeboman tersebut adalah sekelompok muslim radikal yang berambisi untuk mengubah tatanan masyarakat yang dianggap telah banyak menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci Al-Quran.75

Munculnya berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kalangan muslim radikal tersebut mengindikasikan bahwa radikalisme beragama di Indonesia meningkat seiring dengan menguatnya isu terorisme global beberapa tahun terakhir. Bagi Barat, radikalisme yang muncul dalam Islam menjadi ancaman tersendiri karena akan berimplikasi luas terhadap berbagai kepentingan Barat di mana-mana.

Dalam dunia Islam sendiri, tentu tidak semua pemeluknya memiliki keberagamaan yang radikal. Komunitas Islam sendiri sangat beragam. Ada yang radikal, moderat dan bahkan liberal, tergantung bagaimana masing-masing melakukan pembacaan terhadap teks agamanya serta situasi obyektif yang menyertai mereka.

74

Hal ini dilihat dari jenis bom yang digunakan, jaringan pelaku, latar belakang, pendanaan, dan sebagainya yang tidak mungkin dilakukan hanya oleh kelompok lokal.

75

Kelompok Islam radikal umumnya skriptualis, cenderung eksklusif, merasa paling benar, dan melakukan hal yang terkadang bertentangan dengan logika kewajaran. Namun tampaknya, mereka justru merasa bangga karena hal itu mereka anggap sebagai bentuk ketaatan kepada ajaran agama yang paling sempurna.

Penilaian ini sebagaimana tergambar dalam komentar oleh Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia, Irvan S. Awwas,

“Orang boleh menyebut kami apa saja. Fundamentalis, kelompok Islam radikal, garis keras, eksklusif atau apapun. Kami hanya menilai bahwa perubahan sosial dan perilaku masyarakat terutama umat Islam sendiri telah semakin jauh dari apa yang telah digariskan Al-Quran dan Sunah Rasulullah. Sebagai umat yang berkeyakinan atas kebenaran kedua hukum Islam itu, kami berkewajiban untuk mengubah atau mengembalikan tatanan masyarakat seperti yang digariskan Allah melalui Muhammad.”76

Ciri kelompok Islam radikal tersebut biasanya sangat gandrung menggunakan beragam atribut dan simbol keislaman. Tema-tema perjuangannya pun sektarian dan ideologis, seperti jihad, penegakan syariat Islam, dan khilafah. Dalam aksinya, perjuangan mereka diwujudkan dalam bentuk antara lain: sweeping terhadap orang-orang yang tidak disukai,

penyerbuan ke tempat-tempat hiburan, perjudian, lokalisasi Pekerja Seks Komersial (PSK), dan bahkan tindakan ekstrem seperti pengeboman. Aksi yang demikian tentu bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan pola perjuangannya, kelompok Islam radikal di Indonesia bisa dikelompokkan dalam dua varian;

pertama, kelompok yang lebih berorientasi pada ide dan pemikiran yang fundamental. Kelompok ini memperjuangkan

gagasannya dalam bentuk penegakan syariah Islam dalam kehidupan berbangsa melalui cara-cara persuasif tanpa kekerasan. Mereka menggunakan media massa baik cetak maupun elektronik serta media dakwah untuk mensosialisasikan dan memperjuangkan cita-citanya. Kelompok dengan tipikal seperti adalah Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI). Aksi mereka yang lebih persuasif dilakukan dalam bentuk diplomasi dan membangun wacana publik. Kedua, kelompok yang dalam

memperjuangkan cita-citanya menggunakan cara-cara keras, intoleran, anarkis, dan bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Kelompok dengan tipikal ini adalah Jamaah Islamiah (JI), Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah (FKAWJ) dengan Laskar Jihad-nya, Laskar Hisbullah dan sebagainya.

Untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai kelompok yang kedua di atas, perlu penulis ketengahkan di sini bagaimana kelompok-kelompok tersebut bisa muncul dan meramaikan radikalisme agama di Indonesia.

76

Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah (FKAWJ) didirikan pada 12 Februari 1998 di Solo.77 Organisasi ini

terlahir dari sebuah gerakan dakwah di Indonesia yang dirintis oleh Ja’far Umar Thalib. Pandangan keagamaan yang dianut kelompok ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, tokoh gerakan Wahabi di semenanjung Arab. Organisasi ini dibentuk sebagai wujud dari keprihatinan akan lemahnya pemahaman Islam dan menguatnya gejala sekularisme di kalangan muslim Indonesia.

Kelahiran FKAWJ juga dipicu oleh situasi carut-marutnya keadaan ekonomi, sosial, politik, dan keamanan di Indonesia pasca reformasi 1998. Organisasi ini memiliki beberapa badan independen yang berpayung di bawah FKAWJ, salah satunya adalah Laskar Jihad (LJ). Badan ini berfungsi sebagai sayap militer dari FKAWJ yang bertugas melakukan

jihâd fî sabîlillâh yaitu penggunaan kekuatan fisik untuk tujuan-tujuan agama dalam bentuk pengiriman pasukan bantuan

ke daerah konflik yang melibatkan umat Islam.

Pembentukan LJ oleh FKAWJ dilatarbelakangi oleh lambannya pemerintah dalam menangani konflik SARA di Ambon, Ternate, Poso dan lain-lain. Kondisi umat Islam saat itu menjadi korban dari situasi konflik kekerasan yang tidak berimbang, mengingat jumlah muslim di wilayah konflik adalah minoritas. LJ ini—dengan semangat jihad—kemudian berbondong-bondong ke wilayah konflik untuk membantu umat Islam di sana melakukan perlawanan fisik. Namun demikian, dalam konteks kebangsaan, keterlibatan LJ ke tengah konflik ini justru menuai masalah baru. Konflik bukannya selesai tetapi lebih melebar dan menyeret konflik ke arah pertarungan agama. Di pihak lawan pun demikian, mereka mengusung tema perang suci membela agama sehingga terbentuk pula Laskar Kristrus (LK). Karena sarat dengan nuansa pertarungan agama, konflik ini kemudian menarik simpati dari masing-masing pemeluk agama dari seluruh tanah air, bahkan dari dunia internasional.

LJ juga memiliki keterlibatan serupa dengan konflik yang terjadi di Poso, Sulawesi Utara. Juga pada insiden Ramadhan di Ngawi, 19 November 2001, LJ melakukan kekerasan dengan dalih memberantas kemungkaran yang terjadi di wilayah Ngawi Jawa Timur.78

Pada tanggal 17 Agustus 1998, di kawasan Ciputat Jakarta selatan, berdiri pula sebuah organisasi massa (ormas) sektarian yang berasaskan Islam, yaitu Front Pembela Islam (FPI).79 Organisasi ini didirikan untuk menunjukkan

keberadaan umat Islam yang pantas dihargai, mengingat negeri ini dihuni oleh mayoritas muslim. Ormas ini berorientasi

77

Sulaiman Rasyid, Islam Radikal Pasca Reformasi,(Yogyakarta, Geliat makna, 2004) h. 34. Tentang LJ juga bisa dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Lasykar_Jihad

78

http://id.wikipedia.org/wiki/Lasykar_Jihad 79

kepada paham ahlussunnah waljamaah dengan mengedepankan prinsip amar makruf nahi munkar. Mereka selalu mengusung tema jihad dalam menjalankan prinsip tersebut sehingga moto yang mereka miliki adalah hidup mulia atau mati syahid.

Dalam aksinya, ormas ini lebih sering menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, penyerangan terhadap tempat hiburan malam, lokalisasi perjudian dan prostitusi, sumber-sumber pornografi, dan aksi sweeping terhadap warga negara asing yang negaranya dianggap memusuhi Islam, terutama AS dan sekutunya.80 FPI

juga terlibat secara politik dengan mendukung penerapan syariah di Indonesia. Karena sering kali melakukan aksi kekerasan dan pelanggaran hukum, aparat keamanan kemudian membekukan ormas ini dan menahan Habib Riziq dengan tuduhan melakukan tindak pidana kekerasan dan mengganggu ketertiban umum.

Namun demikian, melihat cara-cara kekerasan dan dampak yang ditimbulkannya, maka tindakan yang dilakukan oleh Laskar Jihad dan FPI di atas masih dalam kategori kriminalitas biasa.

Di samping kedua ormas radikal di atas, terdapat pula organisasi lain yang menggunakan aksi-aksi yang lebih radikal, yaitu Jamaah Islamiyah (JI). Mereka melakukan aksi kekerasan bahkan teror untuk mencapai tujuannya. Sebagian orang meyakini bahwa organisasi ini benar-benar ada di Indonesia namun sebagian lagi menyangsikannya. Bahkan sebagian orang beranggapan bahwa organisasi ini fiktif dan keberadaannya sengaja diopinikan oleh AS untuk melegitimasi tindakan AS menyerang lawan-lawannya. Beberapa analis Barat seperti Sidney Jones menilai bahwa JI memang ada di Indonesia namun belum teridentifikasi. Pada seminar internasional, Sidney Jones menjelaskan bahwa JI adalah organisasi

underground yang didirikan pada 1994-1995 oleh Abdullah Sungkar dengan tujuan untuk mendirikan negara Islam di

Indonesia dan membangun khilafah Islam di dunia dengan melancarkan serangan jihad terhadap musuh-musuh Islam.81 Ia

menyebut bahwa Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir adalah tokoh kunci JI. Namun, Abu Bakar Ba’asyir di berbagai kesempatan selalu menampik tuduhan sebagai ketua JI. Bahkan dengan tegas ia tidak mengetahui keberadaan organisasi tersebut dan menganggap JI hanyalah rekayasa opini yang dilakukan AS untuk menyerang dirinya.

Beberapa literatur memang menyebutkan bahwa keberadaan JI memang ada dan secara ideologis bersinggungan dengan jaringan Al-Qaedah yang bertujuan mewujudkan misi Pan-Islamisme dengan mengusung tema jihad. Di tingkat regional, organisasi ini memiliki jaringan di beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Mereka memiliki misi mewujudkan Negara Islam Raya di kawasan Asia Tenggara. Disinyalir bahwa pemimpin dan anggota sel

80

Daftar kekerasan FPI, http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Aksi_Front_Pembela_Islam 81

Sidney Jones, Jamaah Islamiyah: a Short Description, makalah seminar internasional 22-23 Juli 2003 di Hotel Mulia, Jakarta.

dari organisasi JI merupakan sukarelawan yang pernah mendapatkan pelatihan militer di kamp-kamp militer yang didirikan oleh Osamah bin Laden dan AS untuk membantu gerilyawan Mujahidin melawan Uni Sovyet di Afghanistan pada awal dekade 1980-an. 82

Di Indonesia, karena aktivitasnya yang demikian radikal, dan telah diketahui memiliki jaringan dan kemampuan yang cukup untuk melakukan aksi teror, maka oleh pemerintah Indonesia JI kemudian dituduh sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kasus peledakan bom di beberapa kota di Indonesia pada malam Natal 2002, Hotel JW. Marriot, bom Bali I dan II dan lainnya. 83

Secara historis, perkembangan kelompok muslim radikal dapat dilacak dari sejarah gerakan politik Islam di masa lalu yang memiliki kesamaan tujuan, yaitu gerakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang lahir kemudian. Keduanya muncul di era pemerintahan Soekarno dengan tujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Pada 7 Agustus 1948, DI yang berada di bawah kepemimpinan RM. Kartosuwiryo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia di daerah Jawa Barat.84 Latar belakang peristiwa ini adalah akibat kegagalan umat Islam memperjuangkan Islam

sebagai dasar negara sehingga menimbulkan kekecewaan yang begitu mendalam bagi kelompok-kelompok fundamentalis Islam. Keputusan untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan mengukuhkan kebhinekaan sebagai sesuatu yang harus dihargai menjadi pemicu ketidakpuasan dan menganggap bahwa kaum sekuler telah mengalahkan kepentingan umat Islam. Kesimpulannya, pemerintahan RI berdiri di atas hukum kafir yang boleh diperangi.

Dalam perkembangannya, dalam tubuh DI/TII sendiri muncul konflik internal serta berkurangnya dukungan dari

Dokumen terkait