• Tidak ada hasil yang ditemukan

MOZAIK NAHDLATUL ULAMA (NU)

1. Visi Kebangsaan

96

Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perppu tentang Pemberantasan terorisme..., pada 18 Oktober 2002.

97

Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perppu tentang Pemberantasan terorisme... , pada 18 Oktober 2002.

Visi kebangsaan NU adalah cara pandang NU terhadap bangsa Indonesia sebagai sebuah satu kesatuan bangsa yang utuh dan berdaulat dengan segala kebhinekaannya. Visi kebangsaan adalah ruh nasionalisme.98 Tanpa nasionalisme, bangsa Indonesia akan tercerai berai.

Untuk melihat secara jelas visi kebangsaan NU dalam rentang panjang sejarah bangsa Indonesia, penulis menguraikannya secara historis dari sejak kemunculan embrio NU di awal abad ke-20. Nahdlatul Ulama adalah organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja). Organisasi ini didirikan oleh beberapa ulama pada 31 Januari 1926, atau 16 Rajab 1334 H. dengan nama resmi Nahdlatul Ulama yang secara harfiah berarti kebangkitan para ulama.99 Dalam konteks berbangsa, NU berpedoman pada visi kebangsaan di bawah wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara historis, babak awal visi kebangsaan NU bisa dirunut dari sejak awal proses kemunculan NU yang tidak bisa dilepaskan dari perannya sebagai agent of change dan lokomotif perjuangan bagi rakyat Indonesia pada masa kolonial Belanda.

Awal abad 18 situasi dirasakan oleh masyarakat Indonesia semakin sulit. Hal ini karena Belanda mengeluarkan kebijakan tanam paksa (1830-1870) kepada rakyat Indonesia.100 Pemerintah kolonial Belanda membutuhkan ongkos untuk pembangunan di negaranya, di samping untuk biaya ekspansi kolonialismenya. Kebijakan ini dirasakan oleh rakyat Indonesia sangat menyengsarakan. Karena itu, sikap antipati rakyat Indonesia terhadap penjajah semakin menjadi-jadi hingga memunculkan benih-benih perlawanan.

Untuk mengamankan kebijakan ini, Belanda merasa perlu untuk menggandeng kalangan feodal dan ningrat pribumi untuk bekerja sama. Dengan begitu,

98

Pandangan ini disarikan dari beberapa wawancara terhadap tokoh-tokoh NU antara lain, KH. Hasyim Muzadi, KH. Said Agil Siradj, dan KH. Makruf Amin.

99

KH. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kyai Haji Abdul Wahab, (Bandung: Penerbit Baru, 1970), h. 5

100

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, terj. Hasan Basri, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 13.

perlawanan tersebut bisa diminimalisasi. Situasi ini berdampak pada disintegrasi sosial yang cukup tajam antara pribumi yang diuntungkan dan yang terjajah sehingga muncul perlawanan di beberapa daerah. Salah satunya adalah pemberontakan petani di Banten.101

Karena skala kecil, umumnya pemberontakan dapat ditangani dengan mudah oleh militer Belanda. Namun begitu, tidak berarti perlawanan rakyat terhadap Belanda menjadi redup. Gerakan perlawanan tetap menguat namun muncul dalam bentuk lain yang terselubung, yaitu kegiatan keagamaan yang umumnya dipimpin oleh kalangan ulama (kyai). Mereka mengorganisasikan diri dengan baik dalam bentuk kegiatan-kegiatan keagamaan dan sosial, seperti tarekat, pengajian, madrasah diniyah, dan pesantren.

Fenomena ini cukup mengkhawatirkan pihak Belanda. Kelompok-kelompok massa yang terorganisir dari lingkungan pesantren tersebut sangat berpotensi mengganggu kepentingan kolonialisme. Belanda juga menyadari bahwa sikap antipati kepada mereka yang ditunjukkan oleh bangsa Indonesia telah menguat di mana-mana.

Untuk mengantisipasi situasi yang demikian, akhirnya pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan politik balas budi. Kebijakan ini dilaksanakan dalam bentuk ikut menciptakan kemakmuran rakyat dan memberikan kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk memperoleh hak-hak dasar seperti hak memperoleh pendidikan, yaitu dengan membuka sekolah-sekolah untuk pribumi, fasilitas perekonomian, dan fasilitas umum. Tujuannya adalah agar tercipta situasi sosial politik yang stabil dan terkendali sehingga gejolak perlawanan rakyat dapat dengan sendirinya meredup. Sayangnya kebijakan politik etis tersebut tidak dibarengi dengan perubahan sikap pemerintah Belanda yang masih semena-mena dan otoriter dalam menjalankan kekuasaan. Akibatnya, kebijakan tersebut tidak mampu merebut hati rakyat dan meredam sikap antipati mereka.

101

Situasi di tanah air inilah yang kemudian membangkitkan obsesi sejumlah pemuda NU untuk melakukan perubahan nasib bangsanya, di antaranya adalah Abdul Wahab Hasbullah, Mohammad Dahlan, Asnawi, dan Abbas. Mereka lantas mendirikan sebuah organisasi di bidang pendidikan dan dakwah pada tahun 1914 yang dinamakan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air). Lembaga ini secara resmi mendapatkan badan hukum pada tahun 1916 berkat bantuan pemimpin SI, yaitu HOS. Tjokroaminoto dan seorang arsitek bernama Soenjoto.102

Pada tahun 1918, atau empat tahun setelah didirikannya Nahdlatul Wathan, Abdul Wahab dan Mas Mansur dibantu beberapa temannya kemudian mendirikan organisasi di Surabaya yang diberi nama Tashwîrul Afkâr yang artinya representasi pemikiran. Organisasi ini bergerak di bidang yang sama namun lebih menekankan pada aspek sosial.103

Pada tahun 1918, Abdul Wahab dan kawan-kawan juga mendirikan sebuah koperasi untuk tujuan memberdayakan ekonomi umat. Hal ini dapat terlaksana setelah mendapatkan restu dari gurunya, KH. Hasyim Asyari. Koperasi ini kemudian dinamakan “Nahdlatut Tujjâr” yang artinya kebangkitan para pedagang.104

Jadi, meskipun NU secara organisasi saat itu belum terbentuk secara resmi, namun sebenarnya telah dimulai suatu upaya dari lingkungan pesantren sendiri untuk melakukan perubahan sosial dalam konteks membangun bangsa. Ketiga organisasi tersebut akhirnya menjadi embrio munculnya organisasi Nahdlatul Ulama yang kemudian berdiri pada 31 Januari 1926.105

Organisasi NU kemudian menjadi media berkiprahnya para ulama untuk mengaktualisasikan diri dan membangun cita-cita bersama, yaitu mewujudkan masyarakat yang merdeka dan bermartabat berdasarkan akidah Ahlussunnah Waljamaah.

102

Para pemuda inilah kelak yang menjadi ulama berpengaruh di kalangan ulama tradisionalis. KH. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan..., h. 7

103

KH. Hamid Sjahid, Riwayat Tashwirul Afkar, Naskah Pidato Peringatan 50 Tahun, Surabaya, 1968.

104

KH. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan..., h. 12 105

Babak selanjutnya dari visi kebangsaan NU adalah bisa dilihat dari peran NU dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Perjuangan kemerdekaan memiliki implikasi yang sangat luas terhadap nasib bangsa Indonesia ke depan. Dengan kemerdekaan, bangsa Indonesia akan bisa mengatur dan mengembangkan diri mereka sebagai bangsa yang berdaulat. Upaya ini bisa dilihat pada peran-peran NU dalam gerakan revolusi kemerdekaan saat itu, baik pada masa perang gerilya di mana NU membentuk pasukan Hisbullah dan Sabilillah, maupun perannya dalam persiapan kemerdekaan, seperti pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).106

Para ulama NU juga mengeluarkan fatwa tentang jihad yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Fatwa tersebut menyatakan bahwa perjuangan memperoleh kemerdekaan bangsa adalah jihad di jalan Allah dan wajib dilakukan oleh setiap warga negara. Dengan Resolusi Jihad ini, kalangan NU meminta kepada seluruh rakyat Indonesia untuk melawan dengan segenap kemampuan atas segala usaha yang menghambat dan akan menggagalkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Resolusi jihad jilid II muncul kembali pada muktamar NU pada tahun 1946, yang berisi seruan kepada semua umat Islam untuk berperang di jalan Allah (jihâd fî sabîlillâh) dalam rangka mempertahankan kemerdekaan bangsa.107 PBNU mengeluarkan resolusi jihad tersebut dipicu oleh adanya usaha-usaha kembalinya kolonialisme dan imperialisme di bumi Indonesia.

Momentum lainnya yang menegaskan visi kebangsaan NU adalah ketika NU ikut andil dalam penghapusan 7 kalimat dalam Piagam Jakarta pada saat sidang PPKI dari Pembukaan UUD 1945. Tujuh kalimat tersebut adalah “Negara berdasar Ketuhanan

106Islam Ahlussunnah Waljamaah di Indonesia

, (Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2006) h. 221 107

Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1979) hal. 636-637

Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”.108

Sikap NU ini didasari kesadaran pemahaman bahwa negara Indonesia terdiri dari masyarakat yang beraneka ragam suku, agama, dan keyakinan. Keberadaan mereka harus dihargai sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama. Karena itu, fundamen bangsa ini harus dibangun di atas kepentingan bersama dengan tanpa memaksakan kehendak suatu kelompok di atas kelompok lainnya. Selain itu, penghapusan ini untuk menghindari ekstremitas penerapan syariat Islam dalam ideologi negara.

Visi kebangsaan NU teruji kembali ketika pemerintah mengharuskan asas tunggal bagi seluruh organisasi di Indonesia. Di tengah derasnya penolakan kebijakan tersebut oleh ormas Islam, NU bisa menerima kebijakan tersebut sebagai bentuk pengokohan visi kebangsaannya.109 Kalangan NU berpendapat bahwa rumusan nilai-nilai yang dijadikan dasar negara Republik Indonesia itu sebenarnya sudah tuntas dengan diterapkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Apalagi dalam prosesnya dulu, umat Islam terlibat dan aktif dalam merumuskannya sehingga Pancasila sebagai dasar negara dapat disepakati dan dianggap tidak bertentangan dengan Islam. NU sendiri, yang berhaluan aqidah dan syariah Islam menurut faham Ahlussunnah Waljamaah, sejak semula telah menerima Pancasila sebagaimana bunyi dan makna yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Penerimaan NU atas Pancasila sebagai asas tunggal telah dipikirkan oleh para ulama dari sudut keagamaan dan pemahaman NU terhadap sejarah bangsa, jadi bukan

108

Salah satu tokoh NU yang mengusulkan menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta tersebut adalah KH. A. Wahid Hasyim dari unsur NU. Inilah bentuk komitmen nyata dari visi kebangsaan yang diusung NU. Lihat: Abdurrahman Wahid, Islamku..., h.23

109

Di kalangan NU awalnya terdapat friksi. Sebagian ulama NU menolak kebijakan ini. Namun friksi ini akhirnya bisa diselesaikan dengan baik pada Munas NU di Situbondo tahun 1983. KH. Achmad Siddiq menjelaskan bahwa keputusan menerima Pancasila sebagai asas tunggal bukan berarti mendukung Pancasila sebagai agama. Jika Pancasila dijadikan agama nasional memang harus ditentang. Melalui perdebatan yang panjang, para ulama akhirnya menyetujui Pancasila sebagai asas tunggal. Andre Feillard, NU vis a Vis Negara: Pencarian isi, Bentuk, dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999) hal. 243-245

sekedar karena situasi terpinggirkannya NU dalam pentas politik nasional pada pemilu 1982.

Dengan demikian, NU bukan saja organisasi sosial keagamaan pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal, tapi NU juga mewacanakan paradigmanya mengenai hal ini dan menjadi inspirasi bagi umat Islam lainnya sehingga kelompok-kelompok Islam lainnya menyusul menerimanya.

Momentum terakhir yang menunjukkan visi kebangsaan NU bisa dilihat dari sikap NU dalam melihat persoalan-persoalan bangsa belakangan ini, seperti separatisme, konflik-konflik horizontal, dan terorisme. NU secara tegas menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Segala upaya separatisme yang mengancam keutuhan bangsa adalah bentuk pembangkangan (pemberontakan) yang tidak bisa ditolerir, baik dari sisi nasionalisme maupun agama.

Demikian juga saat di Indonesia muncul berbagai konflik yang bernuansa SARA. NU tidak ikut meleburkan diri pada konflik tersebut. Pada kasus konflik Maluku misalnya, di permukaan yang terlihat adalah perang antara umat Islam melawan umat Kristen. NU tidak melakukan pembelaan atas nama solidaritas agama, yaitu dengan mengirimkan pasukan ke wilayah konflik tersebut untuk membantu umat Islam di sana. Tetapi NU berupaya keras untuk mendamaikan tersebut atas nama persatuan dan persaudaraan sesama anak bangsa.

Munculnya beragam aksi radikalisme agama dan terorisme di Indonesia yang oleh NU disikapi dengan mewacanakan tema-tema inklusivitas beragama, pluralisme, toleransi, persatuan, dan persaudaraan kepada bangsa Indonesia. NU juga mengingatkan akan adanya upaya kolonialisme gaya baru yang akan menjajah Indonesia melalui isu-isu global seperti terorisme.

Dengan demikian, dengan melihat berbagai peristiwa tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa visi kebangsaan NU sangat tegas. Visi kebangsaan menjadi karakter yang melekat dalam diri generasi NU secara turun menurun. Karena itu

dalam banyak hal, visi kebangsaan digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan dan sikap NU ketika menyikapi masalah bangsa Indonesia.

Dokumen terkait