• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Respons NU atas Munculnya Aksi Terorisme

NU DAN TERORISME DI INDONESIA

E. Bentuk Respons NU atas Munculnya Aksi Terorisme

Setelah penulis memaparkan wacana terorisme sebagaimana di atas, penting penulis ketengahkan pula langkah-langkah PBNU (sebagai representasi NU) dalam merespons dampak dari aksi terorisme tersebut.

Menurut Hasyim Muzadi, mengingat sedemikian dahsyat dampak yang ditimbulkan oleh aksi terorisme di Indonesia, baik kepada warga NU secara langsung, umat Islam, dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, maka sebagai bagian dari kekuatan bangsa, NU merasa sangat berkepentingan untuk ikut menanggulanginya.166 Sejauh ini, PBNU sebagai—representasi NU—telah melakukan kampanye dan mengeluarkan fatwa dan kebijakan mengenai hal ini, meski implikasinya tidak sampai mengikat dan berkonsekuensi hukum. Hal ini karena NU hanya sebuah organisasi massa Islam yang tidak memiliki kewenangan penuh layaknya negara. Kewenangan melakukan tersebut tentu ada di pihak pemerintah Indonesia.

Dalam penegasannya, PBNU memosisikan diri sebagai kelompok penekan, serta melakukan langkah-langkah persuasif, kultural dan transformatif, sesuai dengan cita-citanya sebagai pengusung visi kebangsaan dan Islam rahmatan lil ‘âlamîin. PBNU berusaha konsisten pada prinsip kemoderatannya berdasarkan fikrah nahdliyah yang menjadi karakter sejak awal berdirinya organisasi ini, yaitu tawassuth (moderat), i’tidâl (adil), tasâmuh (toleran), tawâzun (seimbang), dan tasyâwur (dialog). Prinsip

166

ini yang menjadi modal NU dalam menentukan sikap atas setiap situasi yang berkembang dalam masyarakat.

Dengan prinsip tersebut, NU senantiasa berada pada posisi moderat, tidak melakukan tindakan ekstrem dalam menyikapi persoalan, dan mengutamakan jalan dialog sehingga bisa hidup berdamai dengan pihak lain meskipun cara berpikir, budaya, dan akidahnya berbeda.

Dalam pengamatan penulis, sejauh ini NU cukup konsisten dengan sikap dan paradigmanya tersebut. Hanya saja, NU dinilai oleh banyak kalangan terlalu dekat dengan Barat, khususnya AS, sehingga nampak kurang berempati terhadap sikap umat Islam secara umum.

Namun penilaian ini dibantah oleh Hasyim Muzadi. Menurutnya, sikap empati dan rasa ukhuwwah islamiyah NU memang ditunjukkan dalam sikap yang tidak populis. Ini karena NU memahami situasi sebenarnya dari aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. NU dekat tapi tidak berarti tunduk. NU melawan tapi tidak dengan cara konfrontatif. NU melakukan pendekatan persuasi dan lebih mengedepankan visi Islam rahmatan lil ‘âlamîn.167

Untuk lebih memudahkan pemetaan bagaimana respons yang ditunjukkan oleh NU dalam menyikapi aksi terorisme di Indonesia, penulis mengklasifikasikannya dalam dua bagian, yaitu nasional dan internasional. Kalsifikasi ini bertujuan untuk menjelaskan mana respons atas kasus-kasus dalam skala nasional dan mana internasional.

1. Nasional

167

Dalam konteks kemunculan aksi kekerasan dan terorisme di Indonesia,168 meskipun NU berada pada posisi yang tidak sepaham dengan kelompok-kelompok Islam radikal tersebut, namun pada saat yang sama, NU juga memperingatkan kelompok-kelompok tersebut bahwa isu terorisme adalah sebuah skenario besar yang didesain oleh kekuatan global yang disinyalir adalah AS. Karena itu, umat Islam harus waspada agar tidak dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.

Dalam pandangan penulis, NU memang tidak memiliki kedekatan dengan kelompok tersebut. Ini bisa dipahami karena NU dan kelompok-kelompok Islam keras tidak bisa bertemu pada tataran wacana keberagamaan yang dibangun oleh masing-masing.

NU membangun karakter keberagamaan yang moderat, inklusif, dan pluralis. Sementara kelompok-kelompok tersebut memiliki karakter radikal dan eksklusif. Cara memahami ajaran agama pun berbeda. NU lebih memperhatikan sisi instrinsik-substantif sementara mereka lebih ekstrinsik-literal.

Namun demikian, pada tataran teologis, mereka memiliki sistem keyakinan (akidah) yang sama, tidak ada yang berbeda. Karena kesepahaman inilah NU memandang bahwa kelompok-kelompok tersebut sebagai saudara yang harus

168

Sebelum isu terorisme global mengemuka, muncul aksi pengeboman secara serentak di 22 gereja di tanah air pada malam natal di tahun 2000, PBNU mengeluarkan kecaman keras terhadap para pelaku aksi tersebut dan meminta pihak berwajib untuk mengusut tuntas peristiwa tersebut serta menghukum pelakunya dengan seberat-beratnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Tindakan tersebut adalah perilaku keji yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun, termasuk alasan agama, dan berpotensi merusak kerukunan umat beragama serta mengancam keutuhan bangsa. Karenanya, PBNU menginstruksikan kepada seluruh elemen NU untuk ikut mengendalikan situasi dengan membantu pengamanan tempat peribadatan agama lain di seluruh Indonesia. Ledakan bom pada malam Natal (24 Desember 2000) terjadi secara serentak di 22 gereja di beberapa kota di Indonesia, yaitu: Jakarta, Bandung, Ciamis, Sukabumi, Medan, Pekanbaru, Pematang Siantar, Batam, Mojokerto, dan Mataram. Aksi pengeboman ini terjadi bersamaan dengan memanasnya konflik horizontal bernuansa agama di Maluku dan sekitarnya. Serangan ledakan bom pada malam Natal ini merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak. Belakangan diketahui bahwa pelaku pengeboman adalah kelompok JI. Sumber: Litbang Kompas.

diingatkan bila sedang melakukan sebuah kesalahan (dalam hal ini melihat isu terorisme).

Dalam kasus terorisme di Indonesia, NU melihat kelompok-kelompok tersebut dimanfaatkan oleh AS melalui operasi intelijen untuk mendukung misi keamanan global. Mereka distimulasi untuk bereaksi secara keras terhadap politik luar negeri AS. Ketika AS menyerang Afghanistan, solidaritas umat Islam Indonesia menguat dan banyak kelompok yang menginginkan untuk bisa berjihad membantu masyarakat muslim di Afghanistan. Solidaritas mereka sebagian dilakukan dengan melakukan sweeping warga AS di berbagai tempat, menuntut pemerintah Indonesia untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan AS, dan memboikot produk-produk mereka.

Sikap NU atas situasi demikian bertolak belakang dengan sebagian umat Islam tersebut. Hasyim Muzadi selaku Ketua Umum PBNU menyatakan bahwa aksi sweeping terhadap warga AS adalah tindakan yang justru kontraproduktif terhadap upaya yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam. Orang-orang sipil AS yang di Indonesia bukan pelaku kebijakan AS. Hasyim juga tidak sepakat dengan upaya sekelompok orang untuk melakukan jihad ke sana. Akar persoalan yang terjadi di Afghanistan bukan masalah agama, tapi politik internasional. Namun demikian, NU mendesak pemerintah Indonesia untuk secara tegas menolak serangan AS ke Afghanistan. NU sendiri mengutuk serangan tersebut169

Tampaknya, kalangan NU sadar dengan posisi demikian. Di satu sisi NU harus bisa menghadapi AS secara persuasif, namun di sisi lain NU harus membendung kelompok-kelompok yang dimanfaatkan AS untuk melakukan kekacauan atas nama agama, karena ini justru akan semakin merugikan bagi umat Islam secara keseluruhan.

Karenanya, PBNU memainkan wacana bahwa aksi kekerasan dan terorisme adalah terlarang dan sama sekali bukan bentuk jihad. Sikap tegas ini diwujudkan

169

dalam langkah yang lebih konkret dengan mengeluarkan fatwa haram melakukan aksi-aksi tersebut. Fatwa ini dikeluarkan oleh PBNU melalui Bahtsul Masail pada Munas Alim Ulama NU tahun 2002. Keluarnya fatwa ini menegaskan penentangan PBNU atas aksi tersebut.

Disebutkan dalam fatwa tersebut bahwa bom bunuh diri bisa dibenarkan dan merupakan syahadah jika, (a) diniatkan benar-benar hanya untuk melindungi atau memperjuangkan hak-hak dasar (adh-dharûriyyât al-khams), (b) diyakini tidak tersedia cara lain yang lebih efektif ditempuh dan lebih ringan risikonya, (c) mengambil sasaran pihak-pihak yang diyakini menjadi dalang dan pelaku kezaliman itu sendiri.170

Melihat kriteria dalam fatwa ulama NU di atas, maka aksi terorisme seperti bom Bali, Kuningan, Bursa Efek Jakarta (BEJ), JW. Marriot, sama sekali tidak memenuhi syarat tersebut. Selain masih banyak cara damai, apa yang dilakukan oleh kelompok Amrozi maupun Dr. Azahari sama sekali tidak memperjuangkan hak-hak dasar dan targetnya pun banyak mengenai warga sipil tidak berdosa.

NU pernah mendukung aksi bom bunuh diri sebagai jihad yang dilakukan oleh M. Toha di Bandung yang meledakkan gudang amunisi Belanda pada masa revolusi kemerdekaan. Ia berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Ia tidak punya pilihan lain untuk melawan Belanda yang memiliki persenjataan lengkap. Ia pun menjadikan Belanda sebagai sasaran langsung aksinya. Dalam hukum internasional, aksi yang demikian adalah sah dan dapat dibenarkan, sesuai dengan resolusi PBB nomor 3103 tentang perjuangan suatu bangsa untuk memperoleh kemerdekaan.

Kesimpulannya, apa yang mereka lakukan hanya sia-sia dan tidak bernilai apapun menurut ajaran agama. Bahkan itu merupakan dosa besar karena telah melakukan bunuh diri dan menyebabkan kematian orang lain serta kerusakan

170

Lihat: Hasil-hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama & Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, 25-28 Juli 2002 di Jakarta.

lingkungan. Dengan demikian, fatwa NU mengharamkan aksi bom bunuh diri yang demikian.

Di samping melalui fatwa, PBNU juga membuat aliansi strategis dengan beberapa ormas yang memiliki sikap yang sama dalam memandang masalah aksi kekerasan dan terorisme. Artinya, NU bersinergi dengan segenap kekuatan bangsa lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Kekuatan bangsa tersebut bisa berupa ormas dari kelompok Islam sendiri, agama lain, nasionalis, maupun lembaga-lembaga pemerintah.

Salah satu bentuk aliansi strategis yang dilakukan oleh PBNU dalam konteks masalah ini adalah dengan menggandeng ormas Muhammadiyah, ini karena Muhammadiyah memiliki visi yang sama, yaitu menciptakan wajah Islam yang ramah, damai, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan.

Dalam kaitan ini, pada 2 Januari 2002, Ketua Umum PBNU mengadakan pertemuan dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah untuk membicarakan dua agenda besar, yaitu (1) bagaimana menciptakan wajah Islam yang ramah, dan (2) bagaimana menghilangkan friksi-friksi yang bersifat destruktif di kalangan Islam sendiri sehingga dalam pengembangan Islam terdapat visi yang sama meskipun strateginya berbeda.171

Baik PBNU maupun PP Muhammadiyah merasa prihatin dengan aksi kekerasan dan terorisme di Indonesia yang semakin marak. Karenanya, keduanya perlu bersama-sama memberikan masukan kepada pemerintah, elit politik, seluruh komponen bangsa, dan dunia internasional terkait dengan masalah tersebut. Keduanya memandang bahwa munculnya Islam radikal merupakan bentuk kegagalan bangsa dalam membumikan Pancasila. Meskipun bangsa ini telah menempatkan Pancasila sebagai falsafah hidup, namun tidak benar-benar berusaha mewujudkan nilai-nilainya yang merefleksikan semangat syariat Islam.

171

A. Hasyim Muzadi, Islam Rahmatan lil Alamin: Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia, DEPAG RI, 2006, h.19-20

Menurut hemat penulis, sebenarnya para pelaku pengeboman di Indonesia sebenarnya juga merupakan anak-anak muda yang awalnya tumbuh dalam kultur NU atau Muhammadiyah. Ada banyak kemungkinan mereka kemudian menjadi berpaham sangat keras itu. Karenanya, tugas NU dan Muhammadiyah untuk kembali membina anggota keluarganya agar bencana kemanusiaan ke depan dapat diminimalkan.

Selain dengan Muhammadiyah, PBNU juga menggandeng tokoh-tokoh Islam dan agama lain untuk menyikapi masalah tersebut. Misalnya pertemuan 15 Maret 2002 yang mengundang Kardinal Julius Darmaatmadja (Katolik), Nurcholis Madjid, dan A.A.Yewangoe dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). Pertemuan ini kemudian menghasilkan Deklarasi Gerakan Moral Nasional (Geralnas)172 yang bertujuan untuk membangun kembali moral bangsa yang ambruk terkait dengan berbagai aksi kekerasan dan konflik sosial di berbagai daerah.

Karena lintas agama, gerakan ini memprioritaskan perhatian pada isu-isu yang berkaitan dengan agama, seperti konflik Ambon, Poso, dan aksi terorisme atas nama agama. Langkah ini juga untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa para tokoh agama di Indonesia memiliki perhatian tinggi terhadap masalah tersebut.

Upaya lain yang ditunjukkan oleh PBNU adalah membuat seruan kepada masyarakat Islam,173 warga NU khususnya. Butir-butir seruan tersebut memuat pesan agar (1) seluruh warga NU harus tetap menjadi perekat bangsa— sebagaimana yang dinyatakan dalam khitah, dan menjunjung fikrah nahdliyyah, yaitu: tawassuth (jalan tengah), tawâzun (seimbang), tasâmuh (toleransi), serta i’tidâl (bersikap adil) dalam melaksanakan amar makruf nahi munkar; (2) semua pihak harus mengupayakan langkah-langkah damai dalam mencari solusi yang

172

A. Hasyim Muzadi, Islam Rahmatan lil Alamin..., h. 21 173

terbaik tanpa menggunakan cara-cara kekerasan; (3) ulama agar bertindak sebagai pengayom umat dan bertindak adil kepada seluruh masyarakat tanpa tersekat oleh golongan; (4) para elit politik dan penyelenggara negara melakukan kompromi-kompromi politik guna menghindari keputusan yang mengakibatkan ekses negatif dalam masyarakat, hal ini karena fenomena konflik di negeri ini banyak terjadi akibat pertarungan kepentingan politik di tingkat elit; (5) seluruh elemen kekuatan bangsa bisa segera mengambil prakarsa aktif untuk menyelamatkan bangsa dan negara.

Selain membuat seruan, PBNU bersama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada 27 April 2005 juga membuat Pernyataan Bersama yang inti pesannya adalah menjaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia sekaligus memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan UUD 1945.

2. Internasional

Dalam skala internasional, PBNU berupaya menunjukkan perhatiannya pada persoalan aksi terorisme ke dunia, terutama Barat sebagai negara yang paling berkepentingan dengan masalah ini. Namun demikian, pada saat yang sama PBNU juga berusaha melakukan pembelaan bagi umat Islam, yaitu dengan menjelaskan kondisi keberagamaan umat Islam Indonesia yang moderat dan jauh dari paham garis keras.

Menurut Agil Siradj,174 ketika terjadi peristiwa 11 September di New York dan Penthagon pada 2001, maka pada 28 September 2001 PBNU bersama berbagai elemen bangsa lainnya langsung merespons dengan pernyataan sikap175

174

Wawancara dengan Prof. DR. Said Agil Siradj, MA, 22 November 2007 175

Pernyataan sikap ini ditandatangani di Jakarta oleh 1. H Hasyim Muzadi (Ketua Umum Nahdlatul Ulama); 2. Julius Kardinal Darmaatmaja (Keuskupan Agung Jakarta); 3. Sri Wismoady Wahono (Pendeta Protestan); 4. AA. Yewangoe (PGI); 5. Bambang Ruseno (Gereja Kristen Jawi Wetan); 6. Benny Susetyo, Pr (FKAUB-Malang); 7. Bhikhu Sukhemothera (Rohaniwan Budha); 8. Chandra Setiawan (Ketua Umum MATAKIN); 9. Djohan Effendi (Ketua Umum ICRP); 10. Gede Natih (ICRP); 11. Musdah Mulia (ICRP); 12. Herman S. Endro (ICRP); 13. J. Hariyanto, SJ (ICRP); 14. Ulil Abshar-Abdalla (ICRP); 15. I.

yang berisi tentang kecaman terhadap aksi terorisme tersebut dan mengutuknya sebagai perbuatan biadab dan pelanggaran berat terhadap kemanusiaan tanpa peduli siapa pelakunya. PBNU mengklarifikasi bahwa peristiwa itu adalah tragedi kemanusiaan, bukan konflik agama. Dengan demikian hal itu tidak perlu diseret ke wacana konflik agama sehingga menyulut konflik yang lebih luas.

Ketika Presiden AS, George W. Bush, datang ke Indonesia pada 2003 berkaitan dengan peristiwa bom Bali (jilid I), dalam pertemuan antara Bush dengan para tokoh agama di Indonesia, Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi menyatakan beberapa sikap NU menyangkut persoalan terorisme. Pertama, NU mengkritik kebijakan AS di Timur Tengah yang tidak adil terhadap Israel dan negara-negara teluk lainnya. Situasi ini mengakibatkan konflik di Timur Tengah tidak kunjung selesai, bahkan bisa memicu munculnya tindakan radikalisme yang berkelanjutan. Kedua, NU mengkritik AS yang tanpa memedulikan PBB nekat menyerang Irak dan menimbulkan tragedi kemanusiaan di sana. AS juga tidak segera angkat kaki dari Irak setelah rezim Saddam ditumbangkan. Ketiga, NU meminta Bush untuk tidak menyebut Indonesia sebagai sarang terorisme. Karena pada dasarnya Indonesia justru menjadi korban dari terorisme itu sendiri. Keempat, NU meminta Bush untuk tidak mengaitkan terorisme dengan Islam karena sama sekali berbeda. Ajaran Islam sendiri menentang keras aksi terorisme.176

Menurut hemat penulis, pernyataan sikap NU tersebut secara implisit sebenarnya memiliki makna bahwa NU berada di posisi tengah. Artinya, NU tidak bersikap konfrontatif dan tidak pula sebagai sekutu. Bagi NU, mengkritik AS secara terbuka dan membuka kedok permainannya sama halnya dengan Ismartono, SJ (KWI/MADIA); 16. Amanda Suharnoko (Ketua Umum MADIA); 17. Martin L. Sinaga (MADIA); 18. Mulyadi Wahono (MADIA/ICRP); 19. P. Inung Nugroho (GEMARI); 20. Jamaluddin Faisal (GEMARI); 21. Ronny Serworwora (Kristen Baptis); 22. Victor Rembeth (Kristen Baptis); 23. Rudy Soraya (Baha'i); 24. Wawan Kurniawan (MATAKIN); 25. Binky Irawan (MATAKIN); 26. Eko Budi Susilo, Pr (Keuskupan Surabaya). Lihat http://www.infid.be/pernyataanbersamapemuka.html

176

mengambil posisi konfrontatif dengan AS, jelas ini langkah yang kontraproduktif. Sementara itu membela AS sama halnya mendukung misi AS dan melukai bangsa Indonesia sendiri. Berarti NU akan kehilangan jati dirinya sebagai salah satu kekuatan bangsa.

Dalam kesempatan lainnya, pembelaan juga dilakukan seperti pada saat NU mendapat undangan dari pemerintah AS untuk menghadiri acara National Prayer Breakfast (NPB) pada awal Februari 2002 di Washington DC.177 Dalam momen tersebut, Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi, berkesempatan untuk melakukan dialog dengan berbagai pihak yang menjadi tokoh kunci di AS.178

Bahkan Hasyim dua kali berdialog dengan Menteri Pertahanan AS Paul D. Wolfowidz yang pernah menjadi duta besar AS di Indonesia, untuk menanyakan statemennya tentang rencana AS menyerang Indonesia setelah Afghanistan. Namun Wolwofidz membantahnya. Bahkan, ia kemudian menjamin bahwa AS tidak akan melakukan aksi militer ke Indonesia. Namun jaminan tersebut mengandung konsekuensi bahwa pemerintah Indonesia harus responsif dan aktif dalam menangani masalah keterlibatan warganya dalam jaringan terorisme internasional.

Menurut Hasyim Muzadi, kehadiran wakil NU dalam acara tersebut tidak berarti menunjukkan sikap NU yang pro-AS, melainkan untuk menjelaskan secara langsung kepada pemimpin AS dan para tokoh yang berpengaruh tentang bagaimana sesungguhnya keadaan umat Islam di Indonesia. PBNU ingin menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang damai dan ramah terhadap penganut keyakinan lain.

177

Acara tersebut dihadiri oleh Presiden George W. Bush, Wakil Presiden Dick Cheney, Penasihat Keamanan Nasional, beberapa anggota kabinet, senator, serta kongres AS. Hadir pula di acara tersebut para pejabat, politisi, dan tokoh agama yang merupakan perwakilan dari 170 negara A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU..., h. 42

178

Seperti Deputi National Security Advisor (NSA), Steve Hadley; Direktur Urusan Indonesia di National Security Council (NSC), Karen Brooks; dan asisten Menlu AS untuk urusan Asia Timur dan Paifik, James Kelly., anggota Kongres dan Senat, serta beberapa tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berpengaruh di AS, seperti Asia Foundation, dan USINDO (United State and Indonesia Society). A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU..., h. 43

Dalam penjelasannya yang berkaitan dengan radikalisme Islam yang terjadi di Indonesia, ada dua misi yang disampaikan oleh Ketua Umum PBNU kepada mereka179, yaitu pertama, meminta pemerintah AS tidak gegabah melakukan intervensi fisik ke Indonesia berkaitan dengan tuduhan terhadap Indonesia sebagai salah satu sarang teroris. NU juga tidak menginginkan rencana AS melakukan latihan militer di Indonesia dengan membangun pangkalan militer seperti yang terjadi di Filipina, meskipun dengan dalih untuk mencegah tindak aksi terorisme. Justru rencana tersebut malah akan memprovokasi golongan umat Islam tertentu sehingga berpotensi melahirkan gejala radikalisme sebagai bentuk protes, bahkan perlawanan. Kedua, memberikan penjelasan tentang sikap moderat warga NU dalam memahami doktrin agama, hal-hal yang menyangkut hubungan antar agama di Indonesia, serta adanya isu agama yang dieksploitasi sehingga menjadi pemicu konflik sosial bernuansa agama, padahal sebenarnya akar masalahnya adalah perebutan kekuasaan dan politik.

Secara umum, Hasyim Muzadi menjelaskan bahwa pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh wakil NU dengan semua pihak di AS adalah memberikan informasi dan gambaran bahwa umat Islam di Indonesia mayoritas berpandangan moderat dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap pengikut agama lain. Sementara kalangan Islam yang memiliki paham radikal sangat sedikit jumlahnya. Hanya saja, karena aksi-aksi mereka menggemparkan publik dan mendapat sorotan luas dari media massa sehingga seakan-akan hal tersebut merepresentasikan wajah umat Islam Indonesia. Aksi radikal tersebut juga lebih dikarenakan oleh sikap reaktif atas situasi yang dianggap tidak sesuai dengan pemahaman keislaman dan kondisi obyektif yang melingkupi mereka, sehingga tidak berada dalam bingkai radikalisme murni. Intinya, AS diminta untuk bisa memilah antara gerakan radikalisme dengan Islam.

179

PBNU menegaskan bahwa jumlah kelompok garis keras di Indonesia sangat sedikit jika dibanding umat Islam yang ada. Karena itu, keadaan tersebut tidak boleh menjadi alasan AS untuk melakukan aksi militer di Indonesia. Bahkan mungkin akan memperbanyak timbulnya radikalisme. Sebaliknya PBNU meminta AS untuk mendekati umat Islam Indonesia secara kultural dan bentuk-bentuk lain yang bersifat anti kekerasan.

Di samping melakukan lobi internasional seperti di atas, PBNU juga mengupayakan advokasi institusional dengan membentuk wadah internasional yang bernama International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang telah menyelenggarakan konferensi internasional di Jakarta sebanyak dua kali, yaitu pertama 23-25 Februari 2004 dan yang kedua 20-23 Juni 2006.180

ICIS kemudian menjadi lembaga internasional yang terdaftar di PBB, OKI (Organisasi Konferensi Islam, Organization of the Islamic Conference) dan Rabhitah Alam Islami (RAI) atau Liga Muslim Dunia yang berpusat di Mekkah, Saudi Arabia. Sejauh ini, PBNU telah mengadakan beberapa kesepakatan untuk mengatasi problem umat Islam di dunia. Dengan OKI, Rabithah, PBB, dan WCRP, PBNU membahas bagaimana menangani masalah di Timur Tengah. Sedangkan dengan PBB, AS, Eropa, dan Australia, PBNU membicarakan tentang Islamo Phobia, terorisme dan kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang.181

ICIS menghimpun berbagai kalangan akademisi, cendekiawan, dan pemerhati masalah keislaman dari seluruh dunia. ICIS berusaha melakukan kerja sama dengan OKI agar melahirkan sinergi yang memiliki kemampuan besar dalam mewujudkan cita-cita bersama.

Bagi PBNU, penyelenggaraan ICIS memberi manfaat yang luar biasa. Pertama, eksistensi NU semakin diperhitungkan dan diakui oleh umat Islam di

180

A. Hasyim Muzadi, Islam Rahmatan..., h.26 181

dunia. Kedua, secara otomatis akan membuka jaringan yang makin luas bagi PBNU dalam pergaulan dunia Islam dan dunia internasional pada umumnya. Ketiga, memungkinkan ke depan terjalin silaturahmi dan kerja sama antara NU dengan organisasi Islam dan organisasi keagamaan lainnya di dunia internasional sehingga bisa merespons isu-isu global yang berkaitan dengan keadilan, kesejahteraan, dan keselamatan umat manusia.

Dalam diskusi tentang lintas agama “High Level Interfaith” yang diselenggarakan oleh PBB bersamaan dengan Sidang Majelis Umum PBB pada

Dokumen terkait