• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaku dalam Konteks Munculnya Terorisme

NU DAN TERORISME DI INDONESIA

3. Pelaku dalam Konteks Munculnya Terorisme

Sejak mencuatnya nama tokoh Osamah bin Laden sebagai dalang aksi terorisme di AS, opini masyarakat dunia terbentuk bahwa pelaku aksi terorisme adalah orang Islam. Demikian ketika serentetan bom meledak di berbagai tempat di Indonesia, opini yang muncul adalah bahwa pelakunya adalah orang Islam. Apalagi setelah terbukti satu persatu pelaku bom tersebut ditangkap oleh pihak kepolisian, masyarakat semakin yakin bahwa pelakunya adalah sekelompok umat Islam yang berhaluan keras dalam menjalankan agamanya. Hingga saat ini banyak masyarakat Indonesia yang telah percaya bahwa para pelaku pengeboman tersebut adalah kalangan Islam keras yang terkait dengan jaringan terorisme internasional.

Kalangan Islam yang terlibat dalam aksi-aksi terorisme di Indonesia beberapa tahun terakhir ini, dalam pandangan penulis, adalah orang-orang Islam yang berhaluan radikal dalam memahami ajaran agama. Dalam khazanah Islam, tipikal semacam itu identik dengan golongan al-Mutathorrifûn (kelompok ekstrem dan radikal) yang dilekatkan kepada golongan Khawarij di mana mereka menganggap diri mereka kelompok yang paling benar, sementara lainnya salah. Mereka mengorganisasikan diri dengan baik dalam kelompok-kelompok gerakan tersembunyi (bawah tanah). Umumnya mereka juga memiliki jaringan dengan kelompok-kelompok yang sama di luar negeri.

Pandangan demikian sejalan dengan pandangan Said Agil Siradj yang menyatakan bahwa terorisme yang terjadi akhir-akhir ini dilakukan oleh kaum Khawarij modern, yaitu kelompok-kelompok Islam masa kini yang melakukan aksi terorisme dengan mengatasnamakan agama, yang terinspirasi oleh tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum Khawarij pada masa sesudah Nabi.

Kelompok ini melakukan segala cara untuk menegakkan keyakinannya, termasuk bila perlu menghalalkan darah orang lain yang berseberangan dengan keyakinannya.148

Adanya anggapan bahwa ajaran Wahabi memiliki andil dalam perilaku beragama secara keras tersebut, Said Agil Siradj tidak sependapat dengan hal ini. Menurutnya, ajaran Wahabi tidak memperbolehkan penganutnya melakukan kekerasan, apalagi jika sampai menyebabkan nyawa orang lain melayang. Said menilai bahwa kekerasan cara beragama dalam sistem tindakan yang muncul saat ini lebih karena dibawa oleh orang-orang eks Afghanistan yang pulang ke negara masing-masing pasca perang melawan Uni Sovyet. Mereka sebenarnya adalah pejuang-pejuang binaan AS.

Said Agil kemudian mengklasifikasikan tipikal orang-orang yang menjalankan agamanya secara keras dalam tiga model kelompok; pertama, yaitu kelompok yang keras dalam wacana namun tidak diwujudkan dalam sistem tindakan. Mereka bersikap keras terhadap pelaku bid’ah dan khurafat serta mengafirkan orang yang tidak sepaham. Kedua, kelompok yang keras dalam wacana dan tidak diwujudkan dalam sistem tindakan, namun terorganisir dengan baik dan menyusup ke dalam organisasi massa dan partai politik untuk mencapai tujuannya. Ketiga, yaitu kelompok yang keras dalam wacana dan diwujudkan dalam tindakan serta memiliki jaringan organisasi yang sangat rapi dan terselubung. Kelompok ini ada yang bergerak secara murni karena keyakinannya ada juga yang tidak murni karena punya motif tertentu.

Kelompok ketiga inilah yang dianggap paling berbahaya. Antara yang bergerak murni karena keyakinan dan yang karena motif tertentu keduanya rentan dimanfaatkan oleh kekuatan tertentu. Umumnya mereka adalah eks pejuang Afghanistan dan memiliki jaringan internasional. Said menduga bahwa organisasi mereka banyak disusupi oleh agen-agen AS untuk melakukan berbagai aksi

148

kekerasan mengatasnamakan jihad. AS secara diam-diam menyokong dana untuk aksi mereka di berbagai negara untuk menyerang berbagai kepentingan AS dan sekutunya sendiri. Dengan begitu, AS memiliki justifikasi untuk menyerang umat Islam secara keseluruhan.

Sependapat dengan Said Agil, Hery H. Azumi dan Ahmad Baso menilai bahwa kekerasan cara beragama mereka bukanlah warisan gerakan Wahabi di masa lalu. Gerakan Wahabi memang keras, namun ajarannya yang telah lama masuk Indonesia sebenarnya telah mengalami proses akulturasi dengan wajah Islam setempat. Bagi mereka, kekerasan mereka saat ini lebih dipengaruhi oleh masuknya ideologi Islam keras belakangan ini ke Indonesia. Bahkan, kedua tokoh muda NU ini menyinyalir bahwa semua kelompok-kelompok keras ini kemunculannya didorong oleh AS dan didesain untuk mengacaukan Indonesia agar situasi sosial-ekonomi-politik-keamanan Indonesia tidak stabil. Situasi yang demikian akan dimanfaatkan oleh AS untuk menguasai Indonesia.

Makruf Amin menolak anggapan bahwa semua kelompok Islam keras di Indonesia terlibat dalam aksi terorisme dan kemunculannya didesain oleh AS. Namun Makruf Amin juga sepakat bahwa kelompok eks Afghanistan merupakan kelompok yang didesain—baik secara langsung maupun tidak—oleh AS untuk mengacaukan Indonesia. Artinya, sangat mungkin beberapa peristiwa pengeboman berkekuatan besar di Indonesia yang mereka lakukan adalah desain AS sendiri.

Hasyim Muzadi menyebut pengaruh paham Islam dari luar negeri tersebut dengan ideologi transnasional. Jika ideologi transnasional ini masuk ke Indonesia dan bergerak di wilayah politik, maka akan menjadi sangat berbahaya. Mereka mengembangkan keberagamaan yang intoleran dan radikal sehingga mengganggu kerukunan beragama yang ada serta menimbulkan gejolak sosial-politik bangsa.

Ideologi ini sarat dengan muatan-muatan politik internasional. AS memiliki kepentingan untuk menunggangi ideologi semacam ini.149

Masyarakat Islam Indonesia jelas tidak memiliki tradisi beragama secara keras. Cara berpikir mereka bisa dirunut dari sumber tempat mereka memperoleh pengetahuan agama Islam. Pondok pesantren tradisional (salafiy) di Indonesia justru memproduksi kelompok agamis-nasionalis yang cara berpikirnya seperti kalangan NU. Sementara pondok pesantren modern memunculkan kalangan moderat yang jauh dari wacana ekstrem. Jadi wacana Islam keras sebenarnya bukan produk berpikir masyarakat Islam Indonesia.

Dalam pandangan penulis, melihat kenyataan bahwa kelompok pelaku aksi terorisme di Indonesia sangat erat dengan jaringan luar negeri, maka aksi terorisme tersebut bisa dikategorikan sebagai aksi terorisme suatu kelompok yang disponsori Negara (State Sponsored Terrorism). Kelompok yang demikian biasanya mendapatkan sokongan baik dana, taktik, dan teknologi dari kekuatan besar yang berkepentingan. Sejauh ini kelompok yang banyak disorot media adalah Jamaah Islamiyah (JI) yang berpaham keras. Namun benarkah demikian?

NU tidak mengingkari fenomena di permukaan bahwa para pelaku tersebut adalah kalangan Islam keras (neo Khawarij). Bahwa mereka bergerak dengan keyakinannya memang benar. Bahwa mereka adalah muslim yang taat kepada agamanya adalah benar. Namun kalangan NU menduga bahwa mereka sebenarnya adalah mata rantai terakhir yang secara tidak sadar dimanfaatkan oleh AS dalam permainan isu terorisme global.

Di sini, penulis melihat kalangan NU membaca masalah terorisme secara konteks atas fenomena yang muncul di permukaan. Untuk menjelaskan pandangan NU bahwa terorisme adalah sebuah permainan global yang didesain oleh AS, maka penjelasannya bisa dirunut bagaimana konteks kemunculan isu

149

terorisme global pasca berakhirnya perang dingin AS (kapitalisme-neo liberalisme) melawan Uni Sovyet (komunisme-sosialisme).

Dengan berakhirnya perang dingin tersebut, keinginan AS untuk menjadi penguasa tunggal (adikuasa) di dunia menjadi terbuka. Karena itu, kesempatan untuk mengekspor paham neo liberalismenya ke seluruh dunia menjadi tuntutan yang segera dilaksanakan. Berbagai perusahaan multinasional AS yang ada di seluruh dunia adalah aset AS yang harus dilindungi dan dibukakan jalan untuk berkembang secara aman. Untuk mendukung ini, AS juga bergerak melalui berbagai lembaga internasional, seperti lembaga donor, Perserikatan Bangsa-Bangsa, traktat militer dan perdagangan.

Namun demikian, semua itu tidak cukup karena banyak pihak yang masih menjadi ganjalan bagi AS untuk melaksanakan misi itu. Menurut Ahmad Baso,150 pihak yang dianggap memiliki potensi ancaman paling besar pasca runtuhnya komunisme adalah Islam, meskipun dunia Islam digandeng oleh AS saat melawan komunisme. Banyak negara Islam yang secara politis berseberangan dengan AS, bahkan selalu menentang kepentingan AS.

Hery A. Azumi menambahkan bahwa AS sebenarnya membuat skenario besar (grand design) bagaimana menaklukkan dunia Islam yang berseberangan kepentingan dan melakukan penetrasi ke dalam negara-negara di seluruh dunia, termasuk dunia Islam, serta mengambil keuntungan secara ekonomi, politik, dan militer secara maksimal. Skenario besar inilah yang kemudian diwujudkan dalam misi keamanan dunia (global security).151

Bagi AS, misi ini tidak akan terwujud jika dunia Islam masih menjadi potensi ancaman bagi kepentingan AS. Karena itu, posisi Islam harus dilemahkan. AS lantas menciptakan drama kolosal di mana Islam harus ditampilkan sebagai musuh dan diperankan sebagai pihak antagonis. Drama tersebut kemudian oleh

150

Wawancara dengan Ahmad Baso, 2 September 2007 151

AS diwujudkan dalam bentuk tertabraknya dua gedung kembar WTC (World Trade Center) dan gedung Penthagon.152

Dengan momentum tersebut, pemerintah AS memiliki beberapa keuntungan, antara lain: (1) mendapatkan legitimasi penuh dari rakyat AS dan sekutunya untuk melancarkan serangan militer ke negara yang dianggap mendukung aksi terorisme; (2) memosisikan diri sebagai korban sehingga mendapatkan justifikasi untuk menuntut balas; (3) memosisikan Islam sebagai pihak teroris yang harus diserang; dan (4) menjadi momentum unjuk kekuatan senjata yang berlanjut pada penjualan berbagai peralatan militer.

Dalam pandangan kalangan NU, peristiwa 11 September 2001 inilah titik awal dimulainya misi keamanan dunia. AS kemudian menyerukan perang melawan terorisme dan membuat garis tegas siapa kawan dan siapa lawan. Dunia Islam—yang memang didesain oleh AS sebagai pihak pemeran antagonis— otomatis menjadi lawan. Citra Islam sontak jatuh ke titik nadir. Dari sinilah AS melakukan penetrasi ke dunia Islam atas nama keamanan dunia.

AS kemudian menciptakan ikon tokoh teroris semacam Osamah bin Laden dengan jaringan organisasi Alqaedahnya. Sekedar gambaran penulis, ketika terjadi perang Afghanistan melawan Uni Sovyet, AS mem-back up Afghanistan melalui Osamah bin Laden sebagai kader agen CIA kala itu. AS secara diam-diam membiayai kelompok Taliban dari Suku Pashtun untuk melakukan perlawanan terhadap Uni Sovyet. AS memberikan dukungan secara penuh kepada kelompok ini, baik pelatihan perang, persenjataan, logistik, dana, dan akses lainnya. Pada tahun 1996 Kabul pun jatuh ke tangan kelompok ini.153

152

Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa 11 September. Pada peristiwa ini, 4 pesawat komersial Amerika dibajak oleh kelompok teroris. 2 pesawat kemudian ditabrakkan ke gedung WTC, 1 pesawat ke gedung Penthagon, dan 1 pesawat lainnya jatuh di daerah perkebunan di Pensylvania. Banyak pakar konstruksi yang tidak percaya gedung WTC bisa ambruk dengan cara seperti. Ada dugaan bahwa gedung tersebut telah dipasang bom sebelumnya. Wawancara dengan Prof. DR. Said Agil Siradj, MA, 22 November 2007.

153

Dalam perkembangannya, Afghanistan yang telah dikuasai oleh Taliban ini tidak bisa mengakomodir berbagai kepentingan AS. Karenanya AS kemudian menyerang Afghanistan, negara ini dipilih sebagai upaya untuk mengamankan jalur minyak. Aspek lain adalah karena geografi Afghanistan memiliki nilai strategis bagi AS untuk masuk ke negara-negara Timur Tengah sekaligus menahan pengaruh Cina dan Rusia.

Negara berikutnya yang diinvasi oleh AS adalah Irak. Negara ini dituduh telah mengembangkan senjata pemusnah massal dan nuklir. Dengan dalih ini AS kemudian menyerang dan menjatuhkan kekuasaan Saddam Husein. Dengan menguasai Irak, AS mendapatkan keuntungan yang luar biasa. Irak adalah negara dengan deposit minyak bumi terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi. Irak juga dianggap negara yang menjadi ancaman bagi sekutu AS di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Israel.

Lantas bagaimana Indonesia kemudian ikut terlibat dalam pusaran isu terorisme global? Juga, mengapa aksi pengeboman bertubi-tubi muncul di berbagai wilayah Indonesia?

Menurut Ahmad Baso154, Indonesia dianggap tidak memiliki respek dan tidak dalam posisi yang jelas dengan garis tegas yang diciptakan oleh AS. Pada sebuah Seminar Day di Washington pada Februari 2002, sikap acuh tak acuh Indonesia terhadap isu terorisme disikapi secara serius oleh pemerintah AS. Untuk mengundang perhatian Indonesia terhadap kampanye antiterorisme tersebut, AS kemudian mendorong munculnya musuh dari dalam sehingga muncullah orang-orang seperti Dr. Azahari, Hambali, Amrozi, Imam Samudra, Nurdin M. Top, Mukhlas, dan seterusnya yang melakukan berbagai aksi pengeboman.

Berbagai aksi pengeboman tersebut justru ditujukan untuk mengganggu asset dan kepentingan Barat sendiri. Dengan demikian AS memiliki alasan kuat untuk membawa isu terorisme ke Indonesia menekan pemerintah Indonesia untuk ikut

154

dalam permainan AS. Dalam kasus bom Bali atau Kuningan, kelompok Amrozi tidak memiliki kemampuan untuk membuat bom mikronuklir seperti itu.

Di samping itu, kekuatan media Barat juga turut berperan dalam kampanye anti terorisme AS ini. Sejumlah media massa Barat seperti New York Times melansir pernyataan seorang pejabat militer AS bahwa Indonesia, Malaysia, dan Filipina kemungkinan akan menjadi sasaran perang antiterorisme AS. Harian lainnya, International Herald Tribune memuat berita serupa dan menegaskan adanya jaringan Al-Qaeda pimpinan Osamah bin Laden di tiga negara tersebut sehingga menjadi ancaman bagi AS. Berita senada juga muncul di media-media terkemuka di Eropa, seperti The Guardian di Inggris. Disebutkan bahwa jumlah penduduk muslim yang sangat besar di Indonesia akan sangat memungkinkan jaringan Al-Qaedah masuk di negara ini.155

Berita yang paling mengagetkan kalangan muslim Indonesia adalah dari sebuah harian AS, Today, yang memuat pernyataan dari senator Ted Stevens dari Negara bagian Alaska yang mengungkapkan bahwa pemerintah AS telah menyiapkan dana khusus untuk operasi militer di Indonesia. Dana operasi militer tersebut diambilkan dari anggaran pertahanan AS senilai 18 juta dolar AS, atau setara Rp180 miliar dengan kurs Rp10.000 per dolar.156

Berita-berita tersebut penuh propaganda dan sangat provokatif. Akibatnya, muncul sikap protes dan reaksi yang sangat beragam dari umat Islam Indonesia. Dalam pandangan NU, semakin umat Islam bereaksi secara keras berarti AS semakin berhasil menjalankan skenarionya.

Kelompok-kelompok yang selama ini dikenal sebagai Islam radikal, seperti Front pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Wajamaah (FKAWJ) dan Laskar Jihad-nya, Komite Solidaritas untuk Dunia Islam (KISDI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jundullah, Ikhwanul Muslimin

155

A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU..., h. 37 156

Indonesia, Gerakan Pemuda Islam, Brigade Ababil, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), adalah kelompok-kelompok yang secara tidak langsung didorong oleh AS melalui operasi intelijen agar muncul ke permukaan dengan karakter kerasnya. Sementara ormas-ormas seperti NU dan Muhammadiyah yang oleh AS dianggap sulit diprovokasi untuk bereaksi secara keras akan dengan sendirinya berseberangan dengan kelompok-kelompok di atas.

Dengan demikian tentu sulit bagi NU untuk bersikap. Jika ikut bereaksi keras berarti NU telah terjebak dalam skenario AS. Tapi jika tidak bereaksi keras maka NU akan dianggap oleh kalangan umat Islam Indonesia sendiri sebagai pro-Barat dan tidak memiliki solidaritas sebagai sesama umat Islam.

Selain kelompok Jamaah Islamiyah (JI), Makruf Amin tidak melihat bahwa kelompok-kelompok gerakan di atas didesain oleh AS. Menurutnya, mereka memang telah lama ada namun baru muncul setelah angin kebebasan muncul di Indonesia pasca 1998. Dalam pandangan Makruf Amin, mereka memang bereaksi keras, tapi mereka tidak sampai terlibat dalam aksi terorisme (pengeboman).157

Dalam aksinya, mereka menggelar demo protes, membuka posko-posko pendaftaran jihad dan melakukan sweeping terhadap warga AS, termasuk terhadap perusahaan-perusahaan asal AS. Mereka juga menuntut agar pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan AS.158

Dengan (mereka) semakin keras bereaksi maka strategi efek domino AS berjalan dengan baik. AS pun semakin mendapatkan legitimasi untuk menekan pemerintah Indonesia agar tunduk kepada mereka atas nama perang melawan terorisme. Motif AS dalam hal ini jelas, melindungi asset-asset mereka dan

157

Wawancara dengan KH. Makruf Amin, 26 November 2007

158

Situasi demikian menimbulkan kekuatiran warga AS di Indonesia. Dubes AS, Robert Gelbard, bereaksi keras dengan mendatangi DPR dan menyatakan rasa tidak puasnya atas kinerja aparat keamanan. Konsul Jendral AS di Surabaya, Robert Pollard, bahkan pulang ke negaranya bersama seluruh stafnya. Akibatnya, aparat keamanan sibuk dengan penjagaan dan pengawalan terhadap aset dan kepentingan AS di Indonesia, seperti kedutaan besar, konsulat, sekolah, tempat-tempat perdagangan, dan investasi. A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU..., h. 39

menguasai sumber-sumber kekayaan alam bangsa Indonesia. Perusahaan-perusahaan raksasa asal AS di Indonesia tentu akan mendapatkan keuntungan yang luar biasa dalam situasi di mana pemerintah Indonesia tidak berani sama sekali melawan hegemoni AS.

Ibarat sekali mendayung tiga pulau terlampaui, AS mendapat keuntungan lain di mana rakyat Indonesia menjadi terpecah belah akibat aksi terorisme tersebut. Dengan situasi negara yang penuh konflik dan kekacauan sosial-politik, nasionalisme bangsa tidak lagi menjadi benteng pertahanan yang menghadang gerak laju imperialisme gaya baru AS.

Saat ini berbagai perusahaan raksasa asal AS semakin menggurita di Indonesia. Freeport, Exxon Mobil, dan Newmont habis-habisan mengeruk kekayaan bumi Indonesia. Begitu juga perusahaan jasa, waralaba, dan ritelnya yang berjumlah ratusan dan telah menguasai pasar Indonesia. Tekanan untuk memprivatisasi BUMN dan sumber-sumber kekayaan negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak juga dilakukan oleh AS melalui lembaga-lembaga internasional kepanjangan tangan mereka.

Inilah sebenarnya situasi yang tidak dikehendaki oleh kalangan NU. Kalangan NU melihat bahwa isu terorisme adalah proyek besar AS yang akan memberi keuntungan luar biasa bagi AS di masa mendatang dan sekaligus kerugian luar biasa bagi bangsa Indonesia. Karena itu, NU tidak ingin terjebak dalam permainan mereka.

Dengan demikian, jika penulis merujuk The Antiterrorism Handbook,159 menetapkan AS sebagai negara pelaku terorisme dalam konteks state sponshored terrorism cukup beralasan sebab dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 15 Desember 1997, dinyatakan bahwa apa yang disebut sebagai

159

teroris tidak terbatas pada pelaku teror melainkan setiap partisipan, organisator, ataupun kontributor lain dalam tindakan yang dikategorikan terorisme.160

Dokumen terkait