• Tidak ada hasil yang ditemukan

MOZAIK NAHDLATUL ULAMA (NU)

2. Visi Keagamaan

Dalam hal keyakinan, NU mengkhidmatkan diri kepada pada nilai-nilai luhur agama Islam dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. NU berpendirian bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘âlamîn yang akan membawa seluruh umat manusia

kepada kehidupan yang damai, saling menyayangi dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Rahmatan lil

‘âlamîn jelas mengandung arti bahwa ajaran dan pesan-pesan Islam berlaku universal bagi seluruh umat manusia tanpa tersekat

oleh dimensi ruang dan waktu.110

Karena itu, penting bagi NU menjelaskan hal ini untuk kembali menyegarkan hakikat ajaran Islam yang hanif dan damai sehingga Islam tidak muncul dengan wajah menyeramkan, sebagaimana yang tampak dalam perilaku keagamaan kelompok-kelompok Islam garis keras di Indonesia.

Karakter damai yang melekat pada visi ini didasarkan pada pemaknaan istilah Islam itu sendiri yang berarti damai, selamat, dan berserah diri (kepada Allah). Makna ini jelas menegasikan adanya kekerasan dalam implementasi semua ajarannya. Sementara cita-cita dasar dari agama ini sebagaimana disebut dalam Al-Quran (QS. Al-Anbiya [21]: 107)111 adalah menjadikan

rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘âlamîn). Artinya, kehadiran Islam di tengah-tengah umat manusia harus mampu

membawa kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.

Karena menjadi rahmat bagi alam semesta, maka Islam memiliki sistem yang mengatur tata cara hidup manusia yang menyangkut semua aspek kehidupan. Namun begitu, ditegaskan pula bahwa Islam juga melarang untuk memaksa nonmuslim untuk meyakini akidah Islam itu sendiri. Artinya, Islam tetap membebaskan manusia untuk memilih dan menjalankan keyakinannya. Karena itu jika terdapat pemaksaan akidah Islam terhadap nonmuslim berarti telah mengingkari pesan Islam sendiri.

NU bersikap terbuka (inklusif) akan adanya keyakinan lain yang tumbuh dalam masyarakat. Sebab, persoalan keyakinan adalah bagian dari hak asasi manusia. Ajaran Islam sendiri melarang pemaksaan terhadap agama dan wajib menghormati keyakinan orang lain.

110

A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU..., h. 36

111“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta”.

Agaknya, inilah terkadang yang tidak disadari oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus, meski sadar tidak boleh memaksakan keyakinan Islam kepada orang lain, namun dalam prakteknya mereka melakukannya. Adanya upaya untuk memberlakukan syariat Islam dan mendirikan khilafah Islam di Indonesia yang penduduknya dari Sabang sampai Merauke memiliki keragaman keyakinan, sama artinya dengan memaksakan Islam terhadap penganut agama lain secara tidak langsung. Yang demikian jelas merupakan pelanggaran moral agama. Apalagi jika upaya tersebut dilakukan dengan cara-cara kekerasan, jelas merupakan bentuk kejahatan agama dan kemanusiaan.

Menengok sikap keberagamaan Rasulullah dulu, selama hampir 23 tahun menjalankan misi Islam, Nabi tidak pernah memaksakan apalagi dengan cara-cara keras. Secara konsisten Nabi selalu menggunakan pendekatan damai sehingga misi kerahmatan lintas suku, budaya, dan agama dapat berkembang dengan baik. Cara seperti ini dilakukan sejak di Mekkah hingga di Madinah. Bahkan ketika Nabi memiliki kekuatan mapan di Madinah, ia tetap konsisten dengan cara damai dan beradab. Ia membangun masyarakat Islam Madinah namun pada saat yang bersamaan Nabi memberikan kemerdekaan beragama dan kebebasan dalam menjalankan ajaran agama masing-masing sebagaimana yang dituangkan dalam Piagam Madinah. Kalaupun Nabi melakukan peperangan (yang identik dengan kekerasan) hal ini dilakukan untuk mempertahankan diri (defensif) dalam rangka menuju perdamaian, sebagaimana peristiwa penaklukan kota Mekkah. Untuk itu, perang tidak boleh eksesif, destruktif dan harus menghargai HAM, yaitu tidak boleh membunuh warga sipil, anak-anak perempuan, orang tua, menghancurkan lingkungan, fasilitas umum dan simbol-simbol agama, bahkan membunuh hewan tunggangan perang sekalipun. Demikian wasiat yang senantiasa disampaikan oleh Nabi pada saat perang.112

Visi Islam rahmatan lil ‘âlamîn mementingkan pemahaman pesan dasar ajaran Al-Quran. Artinya ajaran Islam dipahami

oleh kalangan NU tidak secara literal, namun mengedepankan nilai-nilai substansinya. Sehingga pesan atau ruh dari ajaran tersebut bisa diterapkan di mana pun dan kapan pun. Dengan pemahaman demikian maka agama Islam akan bisa dijalankan sesuai dengan cita-citanya, yaitu rahmat bagi alam semesta.

Pemahaman yang demikian, oleh NU kemudian dikembangkan melalui paradigma substantif-inklusif.113 Paradigma ini menegasikan pemahaman agama secara kaku, literal, tertutup, dan intoleran.

Paradigma substantif-inklusif NU memiliki beberapa implikasi antara lain, pertama, keyakinan bahwa ajaran Islam (yang

bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Nabi) berisi aspek-aspek etik dan pedoman moral bagi kehidupan manusia, tetapi tidak

112

Ahmad Baso, NU Studies, (Jakarta: Erlangga, 2006), h.416 113

Istilah ini dikenalkan oleh DR. Syafi’i Anwar untuk menilai karakter keberagamaan kalangan NU sebagaimana yang dicontohkan oleh Gus Dur.

menyediakan detail-detail pembahasan terhadap setiap persoalan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Pedoman moral tersebut menuntun manusia untuk bisa bersikap benar dalam menjalani kehidupannya. Nilai-nilai moral tersebut antara lain keadilan, kesetaraan, hak asasi, kebebasan, dan demokrasi. NU menolak cara beragama kelompok-kelompok Islam keras yang melihat bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap dan sempurna yang mampu memecahkan semua permasalahan kehidupan umat manusia. Tegasnya, dalam konteks sosial, Islam hanya menyediakan pilar-pilar dasar yang berlaku universal yang penerjemahan operasionalnya secara detail tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing pemeluknya, yang tentu memiliki keunikan masing-masing berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan bentukan sosial budayanya.

Kedua, paradigma ini meniscayakan pelaksanaan ajaran Islam secara damai. NU tidak pernah bersikap keras dalam

melaksanakan ajaran Islam sebab Islam tidak mengenal kekerasan. Pemaksaan kehendak atas nama dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar, apalagi jika dilakukan dengan kekerasan dan cara-cara yang merusak, sama sekali tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Bahkan, cara tersebut justru akan mencederai kemuliaan ajaran Islam.

Ketiga, paradigma ini menegaskan bahwa syariat tidak terikat oleh suatu negara. NU melihat bahwa syariat adalah sebuah

jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis sebagai hukum Tuhan yang tidak harus dijadikan sebagai dasar negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan.

Paradigma substansif-inklusif NU juga berimplikasi pada persoalan pluralisme114. Dalam pandangan Hasyim Muzadi, NU menerima keanekaragaman agama, keyakinan, suku, dan budaya sebagai kenyataan yang tidak bisa ditolak di bumi Indonesia. Pandangan demikian akan mengantarkan pada tujuan-tujuan yang benar dan orientasi mulia. Syariat tidak boleh dikotori oleh kepentingan-kepentingan politik dan ambisi kekuasaan. Karena itu, NU menolak secara tegas upaya formalisasi syariat Islam di Indonesia. Semua itu bahkan menjadi kekayaan dan anugerah bagi bangsa Indonesia jika disikapi dengan benar. Karena itu, kesadaran pluralisme menjadi hal yang justru wajib dimiliki oleh setiap warga negara. Menafikan pluralisme beragama berarti mengingkari kesejarahan bangsa Indonesia sendiri.115

Kesadaran akan pengakuan eksistensi umat lain di luar keyakinan Islam, merupakan bentuk pengakuan eksistensi kemajemukan umat manusia. Islam memberikan apresiasi yang sangat baik terhadap pluralisme, baik secara substansif maupun

114

Pluralisme adalah keadaan dimana kelompok yang besar dan kelompok yang kecil dapat mempertahankan identitas mereka di dalam masyarakat tanpa menentang kebudayaan yang dominan. Lihat: Salim MA, The Dictionary English, h. 1436

115

A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU Melalui Penyembuhan Luka Bangsa, (Jakarta, PBNU, 2002), h. 34

secara simbolik. Dalam Al-Quran pluralitas disebut sebagai sunnatullah (QS. Yunus [10]:99). Al-Quran juga memberikan

kebebasan dalam beragama (QS. Al-Baqarah [2]: 256 dan QS. Al-Kafirun [109]: 6). Dalam ayat lain, apresiasi yang mendalam juga diberikan kepada kalangan agama nonmuslim, seperti Kristiani, Yahudi, Shabi’ah yang beramal saleh, bahwa mereka mendapatkan pahala yang setimpal di akhirat.

Dalam paradigma NU, Islam sebenarnya telah mengatur tata hubungan masyarakat menyangkut aspek teologi, ritual, sosial, serta humanitas. Pada tataran teologi, Islam memberikan rumusan secara tegas dan baku, yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya tanpa sedikit pun menyisakan celah toleransi bagi tindak penyimpangan dan tindakan memaksa nonmuslim agar bersedia untuk memeluk agama Islam. Begitu juga aspek ritual, yang memang sudah ditentukan bentuk-bentuk operasionalnya dalam Al-Quran dan Hadits.

Namun dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar yang penerjemahan operasionalnya secara detail sangat tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas masyarakat, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagamaan lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.116

Dalam pandangan NU, tidak ada satu pun agama yang membenarkan kekerasan, ketidakjujuran, penindasan, kekejaman, serta tindakan-tindakan yang dapat merendahkan martabat manusia sehingga tidak ada pula agama yang tidak menganjurkan usaha menjalin hubungan antar kaum beriman, baik demi membangun rasa saling memahami dan menghormati, maupun dalam rangka mengembangkan usaha bersama.

Beragama secara jernih bisa diartikan sebagai kesanggupan menempatkan pilar teologi, ritual, sosial, dan humanitas dalam bingkai keislaman. Karenanya, umat beragama di Indonesia tidak boleh saling memengaruhi dan mengintervensi di bidang teologi dan ritual. Tetapi, mereka harus bersatu di bawah pilar-pilar kehidupan sosial dan kemanusiaan yang pada dasarnya menunjukkan suatu persamaan.

Kemoderatan sikap beragama NU dilandasi oleh wacana keberagamaan substanstif-inklusif yang selama ini menjadi cara pandang NU terhadap agama. Dengan wacana ini pula, NU menjadi pluralis dan beradaptasi dengan baik dalam kultur masyarakat setempat.117

116

A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU..., h. 47 117

Cara pandang NU yang demikian melekat pada beberapa pemikiran para tokohnya. Lebih jauh tentang pandangan ini baca: Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, (Jakarta: Wahid Institute, 2006) cet. I, atau Hasyim Muzadi, Islam Rahmatan lil Alamin: Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia, (DEPAG RI, 2006).

NU membedakan antara pluralisme dengan kebenaran agama. Menerima secara positif dan hormat kepada agama lain bukan berarti harus mengatakan bahwa semua agama adalah sama. Sikap pluralis lebih merujuk pada kemampuan untuk hidup secara berdampingan dengan umat beragama lain dalam suasana saling menghargai serta terikat oleh rasa persaudaraan berdasarkan komitmen kebangsaan dan kemanusiaan.

Jadi, pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui keberadaan dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan sebagai rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi yang dinamis dan pergaulan budaya yang beraneka ragam. Pluralisme adalah perangkat untuk mendorong pengayaan budaya bangsa. Sebab, jika pluralisme hanya dipahami sebatas pengetahuan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama, maka itu justru hanya akan memunculkan kesan fragmentasi saja, bukan pluralisme. NU menegaskan bahwa pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.

Dengan demikian, visi Islam rahmatan lil ‘âlamîn yang diusung oleh NU pada masa kepemimpinan KH. A. Hasyim

Muzadi bisa menjadi solusi yang tepat dalam mengembangkan ajaran Islam di Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir terus memperlihatkan citra buruk seiring dengan adanya berbagai aksi kekerasan dan terorisme.118

Dari uraian visi NU di atas, baik visi kebangsaan maupun visi keagamaan, ada dua hal penting yang harus digarisbawahi dalam keterlibatan NU dalam membentuk nilai-nilai kebangsaan. Pertama, soal loyalitas NU terhadap perjuangan kemerdekaan dan dukungan untuk tidak menjadikan agama (Islam) sebagai dasar berdirinya bangsa yang majemuk ini. Kedua, sebagai sebuah komunitas, NU adalah representasi autentik karakter bangsa Indonesia yang toleran terhadap kebudayaan luar sejauh tidak merusak tatanan budaya yang tersedia.

Tentang hal yang pertama, tidak bisa dinafikan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa ini tidak lepas dari peran para ulama dengan latar pesantren yang kemudian menjadi basis inti dalam komunitas NU. Karena itu, peran NU sebagai pilar penting

118

Baca: Hasyim Muzadi, Islam Rahmatan lil Alamin: Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia, (DEPAG RI, 2006).

kelangsungan bangsa Indonesia sulit diragukan. NU sudah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan identitas kebangsaan yang religius tetapi tidak terjebak dalam bingkai negara agama. Kerelaan umat Islam, di antaranya masyarakat NU, untuk tidak memaksakan dasar negara Islam menjadi starting point yang memuluskan bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk untuk hidup bersama secara setara.

Hal kedua, karakter Islam yang berakar pada tradisi lokal dan bersikap akomodatif terhadap kebudayaan baru yang dianggap lebih baik, membuat NU sulit dibayangkan menjadi ancaman bagi ikatan kebangsaan. Dalam interpretasi NU, Islam yang dihayati tidak harus menggeser tradisi lama tanpa terjebak pada sikap antipati dengan nilai-nilai baru. Sikap keagamaan semacam ini seakan melahirkan sebuah varian Islam Indonesia yang memiliki ciri pada sikap moderat, toleran, dan akomodatif pada kebudayaan lokal.

Dalam memelihara masa depan kebangsaan Indonesia, NU dihadapkan pada tantangan yang membuat mereka harus bertarung dengan komunitasnya sendiri sesama umat Islam. Menguatnya radikalisme Islam di Indonesia adalah ancaman yang dapat mengoyak kesatuan bangsa ini. Komitmen untuk mempertahankan kemajemukan dan kesetaraan warga di hadapan negara adalah garansi yang harus tetap dijaga.

Radikalisme tidak hanya mengancam kesatuan bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa, tetapi juga masa depan umat Islam secara keseluruhan. Sekali radikalisme tersebut berkembang, maka nilai ikutan yang antikemanusiaan lainnya akan menjebak bangsa Indonesia pada friksi yang berkepanjangan. NU telah menegaskan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan organisasi ini adalah nilai-nilai Islam yang selalu menjaga kehidupan dan perdamaian.

Tantangan lainnya adalah fenomena munculnya peraturan daerah (Perda) syariah di beberapa daerah pasca pelaksanaan otonomi. Bukan soal keputusan tersebut diambil oleh mayoritas legislatif daerah, melainkan masalah jaminan bahwa negara

ini tidak mungkin melegalkan satu aturan yang hanya bicara pada satu kelompok agama tertentu. Setiap masyarakat selalu diisi oleh keragaman yang memiliki nilainya sendiri. Untuk menjadi negara yang memiliki komitmen pada kesetaraan dan keadilan, maka tidak mungkin undang-undang yang hanya mewakili kelompok tertentu disahkan dan digunakan.

Ini bukan tidak disadari oleh NU sendiri, untuk mencegah yang demikian, melakukan berbagai upaya agar yang demikian tidak terjadi. Dengan demikian kemampuan NU untuk memelihara keseimbangan ragam pemikiran yang ada serta komitmen pada pluralitas kebangsaan adalah mutlak diperlukan.

B. Prinsip Kemasyarakatan NU

1. Mabâdi’ Khaira Ummah

Sejak didirikannya, NU menempatkan kepentingan masyarakat sebagai orientasi gerakannya. Cita-cita ini kemudian dirumuskan dalam istilah mabâdi’ khaira ummah yang berarti prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengupayakan terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat yang ideal dan terbaik. 119

Pada awalnya, para ulama NU berpandangan bahwa proses pembentukan masyarakat yang terbaik adalah dengan menanamkan nilai-nilai al-shidq (kejujuran), al-wafâ’ bi al-‘ahd (komitmen), dan al-ta’âwun (komunikatif dan kerja sama). Tiga prinsip dasar itulah yang mendasari cita-cita tersebut.

Dalam perkembangannya, pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung 1992, para ulama melakukan penyempurnaan terhadap tiga prinsip mabâdi’ khairu ummah tersebut dengan menambahkan prinsip al-istiqâmah (konsisten) dan al-‘adâlah (keadilan).

119

Mabadi’ khaira ummah merupakan prinsip dan nilai keteladanan yang membentuk identitas warga NU melalui upaya pemahaman nilai luhur yang bertumpu pada lima sendi: al-shidqu (kejujuran), al-amanah wa al-wafa’ bi al-ahdi (amanah dan memenuhi janji), al-‘adalah (keadilan), al-ta’awun (kerja sama), dan al-istiqamah (konsisten). Tim Penyusun, Konsepsi Pengembangan Sumberdaya Manusia di Lingkungan Nahdlatul Ulama, (Jakarta: PBNU dan Lakpesdam NU, 1994), hlm.5

Prinsip-prinsip mabâdi’ khairu ummah tersebut secara lebih detail. Pertama, al-shidq. Prinsip ini secara luas memiliki arti kebenaran, keterbukaan, dan kesungguhan. Kejujuran adalah kesesuaian antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sehingga dalam diri manusia terdapat korelasi antara ide, konseptualisasi, dan implementasi. Prinsip kejujuran secara otomatis akan mengikis sikap inkonsistensi, oportunis, distorsi dan manipulasi. Setiap orang dituntut untuk bisa jujur pada dirinya sendiri, orang lain, maupun kepada Allah. Al-shidq diartikan keterbukaan maksudnya adalah pemahaman yang terbuka kepada orang lain dalam persoalan krusial yang menuntut untuk dirahasiakan demi kebaikan bersama. Sedangkan al-shidq bermakna kesungguhan, maksudnya kesungguhan mendorong manusia agar bertanggung jawab dalam melaksanakan berbagai amanat dan tugas.

Kedua, al-amânah wa al-wafâ’ bi al-ahdi. Prinsip ini memiliki maksud dapat dipercaya, setia, dan melaksanakan komitmen yang telah dibuat. Manusia dituntut untuk menjadi pribadi yang dapat dipercaya dengan cara menepati semua komitmen yang telah dibuatnya, baik yang berkaitan dengan agama maupun sosial. Manusia juga dituntut untuk menjadi pribadi yang setia, patuh, dan taat kepada Allah, Rasulullah dan penguasa yang adil.

Ketiga, al-‘adâlah. Prinsip ini bermakna keadilan dalam pengertian

obyektif, proporsional dan taat asas. Prinsip keadilan ini mendorong manusia untuk berpegang kepada kebenaran obyektif dan bertindak proporsional. Bersikap adil secara otomatis mencita-citakan kebaikan di

muka bumi. Prinsip al-‘adâlah juga memberikan implikasi terwujudnya

komitmen terhadap penegakan supremasi hukum dan kebijakan yang mengacu kepada rasionalitas. Karena itu prinsip keadilan dan kebaikan merupakan dua sisi mata uang yang harus diperjuangkan bersama-sama.

Kelima, al-ta’âwun. Prinsip ini mengandung makna

tolong-menolong, setia kawan, dan gotong-royong dalam mewujudkan

kebaikan dan ketakwaan. Prinsip al-ta’âwun menjunjung tinggi sikap

solidaritas sesama manusia dan berinteraksi dalam hal kebaikan, bersifat material maupun spiritual. Jadi prinsip ini tidak digunakan dalam sikap-sikap yang destruktif.

Kelima, al-istiqâmah. Prinsip ini bermakna kesinambungan dan

kontinuitas. Prinsip ini mendorong manusia teguh dalam menjalankan

ketentuan Allah, Rasul-Nya, serta para pemimpin yang saleh.

Al-istiqâmah juga mengandung pengertian kesinambungan dan

dengan periode lain sehingga semuanya merupakan satu kesatuan terkait yang saling menopang.

Lima prinsip mabâdi khaira ummah di atas merupakan prinsip yang harus dilaksanakan setiap warga NU. Prinsip ini merupakan cita-cita para pendirinya agar warga NU menjadi umat terbaik yang dapat berperan positif di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, warga NU dapat mewarnai dan menjadi acuan seluruh masyarakat bagi terbentuknya tatanan khaira ummah.

2. Fikrah Nahdliyyah

Selain itu, ulama NU juga merumuskan prinsip kemasyarakatan NU antara lain:120 (1) tawassuth dan i’tidâl, yaitu sikap moderat yang adil dan tidak memihak, tidak ekstrem melakukan sesuatu; (2) tasâmuh, yaitu toleran terhadap perbedaan pandangan keagamaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan; (3) tawâzun, yaitu keseimbangan dalam berkhidmat kepada Allah, sesama manusia, dan lingkungan hidup; (4) amar makruf nahi munkar, yaitu kepekaan berbuat baik dan mencegah hal-hal yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dalam melaksanakan prinsip yang terakhir ini, NU berpedoman pada kaidah “man kâna amruhu ma’rûfan falyakun bil ma’rûf”, maksudnya siapa yang memerintah kebaikan, haruslah dengan cara-cara yang baik pula.

3. Ukhuwwah Nahdliyyah

Karakter masyarakat NU yang berada di pedesaan umumnya memiliki sikap kebersamaan yang menonjol antara satu sama lain. Hal ini seperti umumnya warga pedesaan yang kental dengan norma-norma adat dan budaya gotong-royong. Hanya saja, warga NU juga sangat memperhatikan landasan agama sebagai justifikasi sikap persaudaraan dan persatuan. Sikap inilah yang dalam NU dikenal dengan ukhuwwah

120

nahdliyyah. Sikap ini menegaskan pentingnya persatuan, ikatan batin, tolong menolong, dan kesetiaan antarmanusia sehingga dapat melahirkan kebahagiaan dan kasih sayang sesama.

Konsepsi ukhuwwah nahdliyyah merujuk kepada Mukadimah AD/ART NU yang secara umum dinyatakan bahwa NU perlu mengembangkan sikap persaudaraan demi terciptanya sikap saling pengertian, saling membutuhkan, dan perdamaian dalam hubungan antarsesama.121 Ukhuwwah nahdliyyah dalam pengertian yang lebih jelas berarti sikap persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, atau satu kelompok kepada kelompok lain dalam interaksi sosial yang menjunjung tinggi nilai agama, tradisi, dan sejarah bangsa.

Konsep ukhuwwah nahdliyyah ini diimplementasikan dalam tiga bentuk, yaitu: pertama, ukhuwwah islamiyah, yaitu persaudaraan antarpemeluk agama Islam. Kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh ikatan kesamaan agama. Sehingga Islam pun mengatur hubungan antar sesama pemeluk Islam agar terwujud persaudaraan dan kerukunan yang berdasarkan saling pengertian dan menghormati di lingkup umat Islam sendiri. Bentuk persaudaraan ini tentu tidak dibatasi oleh wilayah, kebangsaan, atau ras. Seluruh umat Islam di penjuru dunia adalah saudara.

Kedua, ukhuwwah wathaniyah, yaitu persaudaraan antarsesama anak bangsa. Setiap warga negara harus memiliki rasa persaudaraan berdasarkan atas kesadaran berbangsa dan bernegara. Seluruh anak bangsa adalah saudara se-tanah air. Tata hubungan persaudaraan ini menyangkut hal-hal yang bersifat sosial budaya. Ukhuwwah wathaniyah merupakan spirit bagi kesejahteraan kehidupan bersama serta instrumen penting bagi proses kesadaran sebuah bangsa dalam mewujudkan kesamaan derajat dan tanggung jawab.

Ketiga, ukhuwwah insaniyah, yaitu persaudaraan sesama umat manusia. Setiap manusia memiliki keinginan untuk hidup damai atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal. Tata hubungan dalam persaudaraan ini menyangkut hal-hal yang

Dokumen terkait