• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya NU Menanggulangi Aksi Terorisme

NU DAN TERORISME DI INDONESIA

C. Upaya NU Menanggulangi Aksi Terorisme

Dari semua pembahasan di atas, bisa dipahami bahwa aksi terorisme yang muncul di Indonesia jelas-jelas bukan sebuah aksi dari reaksi sesaat yang bersifat lokal oleh sekelompok orang. Aksi terorisme di Indonesia berjalin kelindan dengan persoalan politik internasional. Dengan berbagai peristiwa itu, suka tidak suka Indonesia akan

183

terlibat dalam kurun waktu yang panjang, selama isu terorisme global tersebut masih terus dihembuskan.

Menurut hemat penulis, menanggulangi aksi terorisme bukan persoalan mudah. Bahkan jauh dari mudah. Mungkin jika aksi tersebut sifatnya lokal dan reaksi sesaat yang muncul dari orang-orang yang tidak puas dengan situasi atau tatanan sosial-politik-ekonomi-hukum yang ada, barangkali pemerintah Indonesia masih bisa menyelesaikannya sendiri. Karena yang demikian lebih dekat dengan masalah kriminalitas biasa.

Namun, saat ini yang terjadi adalah sebuah kejahatan yang luar biasa dari sebuah skenario global yang juga luar biasa. Aksi terorisme bukan tujuan yang diciptakan, tapi sebuah media yang didesain sebagai jembatan bagi masuknya imperialisme modern. Jadi ada kekuatan besar yang hegemonik yang berada dibalik isu terorisme global tersebut.

Dalam pandangan kalangan NU—sebagaimana yang telah penulis bahas, kekuatan besar tersebut adalah AS. Negara ini berkepentingan untuk melindungi seluruh aset dan kepentingannya di seluruh dunia, baik ekonomi, militer, politik, budaya, maupun ideologi. Dengan kekuatannya di segala bidang, AS bisa “bermain” secara dominan di pentas internasional

Karena itu, dalam konteks isu terorisme, keadaan krisis multidimensi yang dialami Indonesia menjadikan negara ini tidak memiliki daya tawar sama sekali. Indonesia secara sistematis dipaksa tunduk dan patuh terhadap kehendak AS. Sementara di sisi lain, nasib 300 juta rakyat Indonesia akan menjadi taruhan bila pemerintah tidak mampu menghentikan niat jahat dibalik isu terorisme global tersebut.

Untuk memberantas habis terorisme tentu hal yang mustahil dilakukan. Yang bisa dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah mencegah munculnya aksi terorisme dan mengulangi dampaknya. Upaya ini bukan menjadi tanggung jawab pemerintah saja,

tapi semua elemen bangsa harus berperan dan bersatu melawannya, karena terorisme adalah musuh bersama.

Menurut Baso, pemimpin Indonesia harus berani melawan secara tegas untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman kebangkrutan di masa mendatang. Pemerintahan SBY saat ini dianggap tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi terorisme.184 Baso juga memberikan gambaran kepemimpinan Soekarno yang berani melawan imperialisme dan kekuatan AS. Padahal situasi bangsa Indonesia kala itu tidak jauh berbeda, sedang dilanda krisis.

Pendapat yang tidak jauh berbeda juga dikemukakan oleh Heri H. Azumi. Menurutnya,185 hanya kepemimpinan yang kuat yang bisa mengangkat bangsa Indonesia dari keterpurukan. Indonesia membutuhkan seorang negarawan yang benar-benar memikirkan nasib bangsanya. Diakui juga olehnya bahwa krisis multidimensi di Indonesia juga memberi pengaruh yang besar terhadap sikap pemimpin bangsa.

Penulis juga memiliki asumsi yang demikian. Bagaimanapun, kebergantungan pemerintahan Indonesia kepada luar negeri sangat besar. Situasi bangsa Indonesia yang terpuruk di segala bidang membuat pemimpin bangsa menjadi gamang dan terjepit. Melakukan perlawanan secara terang-terangan berarti bunuh diri, sedangkan bila tidak melawan membiarkan bangsa Indonesia menuju kehancuran.

Menurut pandangan Hasyim Muzadi,186 untuk menanggulangi ekses yang ditimbulkan oleh aksi terorisme, maka langkah yang dilakukan adalah merangkul kekuatan AS, karena bangsa Indonesia dalam keadaan seperti saat ini tidak mungkin melawannya. Sementara ke dalam, bangsa Indonesia harus bisa merajut kembali persatuan bangsa dalam bingkai nasionalisme yang kuat.

Untuk bisa mewujudkannya, bangsa Indonesia harus bisa menenggang perbedaan yang ada, mencakup agama, bahasa, budaya, suku, aliran dan sebagainya. Artinya,

184

Wawancara dengan Ahmad Baso, 2 September 2007 185

Wawancara dengan Hery Haryanto Azumi, 3 November 2007 186

bangsa Indonesia harus memiliki kesadaran sebagai bangsa yang majemuk namun dalam satu pandangan, yaitu visi kebangsaan.

Di tingkat akar rumput (grass root), masyarakat tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dibalik isu terorisme global dan aksi-aksi terorisme yang terjadi. Karena itu, para pemimpin berkewajiban untuk membuka ruang informasi kepada mereka. Dengan nasionalisme, para pemimpin akan memiliki keberanian untuk melawan rezim global sebab rakyat ada di belakang mereka.

Senada dengan Hasyim, Said Agil Siradj menilai perlunya visi kebangsaan dimiliki setiap warga negara untuk membendung aksi terorisme.187 Saat ini, tidak banyak kelompok yang memiliki visi ini. Akibatnya nasionalisme bangsa Indonesia memudar. Para pemimpin bangsa tidak berbuat apa-apa karena tidak benar-benar memikirkan nasib bangsa. Mereka lebih banyak memikirkan partai, kelompoknya, dan ambisi kekuasaan pribadi.

Di samping itu, penyadaran pemahaman agama juga penting untuk dilakukan. Karena umumnya para pelaku aksi terorisme tersebut menggunakan alasan agama untuk melegitimasi aksinya.

Menurut Makruf Amin,188 aksi terorisme yang terjadi di Indonesia adalah tanggung jawab semua elemen bangsa. Karena Indonesia sebenarnya adalah korban dari terorisme itu sendiri. Semua elemen tersebut harus bisa memainkan peran masing-masing. Para tokoh agama harus memberikan pencerahan kepada umatnya. Para pemimpin bangsa harus benar-benar bekerja memikirkan nasib rakyat, dan polisi/tentara secara serius menjalankan amanat untuk menciptakan rasa aman dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan republik Indonesia.

Secara khusus Makruf menilai bahwa aksi terorisme yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam bukan karena kesalahan pemahaman agama yang diajarkan oleh para ulama, sebab sekeras-kerasnya pemahaman Islam di Indonesia tidak sampai

187

Wawancara dengan Prof. DR. Said Agil Siradj, MA, 22 November 2007 188

pada titik kekerasan seperti yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawan. Karenanya, ia menolak jika kelompok-kelompok Islam keras di Indonesia dianggap terlibat dalam aksi-aksi pengeboman. Menurutnya, aksi itu lebih didasari oleh pengaruh ideologi transnasional dari eks Afghanistan yang dimanfaatkan oleh AS. Pendapat demikian juga diamini oleh Said Agil Siradj.

Selain upaya di atas, secara umum para tokoh NU sepakat bahwa untuk menanggulangi aksi terorisme di Indonesia maka perlu langkah-langkah strategis secara nyata untuk dilakukan, yaitu: (1) memberdayakan ekonomi rakyat untuk mengeliminir potensi munculnya aksi terorisme karena pengaruh himpitan ekonomi; (2) mengampanyekan wawasan keagamaan yang moderat dan inklusif agar tidak muncul pemahaman agama yang eksklusif, keras, dan intoleran, melalui lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun informal; (3) memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik agar memiliki wawasan luas; (2) mengokohkan ketahanan bangsa dengan mengoptimalkan seluruh potensi kekuatan bangsa; (4) menguatkan peran masyarakat sipil (civil society) untuk menciptakan kemandirian rakyat sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang destruktif; dan (5) mendorong pemerintah untuk lebih independen dan berani dalam menentukan sikap demi masa depan bangsa Indonesia.

Sejauh ini, NU memang telah banyak melakukan upaya untuk menanggulangi dampak aksi terorisme. Sayangnya, NU tidak pernah membentuk semacam tim khusus untuk menanggulanginya.189 Karena itu, oleh sebagian kalangan, NU dianggap tidak melakukan apa-apa kecuali melakukan himbauan dan membuat statemen tanpa tindakan yang berarti.

Menurut hemat penulis, kekurangan NU dengan tidak membentuk sebuah tim antiterorisme tertutupi oleh posisi NU sendiri secara substansial sebenarnya adalah penjaga ketahanan budaya (culture containment) dan buffer dalam menghadapi

189

Sikap NU tidak seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merespons aksi terorisme dengan membentuk tim yang secara khusus bekerja untuk melacak jejak (investigasi) kasus terorisme timbul.

penetrasi globalisme dan lokalisme dengan berbagai anasir radikalisme dan eksklusivisme.

NU telah melakukan kerja yang sangat substansial dan mendasar, yaitu membentuk wajah Islam yang moderat, damai, toleran, dan terbuka dalam bingkai nasionalisme yang kokoh. Jika upaya ini berhasil, inilah sebenarnya modal besar bangsa ini untuk tetap eksis dan tahan terhadap segala kepentingan yang akan merugikan bangsa secara keseluruhan. Inilah sumbangan terbesar NU dalam menjaga keutuhan bagi bangsa Indonesia. []

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kalangan NU menilai bahwa aksi pengeboman yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu 2000-2005 adalah bentuk kejahatan luar biasa yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Aksi ini tidak dapat dibenarkan (unjustifiable), baik secara hukum maupun moral karena termasuk aksi terorisme. Dalam Islam, terorisme disebut dengan istilah al-irhâb, yaitu suatu tindakan yang membabi buta yang mengancam bisa nyawa seseorang, atau bahkan merenggutnya. Dalam perspektif hukum pidana Islam, irhâb dikategorikan ke dalam hirabah, yaitu kejahatan terhadap hak asasi manusia yang mengandung unsur mengacau, membunuh, merampas harta, memerkosa, merusak lingkungan, citra agama, moralitas, dan tatanan hukum yang berlaku.

2. Terorisme sama sekali berbeda dengan konsep jihad. Terorisme adalah tindakan aksi yang dilakukan seseorang, organisasi, maupun negara yang menimbulkan kerusakan (ifsâd) dan ketakutan umum dengan sasaran yang tidak jelas. Sementara jihad (dalam pengertian perang) adalah kekerasan yang boleh dilakukan oleh umat Islam dalam rangka mempertahankan diri dan dengan tujuan perbaikan (ishlâh). Jihad berdimensi kesalehan (bellum pium) sementara terorisme tidak. Kalangan NU cenderung tidak menghendaki pemaknaan jihad secara fisik. Kalaupun terpaksa dilakukan itu pun dengan syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.

3. Kalangan NU meyakini bahwa aksi terorisme yang terjadi di Indonesia terkait erat dengan gelombang isu terorisme global. Menurut mereka, pascaruntuhnya Uni Sovyet, AS berkepentingan menjadi negara adidaya tunggal dengan tujuan bisa melakukan penetrasi ke negara-negara lain guna mengamankan aset dan

kepentingannya di bidang ekonomi, politik, keamanan, budaya dan ideologi. Untuk itu AS menjalankan misi keamanan global. Misi ini tidak bisa berjalan dengan baik jika tidak ada konflik. Karena itu AS berupaya menciptakan konflik di wilayah-wilayah yang menjadi target misi tersebut. Peristiwa 11 September 2001 kemudian diyakini sebagai pemicu dimulainya isu terorisme global. Dengan peristiwa tersebut AS mendapat legitimasi penuh dari rakyat dan sekutunya untuk perang terhadap terorisme. Selanjutnya, AS membuat garis tegas siapa kawan dan siapa lawan. Kalangan NU menilai bahwa itu strategi AS untuk memunculkan musuh. Karena itu muncul kelompok-kelompok teroris dan tokoh-tokohnya. Lewat tangan-tangan agen CIA mereka diarahkan untuk menyerang kepentingan-kepentingan Barat. Demikian juga kelompok-kelompok Islam garis keras, mereka didorong langsung maupun atau tidak langsung untuk muncul ke permukaan dan menampakkan sikapnya yang keras. Semakin mereka bereaksi keras maka AS semakin punya justifikasi untuk menyerang umat Islam.

Dengan demikian, penyebab utama munculnya aksi terorisme di Indonesia adalah skenario global AS yang masuk ke Indonesia. Sedangkan hal lain yang mendukung terjadinya aksi tersebut adalah menjadi variabel pendukungnya, antara lain: adanya kesalahan dalam memahami agama, rendahnya kualitas SDM akibat imperialisme masa lalu, kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, ambisi kekuasaan, serta masuknya ideologi politik transnasional.

Kesimpulannya, pelaku aksi terorisme yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu 2000-2005 menurut kalangan NU tidaklah semata-mata dilakukan oleh kelompok Islam radikal sebagaimana yang tampak, melainkan juga AS. Hanya saja, pandangan kalangan NU ini tidak menjadi sikap resmi NU karena akan berimplikasi sangat luas terhadap kepentingan NU sendiri dan umat Islam Indonesia secara keseluruhan.

4. Dalam merespons aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, NU tetap berorientasi pada visi kebangsaan dan Islam rahmatan lil ‘âlamîn yang menjadi karakternya. Sikap ini dipengaruhi oleh paradigma fikrah nahdliyah, terutama

konsep tawassuth (mengambil jalan tengah). Oleh karena itu, isu terorisme selalu direspons PBNU secara persuasif. Ini terlihat dari sikap PBNU yang tidak pernah menyerang langsung kepentingan AS. PBNU memilih cara-cara yang dinilai lebih strategis daripada harus secara konfrontatif melawan AS. Cara-cara tersebut misalnya mengampanyekan bahaya ideologi politik transnasional, bahaya neoliberalisme atau imperialisme modern, merajut persatuan bangsa, melakukan lobi internasional, dan sebagainya. Cara-cara ini oleh NU dipandang lebih mungkin dilakukan dan akan berdampak lebih baik bagi bangsa Indonesia ke depan. Sisi positif paradigma ini, PBNU dipandang sebagai organisasi yang bisa menjembatani antara kepentingan umat Islam dan arus opini dunia Barat. Sisi negatifnya, NU dinilai oleh sebagian kalangan sebagai organisasi yang tidak berani mengambil sikap. Terhadap aksi terorisme di Indonesia, NU mengecam. Namun di sisi lain, terhadap AS NU juga tidak mampu bersikap keras.

5. Untuk memberantas secara tuntas aksi terorisme menurut kalangan NU sangat sulit dilakukan karena itu bagian dari permainan global. Namun untuk mencegah kemunculannya, perlu langkah-langkah nyata secara komprehensif, yaitu (a) menumbuhkan sikap nasionalisme melalui visi kebangsaan; (b) memberdayakan ekonomi rakyat; (c) membangun wawasan keagamaan yang moderat dan inklusif; (d) memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk memperoleh pendidikan; (e) mengokohkan ketahanan bangsa; (f) menguatkan peran masyarakat sipil (civil society) untuk menciptakan kemandirian rakyat; dan (g) mendorong pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas dan independen guna menyelamatkan bangsa Indonesia.

B. Saran-saran

Setelah melihat seluruh pembahasan yang telah penulis sampaikan, maka secara khusus penulis menyarankan beberapa hal untuk dijadikan sebagai masukan berkaitan dengan respons NU terhadap aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.

Beberapa hal yang mesti diupayakan untuk memperluas kajian ini adalah sebagai berikut.

1. Perlu kajian lebih lanjut mengapa PBNU tidak mengeluarkan kebijakan resmi yang lebih tegas berkaitan dengan aksi terorisme. Sejauh ini, dalam amatan penulis, NU belum membuat langkah nyata seperti membentuk tim penanggulangan terorisme. Bahkan dalam forum resmi NU seperti Muktamar atau Munas, NU tidak membahas persoalan terorisme secara utuh. Yang pernah dilakukan baru di wilayah permukaan, seperti mengeluarkan fatwa haram bagi pelaku bom bunuh diri.

2. Perlu dikaji pula tentang bagaimana sebenarnya NU menempatkan dirinya dalam pergaulan internasional. Jika memang tawassuth dan tawâzun menjadi prinsip organisasi NU, maka prinsip tersebut semestinya dilaksanakan secara konsisten tanpa dipengaruhi kepentingan-kepentingan sempit, sehingga tidak berakibat munculnya opini bahwa NU sebagai ormas yang ambigu.

3. Pada tataran aksi, setidaknya ada dua kelemahan PBNU yang penting untuk diperbaiki. Pertama, langkah melakukan berbagai dialog tentang agama dan perdamaian selama ini akan lebih baik jika diikuti dengan upaya PBNU melakukan dialog serupa dengan organisasi-organisasi garis keras yang selama ini dikenal berseberangan dengan NU, seperti FPI, FKAWJ, KISDI, HTI, MMI dan sebagainya. Kedua, sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, PBNU semestinya bisa memberi tekanan lebih kuat kepada pemerintah untuk memberantas aksi terorisme melalui berbagai aspek. Termasuk membangun visi kebangsaan yang memudar di masyarakat Indonesia. []

Dokumen terkait