• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respons Nahdlatul Ulama (NU) Terhadap Aksi Terorisme Di Indonesia 2000-2005

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respons Nahdlatul Ulama (NU) Terhadap Aksi Terorisme Di Indonesia 2000-2005"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

(2)

Oleh:

ALIF ARROSYID NIM: 03.2.00.1.02.01.0005

Pembimbing Tesis

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis berjudul RESPONS NAHDLATUL ULAMA (NU) TERHADAP AKSI

TERORISME DI INDONESIA 2000 – 2005 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 4 Maret 2008. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (MA) pada Konsentrasi Pemikiran Islam.

Jakarta, 10 Mei 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang Merangkap Penguji Pembimbing Merangkap Penguji

DR. Yusuf Rahman, MA DR. Sudarnoto Abdul Hakim, MA

Penguji I Penguji II

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Tesis yang berjudul “Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia 2000-20005” ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 2 (magister) di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar sebagaimana yang berlaku di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 27 Desember 2007

(5)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab Latin berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,

No. 158 tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987

No Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

1. alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

2. ba b be

3. ta t te

4. sa s es (dengan titik di atas)

5. jim j je

6. ha h ha (dengan titik di bawah)

7. kha kh ka dan ha

8. dal d de

9. zal z zet (dengan titik di atas)

10. ra r er

11. zai z zet

12. sin s es

13. syin sy es dan ye

14. sad s es (dengan titik di bawah)

15. dad d de (dengan titik di bawah)

16. ta t te (dengan titik di bawah)

17. za z zet (dengan titik di bawah)

18. ain ‘ koma terbalik (di atas)

19. gain g ge

20. fa f ef

21. qaf q ki

22. kaf k ka

23. lam l el

24. mim m em

25. nun n en

26. wau w we

27. ha h ha

28. hamzah apostrof

(6)

Vokal

(fathah) a

! (dammah) u

(kasrah) i

" #

Vokal Hidup

$

%

= â

"$

&'

= î

!$

(7)

Kata Pengantar

Bismillâhirrahmânirrahîm

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah, Sang Pelindung. Rida dan rahmat-Nya telah memberikan kelancaran kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Meski penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, setidaknya penulis berharap tesis ini bisa memberikan pencerahan dan manfaat bagi siapa pun.

Terima kasih tiada terhingga kepada kedua orang tuaku. Kasih sayang mereka tak mungkin bisa kubalas. Juga untuk kakak-kakakku: Mbak Lely dan Mas Shony, Mas Rofiq dan Ning Erna; serta adikku: Titis dan Udin, Vita, serta keponakanku yang lucu-lucu: Firda, Fahmi, Qadafi, dan Fia.

Terima kasih untuk Pak Sudarnoto yang membimbing penulisan tesis ini, para dosen pascasarjana, Mba’ Vita, serta para pejabat dan staf akademik sekolah pascasarjana UIN Jakarta.

Terima kasih buat Bp. HB. Irawan Massie, MBA, Ibu Claudia Massie, teman-teman, dan anak-anak asuh di Yayasan Taqwa Nandjar.

Terima kasih untuk keluarga besar PBNU: Kyai Hasyim Muzadi, Kyai Makruf Amin, Kyai Said Agil Siradj, Mas Baso, Mas Hery, Mas Goji, dan Pak Satiri.

Terima kasih untuk teman-temanku: Sunabi, Husni, Fath, Toyeb Nugraha, Bakrun, Pak Ndong, Amin, Ustadz Komed, Agus, Qamar, Halim, Qbex, Khoiron, Dosen Paijo, Hafidzin, Ghulam, Lyla, Iir, Ika, Ida, Alisia, dan lainnya. Bersama kalian hidup ini terasa lebih berwarna.

Terima kasih buat teman-teman Pascasarjana UIN Jakarta: Arif Hamzah, Edi, Fawaid, Safru, Umdah, Masneng, Thowil, Nok Nik, dan Encik.

Terakhir, khusus buat ade Uun. Terima kasih atas semua dorongan dan semangat yang kau berikan tanpa henti.

27 Desember 2007

(8)

DAFTAR ISI

3. Upaya Pemerintah dalam Menangani Masalah Terorisme...66

(9)

1. Visi Kebangsaan...70

2. Visi Keagamaan...76

B. Prinsip Kemasyarakatan NU...85

1. Mabâdi’ Khaira Ummah...85

2. Fikrah Nahdliyyah...87

3. Ukhuwwah Nahdliyyah...87

C. Gerakan Civil Society NU...89

D. NU di Masa Kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi...93

BAB IV : NU dan Terorisme di Indonesia

A. Terorisme dalam Wacana NU...98

1. Terorisme dan Sebab-sebabnya...98

2. Pemahaman Terorisme dan Jihad...105

3. Pelaku dalam Konteks Munculnya Terorisme...110

4. Dampak Aksi Terorisme...121

B. Bentuk Respons NU atas Munculnya Aksi Terorisme...127

1. Nasional...129

2. Internasional...135

C. Upaya NU Menanggulangi Aksi Terorisme...142

Bab V : Penutup A. Kesimpulan...147

B. Saran-saran...150

Daftar Pustaka...152

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Ada tiga alasan mengapa penulis tertarik untuk mengangkat tema ini dalam

penulisan tesis, yaitu: pertama, dalam satu dekade terakhir terorisme menjadi isu

paling kontroversial sekaligus mendapat perhatian yang luar biasa dari berbagai

negara, organisasi, maupun kalangan akademisi di seluruh dunia. Karena itu, kajian

tentang terorisme diperlukan secara terus-menerus sehingga terorisme bisa dipahami

dengan lebih jernih dan proporsional. Dalam hal ini, penulis akan mengkaji aksi

terorisme yang terjadi di Indonesia dengan menelusuri beragam persoalan dan

konteks yang melingkupinya.

Kedua, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi massa Islam terbesar di

Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Sementara perang terhadap

terorisme saat ini menjadi isu global yang menempatkan umat Islam Indonesia pada

posisi yang tidak menguntungkan karena dicurigai berpotensi melahirkan para teroris

dan menjadi bagian dari jaringan terorisme global.1 Apalagi, terbukti memang telah

terjadi puluhan kasus teror di Indonesia. Karena itu, perlu dilakukan kajian untuk

mengetahui bagaimana sebenarnya daya tawar, posisi, peran, dan langkah-langkah

yang telah dilakukan oleh NU, dalam hal ini PBNU sebagai pemegang otoritas

organisasi.

1

(11)

Ketiga, masyarakat muslim Indonesia selama ini dikenal ramah, toleran, dan

moderat. Muslim Indonesia tidak punya tradisi kekerasan sebagaimana yang tampak

di Timur Tengah. Namun sejak muncul isu terorisme global, berbagai aksi terorisme

tiba-tiba muncul dalam frekuensi dan intensitas yang tinggi. Tentu hal ini sangat

janggal dan mengherankan. Karena itu perlu diteliti mengapa keadaan demikian bisa

terjadi.

Wacana terorisme sendiri awalnya mengemuka sejak serangan bunuh diri ke

gedung WTC (World Trade Center) New York dan gedung Penthagon pada 11

September 2001. Atas kejadian tersebut, terorisme kemudian dihembuskan menjadi

isu global yang merambah ke segala penjuru bumi, tidak terkecuali di Indonesia.

Slogan “War Againts Terrorism” yang dicetuskan oleh Amerika Serikat (AS)

kemudian memunculkan garis tegas antara siapa kawan dan siapa lawan.2 Negara atau

organisasi yang enggan masuk barisan AS dan sekutunya akan dianggap musuh,

begitu juga sebaliknya.

Atas nama perang melawan terorisme, AS kemudian menetapkan negara-negara

yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme global sebagai musuh yang harus

diperangi. Ini bisa dilihat dari beberapa statemen yang disampaikan George W. Bush

yang cenderung menyudutkan beberapa negara yang secara politis berseberangan

dengan AS, seperti Irak, Iran, Korea Utara, dan Kuba. Negara-negara tersebut lantas

dituduh sebagai poros setan (kejahatan) dan sponsor terorisme.3 AS juga menuduh

beberapa negara yang mengembangkan senjata pemusnah massal sebagai sumber

ancaman atas perdamaian dunia.

Karena itu, tanpa persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), AS dan

sekutunya kemudian menginvasi Irak dengan dalih negara tersebut mengembangkan

senjata pemusnah massal, meskipun belakangan tuduhan tersebut tidak dapat

dibuktikan. Sebelumnya, AS juga melakukan aksi militer ke Afghanistan karena

2

Baca Hery Sucipto, Terorisme, antara Luxor dan Legian”, Republika, edisi Jumat 18 Oktober 2002

3

(12)

pemimpin negara tersebut dianggap melindungi Osamah bin Laden, orang yang

didakwa paling bertanggung jawab atas peristiwa serangan 11 September 2001.

Beberapa organisasi militan Islam di dunia kemudian ditetapkan AS sebagai

organisasi teroris. AS juga membuat penjara khusus untuk teroris di Guantanamo,

Kuba. Orang yang dituduh terkait dengan jaringan terorisme bisa ditangkap dan

langsung dipenjarakan tanpa melalui proses hukum.4 Apa yang dilakukan AS jelas

melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan konvensi Jenewa. Meskipun masyarakat

dunia banyak yang berteriak terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan AS,

namun AS tetap bergeming dan merasa benar dengan apa yang dilakukannya.

Jelasnya, AS dan sekutunya selalu berteriak tentang terorisme namun pada saat

yang sama mereka juga melakukan berbagai pelanggaran dan teror. Pada tataran ini,

maka terorisme perlu kembali dipahami secara lebih utuh, “Apa sebenarnya terorisme

dan siapa pelakunya?” Bahwa terorisme identik dengan kekerasan, intimidasi,

ekstremitas, dan menimbulkan konsekuensi negatif bagi kemanusiaan, dunia

menyepakatinya. Namun siapa sebenarnya yang melakukan aksi-aksi terorisme?”

Inilah persoalannya. Mengidentifikasi pelaku aksi terorisme tidak mudah, apalagi

menyangkut sebuah kelompok atau negara. Hal ini dibutuhkan data-data yang akurat

tentunya. Sampai detik ini definisi pelaku terorisme masih bersifat subyektif dan

relatif, tergantung subyek yang mendefinisikannya.

Terorisme bergerak laten dengan memanfaatkan berbagai kendaraan, seperti

agama, budaya, politik, ekonomi dan lain-lain. Apapun kendaraannya, yang pasti

terorisme selalu menampilkan wataknya yang hegemonik, anarkis dan radikal.

Hampir seluruh gambarannya adalah buruk dan tidak manusiawi. Ironisnya, berbagai

tindakan kekerasan dan terorisme tersebut saat ini oleh Barat dikaitkan dengan Islam.

Akhirnya muncul stigma bahwa terorisme adalah Islam.

Dalam konteks Indonesia, aksi terorisme dengan latar belakang agama

sebenarnya tidak memiliki akar sejarah. Meskipun penduduknya memiliki beragam

4

(13)

agama dan keyakinan, namun masyarakat muslim Indonesia dikenal ramah dan

toleran. Ini telah terbukti selama berabad-abad lamanya. Pertarungan dunia Islam

dengan Barat hanya terjadi di wilayah Timur Tengah. Pendek kata, masyarakat

Indonesia tidak terlibat dalam pertarungan tersebut. Namun sejak peristiwa 11

September 2001 lalu, tiba-tiba Indonesia terseret ke dalam arus pusaran isu terorisme

global. Diawali dari munculnya radikalisme agama yang cukup kuat sejak

tumbangnya Orde Baru, masyarakat muslim Indonesia tampak dengan keberagamaan

yang keras. Berbagai kekerasan berbau agama muncul di mana-mana. Lebih dahsyat

lagi ketika mulai terjadi serentetan aksi pengeboman di berbagai wilayah Indonesia,

baik dalam skala besar maupun kecil. Meski tidak sedahsyat peristiwa 11 September

di AS, namun frekuensinya cukup tinggi.

Dalam amatan penulis, telah terjadi berkali-kali kasus terorisme yang muncul di

Indonesia, seperti bom Kuningan, JW. Marriot, Bursa Efek Jakarta, dan Bali I-II.

Belakangan diketahui—meski masih diperdebatkan keabsahannya—bahwa berbagai

aksi teror tersebut dilakukan oleh organisasi Islam radikal yang bekerja secara rapi,

canggih dan sistemik.5 Terlepas apakah mereka berperan sebagai pelaku utama atau

tidak dalam peristiwa tersebut, yang jelas keterlibatan kelompok tersebut

menunjukkan sifat dasar radikalisme yang intoleran, ortodoks dan anti demokrasi.

Aksi-aksi peledakan bom tersebut merupakan tindakan perusakan yang bertentangan

dengan nilai-nilai agama. Keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan

jihâd fî sabîlillâh,6 sekadar menambah bukti bahwa konsep jihad memang potensial

disalahartikan. Kesalahpahaman mereka terhadap terminologi jihad begitu akut.

Bagi penulis, rentetan aksi terorisme yang terjadi secara bertubi-tubi pasca

reformasi 1998 dan bersamaan dengan terseretnya Indonesia ke dalam isu terorisme

5

Untuk lebih detil mengetahui berbagai tindak terorisme di Indonesia, lihat data aksi terorisme yang dirilis Litbang Kompas sebagaimana pada tabel di bab III.

6

(14)

global adalah sesuatu yang mengherankan sekaligus janggal. Setidaknya, ada dua

kemungkinan untuk melihat fenomena ini. Pertama, murni karena munculnya

kekuatan Islam garis keras. Kekuatan ini sejak lama tumbuh secara laten di Indonesia

dan baru menemukan momentum tepat untuk muncul ketika pemerintah Orde Baru

tumbang. Mereka melakukan gerakan perlawanan terhadap tatanan yang tidak

sepaham dengan mereka, termasuk negara. Gerakan tersebut umumnya tidak

semata-mata melihat negara Indonesia sebagai penganut hukum kafir, lebih dari itu negara

juga dianggap sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan ekonomi

Barat (kapitalisme/neo liberalisme) yang menindas umat Islam sehingga harus

dimusuhi.

Contoh menarik untuk penulis ungkapkan di sini adalah pernyataan Imam

Samudra dalam buku otobiografi Aku Melawan Teroris:

“Dengan memohon grasi berarti menyesali perbuatan yang telah dilakukan. Menyesalinya berarti menyesali keyakinan. Berarti pula mengkhianati keyakinan itu sendiri, mengkhianati Islam. Na’ûzubillâhi min zalik. Memohon grasi berarti pula membenarkan hukum kafir. KUHP adalah jelas produk kafir. Mengakui adanya kebenaran di luar Islam adalah sikap yang membatalkan syahadat. Summa na’ûzubillâhi min zâlik.”7

Tulisan di atas menggambarkan betapa Imam Samudera adalah seorang muslim

yang tidak mau kompromi dengan hal-hal yang dianggap berbau kafir, yaitu segala

sesuatu yang berada di luar keyakinannya. Baginya, ketentuan Tuhan sebagaimana

yang tertulis pada teks Al-Quran adalah aturan yang tidak bisa diutak-atik dengan

beragam penafsiran.

Dengan masih adanya pemahaman seperti itu, maka wajar jika masih terjadi

kekerasan yang mengatasnamakan agama di berbagai tempat, baik yang dilakukan

secara pribadi maupun kelompok. Cara memahami agama yang sangat tekstual

tersebut pada akhirnya hanya mengaburkan pesan-pesan hakiki agama. Agama hanya

dipahami secara literal berdasarkan teks-teks sucinya tanpa melihat esensi pesan

7

(15)

universal dan kontekstualisasi ajarannya. Padahal pesan-pesan teks tersebut sangat

bias dengan spektrum historis dan sosiologis. Mereka berjalan dengan klaim

kebenarannya sendiri.

Menurut Gus Dur, apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme,

seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak

dapat dibantah, termasuk oleh para pelaku kekerasan dan terorisme yang

mengatasnamakan Islam. Penyebab lain dilakukannya tindakan-tindakan yang telah

dilarang Islam tersebut –sesuai dengan ajaran kitab suci Al-Quran dan ajaran Nabi

Muhammad Saw.- adalah proses pendangkalan agama Islam yang berlangsung sangat

hebat.8

Kedua, bergesernya peta politik internasional. Pasca runtuhnya Uni Sovyet,

komunisme tidak lagi menjadi ancaman serius bagi berbagai kepentingan AS. Namun

demikian, AS merasa belum aman dengan berbagai kepentingannya di dunia selama

dunia Islam masih tidak mau tunduk dengan politik internasionalnya. Karena itu,

benturan paling keras yang muncul kemudian adalah Islam-Barat. Untuk itu mereka

melaksanakan misi security global untuk bisa mengamankan wilayah-wilayah

strategis di dunia. Misi ini sulit dapat terwujud tanpa adanya konflik. Karena itu

mereka menciptakan konflik sebagai kendaraan untuk itu.

Isu paling strategis untuk menciptakan konflik dan menyerang kelompok Islam

adalah terorisme. Isu ini dihembuskan menjadi opini dunia sehingga menjadi

justifikasi bagi AS untuk melakukan aksi-aksi militer dan menguasai wilayah-wilayah

strategis secara geopolitik. Afghanistan dan Irak adalah contoh paling aktual.

Demikian juga di Indonesia, berbagai aksi pengeboman dengan target aset dan

kepentingan Barat bisa jadi sebuah rekayasa untuk menjadi pintu masuk AS

menguasai Indonesia.

8

(16)

Namun demikian, apapun itu, apakah aksi terorisme tersebut sebuah gerakan

perlawanan dari munculnya kekuatan Islam atau sebuah skenario besar (grand

design) yang sengaja diciptakan oleh AS, aksi terorisme telah meminta korban

masyarakat sipil dan menjadi ancaman tersendiri bagi kepentingan nasional bangsa

Indonesia.

Dalam konteks ini, aksi terorisme di Indonesia jelas tidak berdimensi tunggal.

Artinya aksi tersebut memiliki muatan-muatan kepentingan ideologis, politik,

ekonomi, budaya, dan militer. Yang akan menjadi korban dari semua itu adalah

rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam.

Menyikapi yang demikian, NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di

Indonesia yang nasionalis dan pengusung nilai-nilai Islam yang intrinsik, sudah

seharusnya ikut bertanggung jawab atas keselamatan umat Islam dan bangsa

Indonesia dari dampak buruk isu terorisme. Apalagi jika dilihat dari kacamata

sosio-ekonomi, warga nahdliyyin yang umumnya berada di pedesaan dan berekonomi

lemah, sangat rentan terhadap kepentingan-kepentingan jaringan terorisme.

Secara ideologis, aksi terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh sekelompok

anak muda Islam meniscayakan munculnya wajah Islam keras dan intoleran. Hal ini

jelas bertentangan dengan karakter NU yang sejak awal kelahirannya telah

memosisikan diri sebagai organisasi Islam kultural yang moderat, toleran, dan

pluralis. Karena itu NU melakukan kampanye perdamaian untuk menunjukkan wajah

Islam yang sebenarnya, yaitu damai, jauh dari kekerasan, dan rahmat bagi alam

semesta.

Menurut Smith Alhadar, Wakil Ketua The Indonesian Society for Middle East

Studies (ISMES), posisi NU sebenarnya sangat tepat dalam upaya mengampanyekan

(17)

Jamâ’ah9 (aswaja)-nya adalah potret Islam berwajah damai, moderat, dan toleran

terhadap kelompok Islam lain, bahkan terhadap agama lain.

Karakter NU yang demikian menjadikan organisasi NU tampak ambigu dan

tidak memiliki solidaritas terhadap sesama umat Islam ketika muncul sentimen anti

Barat di kalangan umat Islam di Indonesia. Sebagai contoh, ketika AS hendak

menginvasi Afghanistan, NU justru melarang umat Islam berjihad ke sana. Padahal

banyak ormas lain yang lantang meneriakkan jihad sebagai bentuk solidaritas sesama

umat Islam.

Dari sini agaknya NU memiliki pandangan sendiri mengenai jihad dan aksi

terorisme yang terjadi di Indonesia. Pada wilayah mana dan dalam bentuk seperti apa

peran NU dilakukan, tentu menjadi bahasan yang cukup menarik untuk dikaji.

Karena itu, permasalahan pokok yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah:

“Bagaimana pandangan dan respons NU terhadap aksi terorisme di Indonesia yang

mengancam eksistensi NU, umat Islam, dan kepentingan nasional bangsa Indonesia?”

Untuk menjawab permasalahan ini, penulis akan meneliti lebih jauh bagaimana NU

menyikapi munculnya terorisme di Indonesia, dan apa langkah-langkah, strategi, dan

kebijakan NU mengenai hal itu.

Permasalahan

Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan sejumlah

permasalahan yang mungkin berkaitan dengan kajian ini, di antaranya adalah

sebagai berikut: (1) Apa sebenarnya term terorisme itu?; (2) Apa batasan suatu

aksi disebut aksi terorisme?; (3) Bagaimana bentuk-bentuk terorisme?; (4)

9

(18)

faktor apakah yang menyebabkan aksi terorisme bisa terjadi?; (5) Mengapa aksi

terorisme diidentikkan dengan Islam?; (6) Apakah aksi terorisme berkaitan

dengan doktrin jihad?; (7) Adakah kesamaan antara konsep jihad dengan

terorisme?; (8) Bagaimana terorisme dalam perspektif Islam?; (9) Bagaimana

dampak terorisme terhadap kehidupan umat Islam di Indonesia?; (10) Adakah

kaitan antara munculnya aksi terorisme dengan gerakan radikalisme Islam di

Indonesia sejak tumbangnya rezim orde baru?; (11) Apakah aksi terorisme di

Indonesia terkait dengan jaringan terorisme global semacam Al-Qaedah sebagai

bentuk perlawanan (jihad) terhadap hegemoni Barat an sich?; (12) Mengapa aksi

terorisme tiba-tiba muncul secara bertubi-tubi di Indonesia pasca peristiwa 11

September 2001 di AS?; (13) Mengapa Indonesia terlibat dalam pusaran isu

terorisme global?; (14) Adakah kemungkinan aksi terorisme di Indonesia sengaja

diciptakan oleh AS sebagai upaya mewujudkan global security di bawah

komando AS?; (15) Jika benar demikian, apa target yang diinginkan AS secara

ekonomi, keamanan, politik, budaya, dan ideologi di Indonesia dari upaya

semacam itu?; (16) Mungkinkah ada grand design untuk menghancurkan NU oleh

AS, mengingat NU adalah kekuatan umat Islam terbesar di Indonesia yang bisa

mengganggu kepentingan AS?; (17) Bagaimana NU sebagai ormas Islam terbesar

di Indonesia menyikapi terorisme yang muncul di Indonesia?; (18) Apakah

kepentingan NU merespons aksi terorisme?; (19) Dalam bentuk apa saja respons

tersebut dilakukan?; (20) Pada wilayah mana aksi terorisme mengganggu

kepentingan NU?; (21) Di satu sisi NU sering mengecam kebijakan AS, namun di

sisi lain NU terlihat dekat dengan Barat. Bagaimana sebenarnya posisi NU? Dan

apa sebenarnya yang diinginkan NU dari kedekatan tersebut? (22) Sejauh mana

pencapaian NU dalam memerangi terorisme? Kira-kira tolok ukurnya apa?

(19)

Mengingat luasnya permasalahan sebagaimana yang telah diidentifikasi di

atas, maka penulis perlu memberikan batasan-batasan penelitian ini pada masalah

yang menjadi fokus kajian penelitian ini untuk menghindari meluasnya penulisan.

Adapun permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah:

1. Masalah cara pandang, yaitu bagaimana NU memandang persoalan

munculnya aksi terorisme di Indonesia.

2. Masalah respons, yaitu bagaimana NU menyikapi munculnya aksi terorisme

yang mengancam kehidupan umat Islam dan kepentingan nasional bangsa

Indonesia.

Kedua permasalahan pokok di atas sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut

dalam penelitian ini. Untuk memfokuskan penelitian terorisme, penulis

membatasi pada peristiwa aksi terorisme di Indonesia dari tahun 2000-2005. Hal

ini karena dalam rentang waktu tersebut di Indonesia terjadi berbagai aksi

terorisme berupa pengeboman dengan intensitas yang cukup tinggi.

Demikian juga dengan lembaga NU yang penulis bahas di sini. Yang

dimaksud NU oleh penulis adalah Pengurus Besar NU (PBNU) selaku lembaga

resmi representasi masyarakat NU.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah di atas,

maka permasalahan pokok yang bisa dirumuskan adalah “Bagaimana pandangan

dan respons NU di masa kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi atas munculnya

aksi terorisme di Indonesia 2000-2005?”

Penelitian Terdahulu

Sejauh ini, kajian buku atau penelitian tentang NU10 dalam kaitannya dengan

isu agama, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya telah cukup banyak

10

(20)

dilakukan oleh orang lain. Namun penelitian tentang NU dalam bentuk skripsi, tesis,

atau disertasi, yang secara khusus mengkaji tentang pandangan dan bentuk

responsnya terhadap aksi terorisme yang terjadi di Indonesia belum ada yang

melakukan.11 Kalaupun ada yang membahasnya, ia ditulis secara tidak utuh dan

hanya di wilayah yang sedikit bersinggungan dengan term terorisme, seperti tema

fundamentalisme atau radikalisme agama.

Beberapa di antara kajian tersebut misalnya, kajian yang dilakukan oleh Ahmad

Baso yang tertuang dalam buku NU Studies: Antara Fundamentalisme Islam dan

Fundamentalisme Liberal.12 Dalam buku ini, Baso sebenarnya lebih menulis tentang

perspektif NU terhadap tarik-menarik yang terjadi antara dua kutub, yaitu antara

menjadi moderat-liberal atau menjadi Islam fundamental. Ia juga mengetengahkan

pikiran tentang jihad, terorisme, benturan peradaban, dan konfrontasi AS dengan

kelompok-kelompok gerakan Islam.

Demikian juga dengan apa yang ketengahkan oleh KH. Abdurrahman Wahid

(Gus Dur). Dalam bukunya, Islamku Islam Anda Islam Kita,13 ia banyak menuangkan

pemikirannya tentang NU dan wacana keislaman. Secara khusus ia juga menulis

dalam satu bab tentang kekerasan agama dan terorisme. Namun sayangnya tulisan

Gus Dur tersebut hanya kumpulan essay pendek yang mengungkap masalah terorisme

tidak secara mendalam.

Adapun mengenai masalah terorisme, ada beberapa penelitian dan kajian buku

yang telah membahasnya. Misalnya Terorisme dan Tata Dunia Baru yang diterbitkan

NU dalam Penerimaan Pancasila sebagai Satu-satunya Asas (A. Gaffar Karim, 1995); Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam di Indonesia (KH. Dharwis Ellyasa, 1994).

11

Informasi mengenai hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Satiri (Kepala Perpustakaan PBNU) kepada penulis saat melakukan penelitian.

12

Ahmad Baso, NU Studies: Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006).

13

(21)

oleh P3I Sekjend DPR RI.14 Dalam buku ini, isu terorisme diulas secara

multiperspektif, meliputi ideologi (agama), politik, ekonomi, sosial, budaya, militer,

serta hubungan antarnegara di tingkat global. Namun sayangnya ulasannya tidak

begitu mendalam.

Ada pula yang mencoba mendudukkan pemahaman jihad sebagai counter atas

wacana terorisme. Misalnya buku karya Muhammad Said al-Asmawy15 yang

mengkaji tentang apa yang dimaksud jihad dalam Islam. Dalam buku tersebut,

al-Asmawy mencoba menjelaskan terminologi jihad yang mencakup kewajiban agama

yang meletakkan nilai perdamaian dan nilai perlawanan dalam porsi yang seimbang.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan kaum militan yang cenderung memaknai jihad

sebagai perjuangan dalam bentuk konfrontasi fisik untuk tujuan kebenaran.

Penting juga untuk penulis kemukakan di sini tentang buku yang berkaitan

dengan persoalan terorisme yang ditulis anak-anak muda NU seperti Zuhairi Misrawi

dan Khamami Zada. Dalam bukunya, Islam Melawan terorisme, mereka mencoba

melihat persoalan terorisme secara kritis. Buku tersebut memberikan penjelasan yang

cukup luas mengenai akar-akar terorisme dan pandangan Islam mengenai terorisme.16

Di samping itu, ada dua penelitian tentang terorisme berupa karya skripsi yang

telah dilakukan oleh mahasiswa UIN Jakarta. Pertama, karya Aang Daelani,17

mahasiswa UIN Jakarta jurusan Jinayah-Siyasah. Skripsinya yang berjudul Terorisme

dalam Tinjauan Tindak Pidana Indonesia dan Pidana Islam. Dalam karyanya ini, ia

menjelaskan tentang persamaan dan perbedaan hukum pidana Indonesia dan hukum

pidana Islam dalam memandang terorisme sebagai tindak pidana.

14

Poltak Partogi Nainggolan (ed). Terorisme dan Tata Dunia Baru, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002).

15

Muhammad Said al-Asmawy, Jihad Melawan Islam Ekstrem terj. Hery Haryanto Azumi, (Jakarta: Desantara Pustaka Utama, 2002).

16

Zuhairi Mizrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, (Jakarta, LSIP, 2004) 17

(22)

Kedua, karya Helmy F.,18 skripsi UIN tahun 2002 yang berjudul Terorisme

dalam Hukum Pidana Islam. Berbeda dengan Aang Daelani, dalam skripsi ini Helmy

tampaknya lebih memfokuskan pada kajian hukum pidana Islam dalam memandang

aksi terorisme.

Menurut hemat penulis, kedua peneliti tersebut lebih banyak mengkaji masalah

terorisme dari segi normatifnya saja. sementara dari sisi kajian teori masih terasa

mendapatkan porsi yang cukup.

Namun begitu ada juga penelitian yang lebih memberi bobot teoritik mengenai

masalah terorisme, yaitu tesis yang ditulis oleh Rohmawati, mahasiswi pascasarjana

UIN Jakarta dengan judul Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons

Cendekiawan Muslim Indonesia.19 Pada karyanya tersebut ia banyak mendeskripsikan

paradigma terorisme dan jihad dengan mengambil beragam literatur mengenai hal

tersebut. Kemudian penjelasannya tersebut ia tarik untuk mendeskripsikan pandangan

para cendekiawan Indonesia mengenai terorisme yang berkembang di Indonesia.

Berbeda dengan di atas, dalam tesis ini penulis mencoba memaparkan cara

pandang NU yang berbeda dalam melihat persoalan terorisme yang muncul di

Indonesia. Kajian tentang terorisme di atas umumnya memfokuskan diri pada

persoalan terorisme yang dilihat dari sudut pandang hukum pidana Islam. Kalaupun

ada tinjauan lain, itu pun hanya pada dataran polemik pandangan tentang terorisme.

Namun secara umum kesimpulan yang dihasilkan semuanya normatif. Sementara

dalam penelitian ini penulis menggunakan perspektif lain dan kajian yang spesifik,

yaitu menggali informasi secara mendalam mengenai pandangan dan respons NU

terhadap aksi terorisme di Indonesia. Penulis menggunakan pendekatan fenomenologi

dalam menganalisis informasi yang penulis dapatkan, baik dari sumber primer

maupun sekunder.

18

Helmy F., Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (Skripsi UIN Jakarta, 2002) 19

(23)

Dengan demikian, maka penelitian yang penulis lakukan ini memiliki karakter,

perspektif, metode, dan ruang kajian yang sama sekali berbeda dengan yang telah

dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami wacana terorisme yang

muncul di Indonesia. Sedangkan secara khusus adalah mengkaji pandangan dan peran

NU dalam merespons aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.

Manfaat/Signifikansi Penelitian

Manfaat atau signifikansi dari penelitian ini adalah:

Secara akademik akan memperkaya khazanah pengetahuan atas pemahaman tentang

wacana terorisme yang berkembang di dunia. Kajian ini diharapkan mampu

menjelaskan secara jernih dan proporsional apa yang sebenarnya terjadi dari

munculnya aksi terorisme di Indonesia.

Dari segi praktis, hasil penelitian ini bisa menjadi rujukan untuk menjelaskan cara

pandang dan respons NU dalam menghadapi munculnya aksi terorisme di

Indonesia. Hal ini penting, mengingat belum ada penelitian khusus (dalam bentuk

tesis) tentang NU dalam kaitannya dengan terorisme.

Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi,

yaitu upaya memahami fenomena atau peristiwa dalam kaitannya dengan individu

atau kelompok sosial dalam situasi tertentu. Pendekatan ini lebih menekankan pada

pengertian interpretatif atas pemahaman manusia terhadap suatu peristiwa. Dengan

demikian, peneliti berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang

(24)

oleh mereka di sekitar peristiwa yang terjadi. Pendekatan ini tentu lebih menonjolkan

aspek kebenaran subyektif dari subyek-subyek yang diteliti.20

Alasan peneliti menggunakan pendekatan ini adalah bahwa peristiwa munculnya

aksi terorisme di Indonesia 2000-2005 tidak bisa dilepaskan dari adanya

fenomena-fenomena lain yang muncul mengiringinya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pemilihan metode ini didasarkan

pada pertimbangan untuk menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu tentang cara

pandang dan respons PBNU pada masa kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi atas

munculnya aksi terorisme di Indonesia 2000-2005.

Ada beberapa pertimbangan pokok dalam memilih metode ini. Pertama, metode

kualitatif lebih mudah digunakan untuk memahami persoalan yang rumit dan

kompleks. Kedua, metode ini memungkinkan interaksi secara langsung antara peneliti

dan responden sebagai sumber data. Ketiga, metode ini lebih dapat beradaptasi

terhadap adanya informasi-informasi baru atau pola-pola nilai yang dihadapi.

Keempat, metode ini dapat menampilkan data-data, informasi, dan konsep kepada

tingkat abstraksi yang lebih tinggi. 21

Adapun karakteristik penelitian kualitatif antara lain berlangsung dalam latar

belakang yang alamiah. Peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data yang utama,

analisis datanya dilakukan secara induktif.22

Penyajian hasil penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Penulis berusaha

menggambarkan fenomena aksi terorisme secara sistematis, faktual, dan akurat

kemudian dianalisis secara rinci dan kritis. Dalam konteks ini berarti penulis

menyajikan data-data yang telah diperoleh tentang cara pandang, respons,

langkah-langkah, strategi, dan kebijakan PBNU pada masa kepemimpinan KH. A. Hasyim

20

Lexi J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000) h. 9 21

Lexi J. Maleong, Metode Penelitian..., h. 5 22

(25)

Muzadi menyangkut persoalan aksi terorisme di Indonesia selama tahun 2000-2005

untuk di analisis dan diinterpretasikan.

a. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis memperolehnya melalui

dua cara:

(1) Studi Kepustakaan.

Pengumpulan data didapat dari berbagai hasil penelitian yang sudah ada,

buku-buku, serta tulisan-tulisan lepas yang tersebar di berbagai surat kabar, majalah,

jurnal, dan internet, tentang NU dan terorisme. Penulis memilah data

kepustakaan ini menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.

Informasi pustaka yang dikategorikan sebagai data primer di sini antara lain:

Hasil-Hasil Muktamar NU ke-30 dan 31, Hasil-Hasil Musyawarah Nasional

Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, Narasi Khidmat Nahdlatul

Ulama 1999-2004, dan tulisan KH. Hasyim Muzadi: Mengembangkan NU

Melalui Penyembuhan Luka Bangsa.

(2) Wawancara

Data penelitian ini juga akan diperoleh melalui wawancara mendalam (in-depth

interview) yang tidak terstruktur23 dari sumber-sumber data. Peneliti

menggunakan instrumen panduan wawancara yang secara khusus disusun untuk

keperluan tersebut sebagai acuan agar tetap dalam tujuan penelitian yang

ditetapkan. Data yang akan dikumpulkan adalah materi yang berkaitan dengan

pendapat, pandangan, dan kritik tetang variabel yang diajukan peneliti. Data

yang diperoleh dari wawancara ini penulis menetapkannya sebagai data primer.

23

(26)

Adapun yang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh NU

antara lain:

(1) KH. A. Hasyim Muzadi. Ia adalah tokoh sentral NU yang secara struktural

duduk sebagai Ketua Umum dalam kepengurusan PBNU periode 1998-2004

dan 2004-2009.

(2) KH. Ma’ruf Amin selaku Rais Syuriah PBNU. Ia adalah salah satu tokoh NU

yang memiliki pengalaman sebagai Ketua Tim Penanggulangan terorisme di

Indonesia yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

(3) KH. DR. Said Agil Siradj selaku salah satu Ketua PBNU. Ia adalah salah satu

tokoh NU yang kapasitas intelektualnya tidak diragukan dan sering menjadi

rujukan bagi banyak kalangan. Secara intens ia memberikan respons pemikiran

terhadap masalah terorisme yang diartikulasikan melalui media massa atau

lainnya.

(4) Ahmad Baso. Ia adalah tokoh muda NU non struktural PBNU dan peneliti di

LTN NU (Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr Nahdlatul Ulama). Ia banyak meneliti dan

menulis tentang NU serta isu-isu kontemporer yang terkait NU, termasuk

persoalan terorisme.

(5) Hery Haryanto Azumi, seorang tokoh muda NU non struktural PBNU. Ia

dikenal dekat dan menjadi bagian dari think tank Ketua Umum PBNU saat ini.

Di samping itu, ia juga cukup dekat dengan kalangan Badan Intelijen Negara

(BIN).

Di samping melakukan wawancara secara langsung, penulis juga akan mengutip

pendapat dan pernyataan tokoh yang penulis anggap penting dari berbagai seminar,

diskusi, dan forum lainnya.

(27)

Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara memeriksa seluruh

data yang terkumpul untuk dipilih dan dipilah berdasarkan sub-sub pokok bahasan

dalam perumusan masalah. Transkrip hasil wawancara dengan para informan serta

bahan-bahan lain yang merupakan data penelitian dicek kembali kelengkapannya dan

teknik penyajiannya.

Karena penelitian ini kualitatif, maka analisa datanya dikembangkan selama

penelitian (berkelanjutan). Maksudnya, analisis data tidak dilakukan setelah data

selesai, tetapi dilaksanakan mulai penetapan masalah, pengumpulan data, dan setelah

data terkumpulkan. Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui kekurangan data

yang harus dikumpulkan dan dapat dianalisa metode mana yang harus dipakai pada

tahap berikutnya.

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara induktif, penulis berangkat

dari fakta-fakta dan ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus, kemudian membuat

generalisasi analisis sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

Kegiatan analisis data dalam penelitian ini menggunakan tiga tahapan, yaitu

reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data

merupakan usaha menyederhanakan temuan data dengan cara mengambil intisari data

sehingga ditemukan tema pokok, fokus masalah, dan pola-polanya. Proses reduksi

data meliputi proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan,

pengabstrakan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan.

Dalam proses reduksi data, penulis menganalisis bahan-bahan yang telah terkumpul,

menyusunnya secara sistematis, dan menonjolkan pokok-pokok permasalahannya.

Tahap berikutnya adalah penyajian data. Dalam tahap ini, peneliti menyajikan

sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Data yang telah dipolakan, difokuskan dan disusun secara sistematis tersebut

diambil kesimpulan sehingga makna data bisa ditemukan. Namun, kesimpulan itu

(28)

maka data lainnya perlu dicari. Data baru tersebut bertugas melakukan pengujian

terhadap berbagai kesimpulan tentatif tadi.

Teknik Penulisan

Teknik penulisan tesis ini mengacu kepada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah

(Skripsi, Tesis dan Disertasi) edisi terbaru yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for

Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.24 Untuk

transliterasi, penulis menggunakan pedoman transliterasi sesuai dengan terbitan

Departemen Agama Republik Indonesia (DEPAG RI) sebagaimana penulis

lampirkan di depan.

Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan penelitian tesis ini dibagi dalam lima bab dengan

perinciannya sebagai berikut:

Bab pertama adalah berisi tentang pendahuluan yang menguraikan pandangan

umum tentang penelitian tesis ini yang terangkum dalam latar belakang masalah.

Selanjutnya dipaparkan identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah. Kemudian

penulis menjelaskan tujuan penulisan ini agar tergambar arah yang ingin dicapai.

Kajian atau penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan berkaitan dengan penulisan

tesis ini, juga penulis cantumkan sebagai acuan guna menemukan ruang kajian yang

layak dibahas. Kemudian penulis memaparkan metode pendekatan yang ditempuh

dalam penelitian dan sistematika pembahasannya.

Bab kedua membahas diskursus tentang terorisme. Dalam bab ini penulis jelaskan

mengenai definisi, sejarah terorisme, akar penyebab, bentuk-bentuk terorisme, dan

gambaran bagaimana aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.

24Pedoman Penulisan Karya Ilmiah,

(29)

Bab ketiga membahas tentang Nahdlatul Ulama (NU), yaitu dengan menguraikan

visi NU, mencakup visi kebangsaan dan keagamaannya. Penulis juga menguraikan

tentang prinsip-prinsip kemasyarakatan NU yang meliputi Mabâdi’ Khaira Ummah,

Fikrah Nahdliyyah, dan Ukhuwwah Nahdliyyah. Terakhir penulis menguraikan

tentang gerakan civil society NU dan potret kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi.

Bab keempat membahas tentang cara pandang dan respons yang dilakukan NU

terhadap aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Dalam bab ini penulis membuat

analisa tentang konteks munculnya aksi terorisme di Indonesia menurut para tokoh

NU, dampaknya terhadap eksistensi NU, umat Islam, dan bangsa, sikap yang

diupayakan PBNU yang berkaitan dengan hal itu.

Bab kelima merupakan penutup dari penelitian tesis ini yang terdiri dari

kesimpulan penelitian. Kesimpulan ini merupakan jawaban dari

pertanyaan-pertanyaan rumusan masalah yang diteliti. Di akhir bab ini, penulis juga

mencantumkan beberapa saran sekaligus melampirkan daftar pustaka yang digunakan

(30)

BAB II

DISKURSUS TERORISME

Definisi dan Sejarah Terorisme

Definisi Terorisme

Sejak peristiwa serangan 11 September 2001 ke gedung WTC New York, AS,

terorisme menjadi isu serius masyarakat dunia di awal abad 21 ini. Hal ini karena aksi

terorisme menimbulkan instabilitas dan ketakutan yang luar biasa bagi masyarakat di

seluruh dunia. Mengenai apa terorisme, siapa pelakunya, bentuk-bentuknya, faktor

yang menyebabkannya, serta aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, inilah persoalan

yang akan penulis bahas dalam uraian diskursus terorisme ini.

Sejauh ini belum ada definisi25 yang benar-benar akurat dan obyektif tentang

terorisme, bahkan di kalangan pakar sosial-politik Barat sekalipun. Hal ini karena

mendefinisikan sebuah aksi terorisme sangat bergantung pada siapa yang memiliki

kepentingan. Pada satu sisi, bisa saja apa yang disebut orang/kelompok lain sebagai

tindak terorisme tapi pada saat yang sama tindakan tersebut justru sebuah aksi

kepahlawanan yang heroik.

Charles W. Kegley Jr. dalam buku Internasional Terrorism: Characteristics,

Causes, Control, mengatakan: “There is no single definition of terrorism that can

possibly cover all the varieties of terrorism that have appeared throughout history.”26

(Tidak ada definisi tunggal tentang terorisme yang bisa mencakup semua sisi

fenomena terorisme yang telah muncul sepanjang sejarah).

25

Sidang Umum PBB melalui dewan khusus terorisme internasional, pernah membahas isu terorisme internasional pada tahun 1972. Perdebatan tentang definisi terorisme mengalami deadlock. Akhirnya sidang memandang tidak mungkin untuk memutuskan sebuah definisi yang dapat disepakati bersama dan dapat mengakomodir berbagai persepsi yang ada. Lihat: Haitsam al-Kailani, Al-Irhâb Yuassis Daulah Namûdzaj Isrâîl, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1997), h. 16

26

(31)

Semua sepakat bahwa aksi teror adalah perbuatan haram yang tidak

diperbolehkan. Namun masalahnya untuk menentukan mana bentuk teror dan mana

bentuk perjuangan tentu sangat sulit sebab subyek yang mendefinisikan tidak bisa

dilepaskan dari kepentingannya sehingga memiliki determinasi yang kuat terhadap

kategori di atas. Jadi pemaknaannya bergantung pada selera dan kepentingan yang

mendefinisikannya. Dalam sosiologi pengetahuan, asumsi adanya kepentingan dalam

mendefinisikan bisa didasarkan pada teori pertautan antara pengetahuan dan

kepentingan, sebagaimana dikemukakan Jurgen Habermas, bahwa pengetahuan tidak

mungkin dapat dipisahkan dengan kepentingan.27

Selain faktor subyektif dan relatif, kesulitan mendefinisikan terorisme juga

disebabkan karena manusia memiliki akar-akar ketakutan dari pengalaman yang

berbeda satu dengan lainnya. Tegasnya, definisi terorisme sarat dengan berbagai

kepentingan serta melibatkan banyak hal sebagai variabel-variabel yang harus

diperhitungkan. Namun demikian, bagi penulis, pendefinisian tetap harus dilakukan

sebagai pijakan dalam memahami term terorisme yang bisa diterima oleh semua

pihak sebagai pengertian secara umum (common sense).

Istilah terorisme berasal dari kata teror. Teror sendiri secara etimologi berasal dari

bahasa Latin “terrere” yang memiliki arti “menimbulkan ketakutan yang

mendalam”.28 Term teror dan terorisme sendiri ada sedikit perbedaan. Teror

merupakan aktivitas yang dilakukan untuk tujuan-tujuan kriminal yang bersifat

spontan, tidak terorganisir, dan umumnya bersifat personal. Sedangkan terorisme

cenderung dilakukan oleh kelompok atau organisasi yang bekerja secara rapi, dan

didukung oleh berbagai variabel penting, seperti dana, fasilitas, dan kekuasaan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror adalah usaha menciptakan

ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sementara

27

Jurgen Habermas, Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, penerj. Hasan Basri (Jakarta: LP3ES, 1990) h. 170.

28 International Encyclopedia of Terrorism

(32)

terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha

mencapai tujuan, terutama tujuan politik.29 Definisi yang hampir sama juga terdapat

dalam Kamus Hukum, bahwa terorisme diartikan sebagai perbuatan jahat yang

umumnya ditujukan kepada negara, yang tujuannya menakut-nakuti orang tertentu,

kelompok-kelompok tertentu ataupun masyarakat tertentu untuk tujuan politik.30

Dalam The New Encyclopedia Britanica, terorisme yaitu penggunaan teror secara

sistematis atau kekerasan yang tidak dapat diprediksikan yang ditujukan untuk

menyerang pemerintah, publik, ataupun individual demi kepentingan politis tertentu.

Terorisme telah digunakan oleh berbagai organisasi politik, baik aliran kanan maupun

aliran kiri, para pejuang nasionalis dan etnis tertentu, para pejuang revolusi, kekuatan

militer suatu negara maupun polisi, dan bahkan oleh pemerintahan negara tertentu. 31

Sedangkan dalam Webster’s International Dictionary dikatakan bahwa teror

adalah rasa takut yang luar biasa, ketakutan yang mengganggu tubuh dan pikiran,

tindak kekerasan yang mengerikan. (Terror is extreme fear, fear that agitates body

and mind, violent dread; fright).32

Haitsam al-Kailani kemudian mendefinisikannya secara lebih luas, yaitu segala

bentuk tindakan yang mengancam atau merenggut nyawa orang yang tidak berdosa,

mengancam hak asasi manusia, merusak kehormatan manusia, menimbulkan

ketakutan luar biasa baik kepada individu/kelompok/negara, secara terorganisir

maupun tidak.33

29 Kamus Besar Bahasa Indonesia

, (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai

Pustaka, Jakarta, 2002) hal. 1185, Edisi ke-3. 30

Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1986), hal. 51. 31

Dalam kamus tersebut tertulis: The systematic use of terror or unpredictable violence

against governments, publics, or individuals to affair a political objective. Terrorism has been used by

political organizations with both rightist and leftist objectives, by nationalistic and ethnic groups, by

revolutionaries and by the armies and secret police of governments themselves. Lihat: The New

Encyclopedia Britannica, Chicago, USA, Vol. II 1988 h. 650-651.

32

Lihat: Webster’s International Dictionary, edisi 1890. 33

(33)

Menurut pendapat Azyumardi Azra, istilah terorisme hampir sepenuhnya

digunakan untuk tindakan yang mengacu kepada kekerasan. Kesulitan

mendefinisikannya disebabkan karena di balik tindak terorisme terdapat beragam

kepentingan yang saling berkelindan, seperti ideologi, politik, sosial, ekonomi,

budaya dan sebagainya. Dalam kasus ini, ia melihat ada tindakan kekerasan yang

bersifat justifiable (dapat dibenarkan) dan ada yang unjustifiable (tidak dapat

dibenarkan). Namun menentukan batas-batas mana yang justifiable dan mana yang

unjustifiable inilah yang sangat sulit karena bergantung pada justifikasi moral pihak

yang mendefinisikannya.34

T.P. Thornton mendefinisikan, terorisme adalah penggunaan teror sebagai

tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku

politik dengan cara ektranormal, khususnya penggunaan ancaman kekerasan. Dalam

pengertian ini, ia membedakan terorisme dalam dua kategori: pertama, enforcement

terror, yaitu teror yang digunakan oleh penguasa atau rezim untuk menindas

perlawanan yang ditujukan kepada mereka. Kedua, agitational terror, yaitu kegiatan

teror yang dilakukan untuk tujuan mengganggu situasi yang mapan/stabil untuk

kemudian menguasai kekuasaan atas situasi tersebut.35

Berbeda kategori di atas, Riza Sihbudi mengklasifikasikan terorisme dalam tiga

bentuk. Pertama, terorisme yang bersifat personal, yaitu aksi-aksi terorisme yang

dilakukan secara terencana terhadap target-target tertentu oleh pelaku tunggal. Kedua,

terorisme yang bersifat kolektif dan terencana. Biasanya, terorisme semacam ini

dilembagakan dalam sebuah jaringan organisasi yang rapi seperti Al-Qaeda. Sasaran

terorisme dalam kategori ini adalah simbol-simbol kekuasaan dan perekonomian

negara. Ketiga, terorisme yang dilakukan negara (state terrorism) agar rakyat atau

34

Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme: Konsep dan Perkembangan Historis, dalam Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, No. 4 April-Juni 1994, (Bandung: MIZAN dan MISSI, 1994) h. 83.

35

(34)

kelompok yang berseberangan dengan kepentingan negara menjadi patuh.

Ketiga-tiganya mempunyai titik temu, yaitu sama-sama memiliki korban.36

Dalam prakteknya, terorisme membonceng beragam kendaraan untuk mencapai

tujuannya. Ada yang menggunakan kendaraan agama, politik dan ekonomi. Apapun

kendaraannya, terorisme menampilkan wataknya yang serba hegemonik, anarkis dan

radikal. Inilah kesan yang bisa ditangkap mengenai terorisme. Hampir seluruh

gambarannya buruk dan tidak manusiawi.

Riza juga memaparkan bahwa terorisme bisa dipahami sebagaimana berikut:

pertama, terorisme adalah sebuah aksi militer atau psikologis yang didesain untuk

menciptakan kerusakan material dan ekonomi; kedua, terorisme adalah metode untuk

memaksa perilaku orang lain. Metode ini sering dilakukan dengan cara melakukan

penyerangan terhadap korbannya dengan tujuan agar korban bertindak seperti yang

diinginkan oleh si teroris; ketiga, terorisme digambarkan sebagai tindakan kriminal

untuk mendapatkan publikasi; keempat, terorisme adalah tindakan kriminal yang

mempunyai tujuan politik; kelima, terorisme adalah tindakan kriminal yang bertujuan

untuk mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi.37

Selanjutnya Riza menjelaskan bahwa ciri apakah suatu tindak kekerasan itu

masuk dalam kategori tindak terorisme atau tidak, bisa kita lacak lewat karakter

tindak terorisme berikut yang mencakup unsur:

4. eksploitasi sisi ketakutan manusia dengan intimidasi, ancaman penggunaan

kekerasan, penganiayaan, dan kekejaman;

5. adanya unsur kejut, dalam pengertian bahwa tindakan itu dilaksanakan tanpa

terduga sama sekali oleh korban;

6. memiliki tujuan politik yang skalanya jauh lebih luas daripada korbannya sendiri;

7. sasaran umumnya adalah kelompok yang berseberangan kepentingannya dengan,

bisa masyarakat sipil atau penguasa; dan,

36

M. Riza Sihbudi, et.al., Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, (Bandung: PT. Eresco, 1993), h.16

37

(35)

8. dipersiapkan secara rapi, terorganisir, dan sistematis.38

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa ciri-ciri tindak terorisme adalah suatu

tindakan kekerasan yang dilakukan secara sistematis, terorganisir dan mendadak oleh

suatu kelompok tertentu dengan mengambil korban masyarakat sipil atau penguasa

untuk tercapainya tujuan-tujuan politis.

Sedangkan mengenai pelakunya, dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) pada tanggal 15 Desember 1997, dinyatakan bahwa apa yang disebut sebagai

teroris tidak terbatas pada pelaku teror melainkan setiap partisipan, organisator,

ataupun kontributor lain dalam tindakan yang dikategorikan terorisme.39

Namun demikian, adanya unsur subyektif dan relatif dalam mendefinisikan term

terorisme menyebabkan banyak pihak sulit mengungkap siapa sebenarnya pelaku

tindak terorisme. Bisa jadi yang dianggap teroris oleh satu pihak merupakan

pahlawan bagi pihak lain. Situasi seperti ini tentu menjadi dilematis siapa sejatinya

yang layak disebut teroris dan siapa yang pahlawan.

Dari semua pemahaman tentang terorisme, penulis memilih untuk menggunakan

pemahaman terorisme seperti yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra dan Riza

Sihbudi, serta Konvensi PBB tentang pelaku terorisme, sebagai kerangka teori untuk

menjelaskan tesis ini. Pilihan ini didasarkan karena kedua pakar tersebut adalah

cendekiawan Indonesia yang bersinggungan langsung dengan persoalan terorisme

yang terjadi di Indonesia. Dalam kapasitasnya sebagai pengamat politik di Indonesia,

keduanya sangat berkompeten untuk menjelaskan persoalan terorisme ini.

Sejarah Terorisme

Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau sebelum masehi.

Terorisme awalnya ditandai dengan kejahatan berupa pembunuhan dan ancaman yang

38

M. Riza Sihbudi, et.al., Konflik dan Diplomasi..., h. 18 39

(36)

bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Aksi terorisme dilakukan secara

perorangan maupun oleh kelompok terhadap penguasa yang dianggap tiran. Atau,

bisa juga sebaliknya, yaitu oleh penguasa terhadap kelompok atau seseorang yang

dianggap melakukan pembangkangan terhadap kekuasaan yang ada.

Dalam kajian sosiologi, fenomena terorisme merupakan gejala sosial yang

kompleks. Sudut pandang yang sangat beragam dari banyak pihak kemudian

mempengaruhi makna terorisme. Sebagaimana telah dibahas, bahwa pemaknaan dari

sudut pandang yang berbeda tersebut yang menyebabkan terjadinya pergeseran

makna terorisme dari masa ke masa. Namun tampaknya, kini istilah terorisme sudah

menjadi lekat dengan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sejauh yang sudah direkam oleh sejarah, istilah dan praktik terorisme telah

muncul sejak zaman Yunani kuno. Xenophon (431-350 SM) misalnya, pernah

mengulas tentang terorisme dalam term "perang psikologis" untuk menaklukkan

musuh. Pada awal abad masehi, tercatat nama Kaisar Roma, Tiberius (14-37) dan

Caligula (37-41), melakukan aksi terorisme terhadap lawan-lawan politiknya, yaitu

dengan menyiksa, membuang, membunuh, menyita harta benda, untuk

menakut-nakuti kekuatan oposisi.40

Aksi teror juga dilakukan kelompok Sicarii, sekte agama yang aktif dalam

perjuangan Zealot di Palestina (66-73 M) Mereka menuntut kemurnian religius dan

menentang segala tindakan asusila dan tindakan yang bersifat anti Yahudi. Mereka

menggunakan pisau kecil yang disembunyikan di balik baju. Aksi ini dilakukan

dengan cara membaur dengan orang-orang di pasar. Jika mereka melihat suatu

pelanggaran mereka langsung mengambil pisau dan menikam si pelanggar. Metode

yang mereka gunakan adalah praktek pembunuhan terorganisir di zaman kuno.

Tindakan ini menimbulkan ketakutan masyarakat. Motivasi kelompok ini adalah

agama dan didukung oleh kitab suci.41

40The New Encyclopedia Britannica

,. ..h. 652. 41

(37)

Sampai abad 18, penguasa sering menggunakan teror untuk mematahkan

kekuatan masyarakat yang dinilai membangkang. Tindakan teror ini masih berkisar

pada penyiksaan, pembuangan, penculikan, pembunuhan dan penyitaan harta benda.

Namun istilah teror baru digunakan sebagai sesuatu yang positif dalam pemerintahan

Prancis pada tahun 1793-1794. Pemerintahan ini dikenal dengan nama French

Revolution’s Terrorism (FRT) pimpinan Maximilien Robespierre.42 FRT digunakan

sebagai instrumen untuk mendirikan Revolutionary State yaitu membentuk sebuah

masyarakat baru yang lebih baik. Selain mempunyai kaitan erat dengan revolusi,

Maximilien Robespierre, sang pemimpin gerakan, mengaitkan teror dengan kebaikan

(virtue) dan demokrasi. Robespierre menyebutkan:

Virtue, without which terror is evil; terror, without which virtue is helpless. Terror is nothing other than justice, prompt, severe and inflexible; its therefore an emanation of virtue; it is not so much a special principle as it is a consequence of the general principle of democracy applied to our country’s most urgent needs.43

Terdapat dua karakteristik utama dari FRT. Pertama, FRT dilakukan secara

terorganisir dan sistematis. Karakteristik ini yang membedakan FRT dengan aksi

teror yang digambarkan saat ini. Kedua, tujuan FRT adalah untuk membentuk sebuah

masyarakat baru yang lebih baik. Namun demikian, di masa pemerintahan FRT ini,

telah dihukum sekitar 300.000 orang, termasuk 40.000 orang yang dieksekusi mati

dan mati di penjara dengan tanpa proses pengadilan sebelumnya.44

Pertengahan abad ke-19, di Eropa, revolusi Prancis mengilhami munculnya

sentimen anti monarki (anti penguasa). Pada abad ini, muncul aksi era terorisme baru

di mana terorisme dikonotasikan dengan gerakan anti pemerintahan. Aksi-aksi teror

digunakan sebagai taktik untuk menggulingkan orang-orang berkuasa.

42Modern History Sourcebook: Maximillien Robespierre: Justification of the Use of Terror, melalui http//www.fordham.edu/halsall/mod/robespierre-terror.html.

(38)

Aksi terorisme juga banyak muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya

Perang Dunia (PD) I di hampir seluruh permukaan bumi. Sejarah mencatat pada

1890-an, aksi terorisme dilakukan saat Armenia melawan pemerintah Turki yang

berakhir dengan bencana pembunuhan massal terhadap warga Armenia pada PD I.45

Pada saat itu, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang

berbasiskan ideologi.

Menjelang PD I hingga PD II, bersamaan dengan semangat pergerakan

kemerdekaan di banyak negara, penggunaan istilah terorisme yang cenderung

memiliki makna negatif mulai dilekatkan kepada pemberontakan yang dilakukan

kaum anti-kolonialis. Stigma teroris memicu ketidaksenangan para pejuang

kemerdekaan di negara dunia ketiga yang umumnya terjajah. Mereka dengan tegas

menolak stigma tersebut karena mereka berjuang untuk kemerdekaan tanah air

(freedom fighters) dari cengkeraman penjajah.

Pasca PD II, dunia tidak bisa langsung berdamai. Berbagai pergolakan

berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi

konflik Timur-Barat, menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya sehingga

menyebabkan timbulnya konflik Utara-Selatan. Perjuangan melawan penjajah,

pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga,

pergolakan dalam negeri di banyak negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan

bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustrasi banyak negara berkembang dalam

berjuang menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang

meluasnya terorisme. Terorisme telah berkembang dalam perang ideologi, fanatisme

agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh

pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya.

Terorisme dalam perkembangan berikutnya menjadi semakin dialektis di mana

terkadang aksi tersebut digunakan untuk melawan penguasa atau sebaliknya, yaitu

45

(39)

digunakan penguasa untuk menindas rakyatnya. Penguasa melakukan berbagai

penyiksaan dan pembunuhan sehingga menimbulkan rasa takut luar biasa di kalangan

rakyatnya. Seperti yang terjadi di Jerman pada masa pemerintahan totaliter Adolf

Hitler, di Rusia oleh Josef Stalin, dan di Kamboja oleh Pol Pot.46

Aksi teror juga digunakan sebagai strategi perjuangan oleh gerilyawan Aljazair

saat melawan Prancis dalam perang kemerdekaan, gerilyawan Vietnam melawan

Amerika Serikat, pejuang Palestina melawan Israel, kaum separatis Tamil Elam di

Srilanka, kelompok Sikh di India, kelompok Baader-Meinhof di Jerman, Brigade

Merah di Italia, Sekigun (Tentara Merah) di Jepang, Euzkadi Ta Askatasuna (ETA) di

Spanyol, dan Tentara Irlandia Utara (IRA) di Irlandia Utara. Terorisme kemudian

menjadi isu yang kuat sehingga dibicarakan di forum internasional oleh PBB terkait

dengan peristiwa teror yang dilakukan oleh Black September Organization yang

menyerang atlet Israel saat berlangsungnya Olimpiade Munich pada tahun 1972.47

Peristiwa tersebut membuat terorisme menjadi isu global. Gerakan terorisme

umumnya menjadi inspirasi bagi munculnya gerakan terorisme berikutnya. Bahkan di

antara kelompok terorisme tersebut sangat mungkin terjalin kerja sama untuk

mencapai tujuan masing-masing. Kerja sama tersebut bisa dalam bentuk saling

menukar informasi penting, taktik perang gerilya atau teror, persenjataan, lobi-lobi

kekuasaan dan sebagainya. Hal ini seperti dikemukakan oleh Marius H. Livingstone

dalam bukunya International Terrorism in the Contemporary World, bahwa

kelompok Baader-Meinhof beberapa kali pergi ke kamp gerilyawan Palestina di

Yordania dan Lebanon pada tahun 1970-1972 untuk mendapatkan latihan

penggunaan bahan peledak. Gerilyawan Palestina juga menjalin hubungan dengan

kelompok Irish Republican Army (IRA) di Irlandia Utara dan Basque Fatherland and

Liberty (ETA) di Spanyol.48

46

Salam Effendi, Siapa Teroris? h. 36 47

PTRI New York, Terorisme Internasional dan Situasi Afghanistan, h.1 48

(40)

Meskipun sebagian kelompok terorisme tersebut telah surut seiring berakhirnya

perang dingin, tetapi ancaman terorisme tidak berhenti hingga sekarang. Malah

sebaliknya, terorisme muncul dengan mengambil modus operandi yang lebih sulit

dikenali. Bahkan banyak di antara mereka yang didukung perangkat teknologi masa

kini dan memiliki beragam senjata pemusnah massal. Karena itu, ancaman yang

ditimbulkan terasa lebih mengerikan dan berdampak hebat secara psikologis.

Peristiwa ambruknya WTC New York pada 11 September 2001 adalah bukti

keandalan strategi terorisme modern. Betapa tidak, Amerika yang memiliki sistem

keamanan yang didukung teknologi canggih sama sekali tidak berdaya oleh ulah

teroris. Mereka tidak menyerang dengan mesin perang modern, tapi cukup

memanfaatkan pesawat sipil yang berlalu lalang di dalam negeri sebagai amunisi.

Dalam aksinya, para teroris tersebut membajak beberapa pesawat sipil dan

menabrakkannya ke gedung WTC dan Penthagon.

Dalam wacana terorisme, aksi-aksi teror juga dilakukan oleh negara (state

terrorism). Pada term ini, negara menggunakan aksi terorisme sebagai sarana untuk

memaksa pihak lain menjadi tunduk. Bentuk terorisme yang dilakukan negara bisa

dengan melakukan operasi represif, penganiayaan, penculikan, pengeboman, bahkan

sampai pemusnahan massal (holocaus). Inilah yang disebut sebagai state terrorism.

Contoh ini bisa dilihat pada kasus pembantaian Suku Kurdi dengan senjata biologis

oleh rezim Saddam Husein. Demikian pula agresi militer AS ke Irak juga bisa

dikategorikan sebagai bentuk aksi terorisme.

Negara juga bisa disebut sebagai pelaku terorisme jika negara mendukung dan

melindungi kelompok-kelompok yang melakukan aksi terorisme. Inilah yang disebut

sebagai state sponsored terrorism.49 Negara tersebut memanfaatkan

kelompok-kelompok radikal yang memiliki kesamaan tujuan politik dengannya. Misalnya AS

membiayai gerilyawan di beberapa negara untuk mengacaukan keamanan dan bahkan

menggulingkan kekuasaan suatu negara.

49

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Gungwu (1988:9), ada tujuh identitas etnis Tionghoa yang dapat diidentifikasi, yaitu identitas sejarah (berkaitan dengan sejarah masa lalu orang- orang Tionghoa

Untuk menguji keeratan hubungan variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y), maka dilakukan dengan cara nilai koefisien korelasi (r). Sehingga dapat disimpulkan

Yang lain ada yang mengartikan bahwa karunia adalah anugerah luar biasa yang diberikan oleh Roh Kudus dengan kuasa yang tidak selayaknya kepada orang-orang percaya sebagai perkakas

Eksperimen mengenai kekuatan pelet maupun briket bijih besi berbinder organik dan inorganik telah banyak dilakukan, namun pengaruh binder terhadap sifat metalurgis

Simpulan penelitian menghasilkan saran yang berkaitan dengan keadilan distributif, komitmen organisasi, dan turnover intention di Maxi Hotel, Restaurant and Spa, yaitu

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan perangkat pembelajaran matematika SMP dengan media berbantuan komputer pada materi teorema Pythagoras yang valid,

Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa diantara 9 indikator motivasi intrinsik dan ekstrinsik, indikator prestasi peternak memiliki nilai skor tertinggi, diikuti dengan

Sebagaimana dikemukakan oleh Kunandar (2007) bahwa dalam.. menjalankan tugasnya seorang guru setidaknya harus memiliki kemampuan dan sikap sebagai berikut: pertama,