• Tidak ada hasil yang ditemukan

NU DAN TERORISME DI INDONESIA

2. Pemahaman Terorisme dan Jihad

Sejauh ini jihad oleh sebagian umat Islam masih dimaknai secara serampangan. Berbagai aksi terorisme yang terjadi di Indonesia oleh pelakunya dianggap sebagai jihad. Padahal jihad adalah ajaran yang memiliki justifikasi moral dan hukum, sementara aksi terorisme tidak sama sekali.

Dalam pandangan ulama NU, jihad tidak bisa dimaknai demikian. Said Agil Siradj berpendapat bahwa jihad memang kewajiban bagi umat Islam. Salah satu bentuk jihad adalah berperang untuk melawan kezaliman dan ketidakadilan dalam rangka melakukan pembelaan diri. Namun ini merupakan upaya terakhir jika jalan damai tidak bisa dilakukan lagi.143

Hasyim Muzadi menolak secara tegas apabila jihad dipahami bahwa umat Islam harus berperang mengangkat senjata tanpa memahami situasi apa yang sesungguhnya terjadi. Bahkan Hasyim menilai bahwa melakukan berbagai pengeboman di berbagai wilayah di Indonesia sama sekali bukan jihad melainkan aksi terorisme yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

142

Lihat beberapa pernyataan Imam Samudera dalam bukunya: Aku Melawan Teroris, (Solo: Jazeera, 2004), hal. 199

143

Hal senada juga dikemukakan oleh Makruf Amin. Menurutnya144, Aksi pengeboman di Indonesia adalah aksi terorisme karena memenuhi unsur-unsur teror dan tidak sesuai dengan pengertian dan kriteria jihad. Ia menjelaskan bahwa jihad jelas sangat berbeda dengan aksi terorisme. Jihad memiliki tujuan yang jelas, dengan prosedur yang jelas, dan dalam rangka ishlâh atau perbaikan. Sementara aksi terorisme tidak memiliki alasan jelas, membabi buta, dan sifatnya merusak. Dalam beberapa kitab kuning dijelaskan bahwa jihad itu bukan tujuan tapi media saja (wasail) ketika cara lain tidak bisa dilakukan. Kalau ada cara lain yang masih bisa dilakukan, misalnya cara diplomasi, itu lebih utama dilakukan. Sedangkan jihad dalam arti melawan hawa nafsu, dalam konteks dakwah untuk perbaikan, maka umat Islam harus melakukannya dalam setiap waktu.

Menurutnya, di Indonesia tidak ada namanya jihad fisik karena tidak ada musuhnya. Apalagi bangsa Indonesia sejak sebelum merdeka sudah hidup berdampingan secara damai. Artinya, muslim dengan nonmuslim sudah melakukan mu’âhadah, yaitu mengadakan suatu perjanjian (tidak tertulis) untuk hidup berdampingan secara damai. Karena itu Indonesia bukan wilayah perang (dârul harb), tetapi negeri yang aman dan damai (dârussalâm). Bahkan di dalam ayat Al-Quran dijelaskan bahwa orang Islam tidak boleh membunuh orang yang sudah terikat perjanjian.

Menurut Ahmad Baso, jihad merupakan daya upaya yang diproyeksikan untuk mengimplementasikan pesan-pesan Tuhan di muka bumi guna menegaskan tugas manusia sebagai khalifah-Nya. Berperang dengan angkat senjata hanyalah salah satu dari sekian banyak macam jihad. Itu pun disertai dengan persyaratan yang harus dipenuhi secara ketat oleh syar’i dalam berperang.145

Lagi pula, menurutnya, jihad bukan sesuatu yang baru. Jihad telah menjadi bagian dari ajaran Islam sejak awal Islam ada. Pembahasan mengenai jihad juga

144

Wawancara dengan KH. Makruf Amin, 26 November 2007 145

sudah dianggap usang. Namun anehnya ajaran jihad kembali dipersoalkan akhir-akhir ini dan bahkan dikambinghitamkan sebagai penyebab berbagai aksi kekerasan. Baginya, jihad tidak seseram yang diopinikan oleh Barat. Jihad juga tidak seperti yang dicontohkan oleh Amrozi dan kawan-kawannya. Jihad memiliki syarat, nilai luhur dan etika yang harus dipatuhi oleh umat Islam.

Hery A. Azumi juga membenarkan yang demikian. Menurutnya,146 ajaran Islam memang memberikan legitimasi kepada umatnya untuk melakukan jihad dalam arti perang. Namun sebenarnya legitimasi ini kemudian direduksi oleh Rasulullah sendiri ketika menyatakan bahwa jihad akbar lebih utama dan menjadi tantangan yang lebih besar bagi umat Islam. Jihad akbar tersebut adalah memerangi hawa nafsu diri sendiri. Artinya, jihad melawan hawa nafsu yang timbul dari diri sendiri adalah tuntutan yang semestinya dipenuhi daripada jihad secara fisik.

Hery juga mempertanyakan, mengapa tema jihad dan terorisme global muncul secara bersamaan? Padahal jihad adalah tema lama yang selama ini tidak begitu diperbincangkan. Sementara terorisme sebagai sebuah isu dunia baru muncul belakangan.

Dalam amatan penulis, agaknya Ahmad Baso dan Hery H. Azumi melihat persoalan jihad tidak berhenti pada masalah definisi. Mereka melihat aspek politik pada konteks politik internasionalnya. Dengan demikian, asumsinya adalah tema jihad sengaja dimunculkan bersamaan dengan isu terorisme global.

Secara umum, semua kalangan NU tidak sependapat bahwa aksi-aksi kekerasan yang muncul di Indonesia sebagai bagian dari jihad. Bahkan mereka menegaskan tindakan tersebut adalah aksi terorisme. Kalangan NU juga melihat bahwa seruan berjihad oleh sebagian umat Islam Indonesia dalam berbagai peristiwa yang terjadi—baik di dalam dan luar negeri— adalah seruan yang salah kaprah. Mereka tidak memahami bagaimana konteks peristiwa itu terjadi.

146

Pada kasus kerusuhan Maluku dan Poso misalnya, PBNU justru melarang umat Islam untuk datang ke sana. Ini bukan berarti PBNU tidak mau berjihad dan melindungi umat Islam di sana, melainkan yang dilakukan NU adalah jihad kebangsaan, yaitu mengupayakan perdamaian saat konflik terjadi dan membangun rekonsiliasi bersama pasca konflik. Jadi jihad di sini dimaknai dalam bingkai visi Islam itu sendiri sebagai agama kedamaian. Lagi pula, konflik tersebut oleh NU dianggap tidak semata-mata berakar dari konflik agama, tetapi lebih karena akibat pertarungan elit politik dan kepentingan kelompok kepentingan tertentu yang tidak menghendaki situasi di Maluku dan Poso aman.

Kalangan NU tidak mengingkari adanya jihad secara fisik. Tetapi NU melihat bahwa jihad seperti itu harus dilakukan dengan cara dan pada konteks yang tepat. Secara historis, pada saat imperialisme bercokol di bumi Indonesia, NU adalah organisasi yang secara keras melawan dan berkali-kali mengeluarkan resolusi jihad untuk melawan penjajah. Jihad di sini benar-benar dimaknai secara konfrontatif dalam bentuk pertumpahan darah. Karena itu NU membentuk brigade perang semacam Barisan Hizbullah dan Laskar Mujahidin. Brigade-brigade tersebut dipersiapkan untuk berjihad melawan penjajah agar keluar dari tanah Indonesia. Konteks jihad yang demikian tentu dibenarkan oleh ajaran agama karena alasannya sangat jelas (justifiable).

Ketika sebagian umat Islam menyerukan jihad untuk membantu Afghanistan melawan Amerika pasca peristiwa 11 September, PBNU melarang warganya untuk ikut-ikutan dan menghimbau kepada umat Islam untuk tidak melakukan hal itu. PBNU mewacanakan bahwa jihad bisa dilakukan dengan berdoa dan mengirimkan bantuan berupa medis. Sebenarnya PBNU memiliki alasan lain mengapa NU tidak mendukung seruan tersebut. Yaitu bahwa PBNU tidak melihat persoalan utama perang di Afghanistan adalah persoalan agama. Perang yang terjadi justru lebih karena persoalan politik dan ekonomi dunia di mana penguasa

Taliban—yang pada masa sebelumnya menjadi binaan AS—tidak patuh lagi kepada AS.

Jadi, dalam konteks keindonesiaan, jihad yang dilakukan oleh NU sebenarnya diarahkan kepada jihad kebangsaan, yaitu bagaimana mewujudkan tatanan hidup damai bagi seluruh rakyat Indonesia yang memiliki banyak ragam agama dan keyakinan. Perjuangan mengusir penjajah yang amat berat di masa lalu, yang dilakukan oleh semua pihak dari berbagai agama, suku, dan ras harus dihargai. Karena itu setiap ada upaya yang memecah belah dan berpotensi menghancurkan bangsa Indonesia, baik dari dalam negeri maupun asing, maka NU akan melawan. Karena itu, berbagai aksi terorisme yang mengatasnamakan jihad yang terjadi beberapa tahun terakhir dianggap oleh NU sebagai ancaman nyata bagi bangsa ini. Tema jihad bisa menjadi pemicu bagi munculnya konflik agama secara horizontal sehingga akan memecah belah bangsa.

Hasil Munas Alim Ulama NU tahun 2002 menyepakati bahwa jihad tidak dapat dijadikan legitimasi perjuangan agama dalam bentuk aksi-aksi kekerasan yang menimbulkan banyak korban tidak bersalah, sebagaimana yang terjadi di Indonesia .147

Berangkat dari pandangan yang demikian, PBNU memiliki cara pandang tersendiri menyikapi munculnya aksi terorisme dengan mengatasnamakan jihad tersebut. Visi jihad NU adalah jihad kebangsaan. NU tidak ingin terjebak dalam paradigma Islam keras. Apalagi Aksi jihad tersebut oleh NU diyakini bukan semata-mata ketulusan keyakinan, melainkan bagian dari sebuah skenario global yang ingin menguasai Indonesia dan melemahkan kekuatan bangsa.

Lantas benarkah pelaku aksi terorisme tersebut adalah umat Islam? Benarkan aksi tersebut semata-mata sebuah upaya jihad melawan hegemoni Barat? Adakah kemungkinan lain berupa misalnya adanya dalang yang membuat skenario

147

Lihat: Hasil-hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama & Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, 25-28 Juli 2002 di Jakarta.

munculnya aksi terorisme? Inilah yang akan penulis jelaskan berkaitan dengan cara pandang NU terhadap masalah ini.

Dokumen terkait