• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan

Dalam dokumen Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam P (Halaman 36-43)

BAB II LANDASAN TEORI LANDASAN TEORI

2.3.6 Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan

Pada dasarnya bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dapat beraneka ragam, dari yang bersifat charity sampai pada kegiatan yang bersifat

yang konkrit. Akan tetapi, keseluruhan kegiatan perusahaan tersebut, pada dasarnya sering kali tidaklah terkait atau berhubungan dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan itu sendiri.

Rudito (2007:210-212) membagi kegiatan program yang dilaksanakan oleh perusahaan dalam konteks tanggung jawab sosialnya ke dalam tiga bentuk, yaitu:

1) Public relation

Bentuk ini lebih menekankan pada penanaman persepsi tentang perusahaan kepada komunitas, dengan cara perusahaan membuat suatu kegiatan sosial tertentu dan khusus. Sehingga tertanam di dalam image

komunitas, bahwa perusahaan yang bersangkutan telah menyisihkan sebagian dari keuntungannya untuk kegiatan sosial. Pada dasarnya kegiatan atau usaha ini lebih mengarah pada menjalin hubungan baik antara perusahaan dengan komunitas, khususnya menanamkan sebuah persepsi yang baik mengenai perusahaan terhadap komunitas.

2) Strategi defensif

Bentuk ini biasanya dijalankan oleh perusahaan guna menangkis anggapan negatif komunitas luas yang sudah tertanam terhadap kegiatan perusahaan, terhadap karyawannya, dan biasanya untuk melawan serangan negatif dari anggapan komunitas atau komunitas yang sudah terlanjur berkembang. Strategi ini biasanya berkaitan dengan usaha untuk membersihkan nama baik perusahaan, yang telah beredar secara meluas di dalam kehidupan komunitas.

3) Keinginan tulus untuk melakukan kegiatan yang baik, yang benar-benar berasal dari visi perusahaan itu

Bentuk ini merupakan bentuk keinginan tulus dari suatu perusahaan dalam kegiatan tanggung jawab sosialnya, yang di dorong dan berkaitan erat dengan kebudayaan perusahaan yang berlaku (corporate culture).

Sehingga, secara otomatis dalam kegiatan tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan sudah tersirat etika yang ada pada diri perusahaan tersebut.

Berkaitan dengan keberadaan perusahaan di dalam suatu komunitas, dan untuk menciptakan kemandirian komunitas lokal dalam menata sosial ekonomi mereka sendiri, maka perusahaan menciptakan suatu wadah yang berbasis pada komunitas, atau lebih sering disebut sebagai community development.

Budimanta dalam Rudito (2007: 234) mendefinisikan Community development

sebagai kegiatan pembangunan komunitas yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunitas guna mencapai kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas kehidupan yang lebih baik, apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya. Rudito (2007: 234) menambahkan bahwa secara hakekat, community development merupakan

suatu proses adaptasi sosial budaya yang dilakukan oleh industri, pemerintah pusat, dan daerah terhadap kehidupan komunitas lokal.

Program pemberdayaan masyarakat (community development) ini

bertujuan untuk pemberdayaan komunitas (empowerment), yaitu bagaimana

anggota komunitas dapat mengaktualisasikan diri mereka dalam pengelolaan lingkungan yang ada di sekitarnya, dan memenuhi kebutuhan secara mandiri tanpa ketergantungan dengan pihak lain. Dengan demikian, pranata sosial yang

sudah ada di komunitas sebelumnya dapat berjalan tanpa adanya ketergantungan dari pihak perusahaan, dan perusahaan sekaligus dapat menjadi bagian dari komunitas yang bersangkutan dimana perusahaan tersebut berada (Rudito, 2007: 236).

Rudito (2007: 236-237) membagi program-program community

development berdasarkan ruang lingkupnya ke dalam tiga (3) bentuk, yaitu: 1) Community relation; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut

pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Kegiatan ini biasanya menyangkut hubungan sosial antara perusahaan dengan komunitas lokal yang harus pertama kali dilakukan sebelum masuk pada tahap mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang ada pada komunitas lokal, sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya.

2) Community service; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi

kepentingan komunitas ataupun kepentingan umum. Intinya adalah memberikan kebutuhan yang ada di komunitas, dengan pemecahan masalah yang ada di komunitas diselesaikan atau dilakukan oleh komunitas sendiri, sedangkan keberadaan perusahaan hanyalah sebagai fasilitator dari pemecahan masalah yang ada di dalam komunitas.

3) Community empowering; adalah program-program yang berkaitan

dengan memberikan akses yang lebih luas kepada komunitas untuk menunjang kemandiriannya, seperti pembentukan koperasi, usaha industri kecil lainnya, yang secara natural anggota komunitas sudah mempunyai pranata pendukungnya dan perusahaan hanya memberikan akses kepada pranata sosial yang telah ada tersebut agar dapat

berlanjut. Kateori ini pada dasarnya melalui tahapan-tahapan kategori lainnya, seperti melakukan Community relation pada awalnya, yang kemudian berkembang pada Community service dengan segala

metodologi penggalian data dan kemudian diperdalam melalui ketersediaan pranata sosial yang sudah lahir dan muncul di komunitas melalui Community empowering.

Untuk menjaga agar program dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah dijalankan dan sesuai dengan kondisi komunitas yang merupakan sasaran program, maka diperlukan adanya suatu pemeriksaan yang bersifat sosial dan juga suatu audit sosial. Hal ini perlu dilakukan karena program ini, berkaitan dengan tujuan dari pembangunan komunitas yang mengarah pada partisipasi dari berbagai komunitas yang ada, sebagai anggota komunitas yang lebih luas. Partisipasi yang dimaksud di sini bukanlah partisipasi dari satu pihak saja, tetapi juga partisipasi dari seluruh komunitas, khususnya komunitas korporasi terhadap komunitas lokal dan juga terhadap komunitas lainnya sebagai stakeholders.

Karena sistem ini mengisyaratkan adanya hubungan yang fungsional antara berbagai segmen yang hidup di dalamnya (Rudito, 2007: 237-238).

Rudito (2007: 241) menyatakan bahwa indikator keberhasilan suatu program pembangunan komunitas dapat dilihat dari bentuk-bentuk kebersamaan yang di jalin antara pihak-pihak pemerintah, perusahaan dan komunitas lokal yang tergambar dalam partisipasi dan keberlanjutan (sustainability). Karena

secara mendasar partisipasi bukanlah milik dari komunitas lokal, dalam artian bahwa yang diminta untuk berpartisipasi bukan hanya komunitas lokal ataupun rakyat, akan tetapi semua pihak harus berpartisipasi.

Sebagai poin akhir dari pengembangan masyarakat (community

development) ini adalah adanya keberlanjutan (sustainability) dari kemandirian komunitas yang telah di capai. Keberlanjutan (sustainability) ini adalah strategi

program yang dipakai untuk menunjang kemandirian komunitas agar dapat dinikmati juga oleh generasi-generasi selanjutnya, yang dapat dilihat dari sisi manusia (human), sosial (social), lingkungan (environment), dan ekonomi (economic).

Selain dari yang telah dinyatakan oleh di atas, ada beberapa pilihan program yang dapat dilakuakn oleh perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Kotler dan Lee (2005) dalam Hidayati (2006:33) mengidentifikasi adanya enam pilihan program bagi perusahaan untuk melakukan inisiatif dan aktivitas yang berkaitan dengan berbagai masalah sosial, sekaligus sebagai wujud komitmen dari tanggung jawab sosial perusahaan. Keenam inisiatif sosial yang dapat dilaksanakan oleh perusahaan adalah:

1. Cause promotions, aktivitas ini dilakukan dalam bentuk memberikan

kontribusi dana atau penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran akan masalah-masalah sosial tertentu seperti, misalnya, bahaya narkotika.

2. Cause-related marketing, yaitu bentuk kontribusi perusahaan dengan

menyisihkan sepersekian persen dari pendapatan sebagai donasi bagi masalah sosial tertentu, untuk periode waktu tertentu atau produk tertentu.

3. Corporate social marketing, di dalam aktivitas ini perusahaan membantu

pengembangan maupun implementasi dari kampanye dengan fokus untuk merubah perilaku tertentu yang mempunyai pengaruh negatif,

seperti misalnya, mengkampanyekan kebiasaan berlalu lintas yang beradab.

4. Corporate philantrophy, ini adalah inisiatif perusahaan dengan

memberikan kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, program ini lebih sering diadakan dalam bentuk donasi ataupun sumbangan tunai. 5. Community volunteering, dalam aktivitas ini perusahaan memberikan

bantuan, dan mendorong karyawan, serta mitra bisnisnya untuk secara sukarela terlibat dan membantu masyarakat setempat.

6. Socially responsible business practices, ini adalah sebuah inisiatif yang

dilakukan oleh perusahaan untuk mengadopsi dan melakukan praktik bisnis serta investasi tertentu yang ditujukan untuk dapat meningkatkan kualitas komunitas dan melindungi lingkungan.

Selain itu, juga ada beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian bagi perusahaan ketika berupaya untuk melakukan tanggung jawab sosialnya. Setiyadi (2004) dalam http://www.maswig.blogspot.com (2004), menyatakan bahwa setidaknya ada lima aspek yang perlu menjadi perhatian bagi perusahaan ketika berupaya melakukan kewajiban tanggung jawab sosialnya, yaitu:

1. Melakukan bisnis dengan memperhatikan tanggung jawab sosial dan etika;

2. Melindungi lingkungan lokasi bisnisnya dan keselamatan semua orang yang berkaitan dengan kegiatan bisnisnya;

3. Memberikan manfaat ekonomi dan lainnya kepada masyarakat di mana saja perusahaan beroperasi;

4. Mendukung dan memberikan kontribusi terhadap upaya penegakan hak azasi manusia; dan

5. Menerapkan berbagai kebijakan, program dan praktik untuk mengelola perusahaan dengan menaati azas good corporate governance, memastikan berlakunya perlakuan adil (fair) kepada semua stakeholder,

serta memberikan informasi publik secara lengkap dan transparan. 2.4 Etika Kristen

Dalam dokumen Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam P (Halaman 36-43)