• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam P"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

DALAM PERSPEKTIF ETIKA BISNIS KRISTEN

Disusun oleh :

BERMAN NOEL CHRISTIAN SILALAHI NIM: 0210230017

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS BRAWIJAYA

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul:

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DALAM PERPEKTIF ETIKA BISNIS KRISTEN

Yang disusun oleh:

Nama : Berman Noel Christian Silalahi

NIM : 0210230017

Fakultas : Ekonomi

Jurusan : Akuntansi S-1

Bidang Kajian : Etika Bisnis

Disetujui untuk diajukan dalam ujian komprehensif.

Malang, 27 Juli 2007

Dosen Pembimbing

Grace widijoko, SE. MSA., Ak. NIP. 131 276 246

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi dengan judul:

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DALAM PERSPEKTIF ETIKA BISNIS KRISTEN

Yang disusun oleh:

Nama : Berman Noel Christian Silalahi

NIM : 0210230017

Fakultas : Ekonomi

Jurusan : Akuntansi S-1

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 7 Agustus 2007 dan

telah dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

1. Drs. Grace widijoko, SE., MSA., Ak. NIP. 131 276 246

(Dosen Pembimbing).

2. Lilik Purwanti,SE., MSi., Ak. NIP. 131 943 893

(Dosen Penguji I)

3. Prof. Dr. Sutrisno T., SE., MSi, Ak. NIP. 131 470 474

(Dosen Penguji II)

...

...

...

Malang, 9 Agustus 2007 Ketua Jurusan Akuntansi

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Tritunggal, yaitu

Allah Bapa, pencipta langit dan bumi serta segala isinya, dan yang berdaulat

atasnya; Allah Anak, yaitu Yesus Kristus, yang telah mati menebus dosa

manusia, dibangkitkan dan menjadi Juruselamat atas seluruh umat manusia; dan

Allah Roh Kudus, yang membimbing dan menyertai seluruh perjalanan

kehidupan orang-orang percaya, atas anugerah keselamatan serta segala berkat

dan pimpinan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini

dengan baik. Karena tanpa Dia, seluruh skripsi ini tidak dapat diselesaikan

dengan baik dan tepat pada waktu-Nya.

Skripai ini bukanlah suatu karya yang mutlak sempurna. Karena penulis

sangat menyadari bahwa di dalam setiap hal yang dilakukan oleh manusia tidak

ada yang sempurna, termasuk juga di dalam pengerjaan skripsi ini. Oleh karena

itu, penulis mohon maaf atas segala kekeliruan yang mungkin ada di dalam

proses penulisan skripsi ini, dan tidak lupa juga memohon saran dan petunjuk

agar dapat dijadikan suatu masukan di masa yang akan datang.

Penulis juga menyadari bahwa ada banyak pihak yang telah turut

membantu dan mendukung dalam mempersiapkan dan menyelesaikan skripsi

ini. Untuk itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Keluarga yang telah Tuhan berikan kepadaku, yaitu: Papa, Mama, dan

adik-adik tersayang, Mario, Ifan, dan Chika, atas semua doa, dukungan,

(5)

2. Bapak Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., MM., Ak., selaku Dekan Fakultas

Ekonomi Universitas Brawijaya.

3. Bapak Dr. Unti Ludigdo SE., M.Si., Ak., selaku Ketua Jurusan Akuntansi

Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

4. Ibu Drs. Grace widijoko, SE., MSA., Ak. selaku Dosen Pembimbing, atas

bimbingan, saran dan waktu yang telah diberikan selama penyusunan

Skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Sutrisno T., SE., MSi, Ak., dan ibu Lilik Purwanti,SE.,

MSi., Ak., selaku Dosen Penguji.

6. Segenap Dosen dan Staff Jurusan Akuntansi FE-UB yang telah banyak

membantu selama kuliah.

7. Dan yang terakhir, kepada seluruh teman-teman, sahabat, dan

pihak-pihak yang tidak sempat disebutkan satu-persatu, terima kasih untuk

semuanya.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

dan bagi semua pihak yang membaca skripsi ini. Soli Deo Gloria. Segala

kemuliaan hanya bagi Allah.

Malang, Agustus 2007

(6)

DAFTAR ISI 2.1 Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social

responsibility)... 2.1.1 Latar belakang adanya tanggung jawab sosial

perusahaan... 2.1.2 Definisi tanggung jawab sosial

perusahaan... 2.1.3 Manfaat tanggung jawab sosial perusahaan... 2.1.4 Pro-kontra mengenai tanggung jawab sosial perusahaan... 2.1.5 Perkembangan model tanggung jawab sosial

perusahaan... 2.1.6 Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan... 2.2 Etika kristen... 2.2.3.4 Dasar pengambilan keputusan etika bisnis... 2.2.4 Etika bisnis Kristen... 2.2.4.1 Keberatan-keberatan terhadap penggunaan Alkitab... 2.2.4.2 Pandangan etika Kristen mengenai ekonomi………...… 2.2.4.2.1 Relasi antara Allah-manusia-bumi….……... 2.2.4.2.2 Prinsip dasar Alkitab mengenai ekonomi…... 2.2.4.3 Pandangan etika Kristen mengenai pekerjaan….………

2.2.4.3.1 Motivasi kerja……….………... 2.2.4.3.2 Tujuan kerja……….………. 2.2.4.4 Dasar pengambilan keputusan etika bisnis

(7)

3.4. Metode Analisis Data... BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 4.1. Motivasi tanggung jawab sosial perusahaan dalam perspektif etika

Kristen……….……… 4.2. Tujuan tanggung jawab sosial perusahaan dalam perspektif etika

Kristen……….……… 4.3. Cara atau standard dalam melaksanakan tanggung jawab sosial

perusahaan dalam perspektif etika Kristen……….……….. 4.4. Tanggung jawab sosial perusahaan menurut etika bisnis Kristen…….… BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… 5.1. Kesimpulan………. 5.2. Saran………... DAFTAR PUSTAKA ...

92 94

94

110

(8)

DAFTAR GAMBAR

(9)

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DALAM PERSPEKTIF ETIKA

Keberadaan tanggung jawab sosial perusahaan di tengah masyarakat dapat mencegah dampak sosial lebih buruk, baik langsung atau tidak langsung, terhadap kelangsungan usaha. Dan bila tanggung jawab sosial perusahaan ini dilaksanakan dengan baik, maka akan berdampak positif terhadap keberlangsungan usaha perusahaan. Keberadaan perusahaan, yang didirikan, diisi dan digerakan oleh berbagai macam manusia ini, mengakibatkan perusahaan tidak hanya berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan semata, melainkan juga dengan Allah, sebagai pencipta dunia ini. Karena Allah mempunyai maksud dan tujuan terhadap manusia ciptaan-Nya, maka keberadaan perusahaan tentulah juga berkaitan dengan Allah. Karena tujuan keberadaan perusahaan dan apa yang harus perusahaan lakukan, tentulah berkaitan dengan maksud dan tujuan Allah terhadap manusia.

Penelitian ini mencoba untuk melihat atau menafsirkan apakah konsep tanggung jawab sosial perusahaan yang sudah ada, telah sesuai dengan perspektif etika bisnis Kristen. Atau dengan kata lain peneliti mencoba untuk meneliti apakah konsep tanggung jawab sosial perusahaan dapat dikatakan sudah dilakukan sesuai dengan etika Kristen yang benar. Di dalam proses ini, peneliti akan menggunakan tiga (3) kriteria yang harus menjadi pertimbangan di dalam diri setiap orang Kristen jika ingin melakukan etika bisnis Kristen yang benar. Yaitu bahwa perbuatan tersebut dapat dikatakan baik jika: motifnya baik, tujuannya baik. dan cara atau standarnya baik. Sedangkan sumber data utama diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan.

Hasil dari penelitian yang dilakukan di dapati bahwa konsep tanggung jawab sosial yang ada saat ini tidaklah sesuai dengan kriteria yang digunakan. Ini terjadi karena motif, tujuan dan standard/cara yang berada di balik tanggung jawab sosial perusahaan tidak memenuhi criteria baik dari etika Kristen. Karena tidak timbul dari iman kepada Yesus Kristus, tidak dilakukan sesuai dengan hukum Taurat yang telah Allah berikan, tidak dilakukan hanya demi atau untuk kemuliaan Allah, dan dilakukan dengan berdasarkan atas aturan manusia atau kemauan kita sendiri. Keadaan ini merupakan akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa, sehingga tidak satupun manusia yang hidup mencari Allah, dan memuliakan Allah di dalam setiap aktivitas hidupnya.

Tanggung jawab sosial perusahaan hanya dapat dijalankan sesuai dengan etika bisnis Kristen dengan mengerjakannya di dalam kerangka penebusan dan pendamaian yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus di dunia dan janji Allah yang akan menyempurnakan setiap pekerjaan yang kita buat, dan janji akan adanya langit dan bumi yang baru.

(10)

CORPORATE SOSIAL RESPONSIBILITY IN THE PERSPECTIVE OF

The existence of corporate social responsibility in the midst of public can prevent worse social impact, either direct or indirect, to the continuity of business. And if this corporate social responsibility is executed carefully, hence will give positive impact to run the company. The exixtence of company, build, filled, and moved by numerous of people man. causes the company does not only relates to merely public and environmental aspect, but also with God as the creator of this world. Since God has purpose and objective to man as His creation, the existence of company also related to God. Thus it is connected to God’s purpose and objective to man.

This research tries to see or interpret whether the current concept of corporate social responsibility has been in accordance with the perspective of Christian business ethics. In other words, the researcher tries to examine whether the concept of corporate social responsibility has been fitted to Christian ethics. In processing this, the researcher will apply three (3) criteria which must be considered by every Christian in doing correct Christian business ethics; that the deed can be judge good if its motif is good, so is its purpose and standard. How ever, the main data source is obtained by library research.

The result of this research discovers that the existing concept of corporate social responsibility is not appropriate with the criteria applied. It happens because the motif, peupose, and standar/the way which is residing in corporate social responsibility does not meet the criteria either from Christian ethics. As the result of being not arise from the faith of Jesus Christ, not being done in accordance with the Law of Moses which God has given, not being done only for the sake of the glory of God, and done with the virtue of man’s order or their own willingness. This situation is the result of the fall of man into sin, so no man is alive to look for God and glorify God in every activity in their life.

Corporate social responsibility can only be implemented as according to Christian business ethics by doing it ini the framework or redemption and reconciliation done by Jesus Christ in this world and God’s promise that will consummate every work which we do and the promise of new heaven and earth.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis apapun dan

dimanapun, di dunia ini, tentulah untuk mendapatkan dan meningkatkan

keuntungan. Logika ekonomi neoklasik yang digunakan adalah, dengan

meningkatkan keuntungan dan kemakmuran sebuah perusahaan sudah pasti

akan meningkatkan kemakmuran rakyat. Hal ini dapat terjadi dengan anggapan

bahwa produk yang dihasilkan akan menjadi lebih efisien dan lebih murah bagi

masyarakat. Tujuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan, yang dikaitkan

dengan kemakmuran masyarakat bukanlah sesuatu yang mengherankan, karena

perusahaan merupakan bagian dari sistem ekonomi yang ada di dalam

masyarakat. Karena itu, keberadaan perusahaan pun tidak akan dapat lepas dari

usaha untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.

Akan tetapi, para pelaku usaha (perusahaan) di Indonesia, dalam

menjalankan aktivitasnya, hingga saat ini masih memfokuskan diri terhadap

faktor ekonomi dan legal saja, terutama yang berhubungan dengan tingkat

keuntungan marginal, perkembangan pasar, pangsa pasar, maupun arah

kebijakan strategis yang akan dihasilkan (Sa’id, 2003). Ditambah lagi dengan

kurangnya perhatian dan tanggung jawab manajemen serta pemilik perusahaan

terhadap masyarakat maupun lingkungan di sekitar lokasi perusahaan. Bahkan,

perusahaan pun tidak segan untuk melakukan perusakan lingkungan alam,

dengan melakukan eksploitasi besar-besaran, tanpa memperhatikan faktor

(12)

telah menimbulkan banyak ekses negatif bagi masyarakat sekitar, seperti

bencana alam, lingkungan yang tidak sehat, dan lain-lain. Selain itu, nyaris

sangat sedikit atau bahkan hampir tidak ada keuntungan perusahaan yang

dikembalikan kepada masyarakat, bahkan masyarakat justru malah dipinggirkan

(http://www.republika.co.id, 2005). Tentulah hal ini tidak lagi sesuai dengan logika

neoklasik yang menjadi tujuan awal dari keuntungan perusahaan, yaitu untuk

memakmurkan rakyat.

Kenyataan bahwa banyak perusahaan bukan hanya semakin kaya, tetapi

juga semakin berkuasa, sementara semakin banyak pula penduduk yang miskin

dan lemah serta rentan secara sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan

lingkungan, tidaklah dapat dipungkiri. Bahkan kemajuan perusahan pun turut

menyumbang terhadap ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang terjadi di

masyarakat. Sehingga yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi tidak selalu

sejalan dengan pemerataan atau distribusi kesejahteraan (Djogo, 2005).

Kesenjangan yang semakin besar antara perusahaan dan masyarakat ini

memunculkan berbagai reaksi masyarakat, yang menuntut kepedulian dari

perusahaan untuk memperbaiki persoalan kesenjangan ini. Dalam menanggapi

reaksi mayarakat ini banyak perusahaan yang telah melaksanakan komitmen

sosialnya terhadap masyarakat. Akan tetapi, bantuan atau komitmen yang

diberikan masih tidak sampai kepada akar dari masalah yang sedang dihadapi

oleh masyarakat saat ini. Karena bantuan yang diberikan, seringkali hanya

berguna dalam jangka waktu yang sangat pendek, dimana setelah itu

masyarakat akan kembali pada kehidupannya semula. Kenyataan yang ada

dalam masyarakat menunjukkan bahwa upaya-upaya ini sering tidak membawa

(13)

Sangatlah disayangkan, jika perusahaan yang merupakan bagian dari

masyarakat tidak dapat memberikan kontribusi yang baik. Bukankah dalam

menjalankan usahanya, perusahaan juga perlu untuk memperhatikan berbagai

faktor lain selain keuntungan dalam lingkungan bisnisnya, seperti etika,

masyarakat, dan ekologi. Dan bukankah sudah seharusnya, jika perusahaan

menyatakan komitmennya kepada masyarakat, yang sudah tentu akan

memberikan efek jangka panjang bagi keberadaan perusahaan itu sendiri di

masa yang akan datang. Karena, di dalam prinsip kelangsungan usaha,

perusahaan harus berorientasi untuk terus berlangsung, dan bukan ada hanya

untuk sementara. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi perusahaan untuk

menciptakan dan menjaga agar lingkungan tempat dia berdiri, dapat tetap

kondusif untuk keberlangsungan usahanya tersebut.

Dalam pelaksanaan komitmennya kepada masyarakat, perusahaan juga

dituntut untuk memiliki multikomitmen, antara lain komitmen finansial dan

komitmen sosial. Komitmen finansial merupakan tuntutan dari para pemegang

saham ataupun investor, sedangkan komitmen sosial merupakan tuntutan dari

masyarakat yang menjadi konsumen, keluarga konsumen, calon konsumen,

supplier, calon supplier, investor dan calon investor mereka. Berbagai organisasi

kemasyarakatan juga telah muncul untuk menyuarakan tuntutan mereka pada

para pelaku bisnis, agar mereka memiliki komitmen sosial terhadap berbagai

masalah yang ada di masyarakat, seperti kesehatan, lingkungan, kesejahteraan

konsumen, dan kode etik dalam berbisnis di tengah masyarakat, atau lebih

sering di sebut juga dengan Good Corporate Governance. Ketidakpedulian

(14)

sanksi pemboikotan terhadap produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan

(http://www.sinarharapan.co.id, 2003).

Selain itu, masyarakat bisnis juga telah menuntut perusahaan untuk

menunjukkan komitmen sosial yang tinggi. Seperti kewajiban untuk memenuhi

standar kualitas internasional, dimana perusahaan yang ingin memasuki pasar

internasional dituntut untuk memiliki tingkat komitmen sosial yang tinggi. Bahkan

beberapa perusahaan internasional terkemuka yang tercatat dalam bursa saham

internasional umumnya memiliki tingkat komitmen sosial yang tinggi. Tingkat

komitmen sosial ini, dapat merefleksikan tingkat kepercayaan masyarakat

terhadap perusahaan yang bersangkutan. Dimana semakin tinggi komitmen

sosial perusahaan, maka semakin credible perusahaan tersebut di mata

masyarakat umum dan masyarakat bisnis. Dan kredibilitas perusahaan yang

tinggi akan turut mendongkrak harga saham perusahaan di dalam pasar modal

(http://www.sinarharapan.co.id, 2003).

Djogo (2005) menyatakan bahwa ”Banyak perusahaan swasta kini

mengembangkan apa yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR), dan

Corporate Citizenship (CC).” Corporate Social Responsibility (CSR) adalah

pengambilan keputusan, yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, memenuhi

kaidah-kaidah dan keputusan hukum dan menghargai manusia, masyarakat dan

lingkungan. Sedangkan Corporate Citizenship (CC) adalah cara perusahaan

bersikap atau memperlihatkan perilaku ketika berhadapan dengan para pihak

lain sebagai salah satu cara untuk memperbaiki reputasi dan meningkatkan

keunggulan kompetitif.

Berkaitan dengan komitmen sosial perusahaan, maka corporate social

(15)

Karena dalam pelaksanaannya, perusahaan bukan hanya akan berurusan

dengan masyarakat sekitar saja, tetapi juga akan berurusan dengan alam serta

lingkungan sekitar.

Pemikiran yang mendasari keberadaan corporate social responsibility,

yang sering dianggap sebagai inti dari ‘etika bisnis’ adalah, bahwa perusahaan

tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan legal saja (artinya

kewajiban kepada pemegang saham atau shareholder saja), tapi juga

kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) dengan

perusahaan, yang memiliki jangkauan melebihi kewajiban-kewajiban di atas

(Hasibuan & Sedyono, 2002). Beberapa hal yang termasuk dalam tanggung

jawab sosial perusahaan ini antara lain adalah, tata laksana perusahaan

(corporate governance) yang saat ini sedang marak di Indonesia. Tata laksana

perusahaan (corporate governance) ini, meliputi kesadaran perusahaan akan

lingkungan, kondisi tempat kerja dan standar bagi karyawan, hubungan

perusahan-masyarakat, serta investasi sosial perusahaan (corporate

philantrophy).

Thendri Supriatno, Ketua Corporate Forum for Community Development

(CFCD), menyatakan bahwa ''Komitmen perusahaan terhadap masyarakat yang

diimplementasikan dalam bentuk program CSR dapat mencegah munculnya

gesekan sosial yang dapat merugikan perusahaan maupun masyarakat.'' Beliau

juga menyatakan bahwa corporate social responsibility dapat mencegah dampak

sosial lebih buruk, baik langsung atau tidak langsung, atas kelangsungan usaha,

karena gesekan yang mungkin terjadi dengan komunitas sekitar. Dan bila CSR

dilaksanakan dengan baik, maka akan berdampak positif terhadap

(16)

menambahkan bahwa corporate social responsibility merupakan bagian dari

pembagunan citra perusahaan atau Corporate Image Building

(http://www.republika.co.id, 2006). Karena itu, sangatlah disayangkan jika

perusahaan tidak lagi memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaannya

dengan seksama.

Keberadaan perusahaan, yang didirikan, diisi dan digerakan oleh

berbagai macam manusia yang ada di dalamnya, mengakibatkan aktivitas

perusahaan tidak hanya berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan semata.

Karena manusia merupakan makhluk ciptaan Allah, dan Allah mempunyai

maksud dan tujuan khusus terhadap manusia ciptaan-Nya, maka keberadaan

perusahaan tentulah juga berkaitan dengan Allah. Bahkan ebih jauh lagi, tujuan

keberadaan perusahaan dan apa yang harus perusahaan lakukan, tentulah

berkaitan dengan maksud dan tujuan Allah terhadap manusia dan dunia

ciptaan-Nya.

Dalam pertanyaan pertama Katekismus Singkat Westminster I

(Williamsons, 2006: 1), yaitu: ”Apa tujuan utama dan tertinggi manusia?.”

Dijelaskan bahwa tujuan utama dan tertinggi manusia ialah memuliakan Allah

dan bersukacita sepenuhnya di dalam Dia untuk selama-lamanya. Jawaban ini

didukung oleh ayat-ayat yang terdapat dalam kitab Roma 11:36; 1Korintus 10:31;

Mazmur 73:24-28; dan Yohanes 17:21-23 (Alkitab,1999).

Jadi, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia adalah semata-mata

untuk memuliakan Allah, dan bukan untuk kemuliaan diri. Kitab Roma 11:36,

yang berbunyi “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada

Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Alkitab,1999), telah

(17)

memuliakan Dia. Dan di dalam maksud dan tujuan Allah inilah manusia

melakukan segala aktivitas dan relasinya terhadap sesama dan alam semesta.

Berkaitan dengan maksud dan tujuan ini maka Allah memberikan dua

mandat kepada manusia untuk dilakukan selama hidupnya di dunia ini (Sutandi,

2007 dalam http://www.mail-archive.com), yakni: yaitu mandat budaya, dan

mandat Injil. Kedua mandat tersebut haruslah dijalankan secara seimbang,

artinya orang Kristen tidak boleh hanya sibuk menggarap penginjilan dan

melupakan mandat budaya, ataupun sebaliknya. Oleh karena itu, kita perlu

mengerti apakah mandat budaya dan mandat injil itu secara utuh.

1. Mandat Injil. Mandat Injil adalah mandat yang Allah berikan kepada setiap

orang percaya (yaitu orang yang sudah bertobat dan mengaku Yesus

sebagai Tuhan dan Juruselamat), untuk memberitakan kabar

keselamatan, yaitu Injil, kepada seluruh bangsa di dunia.

2. Mandat Budaya. Mandat budaya adalah mandat yang Allah berikan

kepada manusia, untuk menyatakan kebenaran Firman Tuhan kepada

seluruh ciptaan-Nya, dalam kedudukannya sebagai penguasa bumi ini.

Mandat ini juga meliputi suatu upaya untuk mengusahakan agar segala

yang baik tetap baik dan segala yang rusak dibuat menjadi baik, dan

memelihara agar bumi ini tetap berada dalam kondisi yang baik. Hal ini

juga berarti bahwa orang-orang Kristen berfungsi sebagai raja, imam dan

nabi yang harus mengintegrasikan iman Kristen dalam setiap aspek

kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, dan

lainnya sebagai reaksi untuk memuliakan Allah.

Kedua mandat ini sangatlah berhubungan dengan seluruh realita hidup

(18)

mandat budaya adalah mandat yang bersentuhan langsung dengan hal ini.

Karena mandat budaya berkaitan langsung dengan kedudukan dan peran

manusia di dalam alam ini.

Dalam kitab Kejadian 1:28 dikatakan, “Allah memberkati mereka, lalu

Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak;

penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan

burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”

(Alkitab,1999). Berdasarkan pada ayat ini, dapat kita ketahui bahwa Allah

menempatkan manusia untuk menjadi penguasa atas seluruh isi bumi ini, dalam

konteks inilah Allah memberikan mandat budaya kepada manusia. Akan tetapi,

dalam melaksanakan mandat budaya ini Allah juga menyertakan suatu perintah

kepada manusia, yang tertulis di dalam kitab Kejadian 2:15 yang berbunyi

“TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden

untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Alkitab,1999). Perintah ini

berisi tentang bagaimana manusia harus menguasai seluruh alam ini, yaitu

dengan cara mengusahakan dan memelihara alam ini.

Kata “mengusahakan” dalam ayat ini, berdasarkan akar katanya di dalam

bahasa Ibrani yaitu ‘abad’, dapat memiliki arti ‘bekerja’ dan ’melayani’. Bekerja

dalam kata ini bukan hanya sekedar bekerja, tetapi ada unsur penyembahan

kepada Allah di dalamnya. Dalam hal ini manusia bebas untuk menggunakan

seluruh kreatifitasnya untuk bekerja dan diberi kebebasan untuk mengeksplorasi

atau menggunakan alam ini, dan semuanya itu haruslah dilakukan dalam suatu

penyembahan kepada Allah (Sutandi, 2007 dalam http://www.mail-archive.com).

Sedangkan kata “memelihara” dalam ayat ini, akar katanya di dalam

(19)

menjaga dengan teliti seluruh alam ini, agar segala yang baik tetap dalam

keadaan baik. Kata ini juga berarti menghindarkan dari kerusakan, dan bahkan

memperbaiki kerusakan yang ada sehingga menjadi baik kembali. Berdasarkan

arti katanya, maka dalam “memelihara” manusia harus menjaga agar setiap

kondisi atau keadaan yang sudah baik adanya tetap dalam kondisi baik, dan

memperbaiki setiap kondisi atau keadaan yang rusak agar kembali menjadi baik

adanya (Sutandi, 2007 dalam http://www.mail-archive.com).

Berdasarkan Firman Tuhan ini dapat dikatakan bahwa tanggung jawab

sosial perusahaan (corporate social responsibility) adalah suatu hal yang wajib

dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini. Karena Allah memberikan alam ini

kepada manusia bukan hanya untuk menggunakan dan mengeksploitasi alam ini

saja, tetapi juga untuk menjaga agar seluruh alam yang Tuhan ciptakan dan

berikan kepada manusia ini, dapat tetap berada dalam keadaan yang baik

seperti pada waktu Allah menciptakannya.

Dalam perspektif etika Kristen atau perspektif Firman Tuhan, yang

berkaitan dengan bisnis, atau disebut juga etika bisnis Kristen, inilah peneliti

berusaha untuk mencari tahu dan menggali lebih dalam mengenai perspektif

etika bisnbis Kristen terhadap konsep tanggung jawab sosial perusahaan, dan

kepada siapa sajakah perusahaan harus menjalankan tanggung jawabnya itu.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas maka peneliti mengambil

judul “TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DALAM PERSPEKTIF

(20)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan

diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai “pandangan etika bisnis Kristen

terhadap konsep tanggung jawab sosial perusahaan”.

1.3. Batasan masalah

Penelitian ini tidaklah membahas mengenai ‘bagaimana praktek tanggung

jawab sosial perusahaan’ itu sendiri harus dijalankan, dan tidak membahas

praktek tanggung jawab sosial perusahaan yang dijalankan oleh perusahaan

secara keseluruhan dengan berdasarkan pada etika bisnis Kristen. Melainkan

mencoba untuk membahas dan memberikan suatu penilaian terhadap konsep

tanggung jawab sosial perusahaan dengan menggunakan perspektif etika bisnis

Kristen.

Penelitian ini akan berfokus pada konsep tanggung jawab sosial yang ada

di dalam buku “Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di

Indonesia,” yang ditulis oleh Bambang Rudito, dan Melia Famioloa. Dengan

mencantumkan juga beberapa sumber lain untuk mendapat keutuhan dari

konsep tanggung jawab sosial perusahaan.

1.4. Tujuan Penelitian

Penetapan tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk membahas dan

menggali lebih dalam mengenai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate

social responsibility) dengan menggunakan perspektif etika bisnis Kristen

sebagai dasar penilaian. Maka tujuan penelitian ini adalah: “Untuk mengetahui

perspektif etika bisnis Kristen mengenai tanggung jawab sosial perusahaan

(21)

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

a. Bagi peneliti

Diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan peneliti

tentang peran perusahaan di tengah-tengah masyarakat, negara, dan lingkungan

dimana perusahaan itu berdiri. Serta kepada siapa seharusnya tanggung jawab

sosial perusahaan (corporate social responsibility) harus dijalankan oleh

perusahaan berdasarkan prinsip etika bisnis Kristen.

b. Bagi perusahaan

Sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam pengambilan

keputusan manajemen berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan

(corporate social responsibility) kepada masyarakat dan lingkungan. Dan juga

supaya prinsip-prinsip Firman Tuhan dapat secara jelas diterapkan di dalam

perusahaan atau dunia bisnis.

c. Bagi pihak lain

Masyarakat dapat menjadikan hasil penelitian ini untuk membantu melihat

dan mengevaluasi bagaimana perusahaan telah menjalankan tanggung jawab

sosialnya terhadap masyarakat. Dan masyarakat juga dapat semakin memahami

mengenai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility)

dengan lebih baik lagi. Dan lebih jauh lagi dapat digunakan oleh peneliti-peneliti

(22)

BAB II LANDASAN TEORI

2.3 Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) 2.3.1 Latar belakang adanya tanggung jawab sosial perusahaan

Rudito (2007: 204) beranggapan bahwa tanggung jawab perusahaan

terjadi karena adanya upaya untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan hidup

dari masyarakat, yang di ukur dengan tingkat ekonomi dan pendapatan, yang

tidak berjalan seiring dengan keadaan sumber daya lingkungan yang semakin

lama semakin parah. Dengan melihat kerusakan lingkungan sebagai akibat dari

percepatan pembangunan ekonomi, maka diadakanlah pertemuan di Rio De

Janeiro yang memutuskan adanya pembangunan berkelanjutan yang mencakup

keberlanjutan ekonomi (economic sustainability), dan keberlanjutan lingkungan

(environment sustainability).

Akan tetapi, keputusan inipun ternyata tidak dapat mengangkat tingkat

kesejahteraan hidup dari komunitas di negara-negara selatan (negara-negara

penghasil). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan orientasi dan ukuran

kesejahteraan dari masing-masing negara. Karena itulah, di dalam pertemuan

para pemimpin dunia, di Yohannesburg pada tahun 2002, tercetus suatu

kebersamaan aturan bagi tingkat kesejahteraan umat manusia, yaitu konsep

social sustainability, untuk melengkapi dua kebijakan sebelumnya, yaitu

economic sustainability, dan environment sustainability. Ketiga aspek inilah yang

menjadi patokan bagi perusahaan di dalam melaksanakan tanggung jawab

(23)

Rudito (2007: 206) melihat bahwa penerapan dari konsep social

sustainability dapat menjadi suatu yang maya atau utopia. Karena terabaikannya

aspek yang mendasar, yaitu manusia (human) dan komunitas (people). Jadi

dalam konsep sustainable future, yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan

lingkungan, perlu ditambahkan lagi satu aspek internal, yaitu aspek keberlanjutan

manusia (human sustainability). Aspek ini mencakup peningkatan kualitas

manusia secara etika, seperti pendidikan, kesehatan, rasa empati, saling

menghargai dan kenyamanan, yang terangkum dalam tiga kapasitas, yaitu

spiritual, emosional, dan intelektual. Ketiga kapasitas ini merupakan inti dalam

suatu etika, yang akan menjadi dasar bagi terwujudnya tingkah laku. Dimana

kesemuanya itu terwujud di dalam nilai, norma dan pengetahuan yang digunakan

untuk memahami lingkungan, dan dipakai untuk mendorong terwujudnya tingkah

laku (human behaviour) sebagai makhluk sosial. Rudito (2007: 210) juga

menambahkan bahwa konsep corporate social responsibility ini melibatkan

tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, lembaga sumber daya komunitas,

bahkan juga komunitas setempat. Karena itu, kemitraan ini merupakan tanggung

jawab bersama secara sosial antar stakeholders.

Dengan berangkat pada sejarah panjang ini, dapat dikatakan bahwa

konsep tanggung jawab sosial perusahaan yang dijalankan oleh perusahaan

mencakup empat (4) aspek, yaitu: keberlanjutan ekonomi (economic

sustainability), keberlanjutan lingkungan (environment sustainability),

keberlanjutan sosial (social sustainability), dan keberlanjutan manusia (human

sustainability).

Selain dari latar belakang yang telah disampakan oleh Rudito di atas,

(24)

belakang munculnya tanggung jawab sosial perusahaan. Secara umum

stakeholder dan kalangan khalayak umum saat ini sudah sampai pada titik

dimana mereka selalu mengharapkan sesuatu yang lebih dari kalangan bisnis.

Kelompok ini mengharapkan agar perusahaan (sektor swasta) membantu

mereka dalam melepaskan tekanan sosial dan isu-isu ekonomi yang ada. Karena

pada saat ini, lebih dari separuh penduduk dunia tidak percaya kepada

perusahaan-perusahaan besar. Para kelompok-kelompok aktivis inipun merasa

mempunyai target yang memuaskan, apabila mereka telah menyerang

perusahaan-perusahaan besar. Karena bagi mereka, perusahaan tersebut tidak

bertanggung jawab secara sosial terhadap khalayak. Mereka menggalang

kekuatan dengan media, melakukan lobi-lobi dan tekanan politik, demonstrasi,

dan yang paling vulgar adalah dengan menyerang website dari perusahaan

tersebut (http://www.penulislepas.com, 2004).

Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Burson Marsteller

(http://www.penulislepas.com, 2004), pada tahun 2000, diketahui bahwa 42%

dari responden percaya bahwa track record tanggung jawab sosial perusahaan

akan dapat meningkatkan harga saham. Berdasarkan penelitian yang sama,

didapati bahwa 89% dari responden mengatakan bahwa keputusan mereka

sebagai legislator, regulator, wartawan dan LSM pada masa yang akan datang,

akan dipengaruhi oleh isu-isu tanggung jawab sosial perusahaan. Karena itu,

para pelanggan, investor, kelompok-kelompok komunitas, aktivis-aktivis

lingkungan, maupun trading partner selalu menanyakan pada perusahaan

mengenai detail-detail informasi tentang kinerja sosial mereka. Untuk

menghadapi semua ini, maka perusahaan harus menempatkan tanggung jawab

(25)

Selain itu, Suruji dan Novianto dalam Kompas (2006) mengatakan bahwa,

di dalam komunitas bisnis dari berbagai negara, telah lama berkembang

kesadaran bahwa pembangunan berkelanjutan hanya akan dapat dipertahankan

jikalau ada keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.

Bahkan para pemilik modal juga telah menyadari, bahwa di balik bisnis ada pula

tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) yang harus dilakukan oleh

perusahaan. Hal ini membuat perusahaan semakin menyadari bahwa tanggung

jawab perusahaan bukan lagi sekadar keseimbangan antara pemilik modal dan

pekerjanya, melainkan suatu pembangunan berkelanjutan yang dibangun di atas

dasar kerangka bahwa bisnis akan dapat tumbuh subur pada masyarakat yang

sejahtera. Dan untuk itu, perlu adanya usaha untuk menyeimbangkan antara

aspek ekonomi, berupa mencari keuntungan, dengan pembangunan sosial dan

perlindungan lingkungan hidup.

Harahap (1993) dalam Arianti (2000) mengatakan, bahwa saat ini telah

terjadi pergeseran orientasi perusahaan, yaitu dari shareholders menjadi ke

stakeholders, yaitu suatu kecenderungan yang bergerak dari kegiatan mencari

keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa melihat efek samping, ke arah

kegiatan yang mencari laba dengan berwawasan lingkungan. Hal ini semakin

membuat perusahaan mulai memperhatikan lingkungan di sekitarnya, dan bukan

lagi hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri saja.

2.3.2 Definisi tanggung jawab sosial perusahaan

Sankat (2002) dalam Rudito (2007: 207) menyatakan bahwa “Corporate

social responsibility dapat dipahami sebagai komitmen usaha untuk bertindak

secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan

(26)

keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas secara lebih luas.“

The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)

dalam Rudito (2007: 209) menyatakan bahwa “tanggung jawab sosial

perusahaan adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan

ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga

karyawan tersebut, berikut komunitas-komunitas setempat (lokal) dan komunitas

secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.”

Berdasarkan dua definisi diatas, secara umum Rudito (2007: 207)

menarik kesimpulan bahwa:

Corporate social responsibility merupakan peningkatan kualitas kehidupan, mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota komunitas untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada, dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus memelihara. Yang dengan kata lain merupakan cara perusahaan mengatur proses usaha untuk memproduksi dampak positif pada komunitas.

Dengan berangkat dari definisi ini, Rudito (2007: 207) berharap akan

terlihat adanya usaha untuk ikut terlibat dalam pembangunan ekonomi

berkelanjutan, dengan kemandirian sebuah komunitas sebagai tolak ukur dari

keberhasilan sebuah usaha. Dengan demikian, tanggung jawab sosial

perusahaan secara sosial tidak hanya terbatas pada konsep pemberian donor

saja, tetapi konsepnya menjadi sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif,

yang hanya dikeluarkan dari perusahaan. Akan tetapi, merupakan hak dan

kewajiban bersama yang dimiliki bersama antar stakeholders. Sehingga konsep

kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy) dalam tanggung jawab

(27)

tanggung jawab perusahaan secara sosial dengan stakeholders lainnya. (Rudito,

2007: 210)

Beberapa pihak juga memberikan definisi yang beragam mengenai

tanggung jawab sosial perusahaan. Davis dan Fredrick, (1994: 28) dalam Utami

(2004), mendefinisikan tanggung jawab sosial perusahaan seperti dalam uraian

berikut:

Sebagai sebuah organisasi bisnis yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, maka perusahaan dianggap sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. .... Tanggung jawab sosial perusahaan ini dapat diwujudkan dengan turut serta dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. Hal ini sangat sesuai dengan harapan masyarakat, yang menginginkan agar perusahaan memiliki respon positif terhadap lingkungan sekitarnya dengan melibatkan diri dalam program-program sosial sebagai bagian dari aktivitas bisnisnya.

Marc W. Pfitzer (http://www.ir.nestle.com, 2005) memberikan definisi

sebagai berikut “Corporate social responsibility is essentially a concept where by

companies decide voluntarily to contribute to a better society and a cleaner

environment.”

Sedangkan Andrew dalam Utami (2004) mendefinisikan tanggung jawab

sosial perusahaan sebagai:

Social responsibility is the intelligent and objective concern for the welfare of society that restrains and corporate behaviour from ultimately destructives activities no matter how immediately profitable and leads in the direction of positive contribution to human betterment, variously as the latter may be defined.

Djogo (http://www.beritabumi.or.id, 2005) juga menyatakan bahwa

tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) adalah

pengambilan keputusan yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, memenuhi

kaidah-kaidah dan keputusan hukum, dan menghargai manusia, masyarakat dan

(28)

2.3.3 Manfaat tanggung jawab sosial perusahaan Rudito (2007: 209) menyatakan bahwa

“Pada masa sekarang keberhasilan suatu perusahaan ditentukan oleh adanya perhatian terhadap lingkungan sosial sekitar. Artinya, bahwa sukses komersial perusahaan-perusahaan dilihat juga dari bagaimana perusahaan mengelola tanggung jawab sosial terhadap komunitas sekitar daerah operasinya, sehingga menciptakan hubungan antar komunitas sebagai anggota komunitas lokal yang lebih luas.”

Senada dengan pernyataan di atas Elyas dalam

http://www.republika.co.id (2006) menegaskan bahwa “keberlanjutan perusahaan

tidak hanya tergantung kepada profit, tapi juga harus memenuhi aspek

lingkungan atau 'planet' dan aspek sosial atau 'people'. “

Rudito (2007: 210) juga menambahkan bahwa perusahaan akan

mendapat suatu keuntungan sosial, jika perusahaan melakukan kegiatan

tanggung jawab sosial. Dimana, dengan mengeluarkan dana yang tidak sedikit

untuk melaksanakan tanggung jawab sosial, perusahaan akan mendapatkan

keuntungan sosial yang besar, yang pada gilirannya akan mendapatkan

keuntungan finansial.

Supriatno, Ketua Corporate Forum for Community Development (CFCD),

dalam http://www.republika.co.id, (2006) menyatakan bahwa tanggung jawab

sosial perusahaan sangatlah penting, tidak hanya bagi masyarakat, melainkan

juga perusahaan itu sendiri. Karena tanggung jawab sosial perusahaan dapat

mencegah dampak sosial lebih buruk, baik secara langsung ataupun tidak

langsung, atas kelangsungan usaha, sebagai akibat dari gesekan dengan

komunitas sekitar. Program tanggung jawab sosial perusahaan ini, juga dapat

mencegah munculnya gesekan sosial yang dapat merugikan perusahaan

(29)

Sedangkan Bull dalam http://www.ir.nestle.com (2005), menyatakan

bahwa: “Corporate responsibility is not a fringe activity. A truly successful

company is sensitive to the concerns of all those on whom it depends, investors,

employees, customers, partners and communities. What happens to society

matters to us because it happens to us”.

Jadi, tanggung jawab sosial perusahaan bukan hanya untuk memenuhi

tuntutan dari masyarakat bisnis yang menuntut perusahaan untuk menunjukkan

komitmen sosial yang tinggi, seperti halnya kewajiban untuk memenuhi standar

kualitas internasional (ISO) (http://www.republika.co.id, 2003). Dan juga bukan

untuk mendapatkan keuntungan sosial maupun finansial, sebagai dampak dari

melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Tetapi juga harus memenuhi

dan memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sekitar.

2.3.4 Pro-kontra mengenai tanggung jawab sosial perusahaan

Kalangan dunia usaha ternyata memiliki tanggapan yang berbeda-beda

mengenai keberadaan tanggung jawab sosial perusahaan. Baik itu yang

mendukung tanggung jawab sosial perusahaan, maupun yang menolak adanya

tanggung jawab sosial perusahaan.

Belkaoui (1984) dalam Arianti (2000), mengemukakan beberapa alasan

yang digunakan oleh kalangan yang mendukung agar perusahaan memiliki etika

dan tanggung jawab sosial:

1. Keterlibatan sosial merupakan respon terhadap keinginan dan harapan

masyarakat terhadap peran perusahaan dalam jangka panjang, dan hal ini

sangat menguntungkan bagi perusahaan.

2. Keterlibatan sosial mungkin akan mempengaruhi perbaikan lingkungan

(30)

3. Meningkatkan nama baik perusahaan. Hal ini juga

akan menimbulkan simpati langganan, karyawan, investor, dan lain-lain.

4. Menghindari campur tangan pemerintah dalam melindungi masyarakat.

Karena campur tangan pemerintah cenderung membatasi peran

perusahaan, sehingga jika perusahaan menjalankan tanggung jawab

sosialnya mungkin akan dapat mengurangi kemungkinan pembatasan

kegiatan perusahaan oleh pemerintah.

5. Dapat menunjukkan respon positif perusahaan terhadap norma dan nilai

yang berlaku dalam masyarakat, sehingga perusahaan mendapat simpati

dari masyarakat.

6. Sesuai dengan keinginan para pemegang saham, dalam hal ini adalah

publik.

7. Mengurangi tensi atau tingkat kebencian masyarakat terhadap

kegiatan-kegiatan perusahaan, yang kadang kala tidak dapat dihindari.

8. Membantu kepentingan nasional, seperti konservasi alam, pemeliharaan

barang seni budaya, peningkatan pendidikan rakyat, lapangan kerja, dan

lain-lain.

Belkaoui (1984) dalam Arianti (2000), juga menyertakan beberapa alasan

yang digunakan oleh kalangan yang menolak adanya suatu tanggung jawab

sosial di dalam perusahaan:

1. Tanggung jawab sosial perusahaan akan mengalihkan perhatian

perusahaan dari tujuan utamanya dalam mencari laba. Dan ini akan

(31)

2. Tanggung jawab sosial perusahaan akan memungkinkan keterlibatan

perusahaan terhadap permainan kekuasaaan atau politik secara

berlebihan, yang sebenarnya bukan bagian dari perusahaan.

3. Tanggung jawab sosial perusahaan dapat menimbulkan lingkungan bisnis

yang monolitik, dan bukan yang bersifat pluralistik.

4. Keterlibatan sosial memerlukan dana dan tenaga yang cukup besar, yang

tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan yang terbatas, sehingga dapat

menimbulkan kebangkrutan atau menurunkan tingkat pertumbuhan

perusahaan.

5. Keterlibatan perusahaan pada kegiatan sosial yang demikian kompleks

memerlukan tenaga dan para ahli yang belum tentu dimiliki oleh

perusahaan.

Selain dari yang telah dipaparkan di atas, Hamann dan Acutt (2003)

dalam Wibowo (http://www.pdat.co, 2006) telah menelaah beberapa motivasi

yang mendasari kalangan bisnis dalam menerima konsep tanggung jawab sosial

perusahaan. Mereka menemukan bahwa ada dua motivasi utama perusahaan

dalam menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu:

1) Akomodasi. Yaitu kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik,

superficial, dan parsial. Dimana tanggung jawab sosial perusahaan

dilakukan untuk memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap

kepentingan sosial. Singkatnya, realisasi tanggung jawab sosial

perusahaan yang bersifat akomodatif tidak melibatkan perubahan yang

mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi sesungguhnya.

2) Legitimasi. Yaitu motivasi yang bertujuan untuk mempengaruhi wacana.

(32)

yang dapat diajukan terhadap perilaku korporasi, serta jawaban-jawaban

apa yang mungkin diberikan dan terbuka untuk diskusi? Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi ini berargumentasi bahwa

wacana tanggung jawab sosial perusahaan mampu memenuhi fungsi

utama yang memberikan keabsahan pada sistem kapitalis dan, lebih

khusus, kiprah para korporasi raksasa.

Dari pro dan kontra mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang

telah dibahas, dapat dilihat bahwa alasan yang diajukan perusahaan untuk

melaksanakan tanggung jawab sosialnya hanya berkutat pada upaya untuk

menjaga keberlangsungan perusahaan dan usaha untuk mencapai keuntungan

yang lebih tinggi saja. Perusahaan juga tidak melihat keberadaannya sebagai

bagian dari komunitas masyarakat, yang juga menuntut perusahaan untuk

memberikan respon yang baik terhadap masyarakat yang ada di sekitar

perusahaan dan juga terhadap lingkungan sekitar perusahaan.

Sedangkan pandangan yang menolak adanya tanggung jawab sosial

perusahaan, terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar, hanyalah

menunjukkan betapa fokusnya perusahaan dalam mencapai target

keuntungannya, seakan-akan target keuntungan tidak akan tercapai jika

perusahaan turut melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Padahal,

tanggung jawab sosial perusahaan merupakan tanggung jawab yang juga harus

dilaksanakan oleh perusahaan. Bukan saja demi keberlangsungan perusahaan,

tetapi juga demi tanggung jawab yang melekat di dalam diri perusahaan sebagai

(33)

2.3.5 Perkembangan model tanggung jawab sosial perusahaan

Harahap (1993) dalam Arianti (2000) menyatakan bahwa ada tiga model

keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial, yaitu:

1. Model klasik

Model ini berkembang sekitar abad ke-19, dimana model ini bertitik tolak

pada konsep persaingan sempurna. Dalam model ini, kriteria keberhasilan

perusahaan diukur dari daya guna dan pertumbuhan. Oleh karena itu,

usaha yang dilakukan perusahaan semata-mata hanya untuk memenuhi

permintaan pasar dan mencari untung. Berdasarkan model ini,

perusahaan tidak perlu memikirkan efek sosial yang ditimbulkannya dan

tidak perlu memikirkan usaha untuk memperbaiki penyakit sosial yang ada

di dalam masyarakat. Jadi model ini bertujuan untuk memenuhi

kepentingan para pemilik atau mensejahterakan para pemilik.

2. Model manajemen

Model ini berkembang sekitar tahun 1930. Menurut model ini perusahaan

dianggap sebagai lembaga permanen yang hidup, dan mempunyai tujuan

sendiri. Dalam model ini, manajer adalah orang yang dipercayai oleh

pemilik modal untuk menjalankan perusahaan demi kepentingan pemilik

modal dan semua pihak yang terkait langsung dengan keberlangsungan

perusahaan, seperti karyawan, langganan, supplier, dan pihak lain yang

mempunyai hubungan dengan perusahaan. Hal ini membuat manajer

harus mempertimbangkan setiap kebijakan yang dibuat, karena adanya

ketergantungan perusahaan dengan pihak lain, yang juga mempunyai

andil terhadap pencapaian tujuan perusahaan. Pada kesimpulannya,

(34)

3. Model lingkungan sosial

Model ini menekankan pada pandangan bahwa kekuasaan ekonomi dan

politik yang dimiliki oleh perusahaan mempunyai hubungan kepentingan

(bersumber) dari lingkungan sosial masyarakat dan bukan hanya

semata-mata dari pasar, seperti yang dikatakan oleh teori klasik. Konsekuensi dari

pandangan ini adalah perusahaan harus berpartisipasi aktif dalam

menyelesaikan penyakit sosial yang ada di lingkungan perusahaan,

seperti sistem pendidikan yang tidak bermutu, pengangguran, polusi, dan

lain-lain. Model ini, pada akhirnya bertujuan bukan hanya kepentingan

pemilik modal dan manajemen saja, tetapi juga mencakup kesejahteraan

sosial secara umum.

Belkaoui (1984) dalam Arianti (2000) mengelompokkan keterlibatan

perusahaan terhadap lingkungan sosial ke dalam lima kelompok, yaitu:

1) Tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada usaha mencari laba

yang maksimal. Jika perusahaan dapat mengumpulkan laba

sebesar-besarnya tanpa memperhatikan efek sosialnya, berarti perusahaan sudah

memenuhi panggilan tugasnya sebagai badan usaha. Sehingga, jika

perusahaan memperhatikan kepentingan lingkungan sosial masyarakat

maka akan merusak sendi-sendi ekonomi persaingan bebas.

2) Perusahaan tidak lagi hanya mencari untung, karena perusahaan juga

harus memperhatikan pihak-pihak tertentu dengan siapa perusahaan

mempunyai kepentingan. Dalam hal ini perusahaan melakukan perbaikan

kesejahteraan karyawan, dan manajemen menjalin hubungan baik

dengan kelompok masyarakat tertentu dan kelompok lain yang

(35)

3) Perusahaan melepaskan diri dari tujuan hanya mencari laba dengan

memperluas tanggung jawab manajemen. Dalam hal ini, perusahaan

bukan hanya mempunyai tanggung jawab ekonomi dan hukum, tetapi juga

memiliki tanggung jawab tertentu terhadap lingkungan sosial diluar

kewajiban utamanya. Perusahaan juga harus mempunyai perhatian

terhadap kesejahteraan masyarakat, perbaikan pendidikan, kesejahteraan

karyawan dan lain-lain. Dalam hal ini, perusahaan harus berperilaku

sebagaimana seseorang penduduk yang baik. Dalam kedudukannya

sebagai penduduk yang baik, maka perusahaan harus berperilaku

sebagaimana seorang penduduk yang baik, yaitu peduli terhadap

masyarakat yang lain dan lingkungan sekitarnya.

4) Perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial yang mencakup hal-hal

yang bersifat ekonomi dan non ekonomi. Tanggung jawab ini

dikelompokkan dalam tiga pusat lingkaran, yaitu:

 Lingkaran dalam. Dalam bagian ini tanggung jawab perusahaan

mencakup tanggung jawab dasar di dalam melaksanakan fungsinya

dengan efisien, seperti fungsi produksi, pekerjaan, dan pertumbuhan

ekonomi.

 Lingkaran tengah. Dalam bagian ini tanggung jawab perusahan

mencakup tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi ekonomis

dengan penuh kesadaran akan perubahan nilai dan prioritas yang

berlaku di dalam masyarakat, seperti konservasi lingkungan,

perbaikan kualitas hidup, hubungan dengan karyawan, dan lingkungan

(36)

 Lingkaran luar. Dalam bagian ini, tanggung jawab perusahaan

mencakup tanggung jawab yang baru muncul dan masuk

berkembang, dimana perusahaan secara luas terlibat aktif dalam

memperbaiki lingkungan sosial.

5) Tanggung jawab perusahaan diperluas melewati batas tanggung jawab

dan mencakup keterlibatan total terhadap tugas-tugas sosial. Bentuk ini

mencakup tiga dimensi, yaitu:

Sosial obligation. Ini merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap

permintaan pasar, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Sosial responsibility. Hal ini menggerakkan perusahaan sehingga

segala tindakannya sesuai dengan norma, nilai, dan harapan

masyarakat yang berlaku.

Sosial responsiveness. Hal ini merupakan respon perusahaan untuk

menjawab isu yang akan timbul di masa mendatang.

Dari dua model di atas, model yang diajukan oleh Belkaoui (1984) dalam

Arianti (2000) lebih menggambarkan perkembangan keterlibatan perusahaan

terhadap lingkungan sosialnya dari waktu ke waktu. Dan juga menjelaskan

perkembangan cakupan tanggung jawab sosial perusahaan, mulai dari hanya

mencari laba saja sampai pada tanggung jawab sosial perusahaan yang

menembus batas tanggung jawab yang telah ada sebelumnya, bahkan sampai

terlibat di dalamnya.

2.3.6 Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan

Pada dasarnya bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dapat

beraneka ragam, dari yang bersifat charity sampai pada kegiatan yang bersifat

(37)

yang konkrit. Akan tetapi, keseluruhan kegiatan perusahaan tersebut, pada

dasarnya sering kali tidaklah terkait atau berhubungan dengan produk yang

dihasilkan oleh perusahaan itu sendiri.

Rudito (2007:210-212) membagi kegiatan program yang dilaksanakan

oleh perusahaan dalam konteks tanggung jawab sosialnya ke dalam tiga bentuk,

yaitu:

1) Public relation

Bentuk ini lebih menekankan pada penanaman persepsi tentang

perusahaan kepada komunitas, dengan cara perusahaan membuat suatu

kegiatan sosial tertentu dan khusus. Sehingga tertanam di dalam image

komunitas, bahwa perusahaan yang bersangkutan telah menyisihkan

sebagian dari keuntungannya untuk kegiatan sosial. Pada dasarnya

kegiatan atau usaha ini lebih mengarah pada menjalin hubungan baik

antara perusahaan dengan komunitas, khususnya menanamkan sebuah

persepsi yang baik mengenai perusahaan terhadap komunitas.

2) Strategi defensif

Bentuk ini biasanya dijalankan oleh perusahaan guna menangkis

anggapan negatif komunitas luas yang sudah tertanam terhadap kegiatan

perusahaan, terhadap karyawannya, dan biasanya untuk melawan

serangan negatif dari anggapan komunitas atau komunitas yang sudah

terlanjur berkembang. Strategi ini biasanya berkaitan dengan usaha untuk

membersihkan nama baik perusahaan, yang telah beredar secara meluas

(38)

3) Keinginan tulus untuk melakukan kegiatan yang baik, yang benar-benar

berasal dari visi perusahaan itu

Bentuk ini merupakan bentuk keinginan tulus dari suatu perusahaan

dalam kegiatan tanggung jawab sosialnya, yang di dorong dan berkaitan

erat dengan kebudayaan perusahaan yang berlaku (corporate culture).

Sehingga, secara otomatis dalam kegiatan tanggung jawab sosial yang

dilakukan oleh perusahaan sudah tersirat etika yang ada pada diri

perusahaan tersebut.

Berkaitan dengan keberadaan perusahaan di dalam suatu komunitas, dan

untuk menciptakan kemandirian komunitas lokal dalam menata sosial ekonomi

mereka sendiri, maka perusahaan menciptakan suatu wadah yang berbasis pada

komunitas, atau lebih sering disebut sebagai community development.

Budimanta dalam Rudito (2007: 234) mendefinisikan Community development

sebagai kegiatan pembangunan komunitas yang dilakukan secara sistematis,

terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunitas guna mencapai

kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas kehidupan yang lebih baik, apabila

dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya. Rudito (2007: 234)

menambahkan bahwa secara hakekat, community development merupakan

suatu proses adaptasi sosial budaya yang dilakukan oleh industri, pemerintah

pusat, dan daerah terhadap kehidupan komunitas lokal.

Program pemberdayaan masyarakat (community development) ini

bertujuan untuk pemberdayaan komunitas (empowerment), yaitu bagaimana

anggota komunitas dapat mengaktualisasikan diri mereka dalam pengelolaan

lingkungan yang ada di sekitarnya, dan memenuhi kebutuhan secara mandiri

(39)

sudah ada di komunitas sebelumnya dapat berjalan tanpa adanya

ketergantungan dari pihak perusahaan, dan perusahaan sekaligus dapat menjadi

bagian dari komunitas yang bersangkutan dimana perusahaan tersebut berada

(Rudito, 2007: 236).

Rudito (2007: 236-237) membagi program-program community

development berdasarkan ruang lingkupnya ke dalam tiga (3) bentuk, yaitu:

1) Community relation; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut

pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada

para pihak yang terkait. Kegiatan ini biasanya menyangkut hubungan

sosial antara perusahaan dengan komunitas lokal yang harus pertama

kali dilakukan sebelum masuk pada tahap mengetahui

kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang ada pada komunitas lokal,

sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya.

2) Community service; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi

kepentingan komunitas ataupun kepentingan umum. Intinya adalah

memberikan kebutuhan yang ada di komunitas, dengan pemecahan

masalah yang ada di komunitas diselesaikan atau dilakukan oleh

komunitas sendiri, sedangkan keberadaan perusahaan hanyalah sebagai

fasilitator dari pemecahan masalah yang ada di dalam komunitas.

3) Community empowering; adalah program-program yang berkaitan

dengan memberikan akses yang lebih luas kepada komunitas untuk

menunjang kemandiriannya, seperti pembentukan koperasi, usaha

industri kecil lainnya, yang secara natural anggota komunitas sudah

mempunyai pranata pendukungnya dan perusahaan hanya memberikan

(40)

berlanjut. Kateori ini pada dasarnya melalui tahapan-tahapan kategori

lainnya, seperti melakukan Community relation pada awalnya, yang

kemudian berkembang pada Community service dengan segala

metodologi penggalian data dan kemudian diperdalam melalui

ketersediaan pranata sosial yang sudah lahir dan muncul di komunitas

melalui Community empowering.

Untuk menjaga agar program dapat berjalan sesuai dengan rencana yang

telah dijalankan dan sesuai dengan kondisi komunitas yang merupakan sasaran

program, maka diperlukan adanya suatu pemeriksaan yang bersifat sosial dan

juga suatu audit sosial. Hal ini perlu dilakukan karena program ini, berkaitan

dengan tujuan dari pembangunan komunitas yang mengarah pada partisipasi

dari berbagai komunitas yang ada, sebagai anggota komunitas yang lebih luas.

Partisipasi yang dimaksud di sini bukanlah partisipasi dari satu pihak saja, tetapi

juga partisipasi dari seluruh komunitas, khususnya komunitas korporasi terhadap

komunitas lokal dan juga terhadap komunitas lainnya sebagai stakeholders.

Karena sistem ini mengisyaratkan adanya hubungan yang fungsional antara

berbagai segmen yang hidup di dalamnya (Rudito, 2007: 237-238).

Rudito (2007: 241) menyatakan bahwa indikator keberhasilan suatu

program pembangunan komunitas dapat dilihat dari bentuk-bentuk kebersamaan

yang di jalin antara pihak-pihak pemerintah, perusahaan dan komunitas lokal

yang tergambar dalam partisipasi dan keberlanjutan (sustainability). Karena

secara mendasar partisipasi bukanlah milik dari komunitas lokal, dalam artian

bahwa yang diminta untuk berpartisipasi bukan hanya komunitas lokal ataupun

(41)

Sebagai poin akhir dari pengembangan masyarakat (community

development) ini adalah adanya keberlanjutan (sustainability) dari kemandirian

komunitas yang telah di capai. Keberlanjutan (sustainability) ini adalah strategi

program yang dipakai untuk menunjang kemandirian komunitas agar dapat

dinikmati juga oleh generasi-generasi selanjutnya, yang dapat dilihat dari sisi

manusia (human), sosial (social), lingkungan (environment), dan ekonomi

(economic).

Selain dari yang telah dinyatakan oleh di atas, ada beberapa pilihan

program yang dapat dilakuakn oleh perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab

sosial perusahaan. Kotler dan Lee (2005) dalam Hidayati (2006:33)

mengidentifikasi adanya enam pilihan program bagi perusahaan untuk

melakukan inisiatif dan aktivitas yang berkaitan dengan berbagai masalah sosial,

sekaligus sebagai wujud komitmen dari tanggung jawab sosial perusahaan.

Keenam inisiatif sosial yang dapat dilaksanakan oleh perusahaan adalah:

1. Cause promotions, aktivitas ini dilakukan dalam bentuk memberikan

kontribusi dana atau penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran

akan masalah-masalah sosial tertentu seperti, misalnya, bahaya

narkotika.

2. Cause-related marketing, yaitu bentuk kontribusi perusahaan dengan

menyisihkan sepersekian persen dari pendapatan sebagai donasi bagi

masalah sosial tertentu, untuk periode waktu tertentu atau produk

tertentu.

3. Corporate social marketing, di dalam aktivitas ini perusahaan membantu

pengembangan maupun implementasi dari kampanye dengan fokus

(42)

seperti misalnya, mengkampanyekan kebiasaan berlalu lintas yang

beradab.

4. Corporate philantrophy, ini adalah inisiatif perusahaan dengan

memberikan kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, program ini

lebih sering diadakan dalam bentuk donasi ataupun sumbangan tunai.

5. Community volunteering, dalam aktivitas ini perusahaan memberikan

bantuan, dan mendorong karyawan, serta mitra bisnisnya untuk secara

sukarela terlibat dan membantu masyarakat setempat.

6. Socially responsible business practices, ini adalah sebuah inisiatif yang

dilakukan oleh perusahaan untuk mengadopsi dan melakukan praktik

bisnis serta investasi tertentu yang ditujukan untuk dapat meningkatkan

kualitas komunitas dan melindungi lingkungan.

Selain itu, juga ada beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian bagi

perusahaan ketika berupaya untuk melakukan tanggung jawab sosialnya.

Setiyadi (2004) dalam http://www.maswig.blogspot.com (2004), menyatakan

bahwa setidaknya ada lima aspek yang perlu menjadi perhatian bagi perusahaan

ketika berupaya melakukan kewajiban tanggung jawab sosialnya, yaitu:

1. Melakukan bisnis dengan memperhatikan tanggung jawab sosial dan

etika;

2. Melindungi lingkungan lokasi bisnisnya dan keselamatan semua orang

yang berkaitan dengan kegiatan bisnisnya;

3. Memberikan manfaat ekonomi dan lainnya kepada masyarakat di mana

saja perusahaan beroperasi;

4. Mendukung dan memberikan kontribusi terhadap upaya penegakan hak

(43)

5. Menerapkan berbagai kebijakan, program dan praktik untuk mengelola

perusahaan dengan menaati azas good corporate governance,

memastikan berlakunya perlakuan adil (fair) kepada semua stakeholder,

serta memberikan informasi publik secara lengkap dan transparan.

2.4 Etika Kristen 2.4.1 Definisi etika

Kata ‘etika’ berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ‘ethos’. Kata ‘ethos’ di

dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, yaitu: tempat tinggal yang biasa;

padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap cara

berpikir. Sedangkan dalam bentuk jamak (ta etha), artinya adalah adat

kebiasaan. Arti etika dalam bentuk jamak inilah yang kemudian menjadi latar

belakang terbentuknya istilah ‘etika’. Kata ini lebih berarti kesusilaan, perasaan

batin, atau kecenderungan hati dengan mana seseorang melaksanakan sesuatu

perbuatan (Verkuyl, 1982a: 15). Sedangkan jika hanya berdasarkan asal-usul

kata, maka kata ’etika’ memiliki arti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau

ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens, 1999: 4).

Kata ‘etika’ ini memiliki keterkaitan yang erat dengan kata ‘moral’. Karena

kata ‘moral’ sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu ‘mos’ (dalam bentuk

jamaknya menjadi ‘mores’) yang juga berarti: kebiasaan, adat (Bertens, 1999: 5).

Verkuyl (1982a:15) menyatakan bahwa di dalam bahasa latin, istilah “ethos” juga

sering disebutkan dengan kata “mos”, oleh karena itulah maka kata “etika” sering

pula diterangkan dengan kata “moral”. Bertens (1999: 5) juga menyatakan bahwa

secara etimologi, kata ‘etika’ sama dengan etimologi kata ‘moral’, karena

Gambar

Gambar 2.1

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Adalah jumlah barang yang ditawarkan oleh produsen sama dengan jumlah barang yang diminta oleh konsumen pada suatu tingkat harga tertentu... Jika harga dibawah

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsep saksi mahkota di Indonesia adalah saksi yang diambil dari tersangka atau terdakwa dalam kejahatan yang dilakukan secara

1. Untuk mengetahui bagaimana proses yang dilakukan dalam pembelajaran materi himpunan dengan metode kooperatif tipe TAI. siswa kelas VII A SMP

Dengan kata lain secara bersama-sama iklim organisasi dan komitmen organisasional dalam penelitian ini mempengaruhi kinerja karyawan sebesar 30.7% dan kinerja

Di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia pun dikenal adanya ancaman untuk pelaku tindakan penghilangan hak hidup manusia, dalam hal ini seperti pembunuhan

Skripsi dengan judul “ Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Materi Himpunan Melalui Metode Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization Siswa Kelas VII-A SMP

Untuk mengetahui, menguji dan menganalisis penga- ruh variabel kebijakan dividen kas terhadap nilai peru- sahaan pada perusahaan dengan intensitas corporate governance tinggi