• Tidak ada hasil yang ditemukan

Motif tanggung jawab sosial perusahaan dalam perspektif etika Kristen

Dalam dokumen Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam P (Halaman 104-120)

BAB II LANDASAN TEORI LANDASAN TEORI

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.5. Motif tanggung jawab sosial perusahaan dalam perspektif etika Kristen

Di dalam bukunya, Rudito tidak memaparkan secara langsung mengenai hal-hal apa yang memotivasi, atau yang menjadi motif perusahaan dalam melakukan tanggung jawab sosial perusahan. Akan tetapi, hal ini dapat diketahui dengan cara menelaah latar belakang timbulnya tanggung jawab sosial perusahaan, kemudian menarik beberapa hal yang diperkirakan menjadi motivasi (motif) yang mendorong timbulnya tanggung jawab sosial perusahaan. Dari proses ini, didapati beberapa hal yang menjadi motif timbulnya tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu:

1. Perbedaan tingkat kesejahteraan hidup atau taraf hidup, yang diukur dengan tingkat ekonomi dan pendapatan, antara negara-negara selatan dan negara-negara utara, yang mendorong lahirnya konsep economic

sustainability.

2. Kerusakan lingkungan sebagai efek dari penggunaan pengetahuan dan teknologi, yang semakin maju, dalam dunia industri dengan membabi buta, sehingga mendorong lahirnya konsep environtment sustainability.

3. Ketidakmampuan untuk dapat hidup secara berkelanjutan sebagai akibat dari usaha meningkatkan ekonomi dan pendapatan, dengan kondisi lingkungan yang tidak sejalan. Hal ini mendorong lahirnya konsep social

sustainability.

pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini mendorong lahirnya konsep human sustainability.

5. Keuntungan finansial yang akan diperoleh perusahaan pada masa yang akan datang, setelah perusahaan melakukan tanggung jawab sosialnya. 6. Tuntutan dari khalayak umum dan dunia internasional terhadap kontribusi

perusahaan dalam masalah-masalah lingkungan dan sosial.

Berdasarkan apa yang telah di sampaikan di atas, motif-motif inilah yang menggerakkan perusahaan untuk melakukan kewajibannya terhadap lingkungan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Berikut akan dibahas tanggapan etika Kristen terhadap masing-masing motivasi tersebut:

Perbedaan tingkat kesejahteraan hidup atau taraf hidup, yang diukur dengan tingkat ekonomi dan pendapatan, antara negara-negara selatan dan negara-negara utara, yang mendorong lahirnya konsep

economic sustainability.

Tidaklah benar menilai manusia hanya dengan menggunakan nilai ekonomi dan tingkat pendapatannya. Karena nilai manusia yang utama bukan berasal dari materi, yaitu uang, pendapatan, kekayaan dan lain-lain. Nilai manusia yang utama pertama-tama berasal dari Allah. Allah-lah yang memberikan manusia nilai, dengan menciptakan manusia segambar dengan Allah, dan hanya Dia-lah yang berhak untuk menilai baik-buruknya manusia. Dia-lah yang menciptakan manusia dari ‘yang tidak ada menjadi ada’, karena itu hanya Penciptalah yang berhak menilai baik buruknya hasil ciptaan-Nya. Dalam hal ini, semua manusia baik adanya dan berharga di mata Allah. Karena setiap kali Allah selesai mencipta, Ia

mengevaluasi setiap hasil ciptaan-Nya, dan didapati bahwa seluruh ciptaan-Nya itu baik adanya, termasuk manusia.

Selain daripada itu, nilai manusia berada di dalam dirinya sendiri. Karena di dalam diri manusia melekat gambar Allah, yang membuat manusia menjadi representasi Allah di bumi ini (Mott, 2000: 50). Gambar Allah yang melekat pada manusia inilah, yang membuat manusia memiliki sifat-sifat Ilahi dalam dirinya. Kualitas inilah yang menjadi perbedaan mendasar dari seluruh ciptaan yang telah Allah jadikan. Hal ini membuat manusia menjadi ‘mahkota dari ciptaan Allah’ atau ‘a print of

completeness’. Kedua hal inilah yang harus dipakai menjadi acuan dalam

mengukur tingkat kesejahteraan manusia.

Pada waktu menciptakan manusia, Allah mempunyai tujuan bagi masing-masing manusia ciptaan-Nya, dan karena itulah maka Allah memberikan kepada setiap manusia kapasitasnya masing-masing, sesuai dengan tujuan yang telah Allah tetapkan pada setiap orang sejak kekekalan. Allah memberikan ‘cukup’ kepada setiap orang untuk mengerjakan tujuan-tujuan yang telah Allah tetapkan bagi dirinya dan setiap orang tidak akan kekurangan. Jadi, pada dasarnya jika manusia mengerjakan tujuan yang telah Allah tetapkan di dalam hidupnya, niscaya dia akan hidup sejahtera dan tidak akan kekurangan sama sekali. Kesejahteraan yang Allah berikan kepada manusia bukan hanya meliputi kesejahteraan jasmani saja. Kesejahteraan yang Allah berikan adalah kesejahteraan yang utuh, yang meliputi kesejahteraan jasmani dan juga kesejahteraan rohani. Karena pada dasarnya, hidup manusia adalah satu keutuhan, yang terdiri dari jasmani dan rohani. Jikalau salah satunya dipisahkan dari yang lain,

atau hanya fokus pada satu hal saja, jasmani ataupun rohani, maka akan terjadi ketidakseimbangan di dalam diri manusia, karena keduanya adalah satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Karena Allah memberikan keduanya di dalam diri manusia sebagai satu kesatuan, yang melaluinya manusia memuliakan Allah.

Tetapi dosa telah merusak semua itu, sehingga manusia memberikan dirinya tunduk di bawah materi, dan tidak ada satu bagian pun dalam dirinya yang tidak bergantung pada materi. Inilah yang membuat manusia mengukur segala sesuatu yang ada dalam dirinya dengan menggunakan uang atau materi. Sehingga tingkat pendapatan atau tingkat ekonomi telah menjadi ukuran mutlak dari kesejahteraaan manusia. Akan tetapi, manusia lupa bahwa ada hal-hal berkaitan dengan kesejahteraan yang tidak dapat diukur dengan uang, seperti kebahagiaan. Karena kesejahteraan bukan hanya meliputi hal-hal fisik atau jasmani saja, tetapi sejahtera juga meliputi hal-hal yang rohani pula.

Kesejahteraan yang utuh ini hanya dapat di capai jikalau manusia mengenal Allah, mengenal kehendak Allah, dan mengerjakan kehendak Allah. Inilah yang seharusnya menjadi motif dalam hidup dari setiap orang. Dan motif ini hanya dapat keluar dari iman kepada Allah yang benar. Iman kepada Allah yang disertai dengan hati yang penuh dengan kebenaran dan keadilan, yang akan mendorong setiap orang untuk mencari, menemukan dan mengerjakan kehendak Allah di dalam hidupnya dan hidup berkenan kepada Allah seumur hidupnya (Kelley dalam Indrayana, 2004). Hakl ini dapat terjadi karena di dalam diri manusia terdapat “sense of divine” atau hasrat beragama, yang membuat

manusia mau tidak mau harus menyembah dan mengerjakan kehendak ‘sesuatu yang lebih besar’ dari dirinya sendiri. Bagian ini hanya dapat diisi oleh Allah sendiri. Jika bagian ini kosong, maka manusia tidak akan dapat menemukan kebahagiaan yang sejati.

Kesejahteraan hidup atau taraf hidup seperti inilah yang menjadi tolak ukur di dalam hidup manusia. Bukan hanya materi saja yang menjadi tolak ukurnya, melainkan juga pengenalan setiap manusia akan Allah, akan kehendak Allah, dan mengerjakan kehendak Allah sebagai yang utama. Perbedaan tingkat pendapatan atau taraf hidup antar negara seharusnya tidak serta-merta diatasi dengan cara meningkatkan perekonomian. Perlu juga untuk memperhitungkan aspek dosa di dalamnya, yang telah secara pasti mempengaruhi masyarakat bangsa tersebut. Baik itu pada mental atau etos kerja, budaya, dan lain-lainnya. Karena peningkatan kesejahteraan tidak selalu dapat selesaikan dengan peningkatan ekonomi. Hal yang paling penting dalam mencapai kesejahteraan adalah dengan melakukan memperbaiki kualitas manusia yang telah dipengaruhi oleh dosa, agar semakin menyerupai nilai yang telah Allah berikan kepada manusia, yaitu sebagai gambar Allah .

Kerusakan lingkungan sebagai efek dari penggunaan pengetahuan dan teknologi, yang semakin maju, dalam dunia industri dengan membabi buta, sehingga mendorong lahirnya konsep environtment sustainability.

Sebagai makhluk yang dicipta segambar dengan Allah, manusia juga memiliki kemampuan-kemampuan yang juga dimiliki oleh Allah, walaupun tetap terdapat perbedaan kualitas dengan Allah, dan tidak akan mungkin

menyamai Allah. Karena itulah di dalam diri manusia juga terdapat kemampuan untuk berkreasi (mencipta). Dengan daya kreasinya ini, manusia dapat menciptakan apapun juga dengan menggunakan segala sesuatu yang telah Allah ciptakan di dalam dunia. Inilah yang membedakan kemampuan mencipta yang ada pada manusia dan pada Allah. Manusia mencipta dari apa yang telah Allah ciptakan, dari yang ada menjadi bentuk lain yang lebih baik. Sedangkan Allah menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada.

Seluruh kemampuan mencipta yang Allah berikan ini bermanfaat bagi manusia di dalam mengerjakan tugas yang Allah berikan kepada manusia, yaitu tugas mengelola dan memelihara alam ini. Di dalam misi untuk mengerjakan tugas yang Allah berikan inilah, maka manusia menciptakan berbagai macam hal, yang juga di sebut sebagai teknologi, untuk dapat membantu manusia menjalankan dengan maksimal seluruh tugas yang telah Allah berikan.

Stackhouse (2001) mengatakan “properly cultivated, technology could

help us to reclaim the wisdom and virtue God implanted in humans with

the gift of the image of God.” Dengan keberadaan teknologi ini, manusia

seharusnya dapat mengeksplor alam ini dengan baik, untuk memuliakan Allah dan menggunakannya bagi kesejahteraan sesamanya. Dan dengan tidak melupakan bahwa dengan teknologi ini, manusia dapat memelihara alam ini agar tidak menjadi rusak, melainkan tetap lestari, dan menjadi semakin baik keadaannya.

Akan tetapi, yang terjadi saat ini sungguh jauh daripada yang seharusnya. Dosa telah membuat manusia tidak lagi memfungsikan teknologi untuk

mengerjakan mandat yang Allah berikan padanya. Karena teknologi telah dipakai manusia menjadi alat pemuas keinginannya. Kuasa yang Allah berikan untuk mengelola dan memelihara alam ini telah menjadi berat sebelah. Dimana manusia hanya fokus pada usaha untuk mengelola atau mengekplor saja, tanpa ada usaha untuk memelihara alam ini. Hal inilah yang telah membuat manusia mengeksplorasi alam ini secara membabi buta, semua itu dilakukan hanya untuk mencapai tingkat pendapatan yang tinggi, yang dengan itu manusia memperoleh kekuasaan yang semakin besar juga. Semua ini dilakukan dengan tidak menghiraukan kemungkinan kehancuran ciptaan lain, yang mungkin jugfa dapat menghancurkan dirinya sendiri. Manusia bahkan berlomba-lomba mencapai teknologi yang paling tinggi, dengan anggapan bahwa teknologi akan dapat menyelamatkan manusia dari kesulitan yang dihadapinya. Teknologi yang semula berfungsi sebagai ‘alat’ untuk menjalankan kehendak Allah, telah menjadi ‘tuan’ atas hidup manusia, yang tanpanya manusia tidak dapat hidup. Padahal, alam adalah hal baik yang Allah berikan pada manusia, yang melaluinya Allah dimuliakan dan manusia dapat memfungsikan natur ‘kerja’ yang ada pada diri manusia.

Namun, keberadaan teknologi inipun tidak seluruhnya salah. Kita tidak dapat memungkiri bahwa banyak penyakit yang dapat ditemukan obatnya dengan kemajuan teknologi, sehingga banyak orang yang tertolong hidupnya. Yang harus dirubah bukanlah teknologi, karena sampai kapan pun teknologi tetap seperti itu adanya. Yang harus berubah adalah manusianya. Manusia harus kembali tunduk kepada Allah, mengenal Allah dan kehendak-Nya serta melakukan kehendak Allah. Dengan

kembali kepada Allah, maka manusia dapat kembali kepada posisinya yang semula, yaitu menjadi tuan atas teknologi, dan menggunakan teknologi sesuai dengan fungsinya semula. Stackhouse (2001) menyatakan bahwa ”the capacity for technology is a residual manifestation of the justitia originalis, to be use only for the service of

humanity in the fallen state, but having no significance for salvation.” Jadi,

di tengah dunia yang berdosa inipun teknologi masih dapat berfungsi untuk melayani sesama manusia, tapi teknologi tidak dapat menyelamatkan dunia ini. Teknologi harus berfungis seperti layaknya teknologi, dan bukan berfungsi sebagai tuan dan penyelamat dunia ini.  Ketidakmampuan untuk dapat hidup secara berkelanjutan sebagai

akibat dari usaha meningkatkan ekonomi dan pendapatan, dengan kondisi lingkungan yang tidak sejalan. Hal ini mendorong lahirnya konsep social sustainability.

Dalam ekonomi kerajaan Allah (God’s Kingdom Economics),

kesejahteraan manusia yang semakin baik akan membawa kondisi alam menjadi semakin baik pula. Hal ini dapat terjadi karena, ketika manusia mengelola alam ini untuk kesejahteraan seluruh manusia, mereka juga melakukan pemeliharaan terhadap alam, sehingga kondisi alam semakin lama semakin baik dan manusia pun akan semakin sejahtera. Berangkat dari pemahaman ini dapat dikatakan bahwa kesejahteraan manusia dan kondisi alam berbanding lurus. Semakin sejahtera manusia, maka kondisi alam akan semakin baik. Sebaliknya, semakin melorot kesejahteraan manusia, maka akan semakin melorot pula kondisi alam.

kemelorotan kesejahteraan manusia. Dimana manusia hanya berfokus pada kebutuhan materi saja, tanpa menghiraukan kebutuhan rohaninya. Yang lebih parah lagi, pada kondisi dosa ini manusia telah menjadi budak dari ‘keinginan jasmaninya’. Dan yang menggerakkan manusia untuk melakukan segala sesuatu, hanyalah nafsu atau keinginannya yang tak pernah puas akan apa yang telah ada padanya. Nafsu manusia ini telah membuat manusia menjadi makhluk yang egois dan tidak lagi memikirkan keberlangsungan hidupnya dalam jangka panjang. Yang dipikirkan manusia adalah bagaimana agar keinginannya dapat terpenuhi secepatnya. Maka tidaklah mengherankan jika di dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak memikirkan mengenai masalah keberlanjutan lingkungan hidup atau alam. Keberlanjutan yang ada dalam pikiran manusia hanyalah keberlanjutan usaha yang dilakukannya agar tetap dapat menghasilkan keuntungan, dan usaha yang dilakukan tetap menguntungkan. Ini adalah hal yang tidak mengherankan bagi manusia yang berdosa, karena memang seluruh pikiran yang ada, selain kemakmuran diri, telah disingkirkan jauh-jauh dari dalam pikirannya.

Hukum Termodinamika yang kedua menyatakan bahwa materi semakin lama akan semakin rusak. Hukum ini menyatakan bahwa dunia ini semakin lama tidak akan semakin membaik, tetapi sebaliknya akan semakin rusak. Adapun penyebab dari semua kerusakan ini adalah dosa manusia. Dunia semakin lama akan semakin rusak, hal ini akan membuat tidak adanya lagi pengharapan bagi generasi yang akan datang. Karena generasi yang akan datang akan berhadapan dengan kondisi alam yang

lebih rusak dari generasi sebelumnya dan semakin tidak menyehatkan bagi tubuhnya. Bahkan teknologi pun tidak akan dapat berkontribusi apapun dalam menyelesaikan masalah ini.

Sebenarnya masih ada harapan bagi dunia ini. Harapan itu datang dari pekerjaan Allah di dalam pribadi Yesus Kristus yang menebus manusia dari dosa.. Allah juga menjanjikan bagi manusia akan memulihkan dunia ini dan memberikan langit dan bumi yang baru. Sehingga alam yang tadinya rusak tidak lagi menjadi rusak, bahkan kembali menjadi baik adanya. Dalam pengharapan inilah, manusia harus bekerja keras untuk mengusahakan dan memelihara alam ini dan mengasihi sesama. Karena segala sesuatu yang dilakukan manusia tidaklah sia-sia, dan akan digenapkan oleh Allah sendiri dalam langit dan bumi yang baru.

Terabaikannya aspek mendasar, yaitu manusia dan komunitas, dalam pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini mendorong lahirnya konsep human sustainability.

Manusia adalah gambar dan rupa Allah, yang juga merupakan mahkota ciptaan Allah. Manusia adalah bagian penting dari penciptaan dunia yang Allah lakukan. Dan sudah seharusnyalah jika manusia menjadi fokus utama diantara seluruh ciptaan Allah, bahkan di dalam usaha pembangunan yang dilakukan oleh manusia ataupun perusahaan. Hal yang justru terjadi adalah tingkat pendapatan yang diidentikkan dengan keuntungan, menjadi fokus utama dari seluruh usaha yang manusia lakukan. Sehingga pembangunan bukan lagi berfungsi untuk membangun manusia yang seutuhnya. Hal ini bukan hanya menghina diri manusia sendiri, tetapi juga telah menghina Allah sebagai pencipta yang gambar

diri-Nya melekat pada manusia. Bahkan dengan berfokus dan digerakkan oleh uang atau materi, manusia telah menghina dirinya sendiri dan nilai yang Allah taruh di dalam dirinya.

Dosa telah menjungkirbalikkan semua tatanan yang Allah ciptakan dengan baik, yaitu tatanan antara Allah-Manusia-alam, menjadi rusak. Manusia sendirilah, di dalam keberdosaannya, yang telah menempatkan dirinya pada posisi yang paling rendah dari tatanan itu, yaitu berada di bawah alam (materi). Hal ini berbeda dengan yang Yesus lakukan di dunia ini. Dia pertama-tama membereskan manusia (dosanya) dengan menebus manusia dari dosa. Hal ini dilakukan-Nya karena manusialah yang berdosa kepada Allah, dan mengakibatkan seluruh alam ikut rusak. Yesus menyelesaikan terlebih dahulu inti masalahnya, yaitu manusia, barulah kemudian usaha perbaikan dunia ini dapat dilakukan.

Demikianlah jugalah yang harus dilakukan jika kita ingin memperbaiki alam ini. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah manusia, karena manusialah yang telah Allah berikan kuasa atas dunia ini. Jika manusia sudah beres, maka urusan memperbaiki lingkungan adalah hal yang dapat dilakukan. Sedangkan jika manusianya saja belum beres, maka usaha perbaikan ini akan semaikin sulit dilakukan, karena kunci permasalahannya tidaklah dibereskan terlebih dahulu, yaitu dosa manusia.

Keuntungan finansial yang akan diperoleh perusahaan pada masa yang akan datang, setelah perusahaan melakukan tanggung jawab sosialnya.

dalam mengambil keputusan bisnis, dan tidak menjadi tujuan utama dari usaha perusahaan. Dalam God’s Kingdom Economic’s, usaha yang

manusia lakukan bukanlah untuk mencari keuntungan. Manusia berusaha di dalam dunia ini, di dalam kerangka tujuan untuk memenuhi kehendak Allah atas diri setiap manusia, yaitu menjadi penguasa atas dunia ini, dan mengusahakan serta memelihara alam ini. Pada waktu menciptakan dunia ini, Allah membuat dunia ini dalam keadaan yang belum dikerjakan, dan mengandung banyak kemungkinan yang serba hebat tertimbun di dalamnya. Allah menempatkan manusia di atas bumi ini supaya manusia mengusahakan tanah bumi ini (Verkuyl, 1982:23). Pekerjaan manusia di tanah bumi ini termasuk di dalam rencana penciptaan Allah. Dan berdasarkan rencana Allah, maka manusialah yang harus menggali, mempergunakan dan mengembangkan seluruh kemungkinan-kemungkinan itu.

Dalam hal ini, keuntungan finansial bukanlah menjadi hal yang tidak penting. Keuntungan finansial menjadi salah satu alat untuk mengevaluasi apa yang telah dikerjakan, apakah sudah maksimal atau belum. Dan setiap keuntungan yang diperoleh perusahaan digunakan kembali untuk mengembangkan usaha yang telah berjalan, agar mendatangkan kesejahteraan bagi lebih banyak orang atau masyarakat. Keuntungan ada bukan untuk memenuhi keinginan manajemen dan shareholders. Dalam hal ini pun keuntungan tetap menjadi alat bagi

Tuntutan dari khalayak umum dan dunia internasional terhadap kontribusi perusahaan dalam masalah-masalah lingkungan dan sosial.

Adalah hal yang wajar jika khalayak umum menuntut perusahaan, untuk peduli terhadap lingkungan sekitar perusahaan. Selain itu, bukankah pada dasarnya perusahaan ada untuk menjalankan kehendak Allah atas dunia ini, yaitu memuliakan Allah dengan cara mengusahakan dan memelihara bumi ini, serta memperhatikan kebutuhan sesamanya manusia! Khalayak umum dan dunia internasional seharusnya menjadi suatu organisme besar yang mengerjakan kehendak Allah. Maksud dari organisme besar adalah bahwa seluruh manusia dan perusahaan yang ada di dunia ini bekerja selayaknya bagian tubuh, yang bekerja dengan saling bersinergi antara bagian yang satu dengan bagian yang lain, dan bagian yang satu saling mendukung dengan bagian lainnya. Seluruh anggota tubuh ini digerakkan oleh kehendak Allah, yang ada pada setiap orang untuk membangun Ekonomi Kerajaan Allah.

Akan tetapi, yang terjadi bukanlah sinergi antar bagian, melainkan persaingan yang saling menjatuhkan satu dengan yang lain demi mendapat keuntungan yang maksimal. Sehingga perusahaan tidak lagi memperhatikan kehendak Allah atas diri mereka. Bahkan tidak lagi memperhatikan keadaan lingkungan sosial di sekitar mereka. Karena perusahaan lebih fokus pada usaha untuk mencapai laba, menguasai pasar dan mengalahkan para saingan usahanya.

Dari keseluruhan motif-motif diatas, dapat dikatakan bahwa seluruhnya merupakan motif yang bersifat menjawab keadaan. Berdasarkan model

keterlibatan perusahaan terhadap lingkungan yang di sampaikan Belkaoui (1984) dalam Arianti (2000), dapat dilihat bahwa perkembangan kepedulian perusahaan pada dasarnya tidaklah berangkat dari ‘visi’ perusahaan itu sendiri. Melainkan karena perusahaan merasa ‘harus’ melakukan hal itu, jika tidak maka keberlangsungan usahanya tidaklah akan terjamin. Hal ini dapat kita lihat dari perkembangan model tersebut, yang dimulai dari perusahaan hanya memperhatikan laba, lalu mulai memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan dan manajemen, lalu berkembang lagi dengan memperluas tanggung jawab manajemennya sampai kepada masalah hukum dan beberapa masalah lingkungan sekitar perusahaan, kemudian mencakup hal-hal yang non-ekonomi, dan barulah pada akhirnya perusahaan harus mulai melewati batas-batas tanggung jawabnya, kemudian mulai terlibat secara total dalam tugas-tugas sosial.

Berdasarkan empat (4) aspek sustainable development dalam tanggung

jawab sosial perusahaan, yang diberikan oleh Rudito (2007: 204-207), yaitu: economic sustainability, environment sustainability, social sustainability, dan

human sustainability, kita dapat melihat kedenderungan perkembangan

pandangan perusahaan terhadap lingkungan yang sama, seperti yang kita lihat pada model diatas. Perusahaan pada mulanya hanya berfokus pada aktivitas mencari laba tanpa memperhatikan lingkungan dan sumber daya alam yang ada, lalu berkembang kepada memperhatikan lingkungan, sebagai respon dari rusaknya lingkungan alam akibat eksploitasi yang berlebihan. Setelah melihat kepentingan dalam memperhatikan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan, barulah pandangan perusahaan berkembang dan mulai melihat aspek social sustainability. Aspek-aspek inipun merupakan respon terhadap kerusakan alam.

Dimana setelah berjalan sekian lama, barulah perusahaan memperhatikan aspek mendasar dalam pembangunan, yaitu manusia dan komunitasnya.

Hal ini tidaklah seharusnya terjadi, karena sejak manusia memulai

Dalam dokumen Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam P (Halaman 104-120)