• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berakhirnya Sistem Parlementer

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 176-182)

Bulan-bulan awal tahun 1957 ditandai oleh pertumbuhan dan terus meningkatnya popularitas PKI. Sebagaimana telah kita lihat, PKI merupakan satu-satunya partai politik besar yang tidak ternoda oleh korupsi dan intrik kekuasaan. Alasannya antara lain karena partai

itu belum pernah secara langsung terlibat dalam kabinet mana pun, seraya mengandalkan kekuatan dan daya tarik populisnya. Daniel S. Lev, yang banyak meneliti dinamika politik Indonesia periode 1957-1959, menyatakan bahwa sejak tahun 1956 PKI memiliki banyak sekali keuntungan. Menurutnya, dibandingkan dengan partai-partai politik lain PKI “lebih sedikit pesaingnya, sekaligus merupakan partai politik yang terorganisasi, padu, aktif, dan penuh semangat.”6 Pengambilan jarak secara ideologis terhadap demokrasi konstitusional yang waktu itu diragukan banyak kalangan serta terhadap berbagai pemberontakan daerah membantu terjaganya reputasi partai di mata publik.7 Reputasi itu selanjutnya mendorong para pemimpin PKI untuk memainkan peran yang lebih aktif di panggung politik nasional.

Dalam wacana politik nasional yang lebih luas, PKI terus mengangkat tema-tema yang membantu mempopulerkan citranya sebagai partai yang memiliki komitmen tinggi terhadap berbagai kepentingan negara. Tema-tema itu antara lain adalah tema bahaya kolonialisme yang masih terus mengancam, neo-imperialisme bangsa-bangsa Barat, dan dominasi ekonomi Belanda di Indonesia—tema-tema yang semuanya terdengar menarik untuk publik waktu itu. Lebih jauh PKI juga menggunakan wacana mengenai separatisme sebagai sumber keprihatinan nasional.8

Pada saat yang sama para pemimpin PKI terus menekankan ketidakbergantungan mereka pada Komunisme internasional. Pada bulan Juli 1956, misalnya, pemimpin tertinggi PKI Dipa Nusantara Aidit menegaskan bahwa Komunisme Indonesia tidak akan mengikuti Komunisme Rusia atau Cina. Dia mengutip deklarasi partai yang menyatakan bahwa “setiap orang akan mengikuti jalannya sendiri menuju sosialisme, seturut perkembangan situasi nasional, politis, ekonomis, dan sosialnya masing-masing ...”9

Telah kita lihat dalam bab terdahulu, pada bulan-bulan terakhir tahun 1956 Bung Karno sering mengungkapkan ketidakpuasannya

terhadap sistem parlementer yang ada dan keinginannya untuk memperkenalkan sistem baru yang ia sebut sebagai sistem “ Demokrasi Terpimpin.” Ia juga sering mengungkapkan keinginan untuk menyampaikan “konsepsi”-nya mengenai praksis politik di Indonesia. Dalam kaitan dengan hal itu, awal tahun 1957 ditandai dengan diambilnya langkah-langkah pertama oleh Presiden Sukarno untuk mewujudkan gagasan mengeai “ Demokrasi Terpimpin” itu, yang menurutnya merupakan alternatif terhadap sistem demokrasi parlementer Barat.10 Selama bulan Januari 1957, Bung Karno juga sering mengadakan pembicaraan pribadi dengan para penasihat terdekatnya mengenai upaya realisasi “konsepsi”-nya, yang juga disebut sebagai “ Konsepsi Presiden” . Namun demikian ia menolak untuk segera mengumumkan Konsepsi Presiden itu kepada publik. Perlu dicatat, ada satu hal yang kini hilang dari pembicaraan-pembicaan pada periode ini, yakni keinginan terdahulu Bung Karno untuk membubarkan partai-partai politik yang ada.

Baru pada tanggal 21 Februari 1957 Bung Karno akhirnya mau menyampaikan pengumuman yang sudah lama ditunggu-tunggu, yakni pengumuman mengenai Konsepsi Presiden itu.11

Konsepsi tersebut, kata Bung Karno, menuntut dibentuknya suatu “ Kabinet Gotong Royong” yang didasarkan pada prinsip “semua anggota keluarga hendaknya makan di meja yang sama dan bekerja di bangku yang juga sama.”12 Konsekuensinya, demikian lanjutnya, kabinet itu mestinya memasukkan semua partai politik dan golongan lain yang besar, termasuk PKI. Menurut Bung Karno memasukkan PKI dalam kabinet itu perlu sebab pemerintah tidak dapat “terus-menerus mengabaikan sebuah kelompok yang memiliki enam juta suara pemilih dalam Pemilu.”13 Membentuk sebuah kabinet tanpa menyertakan PKI akan mirip dengan memiliki kuda yang kakinya hanya tiga. Sebaliknya, mengundang PKI untuk masuk ke dalam kabinet adalah seperti menempelkan “kaki keempat” pada si kuda.14

Sejumlah partai politik seperti Masyumi dan Partai Katolik secara langsung maupun tak langsung menentang Konsepsi Presiden, sedang PKI tegas-tegas mendukungnya. Ketua PKI Aidit menyokong konsepsi tersebut berdasarkan ucapan Presiden Sukarno tentang pentingnya suatu kabinet dengan representasi yang berimbang yang memasukkan PKI. “ Konsepsi Presiden Sukarno,” kata Aidit kepada para pemimpin PKI pada bulan Juli 1957, “telah benar-benar membangkitkan semangat rakyat.” Konsepsi tersebut, tambahnya, “telah menarik garis pemisah antara mereka yang mendukung persatuan serta menentang kolonialisme di satu sisi, dan mereka yang mendukung kolonialisme serta menentang persatuan di sisi lain.”15 Di mata banyak pemimpin partai politik lain, konsepsi itu merupakan sebuah pertanda nyata bahwa kini Bung Karno semakin condong ke arah PKI. Bagi mereka seruan Presiden untuk memasukkan semua kelompok dalam pemerintahan hanyalah tudung saja untuk menutupi undangannya pada PKI supaya bergabung dalam pemerintahannya.

Pada satu sisi, konsepsi tersebut mencerminkan kekecewaan Bung Karno pada sistem parlementer yang saat itu dijalankan di Indonesia dan pada visinya akan persatuan Indonesia—sebuah visi yang sudah dipegangnya sejak dia mendirikan PNI pada tahun 1927. Pada sisi lain, konsepsi itu menandakan dukungan publiknya supaya PKI—bersama dengan ideologi komunisnya— memainkan peran yang lebih besar dalam politik Indonesia. Di Washington pemerintahan Eisenhower menjadi makin waswas bahwa Indonesia akan secara pelan-pelan dikuasai oleh kelompok komunis. Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Timur Jauh Walter S. Robertson, misalnya, khawatir pada meningkatnya peran kelompok komunis dan pada kemungkinan akan adanya “dampak yang mengerikan [atas] bekas negara-negara Sekutu di Eropa dan [atas] pihak-pihak yang sampai sekarang yakin bahwa pada suatu saat nanti mereka akan dapat mengalahkan Komunisme.”16

Kekhawatiran tersebut semakin menguat ketika, tak lama setelah mengumumkan konsepsinya, Presiden Sukarno memuji sistem satu-partainya Uni Soviet, sembari mengecam musik rock-and-roll sebagai musik “ngak-ngik-ngok” yang merupakan bagian dari kebudayaan Barat yang sedang mengalami kemerosotan moral dan yang mesti digantikan oleh musik yang cocok dengan budaya Indonesia.17

Menyusul pengumuman Konsepsi Presiden, dan di tengah meningkatnya kekecewaan rakyat terhadap elite politik dan sistem parlementer yang ada, pada tanggal 14 Maret 1957 Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo mengundurkan diri dan mengembalikan mandat kabinetnya kepada Presiden. Pengunduran diri kabinet tersebut, yang telah dibentuk atas dasar Konstitusi, menandai berakhirnya suatu era dalam sejarah politik Indonesia. Sebagaimana dinyatakan oleh Herbert Feith, pengunduran diri itu menandakan runtuhnya kepercayaan rakyat Indonesia pada partai-partai politik dan pada sistem parlementer, sekaligus berakhirnya demokrasi konstitusional di Indonesia.18 Meminjam kata-kata M.C. Ricklefs yang tajam, saat itulah “demokrasi parlementer, sebagaimana yang dikenal di Indonesia, mati.”19

Berakhirnya sistem parlementer itu disusul oleh pengumuman Presiden Sukarno mengenai berlakunya keadaan darurat perang di seluruh pelosok tanah air. Dikatakan oleh Bung Karno pengumuman tersebut merupakan tanggapan atas tuntutan otonomi di wilayah-wilayah di Luar Jawa. Sebagaimana dalam kasus konsepsi di atas, pengumuman keadaan darurat tersebut mendapat dukungan sekaligus perlawanan. Para pemimpin PKI termasuk di antara kelompok yang menentang; mereka mengecam undang-undang keadaan darurat tersebut sebagai ancaman bagi sistem parlementer dan keberadaan PKI itu sendiri.20 Namun demikian mereka tidak berani menyatakan keberatan mereka secara terang-terangan sebab takut akan adanya tindak balasan dari Angkatan

Darat, yang tegas-tegas mendukung pengumuman tersebut.21

Ketakutan PKI ini bukan tanpa dasar. Menyusul pengumuman mengenai keadaan darurat itu Angkatan Darat mulai mengambil langkah-langkah tegas terhadap para politisi yang dicurigai telah melakukan tindak korupsi. Salah seorang di antaranya adalah mantan menteri keuangan Profesor Sumitro Joyohadikusumo. Apa boleh buat, pada bulan Mei 1957 ia berhasil melarikan diri dari Indonesia dan kemudian bergabung dengan para pemberontak di Sumatra.22 Di Jakarta markas PKI dan sebuah kantor milik serikat buruh yang terkait dengan partai tersebut dilempari granat.23

Selama paro kedua tahun 1957 dan sebagian 1958, digelarlah Pemilu Daerah untuk memilih anggota DPR tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten.24 Meskipun ada banyak hambatan karena diberlakukannya undang-undang darurat, Pemilu Daerah berhasil dilaksanakan dengan baik di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Di sebagian besar wilayah itu PKI memperoleh banyak suara.25 Di Daerah Khusus Jakarta Raya misalnya, PKI mendapat suara kedua terbanyak dari empat puluh dua partai yang ikut serta. Dari antara empat partai politik besar yang bersaing dalam Pemilu 1955 untuk memilih Parlemen dan Majelis Konstituante, PKI adalah satu-satunya partai yang memperoleh kenaikan jumlah suara. Hasil Pemilu di Jawa dan Sumatra Selatan menunjukkan pola serupa: PKI menjadi satu-satunya dari “empat besar” partai yang menerima lebih banyak suara daripada yang mereka dapatkan dalam Pemilu 1955. Hal itu menandakan meningkatnya popularitas PKI.26 Para pemimpin PKI merasa sangat bangga dengan hasil-hasil Pemilu tersebut. Perolehan suara yang besar di Jakarta, kata Aidit, adalah pertanda akan “suatu kenyataan yang amat jelas bahwa rakyat Indonesia kini sedang bergeser ke kiri.”27 Sementara itu Presiden Sukarno menganggap hasil peroleh suara PKI itu sebagai indikasi yang jelas bahwa PKI mesti memainkan peran yang lebih besar dalam pemerintahan. Sebaliknya Angkatan Darat dan banyak

kalangan sipil anti-komunis menanggapinya secara berbeda. Mereka takut bahwa bila langkah-langkah tertentu tidak segera diambil, PKI akan dengan cepat menguasai pemerintahan. Ketakutan yang sama juga dirasakan oleh Washington.

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 176-182)