• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konferensi Asia-Afrika

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 133-138)

Politik intervensi pemerintahan Eisenhower terhadap Indonesia tecermin dalam reaksinya atas rencana Indonesia untuk menggelar sebuah konferensi internasional negara-negara yang mendukung gagasan untuk bersikap netral dalam permusuhan Perang Dingin. Diadakan pada bulan April 1955 di Bandung, Konferensi Asia-Afrika (KAA) ini mencerminkan keinginan pemerintah Indonesia untuk bisa lebih berperan di panggung internasional, terutama di antara bangsa-bangsa Asia-Afrika. Wakil-wakil dari dua puluh sembilan negara Asia dan Afrika hadir dan berpartisipasi dalam konferensi itu. Sejumlah nama besar turut hadir, seperti Zhou En-lai dari Republik Rakyat Cina, Pandit Jawaharlal Nehru dari India, Gammal Abdul Nasser dari Mesir, Pangeran Norodom Shianouk dari Kamboja, Pham Van Dong dari Vietnam, U Nu dari Myanmar, Mohammad Ali Jinah dari Pakistan, dan Carlos Romulo dari Filipina.43 KAA ini bertujuan membangun solidaritas dan kerja sama di antara bangsa-bangsa non-blok.

Namun demikian, oleh pemerintahan Eisenhower, KAA dipandang membahayakan keseimbangan internasional yang sedang ter-polarisasi oleh Perang Dingin, dan menguntungkan

Blok Soviet. Secara khusus, Washington khawatir bahwa Uni Soviet dan Cina akan menggunakan KAA untuk menyebarkan pengaruh komunis di Dunia Ketiga. Ketakutan ini didasarkan pada asumsi bahwa para peserta dari negara-negara komunis memiliki ketrampilan organisasi yang lebih baik daripada peserta-peserta lain.44 Para pejabat dalam pemerintahan Eisenhower segera menyusun sebuah rencana untuk mempengaruhi persiapan konferensi. Dibentuklah suatu dewan koordinasi khusus guna menjalankan rencana tersebut. Laporan Dewan Koordinasi Operasi tertanggal 15 Januari 1955 menunjukkan bahwa tujuan rencana tersebut adalah “mengamati persiapan dan pelaksanaan Konferensi Bandung serta meningkatkan kewaspadaan masyarakat Blok Barat akan bahaya agresi dan imperialisme Soviet-Cina di Asia Timur.” Lebih jauh, rencana itu dimaksudkan untuk membuat para peserta konferensi dari negara-negara komunis “secara psikologis tertekan”.45 Direncanakan, anggota-anggota dewan koordinasi tersebut akan bekerja melalui “saluran-saluran yang tepat”, yakni para delegasi dari negara-negara yang tergolong memiliki hubungan baik dengan A.S., seperti Filipina, Thailand, Pakistan, dan Turki.46

Lewat negara-negara ini pemerintahan Eisenhower berharap akan dapat memonitor dinamika konferensi dan “mempengaruhi jalannya konferensi sehingga akan menjadi sejalan dengan berbagai kebijakan dan kepentingan A.S.”47

Dewan koordinasi itu juga berencana menyebarkan informasi singkat melalui negara-negara tersebut untuk:

menciptakan pesan moral dan psikologis yang tidak baik bagi pihak Komunis dengan: (1) membeberkan kebobrokan moral rejim komunis Cina; (2) memaparkan pola kolonial-imperial Soviet yang menggunakan Cina Komunis sebagai agen eksekutifnya di Asia; (3) mendiskreditkan motif di balik Lima Prinsip yang diajukan oleh [Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Cina] Chou En-lai yang isinya: saling menghormati kesatuan dan kedaulatan wilayah masing-masing; tidak saling menyerang; tidak saling mencampuri urusan dalam negeri negara lain; kesetaraan dan keuntungan bersama; dan hidup berdampingan secara damai.48

Dengan menjalankan rencana semacam itu para pejabat pemerintahan Eisenhower yakin bahwa mereka akan dapat menciptakan suatu kondisi yang nantinya akan mendorong banyak negara Asia-Afrika untuk mempertanyakan motiviasi di balik retorika antikolonialisme Blok Komunis. Singkatnya, pemerintah Eisenhower berhadap “akan dapat memanfaatkan langkah-langkah yang telah ditempuh oleh Blok Komunis dan membaliknya untuk menyerang mereka.”49 Lebih jauh mereka berharap bahwa rencana itu akan sanggup menghalangi upaya-upaya Blok Komunis untuk memanfaatkan KAA untuk mengecam Amerika Serikat. Sekaligus mereka berharap akan memanfaatkan upaya-upaya itu untuk kepentingan A.S. dan sekutu-sekutunya.50

Bertolak dari pertimbangan-pertimbangan di atas, para pejabat CIA sempat mengusulkan sebuah rencana tersendiri, yakni upaya pembunuhan atas seorang tokoh penting dengan maksud untuk menggagalkan KAA. Rencana itu benar-benar pernah ada, namun untuk jangka waktu yang lama terkubur sebagai suatu rahasia. Baru pada tahun 1975, ketika Komisi Church—sebuah komisi Senat A.S. yang diketuai oleh Senator Frank Church untuk menginvestigasi operasi-operasi rahasia CIA—menerima kesaksian menyangkut berbagai kegiatan rahasia CIA di kawasan Asia Timur rahasia itu mulai terkuak. Menurut kesaksian itu para agen CIA telah berencana untuk membunuh seorang “pemimpin Asia Timur” guna menggagalkan sebuah konferensi di Bandung, yang mereka sebut “Konferensi Komunis”.51 Selanjutnya, Komisi Church menemukan bahwa rencana untuk “menghilangkan” seorang pemimpin Asia Timur ini melibatkan rencana CIA untuk membunuh Presiden Sukarno. Rencana itu telah berjalan, demikian temuan Komisi Church, hingga tahap penentuan agen yang akan direkrut untuk melaksanakan pembunuhan. Laporan tersebut menyatakan:

Selain rencana-rencana [lain] yang dibahas di dalam bagian pokok laporan ini, Komisi mendapat petunjuk mengenai keterlibatan CIA dalam rencana untuk membunuh Presiden Sukarno dari

Indonesia ... Mantan Deputi Direktur Perencanaan [ CIA] Richard Bissel memberikan kesaksian bahwa rencana pembunuhan Sukarno tersebut sudah sempat “dipikirkan” oleh CIA, namun rencana itu baru sebatas penentuan “aset” [yang] diyakini akan dapat direkrut untuk membunuh Sukarno. Persenjataan memang telah diberikan kepada kelompok-kelompok anti-pemerintah di Indonesia tetapi, menurut Bissel, senjata-senjata tersebut tidak dimaksudkan untuk melaksanakan rencana pembunuhan itu. (Bissel, 6/11/75. P.89).52 Namun demikian, pada akhirnya, Komisi tersebut menyimpul-kan “Di markas CIA orang-orang yang berkepala dingin ternyata lebih kuat pengaruhnya.” Rencana itu pun dibatalkan.53

Meski tidak jadi menjalankan rencana CIA, pemerintahan Eisenhower terus mencari cara untuk mempengaruhi KAA dan tampaknya memang berhasil. Tuntutan Indonesia atas masalah Irian Barat memang sempat dibicarakan, namun mereka yang hadir dalam konferensi itu tidak pernah mengeluarkan kecaman terhadap imperialisme Barat atau campur tangan A.S. di negara-negara Asia dan Afrika. Sepuluh butir pernyataan akhir yang dihasilkan KAA hanya secara tidak langsung mengkritik dua negara adidaya dalam Perang Dingin karena telah menyebabkan “ketegangan internasional yang sekarang melanda dunia dengan bahaya meletusnya perang bom atom”. Pada saat yang sama, konferensi ini memberi peluang bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika untuk bergabung dengan persekutuan militer mana pun guna mempertahankan diri “baik sendiri-sendiri maupun secara kolektif ” sejauh inisiatif tersebut masih sesuai dengan Piagam PBB.

Pandit Jawaharlal Nehru—Perdana Menteri India dan pemimpin “non-blok” dalam konferensi tersebut—berhasil meyakinkan bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk tetap tidak berpihak dalam Perang Dingin. Dalam pidatonya dia mengatakan: “Merupakan suatu kehinaan yang tak terperikan bagi bangsa mana pun di Asia dan Afrika untuk merendahkan dirinya sendiri dengan menjadi pengikut suatu kubu blok kekuasaan dunia ...” Dia lalu menambahkan, “Kita yakin kedua blok itu keliru [dan]

... sedang menjalankan kebijakan-kebijakan yang dapat menyeret kita ke jurang peperangan.”54 Pada kesempatan yang sama Chou En-lai—Perdana Menteri Cina Komunis yang oleh para pejabat Departemen Luar Negeri A.S. dikhawatirkan akan mengecam A.S., khususnya menyangkut masalah Taiwan—tampak bersikap lunak. Menekankan kesiapan Cina untuk melakukan perundingan diplomatik, Perdana Menteri itu mengatakan dalam pidatonya, “Rakyat Cina tidak menghendaki perang melawan Amerika Serikat.” Pemerintah Cina, lanjutnya, “bersedia duduk bersama dan berunding dengan Amerika Serikat untuk membicarakan ... secara khusus hal-hal yang kiranya akan membantu meredakan ketegangan di wilayah Formosa [Taiwan].”55

Pemerintahan Eisenhower merasa senang dengan hasil konferensi. Evaluasi Departemen Luar Negeri A.S. menyatakan bahwa sebagaimana diharapkan, KAA telah “menghasilkan prinsip-prinsip penting yang menguntungkan Blok Barat dan secara umum tidak mengandung pernyataan anti-Barat atau pro-Komunis.”56

Menurut dokumen yang sama, Chou En-lai telah memproyeksikan diri sebagai seorang pribadi yang moderat “dan yang dengan lihai menggunakan teknik Cicero, yakni dengan cara menyebutkan sentimen anti-Barat atau pro-Komunis, tetapi kemudian menyatakan bahwa demi harmoni dan persatuan, sentimen anti-Barat atau pro-Komunis itu tidak perlu diperpanjang.”57

Pemerintahan Eisenhower merasa puas bahwa KAA tidak mengusik “keseimbangan” antara Blok Barat dan Blok Timur dalam kontestasi Perang Dingin. Media massa Amerika, terutama The

New York Times, menggemakan reaksi positif ini. Menandakan

betapa pentingnya pernyataan Chou bagi Amerika Serikat, surat kabar tersebut memuat pidato Chou En-lai secara utuh.58 Sambil menyebut Konferensi Bandung itu sebagai “konferensi pertama bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam sejarah”, editorial The New

pro-Barat telah berhasil memukul komunisme dengan telak ...” Koran tersebut merasa senang bahwa negara-negara seperti Iran, Irak, Turki, Thailand, Pakistan, dan Filipina telah “mengutuk komunisme sebagai sebuah bentuk baru kolonialisme” sembari mempertahankan sikap pro-Barat mereka.59

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 133-138)