• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Sikap Netral ke Intervensi

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 118-125)

Salah satu faktor yang mendorong kemenangan Eisenhower dari Partai Republik dalam pemilihan presiden A.S. tahun 1952 adalah kekecewaan rakyat Amerika atas “jatuh”-nya Cina ke tangan komunis di bawah pimpinan Mao Zedong pada tahun 1949. Padahal selama berada di bawah kekuasaan rejim Nasionalis, Cina merupakan sekutu dekat Amerika Serikat di Asia. Banyak orang Amerika merasa bahwa pemerintahan Truman—dan dalam arti tertentu seluruh Partai Demokrat—bertanggung jawab atas ketidakmampuan mempertahankan pemerintahan Nasionalis Kuomintang pimpinan Chiang Kai-sek sehingga Cina diambil alih dan dikuasai oleh kelompok komunis. Presiden Eisenhower dan pemerintahannya sadar bahwa persepsi macam itu telah turut menyumbang bagi kemenangan Partai Republik dalam Pemilu AS tahun 1952. Selama masa kampanye Partai Republik berdiri di belakang Senator Joseph McCarthy dan para pendukungnya dalam menyerang pemerintahan Presiden Truman dari Partai Demokrat dan menganggapnya “lunak terhadap komunisme”. Pemerintahan Truman dipandang bertanggung jawab atas

“hilang”-nya Cina dari kubu Free World. Selama masa kampanye, Partai Republik memanfaatkan kekhawatiran rakyat Amerika bahwa pemerintahan Roosevelt-Truman telah membuka pintu bagi “subversi komunis” dalam pemerintahan A.S. maupun negara-negara yang pro-A.S. Banyak orang Amerika percaya bahwa di bawah Partai Republik Amerika akan bersikap lebih tegas dan keras terhadap komunisme.

Setelah memenangkan pemilihan presiden dan sepenuhnya menjalankan roda pemerintahan Amerika, pemerintahan Eisenhower, berikut para politisi Partai Republik pada umumnya, ditantang untuk “membuktikan diri” bahwa mereka sanggup membendung laju penyebaran komunisme internasional. Mengacu pada “pelajaran dari Cina”, mereka kini menyadari bahwa kegagalan dalam mencegah jatuhnya suatu negara non-komunis ke tangan komunis (khususnya di Asia) dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan dan dukungan publik Amerika. Kegagalan macam itu akan dapat membuat masyarakat Amerika menilai mereka sebagai “sama lunaknya” dengan Partai Demokrat dalam menghadapi komunisme. Mudah dimengerti, keinginan untuk mempertahankan negara-negara non-komunis supaya tidak jatuh ke tangan komunis menjadi landasan utama bagi politik luar negeri pemerintahan Eisenhower, terutama terhadap Asia.

Pada tingkat internasional, awal masa jabatan Eisenhower yang pertama ditandai dengan munculnya perkembangan baru dalam ketegangan Perang Dingin. Pada bulan Januari 1953, kantor berita resmi Soviet TASS mengumumkan berita tentang adanya apa yang disebut sebagai “komplotan dokter”, di mana menurut TASS sekelompok dokter yang disponsori oleh Amerika dan Yahudi telah bersekongkol untuk membunuh beberapa pemimpin Soviet. Sementara itu meninggalnya pemimpin Soviet Joseph V. Stalin dalam usia tujuh puluh tiga tahun pada tanggal 5 Maret 1953 telah menciptakan semacam ketidakpastian mengenai arah

Uni Soviet selanjutnya. Georgi M. Malenkov, anak didik sekaligus pewaris setia Stalin, menggantikannya sebagai Premier (ketua Dewan Menteri) dan Sekretaris Jenderal Partai Komunis. Namun demikian, pada 14 Maret Malenkov dipaksa untuk menyerahkan jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal partai kepada seorang politikus kawakan Nikita S. Khrushchev. Manuver Khrushchev sendiri menunjukkan adanya suatu perebutan kekuasaan yang sedang berlangsung dalam kepemimpinan tertinggi Soviet.10

Kemudian, pada tanggal 10 Maret, sebuah pesawat tempur jet Amerika ditembak jatuh oleh dua pesawat tipe MIG-15 milik Cekoslowakia di wilayah udara Jerman Barat.11 Pada tanggal 16 April 1953, dalam pidatonya kepada Asosiasi Editor Surat Kabar Amerika (American Society of Newspapers Editors) di Washington, Presiden Eisenhower menyampaikan sejumlah usulan bagi para pemimpin Soviet agar menunjukkan niat baik memperjuangkan perdamaian dunia, termasuk “perdamaian yang langgeng” di Asia.12

Menanggapi pidato tersebut, surat kabar resmi Soviet, Pravda, memuat sebuah artikel yang intinya mempertanyakan ketulusan usulan Eisenhower dalam pidatonya itu.13

Selain itu semua pemerintahan Eisenhower juga baru saja mengakhiri keterlibatan Amerika di dalam pertempuran melawan komunis dalam Perang Korea. Pengalaman pemerintahan Eisenhower dalam mengakhiri Perang Korea turut mempengaruhi perubahan dalam politiknya terhadap Indonesia. Sebelumnya, pada masa kepresidenan Truman, para pejabat di Washington telah memandang serangan Korea Utara yang komunis atas Korea Selatan yang pro-Barat pada bulan Juni 1950 sebagai semacam peringatan bahwa mereka harus makin waspada. Bagi mereka Perang Korea menunjukkan bahwa kekhawatiran atas menyebarluasnya komunis-me di Asia bukan lagi sekedar sebuah teori politik, komunis-melainkan suatu realitas militer. Pemerintahan Eisenhower memang berhasil dalam menyelesaikan konfl ik itu melalui gencatan senjata yang disepakati

pada Juli 1953. Namun demikian perang tersebut merupakan sebuah peringatan bahwa bila kebijakan antikomunis Amerika di Asia tidak diperkuat, negara-negara lain bisa ikut jatuh ke Blok Komunis.14 Indonesia tak terkecuali.

Keterlibatan A.S. di Indocina, khususnya di Vietnam, juga turut mempengaruhi perubahan politik luar negeri pemerintahan Eisenhower terhadap Indonesia. Bulan-bulan pertama pemerintahan Eisenhower ditandai dengan makin lemahnya kekuasaan pemerintah kolonial Perancis atas Vietnam, sekaligus makin meningkatnya kekuatan kelompok nasionalis-komunis lokal. Kekalahan Perancis dalam pertempuran Dien Bien Phu pada bulan Mei 1954 berikut penandatanganan Perjanjian Jenewa pada bulan Juli tahun yang sama mendorong perubahan besar dalam keterlibatan A.S. di Vietnam. Tak lama setelah penandatanganan Perjanjian Jenewa pemerintahan Eisenhower memutuskan untuk terlibat langsung di Vietnam dan menggantikan Perancis sebagai kekuatan militer asing di negeri tersebut. Pemerintahan Eisenhower bertekad untuk menghadang laju penyebaran komunisme dari utara dengan mendirikan sebuah pemerintahan non-komunis di bagian selatan negeri itu.15 Dalam kaitannya dengan Indonesia, para pejabat dalam pemerintahan Eisenhower sadar, sementara Cina dan Korea cukup jauh, Vietnam lebih dekat letaknya. Artinya, konfl ik antara kekuatan komunis dan non-komunis di Vietnam dapat dengan mudah meluas ke Indonesia. Kebetulan waktu itu Indonesia dipimpin oleh tokoh-tokoh politik yang berhaluan kiri dan memiliki sebuah partai Komunis yang mendapat dukungan luas. Bagi mereka, membiarkan Indonesia menentukan sendiri politik luar negerinya berarti membuat negeri ini rentan terhadap komunisme internasional.

Para pejabat urusan luar negeri pemerintahan Eisenhower per caya bahwa sebenarnya kemenangan komunis di Cina dapat dimini malisir seandainya pemerintahan Truman mempunyai

pandangan yang lebih realistik atas masalah-masalah Cina. Menurut mereka, Pemerintahan Truman terlalu sibuk menekankan “kesatuan teritorial Cina” ketika pemerintah Nasionalis Cina tengah berhadapan dengan ancaman kekuatan komunis. Kesatuan teritorial Cina memang dapat diselamatkan, masih menurut mereka, tetapi hanya demi keuntungan kubu komunis yang akhirnya merebut seluruh wilayah Cina kecuali Taiwan. Menteri Luar Negeri A.S. dalam pemerintahan Eisenhower, John Foster Dulles, membahasakannya demikian: “Kesatuan teritorial Cina

terlanjur menjadi semacam semboyan yang dijunjung tinggi. Dan kita memang mampu mempertahankan kesatuan teritorial Cina. [Tetapi] demi keuntungan siapa? Demi keuntungan kubu Komunis.”16 Para pejabat pemerintahan Eisenhower berpendapat bahwa semestinya Amerika Serikat mendorong Chiang Kai-shek memusatkan kekuatan pemerintahan Nasionalisnya di wilayah-wilayah yang paling mudah untuk dipertahankan. Sementara itu wilayah-wilayah yang dirasa sulit dipertahankan biar saja dikuasai oleh kelompok komunis, untuk nantinya direbut kembali. Bagi mereka, alih-alih menekankan kesatuan teritorial Cina, A.S. mestinya membiarkan saja terjadinya perpecahan wilayah negeri itu, setidaknya untuk sementara waktu, untuk kemudian disatukan lagi.17 Menurut para pejabat pemerintahan Eisenhower, gara-gara pemerintahan Truman salah strategi dalam menjalankan kebijakannya atas Cina akibatnya kebijakan anti-komunis menjadi lemah. Hal itu merupakan suatu kekeliruan yang tidak boleh terulang.

Tak perlu dikatakan lagi, gagasan mengenai pelajaran yang dapat ditarik dari hilangnya Cina ke tangan komunis turut mempengaruhi kebijakan pemerintahan Eisenhower terhadap Indonesia. Pemerintahan Eisenhower semakin hari semakin khawatir bahwa Indonesia akan dikendalikan oleh kelompok komunis. Tak lama menjelang keberangkatan Duta Besar

pertama-nya untuk Indonesia ( Hugh S. Cumming), Presiden Eisenhower mengungkapkan kekhawatirannya mengenai meningkatnya pengaruh komunis di Indonesia. Kepada Cumming dia mengatakan bahwa dia tidak keberatan bila Indonesia pecah menjadi beberapa wilayah kecil-kecil, daripada tetap utuh tetapi semuanya jatuh ke tangan komunis.18 Secara lebih personal, Menteri Luar Negeri A.S. Dulles memberi masukan kepada sang Duta Besar: “Hugh, tentu saja saya berharap darimu laporan yang objektif.” Dia kemudian menambahkan, “Tolong jangan ikatkan dirimu pada suatu kebijakan untuk menjaga kesatuan Indonesia ...” Menteri Luar Negeri A.S. itu kemudian secara terus-terang menjelaskan keinginannya tentang Indonesia:

Ada sesuatu yang tak dapat saya sampaikan secara tertulis, namun Anda pasti tahu apa yang saya maksud.... Antara satu Indonesia yang secara teritorial utuh tetapi condong ke arah komunis dan pecahnya negara tersebut ke dalam kelompok-kelompok etnis dan geografi s, saya lebih memilih yang kedua. Melalui kelompok-kelompok itu Amerika akan dapat membantu memusnahkan komunisme. Setelah itu, kalau memang dikehendaki, kelompok-kelompok itu bisa dipersilakan untuk bergabung kembali sebagai Indonesia yang satu.19

Tampak sekali apa yang disebut sebagai “pelajaran dari Cina” telah turut memainkan peran penting dalam pergeseran politik luar negeri pemerintahan Eisenhower terhadap Indonesia.

Di Indonesia sendiri terdapat sebuah perkembangan politik yang turut mendorong perubahan politik luar negeri AS itu, dari non-intervensi ke intervensi. Perkembangan dan politik itu adalah adanya arah baru yang ditempuh oleh Pemerintah RI dalam politik luar negerinya. Pada bulan Agustus 1953, terbentuklah kabinet baru di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo. Kabinet ini—dikenal sebagai Kabinet Ali—ingin menempuh suatu kebijakan luar negeri di mana Indonesia bermaksud memainkan peran lebih aktif dalam masalah-masalah internasional, terutama di antara negara-negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika.20

meng-ambil posisi netral atas kedua blok dalam perseteruan Perang Dingin. Tindakan Indonesia itu seakan membenarkan ramalan sebuah laporan yang diserahkan kepada Departemen Luar Negeri A.S., yang menyatakan bahwa Indonesia sedang mencoba “memimpin Asia untuk bersikap netral”.21

Sebagaimana kita tahu, sejak awal kemerdekaannya Indonesia ingin memegang prinsip “bebas-aktif ” dalam politik luar negerinya. Di bawah Kabinet Ali Indonesia ingin mempertegas prinsip itu dengan menunjukkan bahwa Indonesia tidak ingin memihak ke salah satu kubu Perang Dingin. Pada saat yang sama, Kabinet Ali ingin menjalankan peran yang lebih aktif dalam berbagai permasalahan dunia. Menurut Herbert Feith yang secara langsung mengamati dinamika politik Indonesia pada masa itu:

Pandangan Kabinet Ali mengenai situasi di Indonesia agak lain daripada yang lain. Kabinet ini melihat persoalan-persoalan dalam negeri Indonesia sebagai persoalan-persoalan yang serius namun menolak untuk menganggapnya sebagai beban. Sekaligus kabinet ini memandang dunia luar dengan kepercayaan diri yang tinggi, yang lahir dari keyakinan akan kebangkitan kembali Asia. Indonesia adalah negara yang sangat anti-kolonial dan bercita-cita memimpin gerakan anti-kolonial dunia. Lebih dari itu kabinet ini sadar bahwa suatu politik luar negeri yang aktif akan memiliki fungsi integratif, sekaligus dapat mendatangkan berbagai manfaat politik dalam negeri. Oleh karena itu, di bawah kepemimpinan yang lugas dari seorang Perdana Menteri yang adalah seorang mantan diplomat, kabinet ini ingin menjadikan politik luar negeri Indonesia benar-benar aktif.22 Bisa diduga, gagasan tentang politik luar negeri yang netral dan bebas tetapi aktif ini membuat gelisah banyak pejabat dalam pemerintahan Eisenhower.

Menteri Luar Negeri Dulles adalah salah satu contohnya. Dia memandang politik luar negeri Indonesia yang tidak berpihak atau netral sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima. Menurut dia, di tengah dunia yang terbagi menjadi dua kutub Perang Dingin, Indonesia harus memilih salah satu dari keduanya. Indonesia harus memilih untuk menjadi sekutu Amerika atau sekutu Soviet.

Menyitir apa yang pernah ditulis oleh Ide Anak Agung Gde Agung—Duta Besar Indonesia untuk Perancis yang nantinya akan menjadi Menteri Luar Negeri RI—pikiran Dulles “penuh dengan konsep-konsep mengenai persekutuan dan pakta militer untuk menghadang Komunisme di setiap sudut dunia.” Konsekuensinya, Menlu A.S. tersebut menanggapi politik luar negeri Indonesia yang tidak memihak itu “dengan penuh kekhawatiran dan kecurigaan”.23 Dulles khawatir, sikap netral Indonesia hanya akan menguntungkan kubu Komunis. Rasa khawatir dan curiga ini selanjutnya menjadi salah satu pendorong bagi perubahan po litik pemerintahan Eisenhower terhadap Indonesia dari sikap netral atau non-intervensi menjadi politik penuh intervensi. Akan segera menjadi jelas bahwa dalam banyak hal politik luar negeri pemerintahan Eisenhower yang pertama terhadap Indonesia jadinya merupakan kelanjutan saja dari kebijakan pemerintahan Truman terhadap Indonesia. Pada saat yang sama, sembari meneruskan kebijakan pendahulunya dalam mencegah jatuhnya Indonesia ke tangan komunis, pemerintahan Eisenhower juga meneruskan gagasan untuk membendung penyebaran komunisme di dalam negeri Indonesia sendiri. Untuk itu pemerintahan Eisenhower tidak segan-segan turut campur tangan dengan maksud untuk mempengaruhi politik luar negeri maupun dinamika politik dalam negeri Indonesia.

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 118-125)