• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memanggang Kaki Bung Karno

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 151-173)

Sepulang Bung Karno dari lawatan luar negeri, Indonesia mengalami perkembangan politik yang serba cepat. Banyak pihak, misalnya, merasa tidak puas dan kecewa dengan sistem pemerintahan parlementer dan sistem multipartai pada umumnya. Mereka merasa bahwa sistem macam itu hanya mampu menghasilkan kabinet yang terus-menerus berganti dan berlarut-larutnya berbagai konfl ik internal serta bertele-telenya kehidupan politik. Rakyat merasa muak atas berbagai skandal korupsi di kalangan pemerintah.93

Banyak pula yang merasa kecewa pada para politikus yang tampak makin menjauh dari rakyat dan memanfaatkan kedudukan mereka hanya untuk mengejar kepentingan sendiri. Mereka menuduh

para politikus sedang “mabuk kekuasaan dan kedudukan”. Mereka merasa bahwa kepentingan pribadi telah menggeser semangat nasionalisme dan semangat kepahlawanan yang sebelumnya berkobar selama masa Revolusi Kemerdekaan.94

Presiden Sukarno pun semakin merasa kecewa dengan situasi politik Indonesia. Ia mulai menyatakan keinginannya untuk memulai suatu sistem yang bisa menjadi alternatif terhadap sistem multipartai. Ia makin merasa enggan harus berbagi kekuasaan dengan parlemen dan para menteri dalam kabinet demi kabinet yang tidak efektif. Sebagai alternatif, dia memperkenalkan apa yang ia sebut sebagai “demokrasi terpimpin”, sekaligus menyatakan keinginannya untuk memainkan peran pokok dalam politik Indonesia. Tentu saja dia sendirilah yang nantinya akan memimpin “demokrasi” itu.95

Salah satu konsekuensi dari sistem politik yang diusulkan Bung Karno ternyata adalah semakin mengecilnya peran Bung Hatta. Sengaja atau tidak, kesannya Bung Karno semakin mengabaikan Bung Hatta, baik sebagai Wakil Presiden maupun sebagai bagian dari Dwitunggal Sukarno-Hatta yang sebenarnya merupakan simbol persatuan Jawa- Luar Jawa dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Upaya Hatta untuk mengajukan alternatif lain kepada Bung Karno tidak digubris. Itulah sebabnya ketika Bung Karno semakin kuat memaksakan pandangan-pandangannya sendiri atas sistem politik Indonesia, dan ketika perbedaan politis antara Presiden dan Wakil Presiden menjadi semakin tak terdamaikan lagi, pada tanggal 20 Juli 1956 Hatta mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden, berlaku mulai 1 Desember tahun itu juga.

Pernyataan pengunduran diri Hatta ternyata tidak menghalangi Bung Karno untuk tetap mengubah sistem politik Indonesia. Dalam pidato di depan Konferensi Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1956, sebuah konferensi yang dimaksudkan untuk memperingati Sumpah

Pemuda, Bung Karno mengeluh tentang “penyakit partai-partai”. Dalam kesempatan itu ia mengatakan bahwa rakyat Indonesia telah membuat kesalahan besar pada tahun 1945. Menurutnya:

ketika itu kita mendesak agar dibentuk partai, partai, dan partai ... Sekarang buah dari kesalahan itu sedang menimpa kita. ... Sekarang ini apa yang saya impikan adalah bahwa para pemimpin partai-partai akan bertemu, akan berbicara satu sama lain, untuk kemudian sampai pada keputusan “Mari sekarang kita bersama-sama mengubur semua partai yang ada.”96

Dua hari setelahnya, pada tanggal 30 Oktober, Bung Karno berbicara dalam konferensi Perhimpunan Guru. Pada kesempatan itu dia mengungkapkan keputusasaannya dengan korupsi yang dilakukan banyak politikus Indonesia dan kekagumannya pada sistem politik di Uni Soviet dan Cina. Diapun lantas mengulangi seruannya untuk mengganti sistem partai politik:

Saya tidak ingin menjadi seorang diktator, saudara dan saudari ... Itu berlawanan dengan semangat saya. Saya adalah seorang demokrat. Saya benar-benar seorang demokrat. Tetapi, demokrasi saya bukanlah demokrasi liberal ... Yang ingin saya lihat di Indonesia kita ini adalah demokrasi terpimpin, demokrasi yang diarahkan, tetapi tetap demokrasi.97

Kepada para pemimpin partai politik Bung Karno menyerahkan langkah-langkah praktis yang mesti diambil untuk membubarkan partai-partai tersebut. Tetapi dia kemudian lalu menambahkan: “... tentu saja, saya mempunyai konsepsi saya sendiri.” Setelah itu ia menyatakan, bila diminta ia bersedia menjelaskan konsepsinya itu.98

Banyak pihak dari kalangan militer, terutama para komandan militer daerah di Luar Jawa, juga kecewa dengan kinerja sistem politik dan pemerintahan sipil pusat yang ada saat itu. Mereka merasa bahwa orang-orang yang duduk di pemerintahan pusat terlalu sibuk dengan usaha saling berebut kekuasaan, mengabaikan kesejahteraan daerah-daerah di Luar Jawa, dan kurang menghargai peran militer dalam pemerintahan. Tetapi sekaligus mereka juga sangat khawatir dengan kritik Presiden Sukarno atas sistem parlementer yang ada. Meskipun memiliki keprihatinan yang

sama dengan Presiden, mereka takut bahwa kritiknya akan mengakibatkan terkonsentrasinya kekuasaan di tangan pemerintah yang didominasi Jawa dan yang semakin dipengaruhi oleh kelompok komunis. Mereka memutuskan bahwa langkah-langkah tertentu perlu segera diambil guna melawan kecenderungan itu. Kebetulan banyak pejabat di A.S. juga memiliki keprihatinan serupa. Merekapun takut bahwa pemerintahan yang didominasi Jawa akan segera dikuasai oleh PKI, yang popularitasnya kini semakin hari semakin meluas.

Para komandan militer merasa senang bahwa menyusul penandatanganan Piagam Yogyakarta pada bulan Februari 1955— yang berisi sumpah kesatuan di antara mereka—relasi antara militer dan pemerintah kelihatannya membaik.99 Penunjukan kembali Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat oleh pemerintah pada bulan November tahun itu tampaknya menggarisbawahi membaiknya relasi tersebut. Namun demikian, kalangan Angkatan Darat segera menyadari bahwa Nasution sebenarnya berada pada posisi yang lemah dan tergantung pada pemerintahan sipil. Dalam posisi seperti itu Nasution dan rekan-rekan militernya tidak dimungkinkan untuk mengkritik pemerintahan sipil. Bahkan seakan-akan ada kewajiban untuk mempertahankan relasi militer-pemerintah yang sebenarnya rapuh. Kesediaan Nasution dan kawan-kawan untuk duduk di pemerintahan sipil akhirnya mengecewakan orang-orang militer lain yang berada di luar lingkaran mereka, yang sebelumnya telah merasa memiliki kekuasaan yang lebih besar. Meminjam kata-kata Herbert Feith, Nasution dkk “... seperti menawarkan sayur-mayur kepada seekor singa yang sudah pernah merasakan nikmatnya darah.”100

Ada hal lain yang membuat para pemimpin militer di luar lingkaran Nasution makin gelisah. Pada awal tahun 1956, setelah menduduki posisinya itu, Nasution berencana mengadakan mutasi atas komandan-komandan militer di beberapa wilayah kunci,

sebagai salah satu cara untuk melawan kecenderungan mereka untuk bertindak sendiri-sendiri. Rencana Nasution ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Sebaliknya, banyak komandan militer menolak rencana terebut. Mereka sudah terlanjur jauh terlibat dalam posisi-posisi yang “basah” berkat adanya praktek barter di wilayah komando masing-masing. Penolakan itu membuat Nasution berada dalam posisi terjepit. Ia harus memilih antara memperhatikan keinginan anak buahnya dan kemauan pemerintah pusat Jakarta. Pemerintah pusat, kata Nasution:

menuntut Kepala Staf Angkatan Darat [ Nasution sendiri] untuk bertindak guna mendisiplinkan para komandan wilayah, tetapi tanpa mau menangani persoalan di balik praktek barter itu. Kepala Staf Angkatan Darat merasa terjepit. Saya tidak setuju dengan yang dilakukan para komandan wilayah, sebab hal itu berarti mereka melangkah mundur dalam usaha kita untuk memperkuat Angkatan Darat dan bangsa. Tetapi, saya pun tidak dapat menerima sikap [pemerintah] yang hanya menganggap situasi ini sebagai masalah disiplin dan pelanggaran hukum. Saya benar-benar terjepit.101

Apakah Nasution benar-benar terjepit atau tidak, para komandan militer daerah terus menentang rencana mutasi tersebut. Komando teritorial Sumatra Utara, Kolonel Maludin Simbolon, memimpin aksi penentangan di Sumatra Utara. Dia didukung oleh mantan Deputi Kepala Staf Angkatan Darat, Letnan Kolonel Zulkifl y Lubis, sepupu sekaligus saingan berat Nasution. Pada bulan November 1956, Lubis telah berencana untuk melancarkan kudeta terhadap Nasution, tetapi berita mengenai hal itu bocor sebelum rencana tersebut dijalankan. Pada tanggal 16 Desember, sebanyak 48 pejabat tertinggi dari seluruh Sumatra menandatangani sebuah petisi yang mendukung oposisi Simbolon-Lubis terhadap Jakarta. Dari antara para pejabat tersebut yang paling terkemuka adalah Letnan Kolonel Ahmad Hussein, yang saat itu adalah komando Resimen Padang, Sumatra Barat.102

Inisiatif petisi tersebut dengan segera diikuti dengan pemben-tukan Dewan Banteng, yang dimaksudkan sebagai representasi

para pendukungnya dalam menentang pemerintah pusat. Pada tanggal 20 Desember Letnan Kolonel Hussein, yang telah ditunjuk sebagai ketua Dewan Banteng, mengambil alih pemerintahan sipil Sumatra Barat. Tindakan ini diikuti oleh pengumuman Simbolon pada 22 Desember di Medan, Sumatra Utara, tentang pembentukan Dewan Gajah dan pemutusan Sumatra Utara dari pemerintah pusat di Jakarta.103 Dua hari kemudian, pada tanggal 24 Desember, komandan resimen Sumatra Selatan, Kolonel Barlian, membentuk Dewan Garuda dan mendukung didirikannya Koordinasi Keamanan Daerah untuk memaksa pemerintahan sipil yang ada saat itu mengambil langkah-langkah pemisahan diri dari pemerintah pusat.104

Letnan Kolonel Herman N. “Ventje” Sumual, Kepala Staf teri-torial militer Indonesia Timur, memimpin oposisi terhadap rencana Nasution di Sulawesi. Sebagaimana para komandan teritorial yang lain, Sumual secara pribadi telah menarik keuntungan dari perdagangan barter di Sulawesi, sehingga mengurangi ketergantungan ekonomis teritorial itu pada pemerintah pusat di Jakarta. Dia membentuk sebuah dewan yang berbeda dan menyarankan supaya para komandan militer setempat, bersama dengan masyarakat Minahasa, terus menjalankan upaya penye-lundup an kopra ke berbagai pasar di Asia Tenggara. Baik di Sumatra maupun Sulawesi, usaha komando militer pusat di Jakarta untuk menghentikan praktek penyelundupan macam itu gagal.

Merosotnya kepercayaan publik Indonesia pada para pemimpin politik mereka, ditambah dengan konfl ik internal di tubuh militer Indonesia, sangat mempersulit pemerintahan Eisenhower untuk menyusun langkah tanggapan guna mengekang pertumbuhan PKI yang begitu pesat. Para pejabat di Washington sadar, sementara PKI bisa mengorganisir diri secara rapi dari tingkat atas hingga tingkat akar rumput, masyarakat sipil Indonesia pada umumnya, berikut institusi-institusi militernya, berada dalam kondisi yang lemah.

Mereka lebih jauh menyadari bahwa sementara PKI relatif bersih dari tuduhan korupsi, kelompok militer telah dituduh melakukan kelalaian anggaran dan mendukung praktek penyelundupan.

Hingga akhir masa pemerintahan Eisenhower yang per-tama , para pejabat urusan luar negeri A.S. sebenarnya tetap meng khawatirkan situasi di Indonesia, namun masih juga belum menemukan cara yang tepat untuk menghadapi perkembangan pesat kelompok komunis. Beberapa orang dari antara mereka melihat para komandan militer daerah yang anti-komunis dan kritis terhadap Jakarta sebagai sebuah kemungkinan yang bisa dipakai untuk menahan semakin condongnya pemerintahan pusat Indonesia ke ideologi kiri. Namun demikian ada beberapa orang yang merasa skeptis terhadap gagasan ini. Menteri Luar Negeri Dulles, misalnya. Memang ia percaya bahwa pemberontakan militer daerah akan membawa persoalan serius bagi Presiden Sukarno. Namun demikian, ia tidak yakin seberapa serius sebenarnya persoalan itu nantinya bagi Sang Presiden. Menurut Dulles, para komandan militer di Luar Jawa memang memberontak terhadap para pejabat pemerintah yang mereka tuduh korup dan tidak efi sien, tetapi mereka tidak mau menentang Presiden Sukarno sendiri. Dulles melihat, hasil akhir pemberontakan semacam itu akan tergantung pada banyak faktor, sehingga sama sekali tidak jelas. Sampai pada tahap ini satu-satunya kekhawatiran Dulles adalah bahwa Presiden Sukarno akan memanfaatkan pemberontakan itu untuk mengimplementasikan gagasan “demokrasi terpimpin”-nya, yang dalam pemahaman Menlu A.S. tersebut berarti “suatu ben-tuk pemerintahan yang totaliter”.105 Ketika Presiden Eisenhower menanyakan kepadanya apakah pemberontakan itu telah menyebar ke wilayah-wilayah Indonesia yang lain, Dulles hanya dapat menun juk pada dua tempat, Sulawesi dan Kalimantan, tetapi lalu menambahkan bahwa bahkan di situ pun pemberontakan tersebut “belum tampak sebagai sesuatu yang serius”.106

Sejumlah pejabat dalam pemerintahan Eisenhower menilai bahwa kritik Bung Karno terhadap “demokrasi Barat” atau “demo-krasi liberal” dan sistem parlementer semakin tajam tidak lama setelah kunjungannya ke Uni Soviet dan Cina. Bagi mereka, fakta ini menunjukkan bahwa Bung Karno makin berada di bawah pengaruh komunis dan dalam konteks Perang Dingin makin jauh bergeser arah ke Blok Komunis. Dengan popularitas PKI yang semakin menjulang, mereka takut bahwa Bung Karno dan segenap jajaran pemerintahan Indonesia tidak lama lagi akan melangkah makin mendekat ke kiri. Itulah sebabnya para pejabat itu menyambut gembira terjadinya pemberontakan di Luar Jawa. Bagi mereka pemberontakan itu merupakan sebuah kesempatan untuk melakukan suatu tindakan guna menghadang kecenderungan Indonesia ke arah kiri.

Sementara para pejabat dalam pemerintahan Eisenhower se dang memikirkan alternatif pendekatan terhadap Indonesia, seorang pejabat CIA mengusulkan diambilnya kebijakan-kebijakan baru terhadap Indonesia, khususnya terhadap Presiden Sukarno. Pada suatu hari di musim gugur tahun 1956, ketika Bung Karno semakin sering mengungkapkan kemuakannya pada “demokrasi Barat” dan kekagumannya pada sistem politik Soviet dan Cina, Deputi Direktur Perencanaan CIA, Frank Wisner, mengatakan kepa da Alfred C. Ulmer, ketua Divisi Timur Jauh CIA: “Saya rasa sekaranglah saatnya kita memanggang kaki Sukarno di atas api.”107

Sebenarnya tidak seorang pun dalam dinas rahasia itu memahami dengan pasti arti dari “komando” yang diberikan Wisner tersebut. Namun demikian, sebagai seorang bawahan yang setia, Ulmer tetap saja menyampaikan perintah itu kepada para pejabat CIA Cabang Nomor 5 dari Divisi Asia Timur (FE/5). Divisi ini membawahi Indonesia dan Malaka, dan menghubungkan CIA dengan dinas intelijen Australia. Ulmer lantas berujar

kepada para pejabat tersebut: “Jika kita tidak mau melaksanakan komando itu, maka mungkin Santa Klaus akan datang dan mengisi kantong-kantong kita dengan tugas-tugas yang lebih buruk.”108 Seperti diketahui, rencana para pejabat FE/5 untuk menjalankan “komando” itu nantinya akan didukung sepenuhnya oleh pemerintahan Eisenhower yang kedua, yang secara tragis akan salah membaca situasi di Indonesia. “Dengan demikian,” kenang mantan kepala Divisi FE/5 CIA Joseph Burkholder Smith jauh setelahnya, “dimulailah sebuah petualangan yang berlangsung selama satu setengah tahun, yang berakhir dengan matinya ribuan rakyat Indonesia. Sementara itu seorang pilot Amerika ... berada di sebuah penjara di Jakarta, menunggu eksekusi.”109 Sebagaimana akan kita lihat dalam bab berikut, Perang Dinginpun segera membakar Indonesia dengan amukan apinya yang dahsyat.

Catatan Akhir:

1 Pembicaraan pada Pertemuan Dewan Keamanan Nasional A.S. yang ke-226, Rabu, 1 Desember 1954, 5-6. Dwight D. Eisenhower: Papers as President of the United States, 1953-61 (Ann Whitman File). NSC Series. Box no. 6 Folder: 226th Meeting of NSC, December 1, 1954). Dwight D. Eisenhower Library, Abilene, Kansas (selanjutnya akan disebut sebagai Eisenhower Library saja).

2 Audrey Kahin dan George McT. Kahin, Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia (New York: The New Press, 1995), 9. Paul F. Gardner, Shared Hopes, Separate Fears: Fifty Years of U.S.-Indonesian Relations, (Boulder, Co: Westview, 1997), 112.

3 Kahin dan Kahin, 236.

4 Gardner, 112.

5 Lihat bab terdahulu tentang bagaimana kesepakatan militer rahasia dengan A.S. membuat kabinet Sukiman jatuh pada tahun 1952. Ketika Presiden Eisenhower mengawali masa pemerintahannya yang pertama pada tahun 1953, pemerintahan di Indonesia dijalankan oleh sebuah kabinet yang diketuai Wilopo, yang telah berkuasa sejak April 1952. Dua partai politik besar yang mendukung kabinet

Wilopo adalah PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Namun demikian, keduanya sulit bekerjasama. Berorientasi nasionalis, PNI mencurigai motivasi keagamaan yang mungkin dimiliki oleh para pemimpin Masyumi, sementara Masyumi tidak menyukai PNI karena pendukung utama partai tersebut adalah kaum muslim abangan, terutama dari masyarakat Jawa. Dalam Masyumi sendiri terdapat ketegangan antara faksi-faksi yang konservatif dan modernis. Pada pertengahan 1952, faksi yang konservatif memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan membentuk sebuah partai politik yang lebih konservatif, Nahdatul Ulama ( NU).

Tantangan terbesar yang dihadapi rakyat Indonesia semasa kabinet Wilopo adalah krisis ekonomi menyusul berakhirnya Perang Korea. Selama Perang Korea Indonesia mengalami ledakan ekonomi, terutama dari penjualan berbagai komoditas yang sangat diperlukan bagi perang, seperti karet. Bersama timah, karet menjadi primadona ekspor Indonesia. Tidak lama setelah perang, harga karet jatuh sampai 71 persen, menyebabkan penerimaan pemerintah pun ikut anjlok. Menanggapi kemunduran ekonomi ini, kabinet Wilopo berencana memotong anggaran belanja pemerintah sebesar 25 persen, setelah sebelumnya melakukan perampingan atas militer dan birokrasi pemerintahan. Menurut laporan Departemen Luar Negeri A.S., pada masa itu, pengeluaran untuk pertahanan Indonesia diperkirakan sebesar 35 persen dari seluruh anggaran nasional negara. (Lihat lampiran untuk “Memorandum of Conversation, by the Director of the Offi ce of Philippine and Southeast Asian Affairs (Bonsal),” 14 Agustus 1952. Foreign Relations of the United States (FRUS), 1952-1954, vol. XII, Washington: United States Government Printing Offi ce, 1984, 206-208). Namun, rencana ini mendapat perlawanan yang keras baik dari para pejabat militer maupun pemerintah. Maka, rencana tersebut pun dicabut. Pada Maret 1953, koalisi dua partai besar yang mendukung kabinet Wilopo sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Menyusul kematian lima petani di Medan yang disebabkan oleh upaya polisi untuk mengusir para penghuni liar yang menduduki tanah perumahan milik asing, anggota-anggota PNI di parlemen menyerukan pengunduran diri kabinet. Lihat M.C. Rickleffs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300 (London: MacMillan Limited, 1993, edisi kedua), 246. Pada bulan Juli tahun yang sama, kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno.

6 FRUS, 1952-1954, vol. XII, Part 2, 357. Cochran mengakhiri masa jabatannya sebagai duta besar A.S. di Indonesia pada 27 Februari 1953.

7 FRUS, 1952-1954, vol. XII, Part 2, 362.

8 Gardner, 117-118. Pada tahun 1952, Bung Karno meminta dukungan serupa dari pejabat Asisten Menteri Luar Negeri A.S. untuk Urusan Timur Jauh, John M. Allison, dengan mengatakan bahwa hal itu akan membantu dia dalam membangun solidaritas dan keamanan dalam negeri sekaligus “dalam mengarahkan sentiment rakyat Indo[nesia] kepada Amerika Serikat.” Lihat FRUS, 1952-1954, vol. XII, Part 2, 331-32.

9 Ide Anak Agung Gde Agung, Twenty Years of Indonesian Foreign Policy, 1945-1965

(Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), 105. Namun dalam prakteknya, sikap netral A.S. ini menguntungkan Belanda, sebab hal tersebut mendukung status quo Irian Barat, yang, menurut Perjanjian Den Haag, berada di bawah kendali Belanda. Lihat Feith, 156-57; Agung, 106.

10 Richard P. Stebbins, United States in World Affairs 1953 [USWA 1953] (New York: Council on Foreign Relations(, 103-112. Pada tanggal 12 September 1953, Khurshchev diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pusat Partai Komunis. Lihat USWA 1953, 486.

11 USWA 1953, 115.

12 Department of State Bulletin, XXIX, 31Agustus 1953, 299-300, sebagaimana dikutip di dalam USWA 1953, 129.

13 USWA 1953, 485.

14 Robert J. McMahon, Colonialism and Cold War: The United States and the Struggle for Indonesian Independence, 1945-49 (Ithaca dan London: Cornell University Press, 1981), 319. Ketika pada tanggal 31 Oktober 1952 suatu delegasi para pejabat Indonesia mengunjungi Washington, Perang Korea menjadi salah satu topik yang mereka bicarakan dengan Menteri Luar Negeri A.S. semasa pemerintahan Truman, yakni Dean Acheson. Merasa bahwa A.S. tengah berusaha menarik Indonesia supaya berpihak pada kubu Free World (“Dunia Bebas”), para delegasi tersebut menekankan netralitasnya. Dengan mengambil sikap netral dan membuat dirinya “dapat diterima oleh kedua belah pihak”, demikian delegasi itu mengatakan, Indonesia akan mampu membantu mencegah Perang Korea supaya tidak menjadi “perang dunia ketiga”. Lihat “Topics Discussed during Call of the Indonesian Minister, Mr. Mukarto,and the Secretary of State at 11 A.M. in October 31, 1952,” United States Delegation to the Seventh General Assembly, Memorandum of Conversation, October 31, 1952. Dalam “Papers of Dean Acheson: Memoranda of Conversations, July-November 1952,” Box 71 (Folder: October 1952), Harry S. Truman Library, Independence, Missouri. (Selanjutnya disebut Truman Library saja.)

15 George McT. Kahin, Intervention: How America Became Involved in Vietnam (New York: Anchor Books, Doubleday, 1986), 66.

16 Papers of John Foster Dulles, Harvey Mudd Library, Princeton University, Princeton, N.J., sebagaimana dikutip dalam Kahin dan Kahin, 10.

17 Kahin dan Kahin, 9. Mengenai Cina Komunis sebagai salah satu faktor dalam membentuk kebijakan A.S. terhadap Indonesia, silakan lihat pula Gardner, 133.

18 Catatan pribadi Hugh S. Cumming, Jr. sebagaimana dikutip dalam Kahin, Intervention, 68, 454.

19 Hugh S. Cumming, Jr., wawancara, 3 Desember 1966, the John Foster Dulles Oral History Project, Princeton University Library, 16-17, sebagaimana dikutip dalam Gardner, 133. Lihat pula Kahin, Intervention, 68; Leonard Mosley, Dulles: A Biography of Eleanor, Allen, and John Foster Dulles and their Family Network (New York: The Dial Press/James Wade, 1978), 437.

20 Walaupun banyak pejabat Amerika pada awalnya berkeberatan dengan pengaruh komunis di dalam Kabinet Ali, secara umum Washington bereaksi positif terhadap kabinet baru tersebut. Para pejabat luar negeri pemerintahan Eisenhower berusaha untuk tidak campur tangan dengan kabinet ini. Ali sendiri adalah pribadi yang sangat dihargai oleh para pejabat tersebut. Dia sebenarnya masih menjabat duta besar Indonesia untuk A.S. ketika Presiden Sukarno mengangkatnya menjadi kepala kabinet yang baru. Pada tanggal 6 Agustus 1953, tidak lama sebelum Ali kembali ke Jakarta,

Presiden Eisenhower secara pribadi memberitahu calon Perdana Menteri tersebut bahwa meski ada dugaan kuat tentang pengaruh Komunis di dalam kabinetnya, “Indonesia [akan] sanggup mempertahankan kemerdekaannya dengan baik.” Lihat

FRUS, 1952-1954, vol. XII, Part 2, 377.

Selama menjabat sebagai duta besar, Ali telah menunjukkan keinginan untuk menjalin kerja sama yang erat dengan Amerika Serikat. Pada April 1953, misalnya, dia mengajukan permintaan supaya A.S. memberikan pelatihan militer bagi tentara Indonesia. Menyebut permintaan semacam itu “sebuah tawaran yang mengejutkan dan krusial”, Asisten Utama Menteri Luar Negeri Walter B. Smith menyatakan bahwa ini dapat ditafsirkan sebagai petunjuk bahwa Indonesia kini bersedia berpihak kepada Amerika Serikat. Didominasi terutama oleh PNI, kabinet Ali tidak memasukkan orang dari Masyumi. Di luar PNI, dukungan bagi kabinet ini terutama datang dari partai NU dan dua kelompok Komunis, Faksi Progresif dan

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 151-173)