• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN UPAYA RE-KOLONISASI ATAS INDONESIA

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 37-42)

Barat atas Indonesia, dan atas koloni-koloni pra-Perang Dunia Kedua yang lain seperti Vietnam, Filipina, dan India, merupakan langkah penting untuk mempertahankan sumber bahan mentah dan potensi pasar bagi produk-produk Barat. Tentu saja langkah itu merupakan langkah yang juga penting bagi kemakmuran A.S. sendiri.3 Itulah sebabnya begitu perang usai, para pejabat itu langsung terlibat dalam perencanaan “masa depan” Indonesia. Mereka merasa bahwa setelah perang selesai Indonesia mesti diserahkan kepada suatu pemerintahan yang ramah terhadap A.S. dan dunia Barat pada umumnya. Misalnya kepada Belanda.

Bagi Belanda sendiri melanjutkan kontrol atas kepulauan Indonesia sebagai negeri jajahan amatlah penting baik sebagai sumber bahan mentah maupun sebagai pasar. Sistem Tanam Paksa yang dipraktekkan pada abad kesembilan belas telah menghasilkan 31 persen dari seluruh pemasukan nasional Belanda. Pada tahun 1938, diperkirakan bahwa Indonesia telah menyumbang 13,7 persen dari pendapatan nasional Belanda entah sebagai sumber bahan mentah atau pasar bagi industri Belanda. Judul pamfl et yang ditulis oleh C.G.S. Sandberg pada tahun 1914, yang kemudian menjadi slogan populer, mengangkat gagasan di balik upaya menentang pemisahan konstitusional Hindia Belanda dari negeri induk secara bertahap: “Indie Verloren, Rampspoed Geboren” [Hindia Hilang, Bencana Menghadang].4 Banyak pemimpin Belanda merasa yakin bahwa merebut kembali Indonesia sebagai negeri jajahan akan membuat Belanda memiliki status sebagai salah satu kekuatan dunia. Sementara itu mereka takut bahwa hilangnya Indonesia akan membuat Belanda “sejajar dengan Denmark”.5

Secara ekonomis Indonesia juga penting bagi Amerika Serikat. Meskipun nilai perdagangan Amerika dengan kepulauan Nusantara sepanjang abad kedelapan belas dan sembilan belas sebenarnya tidak begitu signifi kan—walaupun para pedagang maritim dari Salem, Massachusetts, pernah menguasai produksi dan perdagangan

lada Sumatra— pada permulaan abad sembilan belas volume perdagangan antara Amerika dan Indonesia mulai menunjukkan peningkatan.6 Pada awal tahun 1900-an Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij, sebuah anak perusahaan American Standard Oil Co., mulai memainkan peranan penting dalam industri minyak Indonesia.7 Menyusul tekanan yang berat dari A.S., pada tahun 1920 pemerintah kolonial Belanda mengijinkan sebuah perusahaan minyak Amerika, Standard Vacuum, untuk beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1935 pemerintah membuka pintu bagi kehadiran sebuah perusahaan minyak Amerika yang lain, yakni Socal, yang kini dikenal sebagai Chevron. Peran Amerika dalam industri minyak Indonesia mengalami perkembangan yang pesat ketika pada tahun 1939 para peneliti hidrokarbon Amerika menemukan sebuah ladang minyak di dekat Minas, Sumatra Timur, yang kemudian disebut sebagai “ladang minyak terbesar di Asia Tenggara”.8 Menjelang meletusnya Perang Dunia Kedua Indonesia menjadi pemasok 33 persen dari kebutuhan karet Amerika, berikut 10 persen timah, 80 persen minyak kelapa sawit, dan 90 persen kina yang dibutuhkan oleh negeri tersebut. Persentase itu menjadi lebih besar lagi bagi negara-negara sekutu Amerika Serikat di Eropa.9

Berbagai faktor ekonomi macam itulah yang mendorong para pembuat kebijakan Amerika pada akhir Perang Dunia Kedua untuk menyusun suatu rencana guna memastikan bahwa setelah perang rampung kepulauan Indonesia akan tetap berada di bawah kendali sekutu mereka. Rencana itu menjadi nyata pada tahun 1944 dalam sebuah kesepakatan awal tentang masalah-masalah sipil antara Jenderal Douglas McArthur dan Pejabat Letnan Gubernur Belanda Hubertus van Mook. Kesepakatan tersebut mengatur bahwa “Pemerintah Belanda akan sesegera mungkin mengambil-alih tanggung jawab penuh atas pemerintahan sipil dari wilayah Belanda yang direbut kembali, termasuk daerah-daerah pertempuran.”10 Kesepakatan itu juga menetapkan bahwa para

pejabat Pemerintahan Sipil Hindia Belanda ( NICA, Netherlands

Indies Civil Administration) yang diketuai oleh van Mook akan

memikul tanggung jawab ini. Dalam Pertemuan Postdam yang diadakan pada bulan Juli 1945, Kepala Staf Angkatan Bersenjata A.S. Jenderal George C. Marshall setuju untuk menyerahkan yurisdiksi Amerika Serikat atas bekas koloni Belanda dari Komando Pasifi k Barat Daya yang dipimpin oleh Jenderal McArthur kepada Komando Asia Tenggara Inggris di bawah Laksamana Lord Louis Mountbatten.11

Meskipun secara resmi sering menyampaikan pernyataan-pernyataan resminya anti-kolonial, dalam praktek ternyata sikap Amerika terhadap kolonialisme baik sebelum maupun selama Perang Dunia Kedua bersifat ambivalen dan paradoksal. Hal itu tampak sekali misalnya dalam sikap Presiden Roosevelt. Pada satu sisi Roosevelt tegas-tegas menentang penjajahan suatu bangsa oleh bangsa lain dalam bentuk apapun, sebagaimana terungkap dalam Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang ditandatanganinya pada tanggal 14 Agustus 1941. Pada sisi lain, dia mendukung re-kolonisasi Indonesia. Pada tanggal 6 April 1942, misalnya, dia meyakinkan atas Ratu Wilhelmina bahwa setelah perang, kepulauan Indonesia akan diserahkan kembali kepada Belanda. “ Hindia Belanda mesti dikembalikan,” tulis Roosevelt kepada Sang Ratu, “dan perasaan saya mengatakan bahwa hal itu akan segera menjadi kenyataan.”12 Sikap paradoksal Roosevelt ini mungkin disebabkan oleh ketegangan pribadi antara hasrat anti-kolonialnya yang tulus dan kenyataan bahwa meskipun orang Amerika dia memiliki darah Belanda.13

Paradoks tersebut tercermin pula dengan sangat jelas dalam sikap para pembuat kebijakan luar negeri pemerintahan Roosevelt terhadap Indonesia. Dipimpin oleh Asisten Menteri Luar Negeri James Clement Dunn, banyak dari antara para pejabat di Departemen Luar Negeri A.S. tidak memiliki pengetahuan dan

ketertarikan yang memadai tentang Asia pada umumnya, apalagi tentang Indonesia. Mereka lebih suka memusatkan perhatian pada kepentingan Eropa, dan memandang pemulihan kolonialisme pra-perang sebagai hal yang perlu dilakukan oleh Washington untuk menjaga persekutuannya dengan negara-negara Eropa. Kelompok “ Eropa-sentris” ini tidak mau peduli terhadap keinginan bangsa-bangsa terjajah untuk merdeka. Pada saat yang sama terdapat pula sejumlah pejabat yang menaruh simpati terhadap cita-cita rakyat Asia yang terjajah untuk memerdekakan diri. Kelompok “Asia-sentris” ini kebanyakan masih yunior dan merasa bahwa Amerika Serikat mesti berpihak pada rakyat Asia untuk mencegah kembalinya kolonialisme Eropa. Didukung oleh Menteri Luar Negeri Cordell Hull, mereka merasa yakin bahwa semua penguasa kolonial mesti membolehkan negeri-negeri bekas jajahan mereka untuk merdeka.14

Apa boleh buat, pada tahun 1944 posisi Hull sebagai Menteri Luar Negeri diganti oleh seseorang yang berpandangan Eropa-sentris, yakni Edward R. Stettinius, Jr. Sejak itu pengaruh kelompok Asia-sentris berkurang, sedang peran kelompok Eropa-Asia-sentris di dalam pembuatan kebijakan luar negeri Amerika menjelang akhir Perang Dunia Kedua makin meningkat.

Apa yang terjadi selanjutnya hanyalah kelanjutan saja dari perkembangan tersebut. Pada satu sisi pemerintahan Roosevelt gemar mengumumkan berbagai pernyataan anti-kolonial, menandatangani Piagam Atlantik, dan mendukung Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa ( PBB). Pada sisi lain pemerintahan yang sama menunjukkan sikap lebih condong pada para penguasa kolonial Eropa di Asia Tenggara. Penyerahan yurisdiksi militer Amerika kepada Inggris di dalam Pertemuan Postdam sebagaimana telah kita singgung di depan dengan jelas menunjukkan kecondongan itu. Para pejabat pemerintahan Roosevelt percaya bahwa kontrol Barat atas Asia Tenggara akan penting untuk mengamankan kepentingan-kepentingan pasca-perang bangsa-bangsa Barat di kawasan tersebut.

Sebagaimana pemerintahan Roosevelt tidak berencana untuk menarik kehadiran pasukan mereka dari Filipina, Amerika pun tidak pernah punya maksud untuk menentang rencana bangsa-bangsa Barat lain dalam upaya mereka mencaplok kembali bekas jajahan mereka di Asia Tenggara. Itulah sebabnya kebijakan resmi pemerintah Roosevelt adalah mendukung kembalinya Indonesia ke tangan pemerintah kolonial Belanda. Ketika pada tanggal 12 April 1945 Roosevelt meninggal dunia saat dia masih menjabat sebagai Presiden, orang yang menggantikannya, yakni Harry S Truman, melanjutkan kebijakan tersebut. Sementara itu, di tengah makin meningkatnya ketegangan internasional Timur-Barat pasca- Perang Dunia Kedua, pemerintahan Truman dengan segera dihadapkan pada masalah-masalah yang jauh lebih pelik dalam hal politik luar negeri A.S. terhadap Indonesia.

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 37-42)