• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebangkitan Kembali PKI

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 125-133)

Usaha untuk menghadang penyebaran komunisme di Indonesia sema kin gencar ketika pemerintahan Eisenhower menyadari pesat-nya kemunculan kembali dan perkembangan Partai Komunis Indonesia ( PKI). Seperti diketahui, mulai awal dekade 1950-an PKI secara mengejutkan berhasil tampil kembali ke atas panggung politik Indonesia. Salah satu pendorong keberhasilan tersebut adalah munculnya para pemimpin muda PKI mulai bulan Januari

1951. Salah seorang di antaranya adalah Dipa Nusantara Aidit. Ia ber hasil mengambil-alih kepemimpinan Politbiro partai dari para pemim pin lama yang selamat setelah Peristiwa Madiun tahun 1948.

Dengan menekankan Marxisme sebagai pedoman aksi dan bukan sebagai dogma yang kaku, kepemimpinan yang baru di bawah Aidit berhasil menarik sejumlah besar pengikut, terutama dari kalangan masyarakat Indonesia yang kurang terpelajar. Pada awalnya, sasaran yang dibidik PKI adalah penduduk urban dan pekerja bangunan yang diorganisasi dalam sebuah serikat buruh bernama SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Setelah mendapat banyak pengikut melalui organisasi tersebut PKI kemudian memperluas pengaruhnya di antara kelompok-kelompok sosio-ekonomi yang lain, khususnya kaum tani.

Sebagaimana dilaporkan di dalam kertas kerja Dewan Keaman-an Nasional A.S. (NSC, National Security Council), banyak orang Indonesia tertarik pada PKI karena adanya beberapa alasan seperti: serangan-serangan PKI terhadap imperialisme Belanda dan pengaruh asing; tekanannya pada disiplin dan organisasi partai; dan pendekatannya yang langsung kepada kaum tani.24 Dengan cepat PKI memperoleh anggota dalam jumlah yang besar di antara penduduk pedesaan, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dengan gigih partai itu berusaha menanggapi kebutuhan dan keprihatinan rakyat sembari menuntut diperbaikinya infrastruktur umum seperti sekolah, jembatan, dan jalan raya. Dalam waktu yang relatif singkat pengaruh PKI melampaui pengaruh partai-partai politik lain, sekaligus melahirkan citra sebagai organisator masyarakat yang penuh dedikasi dan penuh komitmen untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan dasar sosial dan ekonomi rakyat di tingkat akar rumput. Sebaliknya, partai-partai lain terkesan hanya sibuk berebut posisi kabinet di Jakarta. Dengan bertambahnya

dukungan dari masyarakat, PKI dengan mudah memperoleh keduduk an terhormat dalam sistem politik nasional.

Seorang anggota dari President Committee for Free Asia, Robert Blum, melaporkan pesatnya pertumbuhan PKI pada periode ini. Laporan Blum mencatat bahwa sampai bulan Maret 1954 PKI memegang kendali penuh atas para anggota SOBSI, dengan membawahi dan menyebarkan pengaruhnya atas 600.000 hingga 750.000 orang buruh. Selain itu, PKI juga menanamkan pengaruhnya di antara 250.000 sampai 300.000 anggota serikat-serikat buruh non-komunis.25 Lebih jauh laporan itu menggarisbawahi besarnya pengaruh PKI atas para pelajar dan mahasiswa Indonesia. Dikatakan, para ahli propaganda PKI mampu menanamkan “rasa nasionalisme yang berkobar-kobar” dalam diri pelajar dan mahasiswa. Propaganda-propaganda PKI biasanya amat meyakinkan dan menarik ribuan orang, sehingga membuat “propaganda USIS [United States Information Service] bukan apa-apanya.”26 Dibukanya hubungan diplomatik Indonesia dengan Cina pada tahun 1950, lanjut laporan tersebut, turut membantu meningkatkan jumlah pengikut PKI dari antara warga keturunan Cina di Indonesia. Dikatakan lebih jauh, “ada petunjuk bahwa PKI berada di bawah pengawasan Cina. ... Taktik-taktik agitasi SOBSI, misalnya, mencontoh pola yang dijalankan di Cina.”27 Sementara itu merosotnya ekonomi Indonesia dan tiadanya sistem hukum yang kuat juga turut menyumbang bagi pesatnya pertumbuhan PKI. Laporan tersebut menambahkan bahwa PKI juga diuntungkan oleh fakta bahwa meskipun Wakil Presiden Hatta lebih suka berpihak pada Partai Masyumi (Majelis Syuro Alimin) dan PSI ( Partai Sosialis Indonesia), Presiden Sukarno cenderung lebih dekat dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) dan PKI.28

Setelah mendapat pijakan yang kuat dalam politik dalam negeri, PKI mulai menebarkan pengaruhnya dalam politik luar

negeri Indonesia. PKI selalu bersikap kritis pada kebijakan-kebijakan A.S. terhadap Asia Tenggara dan Indonesia. Sebagai contoh, PKI mengecam keras SEATO (South East Treaty

Organization, Organisasi Pertahanan Asia Tenggara) yang digagas

oleh A.S. pada tahun 1954 untuk membendung penyebaran Komunisme di Asia Tenggara. Sementara Filipina dan Thailand mau bergabung dalam pakta militer tersebut, Indonesia menolak.29

Dan sementara pemerintahan Eisenhower yakin bahwa sebuah sistem pertahanan bersama diperlukan untuk mencegah ekspansi Blok Komunis di Asia Tenggara, PKI mengecamnya sebagai bukti campur tangan Amerika dalam masalah internal negara-negara di kawasan ini. PKI memperingatkan bahwa meskipun pemerintah Indonesia telah menolak untuk bergabung dalam pakta pertahanan tersebut, A.S. dan sekutu-sekutunya akan terus berusaha menarik Indonesia. Kata Aidit: “Penolakan Indonesia untuk bergabung dengan SEATO tidak berarti bahwa anggota-anggota SEATO akan berhenti [menarik Indonesia untuk masuk ke dalamnya].” Dengan dukungan Amerika, lanjut Aidit, negara-negara ini telah membentuk sebuah persekongkolan subversif di antara kekuatan imperialis dan kekuatan reaksioner yang ada di Indonesia untuk merongrong pemerintah Indonesia dan menariknya ke kubu mereka.30

Dalam sebuah rapat Komite Sentral partai, para pemimpin PKI menegaskan bahwa kini mereka telah menjadi suatu “kekuatan nasional” yang besar, yang tidak bisa lagi dipandang sebelah mata “baik oleh kawan maupun lawan”. Para pemimpin itu mendesak anggota-anggotanya untuk bekerja sama dengan partai-partai lain, terutama partai-partai yang berasaskan Nasionalisme dan Islam.31

Mengingatkan rakyat Indonesia akan bahaya campur tangan asing, Aidit secara terbuka menyerang Belanda dan A.S. dalam kaitannya dengan masalah Irian Barat. “Selama Irian Barat masih berada di

tangan kaum imperialis Belanda,” demikian pernyataan pemimpin PKI itu:

kapan pun bagian-bagian lain yang sah dari Republik Indonesia ini akan dapat dijual oleh Belanda kepada [John] Foster Dulles guna melayani kepentingan pakta Asia Tenggara yang agresif itu. Jika hal itu terjadi, hal itu berarti akan ada satu bagian yang sah dari Republik Indonesia yang dipakai oleh suatu negara tertentu yang sebenarnya tidak berhak guna melayani kepentingan-kepentingannya sendiri yang agresif, dan untuk mengganggu keamanan dan kedamaian Asia dan dunia. Oleh karena itu dengan memperhatikan kepentingan kolonial Belanda dan strategi perang Amerika Serikat, rakyat Indonesia harus mempersiapkan diri untuk suatu perjuangan yang panjang dan berat guna mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Rakyat Indonesia kini tidak hanya menghadapi Belanda tetapi juga sebuah kekuatan yang lebih besar dan lebih keji di belakangnya, yakni imperialisme Amerika yang selalu haus akan perang.32

Bisa diduga, retorika anti-Amerika PKI dan keberhasilan partai tersebut untuk bangkit kembali membuat para pejabat dalam pemerintahan Eisenhower merasa khawatir. Pada pertengahan 1953 sebagian dari mereka menyambut gembira adanya serangan beberapa kelompok Islam dan Sosialis terhadap PKI, walaupun sebenarnya meragukan efektivitasnya. Meringkas pandangan Departemen Luar Negeri A.S., Asisten Menteri Luar Negeri Walter S. Robertson menyatakan bahwa “secara umum, Indonesia sedang menghadapi masalah yang sangat berat.”33 Ketika waktu itu rakyat Aceh menunjukkan perlawanan terhadap Jakarta, Direktur CIA Allen Dulles mengaitkannya dengan perkembangan komunis di Indonesia. Pemberontakan tersebut menurutnya dapat berkembang menjadi sebuah “perang sahid” dan dapat “membuat pemerintah [Indonesia] semakin bergeser ke kiri guna mendapatkan dukungan dari kelompok komunis.”34 Sebaliknya, Wakil Presiden Richard Nixon tampaknya belum merisaukan pesatnya perkembangan PKI pada periode ini. Dalam kunjungannya ke Jakarta pada tahun 1953—sebagai bagian dari rangkaian lawatannya ke kawasan Asia dan dalam rangka “menilai sikap [negara-negara di Asia]

terhadap kemenangan komunis di Cina”—dia menemukan bahwa di bawah gaya kepemimpinan “tangan besi” Presiden Sukarno, “kelompok Komunis tidak akan mampu bergerak terlalu jauh di Indonesia.”35

Menteri Luar Negeri Dulles mengakui adanya kesulitan untuk bisa menilai bahaya Komunis di Indonesia. Salah satu kesulitan tersebut, demikian dikatakannya kepada peserta salah satu rapat NSC, adalah karena Indonesia menganut sistem pemerintahan yang terpusat dan bukan sistem federal. Lebih jauh Dulles mengungkapkan kekhawatirannya akan adanya orang-orang pro-komunis di tubuh pemerintah pusat Indonesia. Dari dua puluh anggota kabinet, kata Menteri Luar Negeri A.S. itu, delapan di antaranya adalah pro-komunis. Penolakan terhadap kehadiran orang-orang yang pro-komunis tidak terlalu kuat, lanjutnya, sedangkan Presiden Sukarno, “sangat yakin bahwa dia akan [mampu] mengendalikan dan memanfaatkan kelompok Komunis untuk melayani kepentingan-kepentingannya.”36

Kekhawatiran pemerintahan Eisenhower terhadap komunisme di Indonesia semakin meningkat ketika disadari bahwa kelompok anti-komunis yang paling kuat, yakni militer, sedang mengalami tekanan politik dan perpecahan internal yang serius. Menyusul kemerosotan ekonomi yang disebabkan oleh berakhirnya Perang Korea—sebuah perang yang telah turut membantu ledakan ekonomi di Indonesia—pemerintah berencana memotong anggaran belanjanya hingga 25 persen. Sebagai bagian dari program pemotongan anggaran ini Menteri Pertahanan Indonesia, Sultan Hamengku Buwono IX, merencanakan untuk “merasionalisasi” militer Indonesia dengan mengurangi personilnya dari 200.000 menjadi 100.000, sekaligus mengurangi jumlah pegawai negeri sipil dalam jumlah yang sama. Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Mayor Jenderal Tahi Bonar Simatupang, dan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Abdul Haris Nasution mendukung rencana Sultan

tersebut. Baik Simatupang maupun Nasution memiliki gagasan tentang Angkatan Bersenjata yang profesional, ramping dalam jumlah, dan bersikap non-politis. Namun demikian, rencana rasionalisasi ini mendapat perlawanan yang kuat dari banyak komandan militer Luar Jawa, yang sebagian besarnya dekat dengan PNI dan Presiden Sukarno.

Rencana tersebut selanjutnya memecah kelompok-kelompok politik di Indonesia menjadi dua kubu. Kubu pertama terdiri dari PNI, PKI, dan Presiden Sukarno yang didukung oleh para komandan militer daerah menentang rencana itu. Kubu kedua terdiri dari Menteri Pertahanan, komando militer pusat, dan partai-partai politik lain, mendukung gagasan rasionalisasi militer. Ketika ketegangan antara kedua kubu tersebut memuncak, pada tanggal 17 Oktober 1952 Angkatan Darat, diikuti oleh para pendukungnya dari kalangan masyarakat sipil, mengadakan sebuah demonstrasi besar di dekat istana negara. Mereka menuntut pembubaran parlemen dan diadakannya pemilihan umum. Ketika Bung Karno berusaha menenangkan massa, Angkatan Darat menanggapinya dengan menggelar unjuk kekuatan, dengan tank-tank yang moncongnya terarah langsung ke istana. Bung Karno tidak takut terhadap ancaman ini. Dia mengumpulkan para pemimpin militer, dan memecat Nasution.

Dikenal sebagai “Peristiwa 17 Oktober”, kegagalan unjuk kekuatan yang digelar Angkatan Darat tersebut membuat militer Indonesia rentan terhadap campur tangan sipil dan terpecah secara internal. Akibatnya, ketika pemerintah memutuskan untuk mengurangi anggaran belanja Angkatan Bersenjata, para petinggi Angkatan Darat tidak dapat berbuat banyak. Pemotongan anggaran belanja ini sangat memukul personil militer di Luar Jawa yang notabene sudah sangat kesulitan untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak dari mereka hidup dalam keadaan yang secara ekonomis sangat memprihatinkan. “Kondisi hidup mereka sangat

tidak manusiawi,” kenang Nasution beberapa tahun kemudian.37

Dalam kondisi seperti itu banyak komandan di daerah lantas menggunakan cara-cara yang “tidak biasa” untuk mendapatkan pemasukan. Mereka melakukan perdagangan langsung dengan negara lain. Para komandan tersebut menyebutnya “barter”, tetapi pemerintah pusat di Jakarta menggolongkannya sebagai “penyelundupan”. Meski ada peringatan dari pemimpin tertinggi militer, praktek perdagangan ini terus berlanjut dan memang menghasilkan pemasukan baik bagi para komandan militer di daerah maupun penduduk setempat, terutama di Sumatra Utara dan wilayah selatan Sulawesi.38

Situasi di atas membuat para pejabat dalam pemerintahan Eisenhower makin khawatir. Mereka sadar betul akan pentingnya Indonesia bagi A.S. dan negara-negara non-komunis lain. Nilai penting Indonesia erat terkait dengan letaknya yang strategis dan besarnya sumber-sumber alam yang dimiliki. Kekuasaan komunis atas Indonesia, demikian mereka khawatir, akan merupakan kehilangan besar bagi Blok Barat. Sebagaimana dinyatakan Dewan Keamanan Nasional A.S.:

Indonesia secara strategis penting bagi Amerika Serikat dan negara-negara Blok Barat lain sebab sebagai negeri kepulauan yang terletak antara Samodera Pasifi k dan Samodera Hindia, antara Benua Asia dan Benua Australia, negeri itu memiliki 80.000.000 penduduk dan merupakan penghasil karet, timah, dan minyak. Jatuhnya Indonesia ke tangan ... Komunis akan menimbulkan dampak yang luas bagi keamanan Amerika Serikat dan negara-negara Blok Barat yang lain.39

Menteri Luar Negeri Dulles menyampaikan peringatan dalam sebuah pertemuan NSC pada akhir 1954 bahwa pemerintah Indonesia sedang berada dalam bahaya jatuh ke kubu komunis atau didominasi oleh komunis. “Dalam keadaan seperti itu,” tutur Dulles, “ Amerika Serikat tidak akan ragu-ragu untuk menumbangkan pemerintahan yang sekarang ada sekiranya mereka benar-benar menunjukkan pertanda akan mengarah menjadi

negara Komunis.”40 Presiden Eisenhower, yang hadir dalam pertemu an itu, menyatakan “persetujuan penuh” atas usulan Dulles. Menurut dia jika perlu A.S. akan mengirimkan kekuatan militernya untuk mencegah Indonesia supaya tidak bergabung dengan Blok Komunis.41 Di akhir diskusi, antara serius dan bercanda, Presiden Eisenhower mengatakan: “Ngomong-omong, dengan uang beberapa juta dolar, kira-kira huru-hara macam apa yang kita bisa timbulkan di Indonesia sekiranya negara itu makin condong ke kubu Komunis?”42 Entah serius atau bercanda, ucapan macam itu menunjukkan adanya niat dari pemerintahan Eisenhower untuk menerapkan politik luar negeri yang penuh intervensi.

Dalam dokumen Indonesia Melawan Amerika min (Halaman 125-133)