• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai Tipologi Tenurial Dalam Kawasan Hutan

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 99-102)

Membumikan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan:

7.3 Berbagai Tipologi Tenurial Dalam Kawasan Hutan

Tenurial di dalam kawasan hutan sangat erat kaitannya dengan keberadaan masyarakat dalam bentuk komunitas kampung atas desa di dalam dan di sekitar

kawasan hutan. Berdasarkan sejarah penguasaan tanahnya, kita dapat membuat empat tipologi desa/kampung hutan itu. Pertama, desa/kampung yang telah ada di dalam kawasan hutan sebelum penunjukan kawasan. Desa/kampung ini terbentuk karena kebijakan pemerintah kolonial/nasional atau secara tradisional; kedua, desa/kampung yang ada setelah penunjukan/penetapan kawasan hutan; ketiga, desa/kampung yang ada sebelum perubahan fungsi kawasan/perluasan penunjukan kawasan; keempat, desa/kampung yang ada setelah perubahan fungsi kawasan/perluasan kawasan hutan (Safitri, 2013).

Perencanaan dalam pengelolaan kawasan hutan berbasis tenurial lebih menekankan pada pendekatan bottom-up. Semakin dekat otoritas penguasaan lahan/ kawasan hutan dengan lapangan (site) akan semakin cepat, mudah, akurat, tepat dan terarah pada sasarannya, sehingga untuk setiap kawasan ada pengelola atau penanggung jawab lapangan agar kawasan/lahan hutan tidak terlantar dan terurus dengan baik. Otoritas penguasaan dan wewenang tanggung jawab pengelolaan kawasan hutan harus berada di tingkat kabupaten/kota/propinsi, tergantung pada satuan lanskap hutan sebagai satuan region ekosistem hutan.

Sementara itu, berdasarkan lokasi dan aksesnya terhadap kawasan hutan, tipologi berikut menyederhanakan kategorisasi desa/kampung: pertama, desa/kampung yang seluruh wilayah pemukiman dan wilayah kelola ada di dalam kawasan hutan/areal izin kehutanan; kedua, desa/kampung yang sebagian wilayah pemukiman dan seluruh wilayah kelola ada di dalam kawasan hutan/areal izin; ketiga, desa/kampung yang seluruh wilayah pemukiman ada di tepi/sekitar kawasan hutan, tetapi seluruh wilayah kelola ada di dalam kawasan hutan/areal izin. Menurut Safitri (2013), komunitas yang ada di desa/kampung hutan itu terbagi dalam dua tipologi. Pertama adalah kelompok yang diistilahkan sebagai ‘komunitas di lingkungan hutan’ (forest communities), kedua adalah pemukim atau pengguna hutan (forest dwellers atau forest users). Forest communities merupakan kelompok orang yang hidup di dalam atau sekitar hutan serta memanfaatkan dan menggantungkan dirinya pada hutan dalam waktu yang lama, lintas generasi, dan mempunyai kesadaran yang dibangun bersama (shared-collective awareness) sebagai kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Apa yang disebut sebagai forest communities itu dapat, namun tidak selalu adalah masyarakat hukum adat. Komunitas lain yang telah ada di dalam lingkungan hutan dan menunjukkan kemampuannya membangun komunitas sosial dapat masuk ke dalam kategori ini. Sementara itu pemukim atau pengguna hutan (forest dwellers/users) adalah mereka yang secara individual berada di dalam dan sekitar hutan dan memanfaatkan hutan pada periode tertentu yang biasanya lebih singkat, tanpa membangun norma bersama dan kesadaran bersama sebagai satu kelompok masyarakat. Motivasi utama biasanya adalah kepentingan ekonomi (Safitri, 2010).

Dari cara-cara klaim mereka terhadap kawasan hutan, kita dapat menemukan enam tipologi masyarakat:

1. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis kesejarahan dan identitas kebudayaan.

2. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis penguasaan fisik. 3. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis perizinan

pemerintah.

4. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis kebijakan migrasi pemerintah kolonial dan nasional.

5. Masyarakat dengan klaim sumber daya berbasis kemitraan dengan perusahaan. 6. Masyarakat dengan klaim teritorial dan sumber daya berbasis perlindungan

politik dari elit-elit lokal.

Perbedaan klaim menjadi sumber konflik di antara kelompok sosial, perbedaan klaim antar satu atau beberapa kelompok sosial dengan pengelola dan pengguna hutan lainnya (instansi pemerintah dan perusahan) juga menjadi sumber konflik. Konflik juga muncul antar level pemerintahan dan antar perusahaan pemegang izin. Apapun tipologi desa/kampung dan komunitasnya itu, data dan fakta di atas menunjukkan bahwa kawasan hutan bukan wilayah hampa sosial. Karena itu menjadikan kelompok masyarakat ini sebagai aktor utama pengelolaan hutan adalah keniscayaan.

Kementerian Kehutanan telah memberikan sejumlah opsi bagi pengelolaan hutan oleh masyarakat. Dilihat dari berbagai opsi yang disediakan pemerintah, kita patut mengakui adanya perkembangan (Safitri, 2013). Kini, masyarakat desa/ kampung hutan dapat mengakses kawasan hutan dan mempunyai hak atas sumber daya di atasnya melalui sejumlah pilihan: Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, PHBM, kemitraan bersama pemegang izin dan kolaborasi dengan pengelola kawasan konservasi. Meskipun demikian, capaian program pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang ada sekarang masih jauh dari harapan. Rendahnya capaian ini terjadi karena berbagai faktor:

1. Proses perizinan yang rumit ditambah dengan kurang memadainya informasi yang diperoleh masyarakat untuk mendapatkan izin.

2. Pendampingan kepada masyarakat belum merata.

3. Pemerintah daerah enggan mencadangkan kawasan hutan untuk perizinan pengelolaan hutan oleh masyarakat, sebaliknya ada kecenderungan untuk mengajukan pelepasan kawasan hutan demi memfasilitasi perizinan perkebunan dan pertambangan.

4. Lokasi yang dicadangkan untuk masyarakat masih berkonflik dengan pengguna hutan lainnya.

5. Keengganan masyarakat untuk mengajukan izin atau terlibat dalam kegiatan PHBM karena tidak memperoleh akses yang mudah terhadap kayu, bahkan kayu yang mereka tanam sendiri. Dalam hal PHBM yang diselenggarakan Perum Perhutani, masyarakat enggan terlibat karena menganggap skema bagi hasil yang tidak adil.

6. Penolakan sebagian besar masyarakat hukum adat terhadap skema-skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat karena seluruh skema yang ada menempatkan hak-hak masyarakat ke dalam penguasaan negara atas kawasan hutan (hutan negara).

Untuk itu kita harus dapat mengantisipasi keenam permasalahan tersebut di atas. Tanpa upaya menyeluruh dalam menerapkan konsep tenurial kawasan hutan dan hak kelola masyarakat terhadap hutan/kawasan hutan belum menjadi bagian penting dalam tahapan perencanaan dan pengelolaan hutan/kawasan hutan maka konflik terhadap kawasan hutan akan terus bermunculan. Masyarakat harus menjadi subjek, bukan lagi obyek (pelengkap penderita) dalam pengelolaan dan pemafaatan hutan dan kawasan hutan, baik berupa hasil hutan kayu dan non-kayunya. Pengelolaan hutan di masa mendatang yang lebih memfokuskan pendekatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk kawasan Hutan Konservasi (KPHK), kawasan Hutan Lindung (KPHL) dan Hutan Produksi (KPHK) akan berhasil dengan baik jika masalah tenurial kawasan hutan (forest tenure) atau hak kelola masyarakat terhadap hutan/kawasan hutan dirancang dari awal dan wewenang serta tanggung jawab pengelolaan hutan didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah (Kabupaten atau Propinsi). Wewenang dan tanggung jawab penguasaan hutan yang memusat (sentralisasi) akan menghambat dan mengurangi tingkat inovasi dan kreativitas manajerial dan pengambilan keputusan di lapangan dalam pengelolaan KPH. Pengelolaan KPH harus bersifat local specific, baik dari sisi sumber daya alamnya dan sumber daya manusianya (masyarakat lokal) serta kelembagaannya.

Dalam dokumen Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan (Halaman 99-102)